Translate

Selasa, 02 Desember 2008

Daftar Sastrawan Sumatera Utara

A. A. Bungga (alm)
A. A. Loebis (alm)
A. N. Zaifah
A. Kadir Zailani Yahya
A. Rahim Qahhar
A. Zaini Nasution
Abdul Jalil Sidin (alm)
Adi Mujabir
Afrion
Agus Mulia
Ahmad Samin Siregar
Aishah Basar
Alamsyah Pohan (alm)
Aldian Aripin
Ali Soekardi
Aly Yusran
Amin Setiamin
Aminuddin Anhar
Anharuddin Hutasuhut
Antilan Purba
Antonius Silalahi
As. Atmadi
B.Y. Tand (alm)
Bokor Hutasuhut
Burhan Piliang (alm)
Damiri Mahmud
Danil Eneste (alm)
Darwis Rifai Harahap
Dt. A. Azmansjah
Djohan A. Nasution (alm)
Eddy Siswanto
Farizal Nasution
Gunawan Tampubolon (alm)
Harta Pinem
Hasan Al Banna
Herman KS
Hidayat Banjar
Ibrahim Sembiring
Idris Pasaribu
Idris Siregar
Laswiyati Pisca
Lazuardi Anwar (alm)
M. Raudah Jambak
M. Solly Lubis
M. Yunus Rangkuti
Maulana Syamsuri
Mihar Harahap
Muhammad TWH
N.A. Hadian (alm)
R. Effendi Ks
Ridwan Siregar
Romulus ZI Siahaan
Rusli A. Malem (alm)
S. Ratman Suras
Sabaruddin Ahmad (alm)
Sahril
Shafwan Hadi Umry
Sulaiman Sambas
Supri Harahap
Suroso KS
Suyadi San
Syaiful Hidayat
Teja Purnama
Thomson Hs
Usman Al Hudawy
Wan Syaifuddin Edwin
Washa S. Nasution
Yondik Tanto
YS. Rat
Yulhasni
Yusrianto
Z. Pangaduan Lubis
Zainuddin Tamir Koto

Rabu, 26 November 2008

Di Tanah Pilih Kupilin Aliansi Katakata



^
entah, sudah langkah keberapa bidak-bidak ini kitamainkan,
tak juga ada yang menurut. tapi rekam jejak kaki-kakimu
membuncah di telagaku. aku pun mengurai sunyi demi senyi,
menuruti gebalau aliran darah. kudekap rindumu. berkali-kali.
berkali-kali. ”sabar, tahanlah kerinduan merindang,” katamu.
dan jalan ini pun makin saja berkelok-kelok sunyi,
terantuk-rantuk pedal pedati, membenam-benamkan kemudi
di antara bongkahan-bongkahan kayu yang dihela ke kota.

^
kulihat kotamu terbalut mimpi, padahal rinduku berbakul-bakul
sempat tertanak kabar di tanah pilih dan berbingkai puisi,
mengarak merpati berbulu emas menjulang lazuardi
: ah! tidak ada merpati. tidak ada. tidak. cuma puisi. cuma.
”boleh mendung, tapi jangan sampai hujan.
dan, jangan pula pernah merasa sepi!” hardikku.
Ohoi! detak kotamu pun mendebarkan hati, riak batanghari
menyerak-nyerak puisi terpanggang matahari
”di dalam kata ada kotakota, swara, dan cinta,” katamu. aha!
malam pun merekam genangan kenangan, kata berdoa buat kita
di penjuru kota, tapi aku tak bisa bebas dari penjara makna.
Ia menjadi penguasa hingga aku terdampar di negeri
pucuk jambi sembilan lurah ini.

^
dimas! hujan menjebakku di batanghari, padahal baru saja
kusaksikan serpihan-serpihan candi, menggelontorkan
jejakjejak masa purba. tapi di buritan ketek omo tak ada
penghalang hujan. tak ada terpal, lelehannya menggerayangi
sekujur kulitku. tolong hentikan hujan!alahai, hujan ini
mengajakku bernyanyi bersama bibir batanghari di antara
dawaidawai senja sebagai pelengkap harihari bersamamu.
ya, dan memang aku pun terdampar di langit senjamu,
di bawah deraian pedati kecemasan. nyanyian gerimis itu
membawa ke bibir mihrab menyatu dengan kidung kalam Ilaihi.
gigil aku karenanya. Oh! Lantunan ayatayat itu mengajakku
masuk ke pintunya, membuka kehangatan altar permadani
dan mendekapku lewat puisipuisi nafas surgawi.

^
entahlah, rekam jejak kaki-kakimu telah membuncah di telagaku.
mengulum sunyi demi senyi, menuruti gebalau aliran darah.
kudekap rindumu, berkali-kali. berkali-kali.
dan senarai batanghari di tanah pilih telah memilin sejumlah ilusi,
apalagi kita telah membangun aliansi katakata di antara geriap waktu.


jambi, 2008

Omong-omong Puisi Bersama Budhi Setyawan




Sanggar GENERASI menggelar Omong-omong Puisi di Ruang Teater Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Medan, Selasa (25/11) sore. Diskusi yang berlangsung secara lesehan ini menghadirkan Budhi Setyawan, penyair yang juga pegawai negara di Departemen Keuangan (Depkeu) Republik Indonesia.
Pimpinan Sanggar GENERASI, Suyadi San, S.Pd., M.Si. yang memandu diskusi menyebutkan, kehadiran Budhi Setyawan di Medan merupakan tugas dinas instansinya. ”Mumpung Mas Budhi hadir di Medan, kita ’menculik’ beliau untuk berbagi pengalaman spiritual di bidang kepenyairan,” sebut Suyadi.
Omong-omong puisi tersebut didahului dan diakhiri pembacaan sajak dari anggota Sanggar GENERASI dan penyair Medan, di antaranya Nina Juliwinata, S. Ratman Suras, Saiful Amri, Dewi Chairani, dan M. Raudah Jambak. Juga, dihadiri sastrawan dari Binjai, Saripuddin Lubis dan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Utara serta sastrawan Medan lainnya.
Budhi Setyawan sendiri menceritakan perjalanan spiritual kepenyairannya sejak masa kecil sampai berjibaku dengan instansi yang menangani kebijakan fiskal di departemen yang dikomandani Sri Mulyani itu. Usai ngobrol sastra, Budhi diboyong menyaksikan sejumlah peninggalan sejarah di sekitar Lapangan Merdeka sembari menikmati udara malam kota Medan.
Budhi Setyawan lahir 9 Agustus 1969 di Purworejo. Alumni Universitas Gajah Mada ini telah melahirkan dua belas antologi puisi, di antaranya Kidung Budaya Budhi, Kepak Sayap Jiwa, Penyadaran, Kebangkitan, Aku Lahir Satu, Sukma Silam, Bacalah, Gema Sunyi, Kelopak Rasa, Mata Musim, Senggama Debu dan Mantra Belantara. Empat kumpulan pertama telah diterbitkan menjadi dua buku dengan judul : KEPAK SAYAP JIWA (2006) dan PENYADARAN (2006). Beberapa puisi karya Budhi juga pernah dimuat di sejumlah harian di Indonesia.