Translate

Jumat, 11 Desember 2009

Pembunuhan karakter tokoh "Ayat-ayat Cinta: Puncak Idealisme FLP?

Oleh Suyadi San

ALHAMDULILLAH film Ayat-ayat Cinta usai diputar di bioskop. Pengarang
ceritanya pun menjadi kaya raya dari royalti film dan novelnya.
Habibuurahman El-Shirazy berhasil, Hanung Bramantyo sukses, Fedil
Nuril makin melejit. Namun, benarkah karya tersebut merupakan puncak
idealisme Forum Lingkar Pena (FLP)?

Ayat-ayat Cinta adalah sebuah novel 411 halaman ditulis seorang
novelis muda Indonesia kelahiran 30 September 1976, bernama
Habiburrahman El-Shirazy. Ia adalah seorang sarjana lulusan Mesir,
sekarang sudah kembali ke tanah air. Sepintas lalu, novel ini seperti
novel-novel Islami kebanyakan yang mencoba menebarkan dakwah melalui
sebuah karya seni, namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata novel
ini merupakan gabungan dari novel islami, budaya dan juga novel cinta
yang banyak disukai anak muda.

Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media
penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak
tentang Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan menjadi
penerus bangsa. Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak
manusia yang berbeda latar belakang dan budaya; yang satu adalah
mahasiswa Indonesia yang sedang studi Universitas Al-Azhar Mesir,
satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman yang kebetulan juga sedang
studi di Mesir.

Kisah percintaan ini berawal ketika mereka secara tak sengaja bertemu
dalam sebuah perdebatan sengit di sebuah metro (sejenis trem). Pada
waktu itu, si pemuda yang bernama lengkap Fahri bin Abdullah Shiddiq,
sedang dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang
terletak di Shubra El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi
(belajar secara face to face) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah, seorang
Syaikh yang cukup tersohor di seantero Mesir.

Kepada syaikh tersebut, Fahri belajar tentang qiraah Sab'ah (membaca
Al-Qur'an dengan riwayat tujuh imam) dan ushul tafsir (ilmu tafsir
paling pokok). Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap dua kali
seminggu, Ahad/Minggu dan Rabu. Dia sama sekali tidak pernah
melewatkannya walau suhu udara panas menyengat dan badai debu
sekalipun. Karena baginya itu merupakan suatu kewajiban karena tidak
semua orang bisa belajar pada Syaikh Utsman yang sangat selektif
memilih murid dan dia termasuk salah seorang yang beruntung.

Di dalam metro, Fahri tidak mendapatkan tempat untuk duduk, mau tidak
mau dia harus berdiri sambil menunggu ada kursi yang kosong. Kemudian
ia berkenalan dengan seorang pemuda Mesir bernama Ashraf yang juga
seorang Muslim. Mereka bercerita tentang banyak hal, termasuk tentang
kebencian Ashraf kepada Amerika. Tak berapa lama kemudian, ada tiga
orang bule berkewarganegaraan Amerika (dua perempuan dan satu
laki-laki) naik ke dalam metro. Satu di antara dua perempuan itu
adalah seorang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah.

Biasanya orang Mesir akan memberikan tempat duduknya apabila ada
wanita yang tidak mendapatkan tempat duduk, namun kali ini tidak.
Mungkin karena kebencian mereka yang teramat sangat kepada Amerika.
Sampai pada suatu saat, ketika si nenek hendak duduk menggelosor di
lantai, ada seorang perempuan bercadar putih bersih yang sebelumnya
mempersilahkan Fahri untuk duduk di bangku kosong yang sebenarnya bisa
didudukinya, memberikan kursinya untuk nenek tersebut dan meminta maaf
atas perlakuan orang-orang Mesir lainnya.

Di sinilah awal perdebatan itu terjadi. Orang-orang Mesir yang
kebetulan mengerti bahasa Inggris merasa tersinggung dengan ucapan si
gadis bercadar. Mereka mengeluarkan berbagai umpatan dan makian kepada
sang gadis dan ia pun hanya bisa menangis. Kemudian Fahri berusaha
untuk meredakan perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca shalawat
Nabi karena biasanya dengan shalawat Nabi, orang Mesir akan luluh
kemarahannya dan ternyata berhasil. Di metro itulah, Fahri dan Aisha
berkenalan. Dan, ternyata si gadis itu bukanlah orang Mesir melainkan
asal Jerman yang juga sedang studi di Mesir. Ia bernama Aisha.

Di Mesir, Fahri tinggal bersama keempat orang temannya yang juga
berasal dari Indonesia, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah. Fahri
sudah tujuh tahun hidup di Mesir. Mereka tinggal di sebuah apartemen
sederhana yang mempunyai dua lantai. Lantai dasar menjadi tempat
tinggal Fahri dan empat temannya. Sedangkan lantai atas ditempati
sebuah keluarga Kristen Koptik yang sekaligus menjadi tetangga mereka.
Keluarga ini terdiri atas Tuan Boutros, Madame Nahed, dan dua orang
anak mereka-Maria dan Yousef. Walau keyakinan dan aqidah mereka
berbeda, namun antara keluarga Fahri (Fahri dkk) dan keluarga Boutros
terjalin hubungan yang sangat baik. Di Mesir, bukanlah suatu keanehan
apabila keluarga Kristen koptik dan keluarga Muslim dapat hidup
berdampingan dengan damai dalam masyarakat.

Keluarga ini sangat akrab dengan Fahri terutama Maria. Maria adalah
seorang gadis Mesir yang manis dan baik budi pekertinya. Kendati
demikian, Fahri menyebutnya sebagai gadis koptik yang aneh, karena
walaupun Maria itu seorang non-muslim ia mampu menghafal dua surah
yang ada dalam Al-Quran dengan baik yang belum tentu seorang Muslim
mampu melakukannya. Keluarga ini juga tidak segan-segan mengajak Fahri
dkk untuk makan di restoran berbintang di tepi sungai Nil, kebanggaan
kota Mesir, sebagai balasan atas kado yang mereka berikan. Begitulah.
Hubungan Fahri-Maria berjalan mulus.

Selain bertetangga dengan keluarga Boutros, Fahri juga mempunyai
tetangga lain berkulit hitam yang perangainya berbanding 180 derajat
dengan keluarga Boutros. Kepala keluarga ini bernama Bahadur yang
terkenal dengan julukan si Muka Dingin karena ia selalu berperangai
kasar kepada siapa saja bahkan dengan istrinya madame Syaima dan putri
bungsunya Noura. Bahadur mempunyai watak keras dan bicaranya sangat
kasar, Nouralah yang selalu menjadi sasaran kemarahannya. Sampai
tibalah pada suatu malam tragis. Bahadur menyeret Noura ke jalanan dan
punggungnya penuh dengan luka cambukan. Hal ini sudah sering terjadi,
namun malam itu yang terparah.

Tak ada satu orang pun yang berani menolong. Selain hari sudah larut,
Bahadur juga dikenal amat kejam. Akhirnya, karena sudah tak tahan lagi
melihat penderitaan Noura, Fahri pun meminta bantuan Maria melaui sms
untuk menolong Noura. Jadilah malam itu Noura menginap di rumah
keluarga Boutros. Malam ini jualah yang akhirnya menghantarkan Fahri
ke dalam penderitaan yang amat sangat dan juga membuatnya hampir
kehilangan kesempatan untuk hidup di dunia fana ini.

Konflik meruncing usai Fahri menikahi Aisha. Mental Maria terganggu
hingga saksi kunci itu nyaris tewas saat adegan tabrak lari yang
dilakukan keluarga Bahadur. Fahri bahkan harus masuk penjara dan
trerancam hukuman mati dengan tuduhan memerkosa Noura. Dramatisasi
sebagaimana cerita konvensional lainnya terjadi pada novel ini. Aisha
menyuruh Fahri menikahi Maria supaya Maria sembuh, lahir dan batin.
Benar saja. Usai dinikahi, fisik Maria secara perlahan sembuh total.
Itu lantaran psikisnya lebih dahulu terobati; yakni menjadi istri Fahri.

Keanehan terjadi di sini. Maria sudah sembuh total harus "dibunuh"
pengarang. Nalar logika kita pun berpendaran. Betapa kejamnya sang
pengarang! Padahal, berdasarkan kehadiran tokoh-tokoh,
Fahri-Aisha-Maria-Noura, cuma Maria yang berhasil melewati masa
krisis. Pascapernikahan kedua, justru Fahri-Aisha-Noura yang dalam
keadaan labil. Ketiganya mengalami puncak krisis. Fahri cemas tidak
bisa menyatukan keutuhan istri-istrinya, terutama Aisha. Aisha dalam
kondisi hamil tua memendam konflik batin menyaksikan kemesraan
hubungan Fahri-Maria. Noura harus terus menelan pil pahit
pascadiperkosa sang paman. Secara nalar logika, di antara ketiga orang
inilah yang seharusnya mengalami puncak krisis sehingga berakibat
kematian. Jika itu terjadi, novel Kang Abik ini bisa sejajar dengan
roman Di Bawah Lindungan Ka'bah atau Tenggelamnya Kapal van Der
Wijknya Buya Hamka.

Melihat kecerobohan sang pengarang ini, seharusnya kita tidak terlalu
melebih-lebihkan novel Ayat-ayat Cinta. Ia bahkan tidak patut
disejajarkan dengan karya-karya besar Buya Hamka. Terlebihan pula jika
kita menyejajarkan Habiburrahamn El-Shirazy dengan Buya Hamka!
Pembunuhan karakter tokoh Maria oleh pengarang justru mengebiri syiar
dakwah novel itu sendiri. Padahal, esensi dakwah inilah yang selalu
dikedepankan kebanyakan pengarang yang tergabung dalam FLP. Bukankah
Maria seorang mualaf yang bisa diandalkan untuk menyiarkan dakwah?
Masalah ini pun mengemuka pada sesi diskusi tentang kritik sastra Temu
Sastrawan Indonesia (TSI) di Jambi 7-11 Juli lalu. Sintesa kehadiran
tokoh sebagai penanda dan petanda melahirkan tesa bahwa novel tersebut
sesungguhnya tidak sebaik dan sebagus yang digembar-gemborkan selama ini.

Kritik yang mencuat makin menukik ketika penjaga gawang sastra harian
Republika, Ahmadun Yosi Herfanda, membeberkan proses pencetakan buku
novel tersebut. Ialah yang merekomendasi penerbitan dan pencetakan
buku tersebut, sebab diterbitkan Harian Republika dan Yayasan
Basmallah. Novel Ayat-ayat Cinta awalnya merupakan cerita bersambung
(cerbung) di Republika. Selanjutnya berdasarkan permintaan para
pembaca, cerita tersebut diminta dibukukan. Novel Tamu Wisran Hadi
awalnya juga merupakan cerbung di koran ini. Karena ditolak Penerbit
Mizan, novel Ayat-ayat Cinta diterbitkan Republika-Yayasan Basmallah.

Ahmadun gamblang mengakui, ia hanya bertugas memberi rekomendasi.
Selebihnya, hingga menjadi buku dan bolak-balik naik cetak hingga
filmnya usai ditayangkan di bioskop, ia tidak tahu lagi. Ia justru
menilai, Ayat-ayat Cinta adalah puncak idealisme FLP. Ya, pernyataan
Ahmadun ini sangat beralasan. Selain terlalu mendramatisasi alur dan
penokohan, novel ini ini juga kehilangan greget esensi dakwah yang
sebenarnya. Kita bahkan melihat, novel dan film Ayat-ayat Cinta ini
terkesan berdasar pesanan pihak eksternal.

Kematian tokoh Maria merupakan antitesis esensi dakwah yang biasanya
menjadi idealisme pengarang FLP. Sangat jauh dari esensi dakwah
sebagaimana roman-roman Buya Hamka. Kehadiran produk-produk bermerk
dagang asing dalam filmnya, juga memperkuat pesanan pihak eksternal
tersebut.Kehebatan pemikiran pengarang pada awal dan perjalanan kisah
Fahri-Aisha, harus dikalahkan oleh penyelesaian yang sangat buruk di
akhir kisah. Jadi, janganlah dulu kita berlatah-latah menyebut novel
ini masterpiece sastra abad 21. Habiburrahman El-Shirazy sangat jauh
di bawah Buya Hamka dan AA. Navis. Nah! ***

Penikmat sastra dan staf teknis Balai Bahasa Medan

dari harian Waspada.सीओ.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar