Translate

Kamis, 10 Desember 2009

Tinjauan Buku : Menyimak Nafas Angin Amin Setiamin


Oleh : Suyadi San


Judul : Nafas Angin (Kumpulan Puisi)

Pengarang : Amin Setiamin

Penerbit : Laboratorium Sastra, Medan

Tahun Terbit : 2007

Tebal : 64 halaman

Ukuran : 14 cm x 20 cm


BUKU ini merupakan kumpulan puisi kedua bagi Amin Setiamin yang diterbitkan secara tunggal. Buku lainnya adalah Waduk Luka (1999). Selain itu, sajak-sajaknya terdapat dalam kumpulan puisi bersama Sajadah Kata (2002) dan Medan Puisi (2007).

Nama Amin Setiamin di jagat sastra Indonesia, khususnya Sumatera Utara, masih terbilang asing. Padahal, semasa merantau di tanah Jawa, ia acap kali mengampanyekan sajak-sajaknya melalui berbagai kesempatan, terutama dalam aksi demonstrasi. Tak ayal, ia pernah digelari penyair demonstran.

Amin Setiamin yang memiliki nama asli Sutimin lahir di Desa Linggatiga, Sigambal, Kabupaten Labuhan Batu, 10 April 1974. Setelah aktif mengirim puisi ke media massa maka dia memakai nama Amin Setiamin. Putra Pak Marin ini menikah dengan Lenny Deliana. Mereka dikaruniai dua orang anak, yakni Muhammad Karunia Andhika Prasetiawan dan Luthfan Zaldy Atalia Aziz.

Amin mulai serius berkesenian bersama Teater Jagad Cempe Wisesa Lawu Warta (1989-1991). Aktivitas keseniannya dimulai di Surakarta pada 1990-an hingga merambah Jakarta. Berbagai perhelatan sastra dan teater ikut digelutinya.

Tahun 1994, Amin mulai tampil membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam acara “Malam Puisi di Bulan Ramadhan”. Tanggal 17 Agustus 1996 diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk baca puisi bersama penyair Indonesia.

Tahun ini juga dia bersama Diah Hadaning, Adie Masardi, Yos Rizal Manua, Embie C. Noer, dan penyair lain mengadakan pembacaan puisi tentang Tuhan di Sanggar Teater Kecil Arifin C. Noer. Lalu, dia pun tampil tunggal selama satu jam membacakan puisi-puisinya dalam kumpulan Api Kehidupan.

Hidup dalam perantauan memaksa Amin untuk pandai menyiasati keadaan, terutama berkaitan dengan perekonomiannya. Karena itu, dia baru tampil bersastra setelah menyelesaikan berbagai pembuatan sinetron. Tahun 1998, dia ikut baca puisi reformasi yang digelar selama empat hari di TIM Jakarta.

Tahun ini juga dia diundang baca puisi bertajuk “Silaturahmi dan Ramadhan” bersama Saini KM dan Agus R. Sardjono di IAIN Ciputat dan baca puisi pembukaan pameran kalagrafi di Galery Pejompongan Jakarta.

Setelah belajar seni sastra dan teater dari berbagai kelompok teater, Amin Setiamin mendirikan kelompok teater bernama Joeroe Teater di Jakarta (1998). Akan tetapi, naluri berpuisi terus-menerus menuntutnya tampil sehingga dia tidak dapat aktif membesarkan kelompok teaternya.

Tahun 1999, dia tampil baca puisi dalam acara dialog kebangsaan bersama Sri Bintang Pamungkas di Kampus Untag Jakarta, memperingati 14 Mei 1998 di Monumen Proklamasi Jakarta, kampanye Partai Rakyat Demokrasi (PRD), peringatan setahun pencabutan DOM Aceh, dan baca puisi dalam hari ulang tahun ke-33 Majalah Horison Jakarta.

Amin Setiamin dalam usia 25 tahun menghimpun 47 puisinya dalam kumpulan puisi Waduk Luka yang diterbitkan Joeroe Teater Jakarta dengan pengantar dari Melani Budianta (Oktober 1999). Sejak 1999-2000 mulailah Amin berkeliling Jawa-Sumatera membacakan puisi dari buku pertamanya. Dia tercatat tampil baca puisi Waduk Luka di Solo, Yogyakarta, Semarang, Jakarta (Universitas Indonesia, Paguyuban Seniman Indonesia, dan Studio Oncor), Pekanbaru, Padang, dan Medan.

Tahun 2007, Amin Setiamin kembali muncul dengan 56 puisinya yang terhimpun dalam kumpulan puisi Nafas Angin terbitan Laboratorium Sastra Medan. Buku kumpulan puisi tunggalnya ini diterbitkan Laboratorium Sastra, Medan, tahun 2007, diberi pengantar oleh Afrion.

Nafas Angin Amin Setiamin ini mengungkapkan keserakahan manusia yang merusak keindahan ciptaan Tuhan. Hal itu tentu saja mengganggu keseimbangan lingkungan.

Di dalam puisi-puisinya, Amin juga menggambarkan dampak-dampak dari kerusakan yang dibuat oleh manusia. Hal ini terlihat dalam puisinya yang berjudul ’Di Tanahku Sendiri Tidak Ada Lagi yang Dipilih’ sebagai berikut:


Di tanahku sendiri

tidak ada suara nyaring

semuanya sudah jadi

korban dan maling

Di tanahku sendiri

tidak lagi memberi arti

semuanya sudah terhimpit

malapetaka dan bencana

Di tanahku sendiri

sudah melimpah ruah darah

semuanya sudah haus darah

Di alam mana lagi mesti hidup?

Di alam mana lagi tidak ada banjir?

Semuanya sudah milik pribadi

tidak ada untuk rakyat tersisa lagi

Di hutan mana lagi kita mesti pergi?

Semua hutan sudah jadi mobil

dan kemewahan yang angkuh

Di mana lagi kita menanam hidup dan kehidupan?

yang semestinya bisa membela tanah air dan memerdekakan

kembali


Puisi di atas menggambarkan ketidakberdayaan rakyat kecil yang selalu ditindas orang kaya dan penguasa. Padahal orang-orang seperti itulah yang mestinya melindungi rakyat kecil.

Puisi-puisi lainnya seperti ’Kemiskinanmu Terlantar di Ujung Usia’, ’Kemiskinan di Pantai’, ’Sekelumit 17 Agustus’, ’Pemerintah Berbantal Dua’, ’Hidup di Mana Kita Saudaraku?’, ’Wujud Kita di Tengah Jalan’, ’Hidup di Negeri Sendiri Terasa Asing’, dan masih banyak lagi yang menceritakan penderitaan rakyat kecil yang dari dulu hingga sekarang belum berakhir.

Seperti kebiasaaannya, sajak-sajak yang tampil di dalam buku ini berisikan perlawanan penyair terhadap situasi zaman. Beberapa kali sang penyair, Amin Setiamin atau Sutimin, membacakan sajak-sajak tersebut dalam berbagai kesempatan, terutama dalam aksi demonstrasi dan ngamen.

Membacakan sajak-sajak ke tengah masyarakat, menurut Amin Setiamin, perlu terus dilakukan sebelum karya dibukukan. Selain sebagai pertanggungjawaban puitik, penyair juga bisa langsung menyampaikan maksud puisinya terhadap publik. Karuan saja, Amin lantang menyebut dirinya penyair reformis.

Kiritikus sastra Melani Budianta yang pernah mengomentari sajak-sajak Amin Setiamin menyebutkan, puisi memang memunyai tempat sebagai sarana untuk mengajukan gagasan, emosi, protes, dan kritik sosial, yang selama ini dikekang pemerintah Orde Baru.

“Semakin dekat jarak antara puisi-puisi semacam ini dengan audiens dan perspektifnya, semakin efektif fungsinya sebagai alat bicara,” tulis Melani. Sajak-sajak semacam ini, lanjut Melani, cenderung verbal, oratoris, dan lebih pas dideklamasikan daripada dibaca.

Tidak hanya di daerah perantauan, di tanah kelahirannya sendiri ia merasakan ada ketidakbenaran, sehingga ”Di Tanahku Sendiri Tidak Ada Lagi yang Dipilih” (Hal. 58) seperti penggalan berikut.


Di tanahku sendiri

tidak ada suara nyaring

semuanya sudah jadi

korban dan maling

Di tanahku sendiri

tidak ada lagi memberi arti

semuanya sudah terhimpit

malapetaka dan bencana


Begitulah. Menyimak sajak-sajak yang terdapat di Nafas Angin-nya Amin Setiamin ini, kita serasa dibawa ke alam pembebasan. Sebatas karya sastra, semestinyalah begitu. Sebab, sastra adalah universal. Tidak lekang oleh waktu. Untuk itu, kita patut acungi jempol kepada penyair asal Labuhanbatu ini. **


Sumber : Analisa, Minggu 2 Desember 2007 Rubrik Rebana 2 halaman 7

1 komentar:

  1. bagus , ini motivasi buatku.
    dia pengagumku dan tinggal di lingkunganku.
    salam. juanda AP

    BalasHapus