Translate

Jumat, 11 Desember 2009

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera

Oleh Suyadi San

PULAU Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.

PULAU Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.

Dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.

Banyak lagi patut dibanggakan di wilayah ini. Tak ayal, pengarang-pengarang Indonesia kerap memotret Sumatera dalam figura budayanya. Ini terlihat jelas pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Deretan pengarang besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia Raya.

Persemaian wilayah sastra ini menjadi satu bagian penting dalam geosastra dan geopolitik kebudayaan Indonesia. Di arena Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007, yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Utara 28-30 Desember barusan, menggambarkan pemetaan semangat bersastra di kalangan sastrawan antarprovinsi di Pulau Andalas.

Pengembaraan kreativitas bersastra para sastrawan itu tertuang dalam satu medan, yakni sastra. Pertemuan antarsastrawan di Pulau Sumatera itulah yang melahirkan diterbitkannya buku Medan Sastra. Buku kumpulan karya sastra ini dimaksudkan sebagai satu penanda bahwa pulau ini tidak pernah kering melahirkan generasi sastra.

Tak heran, sebelum acara temu sastrawan ini berlangsung, sebelum buku tersebut diterbitkan, saya selaku editor dibantu rekan S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna menerima ratusan karya. Karena keterbatasan waktu – juga dana – pula, kami hanya bisa meloloskan 85 judul karya sastra dari 57 orang penulis, terdiri atas 55 judul puisi dari 33 penulis, 20 cerita pendek (20 penulis), 2 naskah drama (2 penulis), dan 8 esai (8 penulis).

Nama-nama pengarang yang karyanya termuat di dalam buku ini, merupakan keterwakilan dari bejibunnya jumlah penulis karya sastra pada masing-masing provinsi dan daerah. Tak hayal, buku ini juga diisi sejumlah nama baru. Karya-karya mereka – untuk sementara ini – disandingkan dengan sastrawan generasi sebelumnya. Alam dan waktu yang akan menguji mereka: apakah mereka pantas menyandang ‘gelar’ sastrawan di kemudian hari.

Para penulis baru yang muncul pada buku ini, di antaranya Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC.

Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat mengutus sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Yetti A.KA .

Yang jelas, generasi baru sastrawan Sumatera nyatanya terus berdenyut. Ia menjadi satu fenomena bahwa Sumatera tidak akan kehabisan penerus cita-cita sastrawan terdahulu. Buku ini barangkali akan jadi saksi sejarah tentang perjalanan sastra Sumatera.

Sumatera Utara selaku tuan rumah, tentu saja jadi penyumbang terbanyak pengisi buku. Selain sastrawan pemula di atas, sastrawan terkemuka daerah ini yang tampil meramaikan buku Medan Sastra ini, di antaranya, Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.

Lalu, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Malubi, M. Raudah Jambak, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.

Selain melalui karya, peta sastrawan Sumatera secara jelas dapat dibaca melalui esai-esai yang terdapat di dalam Medan Sastra. Perkembangan dan jejaring sastra masing-masing provinsi diungkap Syaiful Hidayat (Sumatera Utara),. D. Kemalawati (Nanggroe Aceh Darussalam), Ira Esmiralda (Bangka Belitung), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Muhammad Husyairi (Jambi) dan Tarmizi (Kepulauan Riau).

Lalu, sastrawan Damiri Mahmud dan akademisi Dr. Ikhwanuddin Nasution M.Si menyoroti serta mengkritisi karya-karya dan perjalanan sastra Sumatera tersebut. Syaiful Hidayat pada esai yang terdapat di dalam buku ini menyatakan, sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia.
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan.

Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.

Menurut penilaian Damiri Mahmud, saat ini geliat kepengarangan Sumatera makin ramai, terutama puisi dan Cerpen. Para penulis Sumatera ini tampak berusaha melepaskan diri dari “cengkeraman” Jakarta yang selama ini dianggap sebagai sentralisasi sastra. Kata Damiri lagi, kantong-kantong sastra di beberapa tempat di Sumatera diusahakan seintensif mungkin. Kegiatan-kegiatan pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku begitu marak dilakukan.

Damiri memperkirakan, Riau paling depan dalam geliat bersastra. Pada dekade 60-an dan 70-an daerah ini masih terasa sepi dari kegiatan dan para sastrawan. Tapi sekarang begitu banyak kegiatan dan muncul tokoh-tokoh kenamaan. Mereka pun sangat giat menggali akar tradisi sastranya. Karya-karya Raja Ali Haji misalnya, kembali ditransliterasi dan diterbitkan.

Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.

Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai.
Tampaknya di antara genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel. Barangkali penulisan novel memerlukan waktu yang lama dan dukungan dana yang besar sementara para penulis sekarang pada umumnya punya kegiatan rangkap.

Tradisi sebagai “pujangga istana” di zaman kerajaan dulu telah hilang. Sebagaimana diketahui Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji, sedikit banyaknya merupakan “pujangga istana” sehingga di samping dukungan dana, misi yang mereka tulis bisa dengan cepat dapat terlaksana.

Deknong Kemalawati dalam esai nya memaparkan sejumlah generasi sastra Aceh. Generasi sastra Aceh ini dimulai dari Angkatan Sufi. didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas.

Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti. Pada zaman itu, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama, persengketaan mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.

Angkatan Pujangga Baru didominasi tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu.

Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi zaman tersebut.

Tema-tema kepahlawanan pasca Pujangga Baru, menurut Kemalawati, bermula dari “pemberontakan” DI/TI dipimpin Daud Beureueh pada 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak 1976 dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer, yang berakhir pascatsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM.

Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan.

Dalam catatan Kemalawati, ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra, di antaranya, Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AMuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute dan lain-lain. Bagaimana dengan Bangka Belitung? Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Kelahirannya tak berjauhan dengan kelahiran Provinsi Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Konstelasi sastra provinsi ini dikupas dalam esai Ira Esmiralda (hal. 262-265).

Dari esai Ira ini, kita mengetahui peta perjalanan sastra di Bangka Belitung. Menurut Ira, kaum terpelajar menggeluti sastra lebih memilih keluar Bangka Belitung (Jawa) dan berkarya di sana. Pada tahun 1930-an muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan karyanya Kehilangan Mustika.

Setelah itu dunia sastra (tulis) di Bangka Belitung mengalami stagnasi panjang. Hingga tahun 1980-an, muncul nama Ian Sanchin (Belitung) dan Willi Siswanto (Bangka) yang memublikasikan Cerpen remajanya di beberapa majalah remaja dan keluarga. Drama sangat diminati oleh remaja atau pelajar Bangka. Pada masa ini, kelompok-kelompok teater remaja dan pelajar bermunculan dan pementasan teater cukup sering diadakan. Namun pada pertengahan 1990-an, seiring keluarnya remaja-remaja tersebut ke kota lain untuk melanjutkan studi, kehidupan teater di Bangka meredup lalu vakum.

Pada 1990-an akhir, muncul koran daerah pertama di Bangka, Bangka Pos (group Kompas). Lembar budaya minggu pada koran tersebut telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Bangkabelitung. Willi Siswanto, Nurhayat Arif Permana sebagai redaktur budaya Bangka Pos mengajak penyumbang tulisan sastra di lembar budaya Bangka Pos untuk membentuk sebuah komunitas sastra. Hingga terbentuklah Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) pada 2000.

Ira juga menyebutkan, kantong-kantong sastra di Bangka Belitung terpusat di Pangkal Pinang (ibukota Bangka Belitung) dan Sungailiat (ibukota Kabupaten Bangka). Pegiat sastra di Pangkal Pinang terdiri dari latarbelakang profesi. Mulai pensiunan guru, pegawai KUA, sampai yang betul-betul hanya mengandalkan tulisannya sebagai jalan hidup. Di Sungailiat, para pegiat sastranya umumnya memiliki latarbelakang profesi yang lebih homogen. Semuanya rata-rata pegawai negeri sipil. Dari guru, pejabat Pemda, sampai reporter.

Lampung menyumbang Isbedy Stiawan ZS. Di dalam esainya (hal. 266-272),, Isbedy gambling menyebut peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Itu, dimulai dari kiprah Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Perkembangan berikut, “pulangnya” para perantau: Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z., Djuhardi Basri, dan Naim Emel Prahana. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.

Isbedy tidak menafikan peran kampus yang cukup besar. Sumbangsih terbesar adalah Universitas Lampung. Muncullah nama Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman dan Elya Harda. Jambi melalui esai Muhammad Husyairi (hal. 273-276) membuat peta sastrawan Jambi dalam tiga generasi. Sebagian besar dari tiga generasi tersebut didominasi oleh para penyair. Generasi pertama Ghazali Burhan Riodja (Alm) dan Yusuf Asni.

Di lapis kedua ada Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Secara kekaryaan, generasi lapis kedua ini muncul pada paruh tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan.

Sedangkan generasi ketiga yang muncul setelah tahun sembilan puluhan, sebut saja Muhammad Husyairi (Ary MHS Ce’gu), Yupnical Saketi, Ide Bagus Putra, Ramayani, Oton Marton, Alpakihi, Putra Edison, Emen Sling, Muhammad Muslih, Berry Hermawati, Yohana, Titas, Gita Romadhona, Chori Marbawy, Pendra Darmawan, Anshori Bharata, Monas Junior dan Fahrizal Eka. Begitulah. Konstelasi sastra pulau Sumatera tersingkap di dalam buku Medansastra. Kita berharap, buku tersebut menjadi sumbangan bagi sejarah sastra di Sumatera, kelak! Amiin.
(Staf teknis Balai Bahasa Medan).
Sumber : WASPADA Online


Pembunuhan karakter tokoh "Ayat-ayat Cinta: Puncak Idealisme FLP?

Oleh Suyadi San

ALHAMDULILLAH film Ayat-ayat Cinta usai diputar di bioskop. Pengarang
ceritanya pun menjadi kaya raya dari royalti film dan novelnya.
Habibuurahman El-Shirazy berhasil, Hanung Bramantyo sukses, Fedil
Nuril makin melejit. Namun, benarkah karya tersebut merupakan puncak
idealisme Forum Lingkar Pena (FLP)?

Ayat-ayat Cinta adalah sebuah novel 411 halaman ditulis seorang
novelis muda Indonesia kelahiran 30 September 1976, bernama
Habiburrahman El-Shirazy. Ia adalah seorang sarjana lulusan Mesir,
sekarang sudah kembali ke tanah air. Sepintas lalu, novel ini seperti
novel-novel Islami kebanyakan yang mencoba menebarkan dakwah melalui
sebuah karya seni, namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata novel
ini merupakan gabungan dari novel islami, budaya dan juga novel cinta
yang banyak disukai anak muda.

Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media
penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak
tentang Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan menjadi
penerus bangsa. Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak
manusia yang berbeda latar belakang dan budaya; yang satu adalah
mahasiswa Indonesia yang sedang studi Universitas Al-Azhar Mesir,
satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman yang kebetulan juga sedang
studi di Mesir.

Kisah percintaan ini berawal ketika mereka secara tak sengaja bertemu
dalam sebuah perdebatan sengit di sebuah metro (sejenis trem). Pada
waktu itu, si pemuda yang bernama lengkap Fahri bin Abdullah Shiddiq,
sedang dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang
terletak di Shubra El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi
(belajar secara face to face) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah, seorang
Syaikh yang cukup tersohor di seantero Mesir.

Kepada syaikh tersebut, Fahri belajar tentang qiraah Sab'ah (membaca
Al-Qur'an dengan riwayat tujuh imam) dan ushul tafsir (ilmu tafsir
paling pokok). Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap dua kali
seminggu, Ahad/Minggu dan Rabu. Dia sama sekali tidak pernah
melewatkannya walau suhu udara panas menyengat dan badai debu
sekalipun. Karena baginya itu merupakan suatu kewajiban karena tidak
semua orang bisa belajar pada Syaikh Utsman yang sangat selektif
memilih murid dan dia termasuk salah seorang yang beruntung.

Di dalam metro, Fahri tidak mendapatkan tempat untuk duduk, mau tidak
mau dia harus berdiri sambil menunggu ada kursi yang kosong. Kemudian
ia berkenalan dengan seorang pemuda Mesir bernama Ashraf yang juga
seorang Muslim. Mereka bercerita tentang banyak hal, termasuk tentang
kebencian Ashraf kepada Amerika. Tak berapa lama kemudian, ada tiga
orang bule berkewarganegaraan Amerika (dua perempuan dan satu
laki-laki) naik ke dalam metro. Satu di antara dua perempuan itu
adalah seorang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah.

Biasanya orang Mesir akan memberikan tempat duduknya apabila ada
wanita yang tidak mendapatkan tempat duduk, namun kali ini tidak.
Mungkin karena kebencian mereka yang teramat sangat kepada Amerika.
Sampai pada suatu saat, ketika si nenek hendak duduk menggelosor di
lantai, ada seorang perempuan bercadar putih bersih yang sebelumnya
mempersilahkan Fahri untuk duduk di bangku kosong yang sebenarnya bisa
didudukinya, memberikan kursinya untuk nenek tersebut dan meminta maaf
atas perlakuan orang-orang Mesir lainnya.

Di sinilah awal perdebatan itu terjadi. Orang-orang Mesir yang
kebetulan mengerti bahasa Inggris merasa tersinggung dengan ucapan si
gadis bercadar. Mereka mengeluarkan berbagai umpatan dan makian kepada
sang gadis dan ia pun hanya bisa menangis. Kemudian Fahri berusaha
untuk meredakan perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca shalawat
Nabi karena biasanya dengan shalawat Nabi, orang Mesir akan luluh
kemarahannya dan ternyata berhasil. Di metro itulah, Fahri dan Aisha
berkenalan. Dan, ternyata si gadis itu bukanlah orang Mesir melainkan
asal Jerman yang juga sedang studi di Mesir. Ia bernama Aisha.

Di Mesir, Fahri tinggal bersama keempat orang temannya yang juga
berasal dari Indonesia, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah. Fahri
sudah tujuh tahun hidup di Mesir. Mereka tinggal di sebuah apartemen
sederhana yang mempunyai dua lantai. Lantai dasar menjadi tempat
tinggal Fahri dan empat temannya. Sedangkan lantai atas ditempati
sebuah keluarga Kristen Koptik yang sekaligus menjadi tetangga mereka.
Keluarga ini terdiri atas Tuan Boutros, Madame Nahed, dan dua orang
anak mereka-Maria dan Yousef. Walau keyakinan dan aqidah mereka
berbeda, namun antara keluarga Fahri (Fahri dkk) dan keluarga Boutros
terjalin hubungan yang sangat baik. Di Mesir, bukanlah suatu keanehan
apabila keluarga Kristen koptik dan keluarga Muslim dapat hidup
berdampingan dengan damai dalam masyarakat.

Keluarga ini sangat akrab dengan Fahri terutama Maria. Maria adalah
seorang gadis Mesir yang manis dan baik budi pekertinya. Kendati
demikian, Fahri menyebutnya sebagai gadis koptik yang aneh, karena
walaupun Maria itu seorang non-muslim ia mampu menghafal dua surah
yang ada dalam Al-Quran dengan baik yang belum tentu seorang Muslim
mampu melakukannya. Keluarga ini juga tidak segan-segan mengajak Fahri
dkk untuk makan di restoran berbintang di tepi sungai Nil, kebanggaan
kota Mesir, sebagai balasan atas kado yang mereka berikan. Begitulah.
Hubungan Fahri-Maria berjalan mulus.

Selain bertetangga dengan keluarga Boutros, Fahri juga mempunyai
tetangga lain berkulit hitam yang perangainya berbanding 180 derajat
dengan keluarga Boutros. Kepala keluarga ini bernama Bahadur yang
terkenal dengan julukan si Muka Dingin karena ia selalu berperangai
kasar kepada siapa saja bahkan dengan istrinya madame Syaima dan putri
bungsunya Noura. Bahadur mempunyai watak keras dan bicaranya sangat
kasar, Nouralah yang selalu menjadi sasaran kemarahannya. Sampai
tibalah pada suatu malam tragis. Bahadur menyeret Noura ke jalanan dan
punggungnya penuh dengan luka cambukan. Hal ini sudah sering terjadi,
namun malam itu yang terparah.

Tak ada satu orang pun yang berani menolong. Selain hari sudah larut,
Bahadur juga dikenal amat kejam. Akhirnya, karena sudah tak tahan lagi
melihat penderitaan Noura, Fahri pun meminta bantuan Maria melaui sms
untuk menolong Noura. Jadilah malam itu Noura menginap di rumah
keluarga Boutros. Malam ini jualah yang akhirnya menghantarkan Fahri
ke dalam penderitaan yang amat sangat dan juga membuatnya hampir
kehilangan kesempatan untuk hidup di dunia fana ini.

Konflik meruncing usai Fahri menikahi Aisha. Mental Maria terganggu
hingga saksi kunci itu nyaris tewas saat adegan tabrak lari yang
dilakukan keluarga Bahadur. Fahri bahkan harus masuk penjara dan
trerancam hukuman mati dengan tuduhan memerkosa Noura. Dramatisasi
sebagaimana cerita konvensional lainnya terjadi pada novel ini. Aisha
menyuruh Fahri menikahi Maria supaya Maria sembuh, lahir dan batin.
Benar saja. Usai dinikahi, fisik Maria secara perlahan sembuh total.
Itu lantaran psikisnya lebih dahulu terobati; yakni menjadi istri Fahri.

Keanehan terjadi di sini. Maria sudah sembuh total harus "dibunuh"
pengarang. Nalar logika kita pun berpendaran. Betapa kejamnya sang
pengarang! Padahal, berdasarkan kehadiran tokoh-tokoh,
Fahri-Aisha-Maria-Noura, cuma Maria yang berhasil melewati masa
krisis. Pascapernikahan kedua, justru Fahri-Aisha-Noura yang dalam
keadaan labil. Ketiganya mengalami puncak krisis. Fahri cemas tidak
bisa menyatukan keutuhan istri-istrinya, terutama Aisha. Aisha dalam
kondisi hamil tua memendam konflik batin menyaksikan kemesraan
hubungan Fahri-Maria. Noura harus terus menelan pil pahit
pascadiperkosa sang paman. Secara nalar logika, di antara ketiga orang
inilah yang seharusnya mengalami puncak krisis sehingga berakibat
kematian. Jika itu terjadi, novel Kang Abik ini bisa sejajar dengan
roman Di Bawah Lindungan Ka'bah atau Tenggelamnya Kapal van Der
Wijknya Buya Hamka.

Melihat kecerobohan sang pengarang ini, seharusnya kita tidak terlalu
melebih-lebihkan novel Ayat-ayat Cinta. Ia bahkan tidak patut
disejajarkan dengan karya-karya besar Buya Hamka. Terlebihan pula jika
kita menyejajarkan Habiburrahamn El-Shirazy dengan Buya Hamka!
Pembunuhan karakter tokoh Maria oleh pengarang justru mengebiri syiar
dakwah novel itu sendiri. Padahal, esensi dakwah inilah yang selalu
dikedepankan kebanyakan pengarang yang tergabung dalam FLP. Bukankah
Maria seorang mualaf yang bisa diandalkan untuk menyiarkan dakwah?
Masalah ini pun mengemuka pada sesi diskusi tentang kritik sastra Temu
Sastrawan Indonesia (TSI) di Jambi 7-11 Juli lalu. Sintesa kehadiran
tokoh sebagai penanda dan petanda melahirkan tesa bahwa novel tersebut
sesungguhnya tidak sebaik dan sebagus yang digembar-gemborkan selama ini.

Kritik yang mencuat makin menukik ketika penjaga gawang sastra harian
Republika, Ahmadun Yosi Herfanda, membeberkan proses pencetakan buku
novel tersebut. Ialah yang merekomendasi penerbitan dan pencetakan
buku tersebut, sebab diterbitkan Harian Republika dan Yayasan
Basmallah. Novel Ayat-ayat Cinta awalnya merupakan cerita bersambung
(cerbung) di Republika. Selanjutnya berdasarkan permintaan para
pembaca, cerita tersebut diminta dibukukan. Novel Tamu Wisran Hadi
awalnya juga merupakan cerbung di koran ini. Karena ditolak Penerbit
Mizan, novel Ayat-ayat Cinta diterbitkan Republika-Yayasan Basmallah.

Ahmadun gamblang mengakui, ia hanya bertugas memberi rekomendasi.
Selebihnya, hingga menjadi buku dan bolak-balik naik cetak hingga
filmnya usai ditayangkan di bioskop, ia tidak tahu lagi. Ia justru
menilai, Ayat-ayat Cinta adalah puncak idealisme FLP. Ya, pernyataan
Ahmadun ini sangat beralasan. Selain terlalu mendramatisasi alur dan
penokohan, novel ini ini juga kehilangan greget esensi dakwah yang
sebenarnya. Kita bahkan melihat, novel dan film Ayat-ayat Cinta ini
terkesan berdasar pesanan pihak eksternal.

Kematian tokoh Maria merupakan antitesis esensi dakwah yang biasanya
menjadi idealisme pengarang FLP. Sangat jauh dari esensi dakwah
sebagaimana roman-roman Buya Hamka. Kehadiran produk-produk bermerk
dagang asing dalam filmnya, juga memperkuat pesanan pihak eksternal
tersebut.Kehebatan pemikiran pengarang pada awal dan perjalanan kisah
Fahri-Aisha, harus dikalahkan oleh penyelesaian yang sangat buruk di
akhir kisah. Jadi, janganlah dulu kita berlatah-latah menyebut novel
ini masterpiece sastra abad 21. Habiburrahman El-Shirazy sangat jauh
di bawah Buya Hamka dan AA. Navis. Nah! ***

Penikmat sastra dan staf teknis Balai Bahasa Medan

dari harian Waspada.सीओ.id

Kamis, 10 Desember 2009

Tinjauan Buku : ”Doa Buaya” Abu Bakar Parodi Kehidupan


Suyadi San


Judul Buku : Doa Buaya

Penulis : Abu Bakar Siregar

Penerbit/Kota : Teater Kita, Medan

Cetakan/Tahun : I/2002

Tebal : 65 halaman + x

Ukuran : 8,5 x 13,5 cm

PARODI merupakan kisah jenaka yang berasal dari tiruan karya sastra terkenal, parodi ini bersifat menyindir. Penciptanya menggunakan gaya tertentu, menuliskannya dengan menggunakan aliran sastra tertentu pula dengan ciri yang sangat menonjol.

Kita dapat menikmati parodi jika kita hanya mengenal karya yang ditirukan. Kita menjadi bingung dan tertawa tergelak-gelak karena keberadaan parodi. Itulah tujuan dari pembuatan parodi (Berger, 2000 : 82).

Di Indonesia, parodi masuk ke panggung kesenian sudah sejak lama. Di pentas teater, dramawan terkenal yang banyak memarodikan kepemimpinan Orde Baru adalah N. Riantiarno. Di layar kaca, ada Republik BBM, Republik Mimpi, Extravaganza, dan sebagainya.

Di panggung musik, tentu kita masih mengenal grup orkes Pengantar Minum Racun (PMR), Pancaran Sinar Petromak (PSP), Project P, dan teranyar Team-Lo. Di panggung sastra tak kalah menariknya. Lihat saja sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Jatman, Ibrahim Sattah, Hamid Jabbar, dan Abu Bakar Siregar.

Lho, Abu Bakar? Ya. Nama Abu Bakar Siregar layak disandingkan dengan penyair terkemuka tersebut. Sajak-sajak Abu Bakar Siregar dapat dibaca dalam buku ”Doa Buaya”. Buku ini diterbitkan Teater Kita, Medan, tahun 2002, karena penulisnya merupakan anggota komunitas ini. Kata pengantar diberikan Dahri Uhum Nasution, H.M. Rasyid, S.H., dan AS Atmadi.

Ukuran buku puisi Abu Bakar ini mirip buku kumpulan puisi balsem ”Ohoi”-nya Mustafa Bisri. Sajak-sajak yang terdapat di dalamnya juga berisikan ’balsem’, obat gosok, panas namun bisa menyembuhkan penyakit ’puskesmas’ (pusing, keseleo, masuk angin).

Buku ini memang diterbitkan tahun 2002. Namun, isinya masih awet sepanjang masa. Karena itu, kita patut mengapresiasi sajak-sajak parodinya Abu Bakar Siregar ini. Setidaknya, nama Abu Bakar patut diperhitungkan dalam jagad sastra Indonesia, Sumatera Utara khususnya.

Buku saku ini memuat karya Abu Bakar Siregar yang umumnya mengungkap nilai-nilai kehidupan yang ada dalam masyarakat. Puisi-puisinya sangat sederhana dan singkat yang secara jujur mengungkapkan watak manusia dan kehidupan sehari-harinya.

Puisi yang berjudul ‘Doa Buaya’ sendiri bercerita tentang doa anak manusia yang ingin hidup bahagia. Abu mengungkapkan keinginan anak manusia yang mau ‘enaknya’ saja dalam puisi tersebut.

Dalam puisi ini, Abu Bakar sarat menyentil masalah realitas sosial secara ironi dan satire. Tak heran, sebagaimana judul, DOA BUAYA ini, bisa dikategorikan sebagai kumpulan puisi humor, karena mengundang senyum siapa saja yang membacanya. Padahal, dia ingin mengungkap kebenaran dan ketidakbenaran.

Lihat saja puisi yang berjudul ‘Hening Cipta’ di bawah ini:


Untuk mengenang arwah para pahlawan

marilah kita hening cipta sejenak

hening cipta dimulai

aku rundukkan kepalaku

aku lihat sepatuku

made in Itali

padahal aku tahu, sepatuku buatan sukaramai

kemudian aku berbisik

pahlawan, masih banyak bangsa kita

yang malu mengaku dia Indonesia

hening cipta selesai


Saya menyebut sajak-sajak “Doa Buaya” ini sebagai satu bentuk karya parodi. Berger (2002) menggolongkan parodi sebagai teknik humor (bandingkan dengan bentuk humor seperti lawak atau teka-teki) yang menggunakan teknik-teknik khusus untuk melucu, seperti permainan kata, melebih-lebihkan dan kelucuan.

Fakta membuktikan bahwa tanda-tanda dapat kita gunakan untuk berbohong. Judul buku Abu Bakar, misalnya, yakni “Doa Buaya” membuktikan kebohongan itu. Tanda-tanda memiliki kemampuan untuk memberitahukan kebenaran dengan kerumitannya.

Penggunaan kosa kata “doa” dan “buaya” merupakan penanda sekaligus petanda kebohongan itu. Kosa kata “doa” merujuk kegiatan spritual seseorang kepada Sang Pencipta. Namun kata ini menjadi berbeda arti ketika disambung dengan kosa kata “buaya”, hewan yang hidup pada dua dunia; darat dan air. Di sinilah letak parodi tersebut.

Sajak yang menjadi pembuka buku ini berisi 13 baris. Baris pertama sampai sembilan, berisikan doa sebagaimana biasa, yakni : ”/murahkan rezekiku/terangilah jalan hidupku/mudahkanlah jodohku/”. Ia menginginkan jodoh yang cantik (baris ke-6), baik, jujur, setia (baris ke-7) serta sayang suami dan keluarga (baris ke-8).

Selain itu, jodoh yang diinginkan adalah yang hormat pada mertua (baris ke-9).itu semua merupakan kata-kata yang lazim diucapkan orang dalam doa. Namun, pada baris kesepuluh dan seterusnya dia berucap begini :


dan kelak di kemudian hari

bersedia membiayai

ketika aku kepingin kawin sekali lagi

buaya.....


Dilihat dari sudut semiologi, parodi mendasarkan pada kenyataan bahwa kita mengenal seseorang lebih dekat dengan berpura-pura dan berbohong. Kita harus mengetahui objek yang diparodikan agar kita dapat menikmati humor dalam bentuk parodi.

“Doa Buaya” memresentasekan hal-hal seperti itu. Ini bisa dianalogikan pada orang-orang yang bertipe penjilat pada atasan. Bagi orang-orang Sumatera Utara, tentu saja mengenal objek-objek yang dibidik Abu Bakar melalui sajak-sajaknya.

Misalnya, terlihat dalam sajak ‘Indonesia Satu’, mengungkapkan, jika KKN tidak bisa hilang maka semua daerah dari Sabang sampai Merauke akan minta berpisah. Jika hal itu terjadi, maka Indonesia hanya tinggal dari Canang sampai Keramat Tunggak saja. Canang dan Kramat Tunggak dahulu dikenal sebagai kawasan lokalisasi pelacuran terkenal di Medan dan Jakarta.

Tak hanya bertemakan nasionalisme, Abu juga menulis puisi dengan tema-tema sosial dan wanita. Uniknya, puisi-puisi itu terkesan polos dan jujur, tidak munafik, disusun dengan kata-kata yang padat dan mengena.

Tema sosial di antaranya mengungkap masalah perjudian yang sudah membudaya di tanah air, seperti dalam puisi ‘Buku’, ‘SDSB’, ‘Bisikan’, ‘Zaman’, ‘Jantung’, dan ‘Istilah’. Meski Kapolri Jenderal Sutanto paling alergi dengan judi, namun secara diam-diam tampaknya bisnis haram ini terus bergerilya.

Sedangkan yang bertema wanita dan cinta terdapat pada puisi ‘Madu’, ‘Koran Pagi’, ‘Mantera’, ’Telegram’, ’Warna’, ’Harap’, ’Bulan’, ’Ilmu Ukur’, ’Lisa’, ’Rindu Rosita’, ’Imbang’, ’Surat si Udin yang Tercecer’, ’Manis’, ’Modern’, ’Cinta Pertama’, ’Lebih’, ’Mubajir’, ’Ganjal’, ’Iman’, ’Faujiah’, ’Lenyap’, ’Kekasih’, ’Polong’, ’Bloon’, dan ‘Lipstik’.

Di akhir kumpulan puisinya, dengan puisi yang unik, Abu secara menggelitik menutup bukunya dengan puisi ‘Doa’:


Ya Allah ya Tuhanku

hanya kepadaMulah aku mengadu

karena pada yang lain

duitlah ujungnya.


Begitulah. Enam puluh empat sajak yang terdapat di dalam buku ”Doa Buaya”-nya Abu Bakar ini mengingatkan kita agar tidak bermain-main dengan kebenaran. Sepatutnya kita tidak melupakan karya-karya Abu Bakar ini dalam pentas sastra. Semoga! ***

Penulis adalah sastrawan

dan staf peneliti pada Balai Bahasa Medan

sumber : Analisa, Minggu 3 Februari 2008 Rubrik Rebana 2 halaman 7

Tinjauan Buku : Menyimak Nafas Angin Amin Setiamin


Oleh : Suyadi San


Judul : Nafas Angin (Kumpulan Puisi)

Pengarang : Amin Setiamin

Penerbit : Laboratorium Sastra, Medan

Tahun Terbit : 2007

Tebal : 64 halaman

Ukuran : 14 cm x 20 cm


BUKU ini merupakan kumpulan puisi kedua bagi Amin Setiamin yang diterbitkan secara tunggal. Buku lainnya adalah Waduk Luka (1999). Selain itu, sajak-sajaknya terdapat dalam kumpulan puisi bersama Sajadah Kata (2002) dan Medan Puisi (2007).

Nama Amin Setiamin di jagat sastra Indonesia, khususnya Sumatera Utara, masih terbilang asing. Padahal, semasa merantau di tanah Jawa, ia acap kali mengampanyekan sajak-sajaknya melalui berbagai kesempatan, terutama dalam aksi demonstrasi. Tak ayal, ia pernah digelari penyair demonstran.

Amin Setiamin yang memiliki nama asli Sutimin lahir di Desa Linggatiga, Sigambal, Kabupaten Labuhan Batu, 10 April 1974. Setelah aktif mengirim puisi ke media massa maka dia memakai nama Amin Setiamin. Putra Pak Marin ini menikah dengan Lenny Deliana. Mereka dikaruniai dua orang anak, yakni Muhammad Karunia Andhika Prasetiawan dan Luthfan Zaldy Atalia Aziz.

Amin mulai serius berkesenian bersama Teater Jagad Cempe Wisesa Lawu Warta (1989-1991). Aktivitas keseniannya dimulai di Surakarta pada 1990-an hingga merambah Jakarta. Berbagai perhelatan sastra dan teater ikut digelutinya.

Tahun 1994, Amin mulai tampil membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam acara “Malam Puisi di Bulan Ramadhan”. Tanggal 17 Agustus 1996 diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk baca puisi bersama penyair Indonesia.

Tahun ini juga dia bersama Diah Hadaning, Adie Masardi, Yos Rizal Manua, Embie C. Noer, dan penyair lain mengadakan pembacaan puisi tentang Tuhan di Sanggar Teater Kecil Arifin C. Noer. Lalu, dia pun tampil tunggal selama satu jam membacakan puisi-puisinya dalam kumpulan Api Kehidupan.

Hidup dalam perantauan memaksa Amin untuk pandai menyiasati keadaan, terutama berkaitan dengan perekonomiannya. Karena itu, dia baru tampil bersastra setelah menyelesaikan berbagai pembuatan sinetron. Tahun 1998, dia ikut baca puisi reformasi yang digelar selama empat hari di TIM Jakarta.

Tahun ini juga dia diundang baca puisi bertajuk “Silaturahmi dan Ramadhan” bersama Saini KM dan Agus R. Sardjono di IAIN Ciputat dan baca puisi pembukaan pameran kalagrafi di Galery Pejompongan Jakarta.

Setelah belajar seni sastra dan teater dari berbagai kelompok teater, Amin Setiamin mendirikan kelompok teater bernama Joeroe Teater di Jakarta (1998). Akan tetapi, naluri berpuisi terus-menerus menuntutnya tampil sehingga dia tidak dapat aktif membesarkan kelompok teaternya.

Tahun 1999, dia tampil baca puisi dalam acara dialog kebangsaan bersama Sri Bintang Pamungkas di Kampus Untag Jakarta, memperingati 14 Mei 1998 di Monumen Proklamasi Jakarta, kampanye Partai Rakyat Demokrasi (PRD), peringatan setahun pencabutan DOM Aceh, dan baca puisi dalam hari ulang tahun ke-33 Majalah Horison Jakarta.

Amin Setiamin dalam usia 25 tahun menghimpun 47 puisinya dalam kumpulan puisi Waduk Luka yang diterbitkan Joeroe Teater Jakarta dengan pengantar dari Melani Budianta (Oktober 1999). Sejak 1999-2000 mulailah Amin berkeliling Jawa-Sumatera membacakan puisi dari buku pertamanya. Dia tercatat tampil baca puisi Waduk Luka di Solo, Yogyakarta, Semarang, Jakarta (Universitas Indonesia, Paguyuban Seniman Indonesia, dan Studio Oncor), Pekanbaru, Padang, dan Medan.

Tahun 2007, Amin Setiamin kembali muncul dengan 56 puisinya yang terhimpun dalam kumpulan puisi Nafas Angin terbitan Laboratorium Sastra Medan. Buku kumpulan puisi tunggalnya ini diterbitkan Laboratorium Sastra, Medan, tahun 2007, diberi pengantar oleh Afrion.

Nafas Angin Amin Setiamin ini mengungkapkan keserakahan manusia yang merusak keindahan ciptaan Tuhan. Hal itu tentu saja mengganggu keseimbangan lingkungan.

Di dalam puisi-puisinya, Amin juga menggambarkan dampak-dampak dari kerusakan yang dibuat oleh manusia. Hal ini terlihat dalam puisinya yang berjudul ’Di Tanahku Sendiri Tidak Ada Lagi yang Dipilih’ sebagai berikut:


Di tanahku sendiri

tidak ada suara nyaring

semuanya sudah jadi

korban dan maling

Di tanahku sendiri

tidak lagi memberi arti

semuanya sudah terhimpit

malapetaka dan bencana

Di tanahku sendiri

sudah melimpah ruah darah

semuanya sudah haus darah

Di alam mana lagi mesti hidup?

Di alam mana lagi tidak ada banjir?

Semuanya sudah milik pribadi

tidak ada untuk rakyat tersisa lagi

Di hutan mana lagi kita mesti pergi?

Semua hutan sudah jadi mobil

dan kemewahan yang angkuh

Di mana lagi kita menanam hidup dan kehidupan?

yang semestinya bisa membela tanah air dan memerdekakan

kembali


Puisi di atas menggambarkan ketidakberdayaan rakyat kecil yang selalu ditindas orang kaya dan penguasa. Padahal orang-orang seperti itulah yang mestinya melindungi rakyat kecil.

Puisi-puisi lainnya seperti ’Kemiskinanmu Terlantar di Ujung Usia’, ’Kemiskinan di Pantai’, ’Sekelumit 17 Agustus’, ’Pemerintah Berbantal Dua’, ’Hidup di Mana Kita Saudaraku?’, ’Wujud Kita di Tengah Jalan’, ’Hidup di Negeri Sendiri Terasa Asing’, dan masih banyak lagi yang menceritakan penderitaan rakyat kecil yang dari dulu hingga sekarang belum berakhir.

Seperti kebiasaaannya, sajak-sajak yang tampil di dalam buku ini berisikan perlawanan penyair terhadap situasi zaman. Beberapa kali sang penyair, Amin Setiamin atau Sutimin, membacakan sajak-sajak tersebut dalam berbagai kesempatan, terutama dalam aksi demonstrasi dan ngamen.

Membacakan sajak-sajak ke tengah masyarakat, menurut Amin Setiamin, perlu terus dilakukan sebelum karya dibukukan. Selain sebagai pertanggungjawaban puitik, penyair juga bisa langsung menyampaikan maksud puisinya terhadap publik. Karuan saja, Amin lantang menyebut dirinya penyair reformis.

Kiritikus sastra Melani Budianta yang pernah mengomentari sajak-sajak Amin Setiamin menyebutkan, puisi memang memunyai tempat sebagai sarana untuk mengajukan gagasan, emosi, protes, dan kritik sosial, yang selama ini dikekang pemerintah Orde Baru.

“Semakin dekat jarak antara puisi-puisi semacam ini dengan audiens dan perspektifnya, semakin efektif fungsinya sebagai alat bicara,” tulis Melani. Sajak-sajak semacam ini, lanjut Melani, cenderung verbal, oratoris, dan lebih pas dideklamasikan daripada dibaca.

Tidak hanya di daerah perantauan, di tanah kelahirannya sendiri ia merasakan ada ketidakbenaran, sehingga ”Di Tanahku Sendiri Tidak Ada Lagi yang Dipilih” (Hal. 58) seperti penggalan berikut.


Di tanahku sendiri

tidak ada suara nyaring

semuanya sudah jadi

korban dan maling

Di tanahku sendiri

tidak ada lagi memberi arti

semuanya sudah terhimpit

malapetaka dan bencana


Begitulah. Menyimak sajak-sajak yang terdapat di Nafas Angin-nya Amin Setiamin ini, kita serasa dibawa ke alam pembebasan. Sebatas karya sastra, semestinyalah begitu. Sebab, sastra adalah universal. Tidak lekang oleh waktu. Untuk itu, kita patut acungi jempol kepada penyair asal Labuhanbatu ini. **


Sumber : Analisa, Minggu 2 Desember 2007 Rubrik Rebana 2 halaman 7