Translate

Rabu, 09 Desember 2009

Tinjauan Buku: Mengenal Struktur Sosial Batak Toba

Oleh : Suyadi San

Judul Buku : Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945
Penulis : Bungaran Antonius Simanjuntak
Penerbit/Kota : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan/Tahun : Pertama, Mei 2006
Tebal/Ukuran : xii + 220 halaman; 14,5 x 21 cm

PERKEMBANGAN sosial budaya yang bergerak sangat cepat dewasa ini menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan dan pergaulan sosial orang Batak Toba, terutama yang hidup di desa-desa Kabupaten Tapanuli.

Perkembangan itu disadari sepenuhnya adalah pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antarprovinsi dan antarsuku bangsa। Perubahan yang terjadi akan berpengaruh kepada struktur dan sistem sosial masyarakat Batak Toba secara keseluruhan।
Hal itu terungkap dalam buku ”Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945” yang ditulis Bungaran Antonius Simanjuntak। Sang penulis adalah Guru Besar Antropologi Sosiologi Universitas Negeri Medan. Saat ini masih menjabat Ketua Program Studi Antropologi Sosial Program Pascasarjana universitas tersebut.

Ia lahir di Sipahutar, Tapanuli Utara, pada 24 Juni 1941. Menamatkan Sekolah Dasar di Taman Siswa Kisaran, Tebingtinggi, dan Galang (1948-1954), SMP Kristen II Pematangsiantar (1957), dan SMA Negeri II Pematangsiantar.

Lalu, melanjut ke Strata 1 Sosiologi di Universitas Gajah Mada (UGM) pada 1967, Purnasarjana Sosiologi UGM (1976), Post Graduate Anthropology Universitas Leiden Belanda (1978), dan S-3 Sosiologi UGM (1995). Ia telah menghasilkan 65 judulpenelitian, 16 judul buku, dan puluhan makalah serta artikel.

Minat menulis struktur sosial dan sistem politik Batak Toba itu, menurutnya, diinspirasi oleh perkuliahan yang pernah diterimanya tahun 1977 dari Prof. Dr. H.J.M. Claesen tentang Antropologi Politik di Instituut voor Culturele Antropologie Rijks Universiteit, Leiden.

Hingga sampai ke tangan pembaca, buku mengenai struktur sosial dan sistem politik Batak Toba ini mengalami serangkaian penelitian yang sangat panjang. Semula, buku ini adalah sebuah tesis, dengan penelitian yang dilakukan pada 1975-1976 di Samosir, Toba, Humbang, dan Silindung, Kabupaten Tapanuli Utara.

Penelitian kepustakaan dan dokumen dilakukan di perpustakaan KITLV Leiden, Troopen Instituut di Amsterdam, dan ARA di Den Haag. Kemudian disempurnakan lagi pada penelitian tahun 1988.

Tidak puas sampai di situ, Bungaran terus menguji hasil penelitiannya itu. Setidaknya, data baru dari lapangan dan temuan dokumen baru dipergunakan untuk melengkapi isi tesis di Leiden sehingga menjadi lebih lengkap. Para penguji di ICA Leiden dan BIS sebelumnya memberi predikat ”de beste van Alles” untuk tesis aslinya.

Daerah kelahirannya, Sipahutar, dipilih sebagai contoh profil perkembangan pedesaan di Tapanuli Utara dari sudut pendekatan sejarah dan politik. Tak heran, penyajian buku ini menyangkut berbagai sejarah dan adat istiadat yang memengaruhi struktur sosial dan politik masyarakat di Sipahutar.

Untuk membeberkan hasil penelitiannya itu, Bungaran menggunakan metode deskriptif. Metode ini paling populer di dalam ilmu sejarah dan antropologi agar penggambaran penelitiannya lebih mendalam.

Mitos
Bungaran mengungkapkan, masyarakat Batak sebagai masyarakat yang terisolasi menciptakan mitos untuk identitas dan alah mengesahkan marga-marga yang ada.

Marga adalah landasan munculnya dalihan na tolu, yang menjadi dasar fundamental hubungan sosial dan adat Batak. Struktur kemasyarakatan Batak dapat dilihat dari struktur marga. Marga juga menjadi dasar mendirikan huta baru. Marga raja mempunyai hak atas tanah, pemimpin huta dan lain-lain.


Huta sebagai unit terkecil merupakan benteng untuk melindungi diri dari serangan luar. Huta sebagai anggota horja, maupun bius, memegang peranan penting di dalam kehidupan sehari-hari.


Menurut Bungaran, sebelum Belanda datang, orang Batak tidak suka pemerintahan sistem terpusat. Struktur pemerintahan sentral yang dibentuk Belanda, terbukti mengubah seluruh cara berpikir orang Batak. Mereka menjadi suka pada sentralisme, tetapi menghadapi risiko besar dalam kehidupan sosial dan adat.


Struktur perkawinan boru tulang (MoBrDo) mulai dilupakan. Perkawinan bebas memilih merupakan mode. Sehingga, Bungaran memperkirakan, struktur kekerabatan Batak seolah-olah tidak unilineaat, tetapi juga double unilineaat. Karena, pada taraf tertentu kita tidak boleh mengawini putri dari keturunan saudara perempuan ibu kita.


Hubungan teratur antara orang Batak Toba kota dengan pedesaan Tapanuli Utara, baik melalui kunjungan adat, kunjungan liburan sekolah maupun kunjungan musiman orang desa ke kota, juga sangat intensif menimbulkan perubahan sikap dan tingkah laku.


Frekuensi hubungan antardesa dan kota seperti ini menimbulkan perubahan pa.ndangan terhadap sistem budaya, terutama yang menyangkut adat, tata krama, gaya hidup, serta akebutuhan sosial ekonomi rakyat yang tinggal di desa..


Dalam buku ini, Bungaran juga mengupas bahwa orang Batak cenderung pada cara berpikir yang selalu simbolik. Bahkan, status sosial dilambangkan kepada pembagian yang diterima, baik berupa bagian-bagiana tubuh hewan yang disembelih maupun benda-benda bernilai adat lainnya, seperti uang.


Setiap kegiatan dan benda-benda yang berhubungan dengan adat mempunyai latar belakang kepercayaan. Di dalam struktur lineage, terdapat pengulangan kembali istilah yang dipakai pada setuap tiga generasi. Di dalam hal ini, istilah yang diketahui ialah tiga ke atas dan empat ke bawah (descendent).


Pada bagian akhir bukunya, Bungaran menyimpulkan, dengan memperhatikan struktur organisasi politik Batak prakoloni Belanda, Bataka sudah memiliki keteraturan pemerintahan maupun pengaturan ypacara keagamaan di dalam bentuk organisasi horja dan bius.


Kedua organisasi ini melakukan tugas pemerintahan, antara lain peradilan. Cara satu-satunya untukmenolak keputusan peradilan bius (yang tertinggi) ialah dengan perang. Berdasarkan penelitiannya, di dalam masyarakat yang sederhana pun terdapat peradilan kehakiman yang teratur dan berwibawa.


Onan – dalam hal tersebut – mempunyai kedudukan yang penting, terutama sebagai tempay pemusatan kegiatan yang berhubungan dengan aat berperang maupun kepercayaan dan perjanjian sosial.


Dalam hal ketenteraman dan keamanan, ada semacam ketentuan yang diakui umum bahwa onan merupakan tempat yang damai. Satu hari sebelum dan sesudah hari onan adalah hari damai dan tenteram. Setiap pelanggar hukum ini akan dihukum.


Bungaran menilai, kedatangan orang-orang Barat membawa perubahan besar terhadap cara berpikir tradisional simbolis kepada yang nasional-kritis. Peningkatan pendidikan menyebabkan semakin meningkatnya keinginan orang untuk mengejar status yang lebih tinggi. Karenanya, migrasi lokal maupun regional semakin meningkat di kalangan orang Batak demi mencapai tujuan tersebut.


Struktur Sosial
Dalam buku ini, Bungaran sebenarnya ingin memperlihatkan pada kita bahwa struktur sosial yang berlaku menentukan bentuk struktur dan sistem politik yang dianut. Dalam kasus Batak Toba, ia menemukan hubungan pengaruh positif antara struktur sosial terhadap struktur dan sistem politik.

Itu, dibuktikannya dengan tata cara adat perkawinan, pendirian (pembangunan) huta, peradilan, sustem kekerabatan, agama dan kepercayaan, serta mata pencaharian.


Dalam konteks Indonesia, hasil temuan penelitiannya itu juga bisa diterapkan. Setidaknya, struktur sosial yang berkembang dalam masyarakat modern di Indonesia akan memengaruhi bentuk dan struktur sistem politik masyarakat tersebut. Misalnya, Indonesia pada masa kekuasaan rezim totaliter Orde Baru maupun era reformasi saat ini.


Untuk itu, buku ini sangat tepat dan layak dibaca siapa saja yang ingin mengenal dan memperdalam kebudayaan Batak Toba. Sang penulis yang memang berasal dari Tano Batak ini sangat piawai menyusun kata dan kalimat untuk membeberkan hasil temuan penelitiannya. Apalagi, buku mengenai seluk-beluk kebudayaan Batak dari hasil penelitian masih terbilang sedikit. *** (Penulis, peneliti pada Balai Bahasa Medan dan sedang menyelesaikan tesis pada prodi Antropologi Sosial PPs Unimed)


sumber : Analisa, Minggu 4 Februari 2009 rubrik Rebana halaman 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar