Translate

Rabu, 27 Juni 2012

Kelompok Informasi Masyarakat: Panduan KIM

Panduan KIM


 PENGEPENGERTIAN.
Kelompok Informasi Masyarakat yang selanjutnya disingkat dengan KIM, adalah lembaga layanan publik yang dibentuk dan dikelola dari, oleh dan untuk masyarakat secara khusus sebagai layanan informasi masyarakat terhadap isu-isu pembangunan sesuai dengan kebutuhannya.
III.           VISI DAN MISI.
Visi KIM adalah terwujudnya masyarakat informasi yang dinamis sebagai dasar bagi terbentuknya masyarakat madani ( civil society ) yang sehat, cerdas, terampil, kretaif, inovatif, produktif, mandiri dan berbudaya tinggi.
Misinya adalah mengembangkan, memberdayakan, memfasilitasi dan mendinamisasi pelayanan informasi melalui diseminasi informasi untuk anggota masyarakat.
IV.             AZAS PEMBENTUKAN.
KIM dibentuk berasaskan Pancasila, dengan prinsip transparan dan demokratis yang bercirikan kebersamaan, kebermaknaan, kemandirian, kegotong-royongan dan persamaan hak dan kewajiban.  Dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota.
V.                MAKSUD DAN TUJUAN.
KIM dibentuk dengan maksud untuk meningkatkan pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan, kearifan yang mendorong berkembangnya motivasi masyarakat dalam berparitipasi aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Tujuan KIM adalah :
1.     Sebagai mitra pemerintah dalam penyebarluasan, sosialisasi dan desiminasi informasi pembangunan kepada masyarakat ;
2.     Sebagai mediator komunikasi dan informasi pemerintahan dan pembangunan secara timbal balik dan berkesinambungan ;
3.     Sebagai forum media untuk pelayanan komunikasi dan informasi pemerintahan dan pembangunan.
VI.             FUNGSI, TUGAS DAN PERAN.
1.  Fungsi :
a.      sebagai wahana untuk penerimaan, pengelolaan  dan penyebaran informasi pemerintahan dan pembangunan kepada masyarakat ;
b.     sebagai wahana interaksi dan berkomunikasi antar masyarakat/anggota KIM, antara masyarakat/anggota KIM dengan pemerintah ;
c.      Sebagai peningkatan media literacy dilingkungan anggota ;
d.     Sebagai lembaga swadaya masyarakat yang memiliki dampak dan nilai ekonomis melalui pengelolaan informasi ;
e.      Sebagai ajang silaturahmi antar anggota masyarakat dan antara masyarakat dan pemerintah untuk memperkokoh kebersamaan,  persatuan dan kesatuan.
2.  Tugas :
a.      Mewujudkan masyarakat yang dinamis, peduli dan peka terhadap arus informasi ;
b.     Memberdayakan masyarakat agar memiliki kecerdasan dalam mencerna, memilih dan  memilah informasi yang menjadi kebutuhannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya ;
c.      Menjadikan KIM sebagai katalisator dan dinamisator dalam memelihara dan meningkatkan semangat kegotongroyongan dan  kebersamaan dalam masyarakat.
3.  Peran :
a.      Memanage Informasi, yaitu mencari, mengumpulkan, mengelola dan mendesiminasikan informasi kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhannya ;
b.     Mediasi Informasi, yaitu menjembatani arus informasi antar anggota masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah ;
c.      Mengedukasi Insan Informasi, yaitu meningkatkan sumber daya masyarakat di bidang informasi, agar memiliki kecerdasan dalam menerima terpaan arus informasi ;
VII.         KEDUDUKAN.
KIM berkedudukan di tingkat desa dan kelurahan  secara mandiri dan non partisan sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam pembangunan di bidang komunikasi dan informasi.
Pada tingkat Dusun, RW atau komunitas kecil lainnya dapat dibentuk  kelompok-kelompok desiminanasi yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan KIM Desa atau Kelurahan.
VIII.      STRUKTUR ORGANISASI.
Struktur atau susunan organisasi KIM terdiri dari :
a.      Penasehat ( Kepala Desa/Lurah );
b.     Pengarah ( Ketua LMD dan Ketua LKMD ) ;
c.      Pembina  ( Seksi Penerangan/pendidikan LKMD )
d.     Ketua ;
e.      Wakil Ketua ;
f.       Sekretaris   ;
g.     Bendahara ;
h.     Seksi Organisasi dan Peningkatan SDM ;
i.        Seksi Pengelolaan dan Akses Informasi ;
j.       Seksi Pelayanan dan Desiminasi Informasi ;
k.      Seksi Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif;
Untuk menetapkan personil dalam susunan kepengurusan KIM tersebut, dilakukan secara demokratis dari dan oleh anggota KIM.
IX.             SUMBER DANA.
Untuk melaksanakan kegiatannya KIM dapat menggali dana dari berbagai sumber, dan sesuai dengan ciri KIM dari, oleh dan untuk anggota maka sumber dana dapat diperoleh dari :
a.      dari anggota ;
b.     dari bantuan pemerintah ;
c.      dari kegiatan usaha produktif ;
d.     dan sumbangan lain yang tidak mengikat.
X.                BUKU – BUKU ADMINISTRASI
Buku administrasi organisasi KIM, macamnya tergantung dari perkembangan dan kebutuhan,  semakin besar dan komplek kegiatan KIM semakin banyak jenis buku-buku adminsitrasi yang harus disediakan. 
Buku Administrasi dibagi dalam dua bagian, Buku Administrasi Organisasi dan Buku Admnitrasi Usaha.
Sebagai awal beridirnya, paling tidak disediakan buku-buku administrasi yang terdiri dari :
a.      Buku Induk Keanggotaan
b.     Buku Pengurus
c.      Buku Tamu
d.     Buku Rapat Anggota
e.      Buku Rapat Pengurus
f.       Buku Kegiatan
g.     Buku Kas
h.     Buku Agenda Surat
i.        Buku Ekspedisi Surat
j.       Dll.
XI.             LAIN - LAIN.
1.     Segenap komponen bangsa baik yang ada di pusat maupun yang ada didaerah, baik dari kalangan pemerintah (GO) maupun kalangan non pemerintah (NGO) yang sama-sama bertanggung jawab terhadap pemberdayaan dan mencerdaskan kehidupan masyarakat, serta memiliki komitmen untuk terus berupaya meningkatkan kegotong-royongan, persatuan dan kesatuan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, merupakan sumber informasi bagi KIM.
2.     Kelompok-kelompok sektoral yang ada  di masyarakat yang dibentuk karena persamaan profesi, dll.  pada tataran untuk  memanage informasi, mediasi informasi, dan mengedukasi insan informasi, sebaiknya juga sebagai anggota KIM.
3.     Karena kedudukan KIM hanya ada pada tingkat desa/kelurahan, maka untuk tingkat kecamatan dan atau kabupaten dapat dibentuk “ Forum Komunikasi KIM “ sebagai wahana untuk tukar pendapat,sharing  pengalaman antar KIM, serta sekaligus sebagai jejaring pasar ( Market Networking) produksi anggota KIM.

Kamis, 24 Mei 2012

NILAI PEREMPUAN DALAM SASTRA


kita akan rindu, tapi kapan-kapan
ada yang yang tak pernah selesai, memang
dari sebuah perjalanan
begitu juga semua yang kukerjakan
di dalam
(Dina Oktaviani, 2006 : 73)

Karena keindahannya, perempuan sering ditampilkan dalam karya sastra. Sudah seperti menjadi komoditas iklan dalam karya sastra. Karena keindahannya pula, untuk karya sastra yang bobot kehadirannya sama, antara laki-laki dan perempuan, biasanya perempuanlah yang dipilih.
Selain karena keindahan, perempuan sering menjadi inspirasi, dalam melahirkan produk apapun. Alhasil, atribut atau sikap yang mencirikan keperempuanan, sebagai potensi kodrati perempuan, kini justru kian menjadi aset dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan.
Berbagai kalangan berpendapat, ketika kegiatan industri mulai merambahi kehidupan masyarakat, rumah tangga mulai dipandang tidak berkaitan sama sekali dengan kegiatan ekonomi. Sebab, dalam masyarakat industri, laki-laki dipandang sebagai satu-satunya aktor dalam proses produksi.
Ketika industrialisasi masih berada dalam tahap-tahap awal perkembangannya, masih terbatas pada pertambangan dan pabrik, hanya tenaga laki-laki yang dibutuhkan sebagai tenaga kerja. Sifat pekerjaan industri pada saat itu membutuhkan tenaga fisik yang kuat, dan secara kultural hal itu hanya dimiliki oleh laki-laki.
Kaum perempuan karena dipandang lebih lemah fisiknya daripada laki-laki, ditempatkan untuk melakukan pekerjaan di sekitar rumah tangga. Kegiatan yang dilakukan dalam rumah tangga ini cenderung dianggap sebagai kegiatan non-ekonomi, karena yang utama tugas perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga.
Tugas-tugas rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan reproduksi atau konsumsi, dipandang sebagai kegiatan yang non-ekonomi.
Kaum feminisme tentu saja berusaha meluruskan persepsi dan pandangan tersebut. Mereka berusaha menunjukkan bahwa kaum perempuan justru memberikan konstribusi yang signifikan dalam kegiatan ekonomi meskipun menyandang status ibu rumah tangga.
Berbagai studi tentang konstribusi perempuan dalam kehidupan rumah tangga telah pula dilakukan di berbagai tempat. Hasil studi itu memperlihatkan bagaimana ibu-ibu rumah tangga tersebut memberikan konstribusi yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangganya.
Setidaknya, ada lima citra yang dengan itu nilai perempuan dapat dilihat dalam karya sastra, yaitu sebagai citra pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan.
Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri biologis tertentu, seperti buah dada, pinggul, dan seterusnya, maupun ciri kewanitaan yang dibentuk budaya seperti rambut panjang, betis ramping mulus, dan sebagainya.
Citra tersebut pada generasi sastra 2000-an berhasil dikupas oleh Ayu Utami dkk. Rata-rata penulisnya memang kaum perempuan. Mereka beranggapan, sudah sejak lama citra perempuan dalam karya sastra didominasi kaum lelaki. Padahal, cuma akaum perempuanlah yang tahu dan memahami kondisi biologis perempuan.
Maka, aroma sastra wangi dalam perjalanan kesusastraan kita sangat terasa pada penghujung abad 21, seperti terlihat pada Saman, Larung, Jangan Bilang Saya Monyet, Jangan Bermain-main dengan Kelamiku, dan sebagainya. Penampilan citra pigura ini sangat berbeda pada era NH. Dini, La Rose, Mira W (era 1970-an s.d. 1980-an).
Sedangkan pada citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan perempuan itu sederajat, tapi kodratnya berbeda. Karena itulah, wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya berbeda pula.
Gerakan kaum feminisme untuk membuktikan bahwa kegiatan ekonomi sangat berkaitan dengan peran perempuan, termasuk yang memosisikan dirinya sebagai ibu rumah tangga, hingga saat ini cukup kuat.
Hal ini tentunya merupakan bagian yang penting bagi upaya gerakan feminisme untuk menuntut keadilan dan kesamaan hak dalam kehidupan masyarakat. Juga, tidak memungkinkan untuk memperkirakan sumbangan pekerjaan perempuan terhadap nafkah keluarga dan meramalkan jumlah anggota keluarganya.          
Sebagaimana dimahfumi, ada berbagai latar belakang perempuan memasuki pasar kerja. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, terutama bagi perempuan yang belum bersuami tetapi juga menopang keberlangsungan ekonomi keluarga.
Kedua, perempuan tidak lagi bersuami tetapi harus memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarganya. Ketiga, masih bersuami namun ikut membantu suami dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan rumah tangganya.
Karena itu, pendapatan perempuan akan berpengaruh menyamaratakan terhadap ketimpangan kelas dengan menyamakan perbedaan yang terdapat dalam pendapatan total rumah tangga.
Argumen ini bisa saja dapat ditukar dengan cara lain, misalnya penghasilan perempuan adalah terpenting artinya dalam rumah tangga yang para penerima gajinya terdiri dari pekerja kurang terampil dan bekerja pada pekerjaan yang berupah cukup.
 Citra perempuan yang bekerja ini sering terlihat dalam karya sastra. Misalnya, tentang perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, pembantu rumah tangga, perempuan karier, pramugari, sekretaris cantik, buruh industri, dan sebagainya.
Citra peraduan menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki, khususnya pemuasan seksual. Sehingga, seluruh kecantikan perempuan, baik kecantikan alamiah maupun buatan (melalui kosmetik), disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan konsumtif.
Citra peraduan ini sering dibidik pengarang yang menonjolkan erotisme perempuan. Karya-karya sastra wangi yang pernah booming pada awal tahun 2000-an secara vulgar mengeksploitasi keperempuanan dan keperawanan sebagai modal dasar untuk menjatuhkan kaum lelaki. Drama Lysistrata Aristophanes juga menceritakan apa yang terjadi ketika kaum perempuan melakukan mogok seks terhadap kaum lelaki.
Untuk citra pinggan, digambarkan bahwa betapapun tingginya perempuan dalam memperoleh gelar pendidikan dan sebesar apapun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Berkat teknologi pula, kegiatan di dapur ini tidak lagi berat dan membosankan. Ada kompos gas, mesin cuci, bahan masakan instan, dan sebagainya.
Citra pinggan ini misalnya tentang perempuan saleha yang pintar menyenangkan suami dan anak-anak, tentang ibu yang bijaksana terhadap anak-anak,  dan sebagainya, seperti terlihat pada novel Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El-Shirazy), Di Bawah Lindungan Ka’bah (Hamka), Salah Asuhan (Abdul Muis) atau sajak Surat dari Ibu (Asrul Sani).
Terakhir dalam citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang selalu khawatir tidak tampil memikat dan menawan. Untuk dapat diterima, perempuan perlu melakukan perawatan tubuh secara khusus. Bentuk atau lekuk tubuh, aksentuasi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan kosmetik dan aksesoris yang selaras sehingga seorang perempuan bisa anggun dan menawan, mengundang pesona, dan unggah-ungguh fisik perlu dijaga sedemikian rupa agar menarik dan tidak membawa implikasi rendah diri di arena pergaulan luas.
Citra pergaulan itu kerap dipotret pengarang sebagai obyek bermulanya konflik. Konflik terjadi ketika perempuan secara psikologis menjadi pencemburu karena merasa tidak tampil memikat dan menawan terhadap suaminya, atau suami yang selingkuh terhadap perempuan yang dapat menjaga citra pergaulannya, dan sebagainya.
Nah, ilustrasi tersebut menunjukkan, nilai atau mitos perempuan telah dimanfaatkan bersamaan menngkatnya profesionalisme di kalangan sastrawan. Perempuan dianggap lebih efektif merebut khalayak sasaran. Tidak peduli hal itu bisa dikategorikan sebagai proses dehumanisasi perempuan – meminjam istilah Kasiyan (2008) – yang pada akhirnya akan benar-benar merendahkan martabat perempuan.
Memang demikiankah yang terjadi pada diri perempuan?
Nilai perempuan dalam karya sastra barangkali akan selalu sejalan dengan nilai dalam masyarakat. Semakin masyarakat hipokrit dan patriarkis, semakin kuat pula perempuan menjadi simbol represi, dan pada gilirannya perempuan akan semakin diburu oleh industri budaya. ***


 sumber : Rubrik Rebana, Harian Analisa, Minggu 13 Juli 2008, Halaman 7

Senin, 07 Mei 2012

MORAL, KEMANUSIAAN, MASYARAKAT


Moral
Ada dua tujuan besar karya sastra ditulis orang : hiburan dan pendidikan. Yang dimaksudkan dengan unsur moral atau pengajaran itu ialah tujuan besar karya dihasilkan, yaitu untuk pendidikan. Sememangnyalah semua karya ada mengandung unsur pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan di sini ialah menyampaikan sesuatu pesan atau amanat untuk meningkatkan cara berpikir, menambah pengetahuan, menjadikan seseorang itu lebih peka dan sensitif serta berbudi bahasa. Karya sastra, pada umumnya, menginginkan pembacanya mengambil hikmah atau pelajaran dari karya yang dibacanya, supaya ia dapat meningkatkan moralnya.
Kajian dari sudut moral memang patut diajarkan dan diperkuatkan. Ada berbagai cara pertanyaan itu dibuat, seperti apakah nilai pengajaran yang boleh didapat dari karya tersebut, sebutkan pesan yang hendak disampaikan, dan sebagainya.
Unsur-unsur moral dan pengajaran dalam sastra dapat dilihat dari berbagai cara. Pertama, mengkaji cerita yang dikemukakan pengarang; apa unsur-unsur moral yang hendak disampaikan. Ini dapat kita bicarakan setelah selesai atau tamat membaca sebuah karya sastra, karena unsur moral biasanya tidak dinyatakan oleh  pengarang dengan jelas. Jadi, terpaksa kita sendiri mencari di balik penceritaannya.
Kedua, unsur moral dapat dilihat dari sudut apakah pesan yang hendak disampaikan oleh sang pengarang. Ada kalanya pesan itu adalah moral karya, tetapi harus dipahami tidak semua pesan karya menjadi unsur moral. Begitu juga aspek persoalan dan pemikirannya juga dapat dijadikan unsur moral, karena apa yang hendak diutarakan pengarang ada saatnya mengandung unsur moral. Sama seperti pesan, tidak semua persoalan dan pemikiran dalam karya sastra dapat dikatakan membawa unsur moral.
Ketiga, unsur moral dapat juga dilihat dari tindakan dan sikap para tokoh dan wataknya. Ini terlebih lagi dapat dikaji dari gerakan watak-watak pemeran utamanya. Sikap watak tidak saja memperlihatkan unsur-unsur moral, namun sekaligus juga dapat mengemukakan contoh moral yang baik.
Unsur moral dalam karya sastra ada hubungannya dengan aspek falsafah dan agama, dan ini merupakan suatu kajian di tingkat selanjutnya. Termasuklah unsur-unsur premis  dan ide yang menjadi tulang punggung penciptaan karya yang sering kali bertalian dengan unsur moral. Konsep dan nilai moral itu juga sering berubah. Perubahan ini diakibatkan oleh perkembangan budaya dan pemikiran manusia. Dan moral suatu bangsa tidak pula sama antara satu sama lain.

Kemanusiaan
Aspek manusia atau unsur kemanusiaan juga merupakan suatu bidang penelitian dalam karya sastra, yang harus diteliti dan ditelaah secara komprehensif. Unsur manusia dan kemanusiaan begitu kental dalam sastra, karena sastra mempunyai hubungan langsung dengan manusia. Apalagi, yang menjadi karakteristik utama dan karakter tokoh lainnya, terdiri dari manusia. Begitupun ada juga karya sastra yang menggunakan tokoh  hewan seperti karya-karya sastra lama atau sastra lisan di Indonesia, terutama dongeng.
Sastra dihasilkan manusia, menggambarkan manusia dan situasi kemanusiaan. Yang menjadi pembacanya secara akrab dan langsung adalah juga manusia. Karenanya, unsur-unsur kemanusiaan sangat kaya dalam sastra. Seorang sastrawan dalam proses penciptaannya ingin menggambarkan kehidupan manusia, pemikiran, perasaan, sikap, dan cita-cita manusia. Apapun yang diceritakan oleh para sastrawan mau tidak mau tetap menyangkut soal kemanusiaan. Bahkan, karya sastra yang baik seperti yang ditulis Shakespeare, misalnya dalam Hamlet, menggambarkan manusia dan kemanusiaan dengan cukup bulat dan kuat.
Membicarakan unsur kemanusiaan dan aspek manusia dalam karya sastra, setidaknya ada tiga bagian yang dapat dilakukan. Pertama, melihat atau menganalisis sifat-sifat kemanusiaan yang terwujud dalam karya. Di antaranya, perasaan, kasih sayang, hormat-menghormati, sombong, pemurah, pendendam, dan sebagainya. Yang terpenting ialah bagaimana unsur kemanusiaan itu mempunyai peranan dalam pengembangaan cerita. Dan bagaimana pula cara  sastrawan mengemukakannya.
Kedua, membahas bagian-bagian dalam karya yang berhubungan dengan situasi untuk menonjolkan manusia. Sering juga disebut sebagai pembahasan karya yang menyentuh masalah memanusiakan manusia. Termasuk di dalamnya mengenai kesadaran manusia terhadap kelemahan dan kekuatannya, perasaan gagal ataupun keyakinan diri dan tindakan-tindakan yang masuk akal atau perasaan, dan sebagainya. Di sini tentunya melibatkan kegiatan atau aksi watak, baik berbentuk fisik, mental maupun kejiwaan para tokoh utama.
Ketiga, melihat makna keseluruhan dalam karya kemudian dikaitkan dengan unsur kemanusiaan. Apakah makna yang terkandung dalam cerita memiliki unsur kemanusiaan atau tidak. Kalau ada, apakah ia halus atau ringan. Soalnya, terkadang ada karya sastra yang mengakhiri ceritanya dengan mengemukakan unsur kemanusiaan, seperti adanya unsur pengorbanan, perjuangan, kerelaan, dan  sebagainya.
Dalam hal meninjau unsur kemanusiaan ini, sebenarnya ada pertalian dengan gambaran masyarakat dan aspek moral. Begitu juga ada kaitannya dengan gambaran kejiwaan atau psikologi. Antara satu sama lainnya mempunyai hubungan yang erat. Hanya saja, cara penekanan masing-masing aspek itu yang dapat menentukan unsur mana yang ditegaskan pengarang dalam karyanya.
Biasanya, seorang pengarang berbakat memiliki daya sensitivitas yang tajam dan peka dengan alam sekitarnya, ia akan memasukkan unsur-unsur kemanusiaan dalam karyanya. Unsur kemanusiaan inilah yang akan menjadikan karyanya bermutu atau tidak. Pembaca tentunya juga akan terasa terlibat jika unsur kemanusiaan  ini dijalin dengan sebaiknya.

Kemasyarakatan
Setiap karya tidak lahir dalam keadaan hampa atau kekosongan sosial. Karya sastra adalah ekspresi masyarakat. Dan sebuah karya itu dapat menggambarkan situasi atau pergolakan masyarakat. Pendek kata, karya sastra dapat dijadikan bahan untuk mengetahui seluk-beluk dan gambaran masyarakat. Singkatnya, dalam karya sastra terdapat berbagai nilai sosial; malah ada yang menyatakan sebuah karya sastra tidak akan menjadi besar atau agung jika ia tidak berhasil mengungkap masalah masyarakat dan hal ihwal manusia yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.
Pendekatan yang mengkaji hubungan masyarakat dalam karya disebut sosiologi atau ukuran-ukuran kemasyarakatan. Dengan menggunakan pendekatan ini, kita lebih memahami karya itu. Bahkan, ahli sosiologi dapat mengkaji bukan saja mengenai keadaan masyarakat yang diceritakan pengarang, tetapi juga membina berbagai teori kemasyarakatan. Karenanya, karya  sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Pendekatan kemasyarakatan mempunyai beberapa aspek yang hendak dikaji. Pertama, mengkaji diri pengarangnya sendiri. Dengan mengkaji latar belakang pengarang, pendidikannya, sosialisasinya, dan sebagainya, kita dapat lebih memahami karyanya. Ini sebenarnya ada kaitannya dengan apa yang sering disebutkan bahwa  setiap yang ditulis pengarang selalu memiliki kaitan dengan dirinya, pengalaman ataupun imajinasinya. Diri pengarang ada hubungan dengan karyanya. Malah terkadang apa yang ditulis merupakan cerita fakta mengenai diri sang pengarang, namun tentunya mendapat beberapa tambahan guna mendramatisasikan keadaan.
Kedua, pendekatan ini melihat atau menguraikan gambaran masyarakat yang ditulis di dalam karya sastra. Setiap karya sastra apapun mau tak mau atau sedikit banyak akan menyentuh seluk-beluk masyarakat; maka pendekatan ini menguraikan bentuk, sifat, dan ciri-ciri kemasyarakatan yang terdapat dalam karya.
Dengan adanya uraian ini, kita dapat memahami situasi masyarakat yang diceritakan. Para pembaca juga dapat mendapatkan pengajaran dan teladan dari peristiwa yang diceritakan, seperti nilai-nilai pertentangan kelas dan kedudukan sosial masyarakat tersebut. Ini tidak hanya memahami masyarakat yang ada di dalam karya, tetapi sekaligus memahami bentuk masyarakat si pengarang.
Ketiga, membahas fungsi dan pengaruh hasil karya. Sebuah karya, pengarang, aliran dan kesusastraan keseluruhan, mempunyai tugas dan pengaruh yang besar terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. Karya sastra dapat memberi sumbangan ke arah membukakan mata masyarakat yang buta, memberikan bimbingan, dan sebagainya.
Pengaruh ini termasuk juga melihat kesan yang diberikan sesuatu bentuk, aliran, atau angkatan penulis. Pengaruh institusi juga memberikan kesan timbal-balik kepada perkembangan kesusastraan. Artinya, di antara masyarakat dan karya tidak saja mempunyai hubungan dan pengaruh, tetapi juga menyatu dan lekat antara satu dengan lainnya.

NILAI DAN FUNGSI SASTRA


Sastra = Pertunjukan kata-kata
Sastra ialah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain,  memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah sastra atau karya sastra : prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra, kita akan memeroleh ”sesuatu” yang dapat memerkaya wawasan dan/atat meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.
Robert Frost menyebutkan, sastra ialah pertunjukan dalam kata. Ini berkaitan dengan seni. Jadi, dapat pula dikatakan bahwa sastra itu pada hakikatnya adalah pertunjukan dalam kata-kata.  Dengan pertunjukan ini, sastra memiliki kekuatan untuk menghibur. Dengan adanya kata-kata yang menjadi komponen pentingnya, sastra juga memiliki potensi untuk mengajar. Pengajaran tidak mungkin berlangsung tanpa kata-kata meskipun pendidikan lebih efektif disampaikan melalui tindakan.
Hakikat sastra sebagai seni pertunjukan dalam kata dapat diterapkan kepada segala jenis sastra. Sastralah lagu rakyat yang dinyanyikan dan memberikan rasa senang kepada kita. Sastralah pada daun lontar yang ”mempertunjukkan” dan ”mengabadikan” buah pikiran dan renungan Mpu Kanwa tentang keagungan Raja Airlangga. Demikian pula sastralah yang mempertunjukkan seorang gadis Minang yang malang bernama Sitti Nurbaya. Sastralah yang menampilkan sosok seorang manusia yang terobsesi semangat mau hidup seribu tahun lagi dalam ”Aku” karangan Chairil Anwar.
Sebagai seni pertunjukan, sastra paling praktis jika dibandingkan dengan seni pertunjukan lainnya. Teks sastra yang ditulis ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, dapat ”dipertunjukkan” kapan dan di mana pun. Seni-seni lain tidak sepraktis sastra. Untuk menikmati seni tari, misalnya, diperlukan ruang khusus, waktu khusus, dan orang-orang khusus pula. Untuk menghibur diri dengan seni musik, kita memerlukan persiapan berikut manusia yang memainkan peralatan musik tersebut dalam waktu dan tempat tertentu.
Lalu, kenapa sastra harus menghibur? Menghibur bukan berarti membuat pembaca terpingkal-pingkal karena tak dapat menahan tawanya. Namun lebih kepada kepuasan batin ketika mengikuti alur cerita. Herman J. Waluyo (2006) memberikan istilah katarsis, yaitu pencerahan jiwa atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat atau terhadap keterbatasan individu yang sering kali melabrak posisi Tuhan. Memang, ada pengarang yang merepresentasikan karyanya sebagai hiburan dalam artian membuat pembaca hanyut dalam tawanya. Seperti cerita “Kambing Jantan” (2006) misalnya (maaf saya lupa nama pengarangnya) yang penuh dengan kekonyolan-kekonyolan. Namun entah kenapa karya-karya seperti ini sering dianaktirikan sebagai bukan karya sastra tetapi karya teenlit atau sastra prematur.
Jelaslah, sastra itu seni yang paling praktis bagi kita. Namun, seni yang paling praktis itu sering terabaikan. Apresiasi sastra kita terhadap sastra demikian rendahnya. Mengapa? Inilah yang perlu dicari jalan keluarnya.


Nilai Sastra
Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik.
Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai itu dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau di dalam larik, kuplet, rima, dan irama.
            Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain adalah sebagai berikut:
(1)   nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;
(2)   nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melaksanakan suatu pekerjaan;
(3)   nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan;
(4)   nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral, relligion value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama;
(5)   nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Fungsi Sastra
Abdul Wachid B.S. secara eksplisit mengemukakan dalam buku kumpulan esai sastranya berjudul “Sastra Pencerahan” (2005) bahwa sastra berfungsi sebagai media perlawanan terhadap slogan omong-kosong tentang sosial kemasyarakatan. Sapardi (1979) mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan yaitu:
a)      Sudut pandangan ekstrim kaum Romantik misalnya menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; dalam anggapan ini tercakup juga pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
b)      Dari sudut lain dikatakan bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini, gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best seller.
c)      Semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Lantas apa fungsi sastra sebenarnya? Tidak terlalu susah namun dikatakan mudah pun juga tidak dalam menentukan fungsi sastra. Namun, pendapat Sapardi di atas adalah pendapat umum tentang fungsi sastra. Kenapa sastra berfungsi sebagai pembaharu? Seperti yang sudah disebutkan jauh di atas, sastra adalah ruang dinamis yang terus bergerak. Akan ada sesuatu yang baru dalam dunia kesastraan. Pendapat yang baru merupakan penyusunan kembali pendapat lama. Kadang-kadang menjadi inspirasi tiada tara. Keadaan yang dinamis ini tentunya tidak akan menciptakan kondisi yang adem ayem saja, tetapi karena sastra itu bergerak dan berpikir, maka polemik, kritik sana-kritik sini adalah hal yang lumrah.
Dari uraian di atas, fungsi sastra dapat dibagi pada beberapa hal.

1.        Sastra sebagai pembentuk Wawasan Baru
Dalam membaca sastra, baik puisi maupun prosa, kita sebenarnya membentuk wawasan baru yang selama ini tidak muncul di dalam jiwa kita. Bagaimana sikap ibu yang baik, umpamanya, dapat kita lihat dalam sastra. Pada suatu saat sosok seorang ibu yang bijaksana kita baca di dalam sebuah novel karena kebijaksanaannya itu menyentuh batin kita. Pada saat lain, kebijaksanaan yang menyentuh itu tidak dapat kita terima lantaran kita telah membaca sebuah novel dengan sosok ibu yang lain yang sebenarnya lebih menyentuh daripada sosok ibu yang pertama. Keberadaan sastra seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sarana pembentuk wawasan baru bagi kita.
Bandingkan konsep ibu dalam sajak Surat dari Ibu (Asrul Sani) dengan cerita Malin Kundang (anonim), dan roman Salah Asuhan (Abdoel Moeis).

2.        Sastra sebagai pembentuk Kepribadian Bangsa
Apa yang dapat ditarik dari sebuah karya sastra dalam hal pembentuk kepribadian bangsa? Banyak sekali yang dapat ditarik dan diambil. Tidak hanya pada sastra Indonesia Modern, pada sastra Indonesia lama pun kita mendapatkan nilai kepribadian kita itu.
Nilai kesetiaan seorang istri kepada suami nyata dapat kita lihat pada banyak sastra kita. Nama Puti Subang Bagalang dalam sastra Minangkabau adalah nama tokoh mitos atau tokoh legenda yang dihubungkan dengan kesetiaan. Tunangan Puti Subang Bagalang yang bernama Magek Manandin dituduh mencuri sapi sehingga harus dibuang ke lurah dalam. Magek Manandin itu tidak pernah diharapkan untuk kembali oleh siapa pun. Akan tetapi, Puti Subang Bagalang tetap menanti kedatangannya itu walaupun dia sudah tahu bahwa Magek Manandin tidak akan pernah datang.
 Ni Nogati dalam Setahun di Bedahulu (Armijn Pane) tidak mau menjadi orang yang tidak berguna. Kalau dia sekali dapat mengalihkan cintanya, tentu dia dapat mengalihkan cintanya untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Hal sama dapat terlihat pada kesetiaan Widuri terhadap suaminya walaupun dia tidak mencintai suaminya dalam Kugapai Cintamu (Ashadi Siregar). Bagaimana dengan kamu?

3.        Sastra sebagai sarana Fatwa dan Nasihat
Sastra banyak memberikan fatwa kepada pembaca baik secara langsung maupun tidak langsung. Fatwa yang ada itu dapat dipetik oleh pembaca sebagai pengetahuan yang baru. Akan tetapi, fatwa tersebut dapat pula dipandang sebagai penggugah, peremaja, peningkat, atau penyistem pengetahuan pembacanya. Fatwa dapat diserap pembaca setelah selesai membaca novel yang isinya dapat disimpulkan oleh pembaca sendiri. Fatwa dapat pula disimak dari peristiwa yang disampaikan tokoh-tokohnya.

4.        Sastra sebagai Kritik Sosial Masyarakat
Kritik sosial dalam sastra dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sastra itu memang mengungkapkan kebobrokan masyarakat dan ketidakpuasan masyarakat terhadap apa-apa yang sudah dimilikinya.  Jika manusia mendapat satu macam, mereka inginnya dua macam. Jika sudah mendapat dua macam, mereka ingin tiga macam. Begitulah terus-menerus ketidakpuasan itu terjadi pada diri manusia.

5.        Sastra sebagai Catatan Warisan Kultural
Sekolah dan universitas memberikan pelajaran dan pengetahuan orang tentang Indonesia. Karya sastra mempunyai fungsi untuk itu secara tidak langsung. Kalau kita membaca karya sastra yang terbit pada tahun-tahun terdahulu, kita akan mengetahui tentang corak budaya pada masa novel itu ditulis. Novel Sitti Nurbaya yang terbit pada 1922 menyuarakan suatu kebudayaan, yang kebudayaan ”kawin paksa”. Pada tahun 1922 kebudayaan kawin paksa masih berlangsung. Pada tahun 1922 kebudayaan ”seorang penghulu atau pemuka masyarakat mempunyai istri lebih dari satu orang” hadir di tengah masyarakat. Bagaimana pula dengan novel Salah Asuhan-nya Abdoel Moeis (1928), Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1945), Hulubalang Raja Nur Sutan Iskandar (Balai Pustaka), Saman Ayu Utami, Laskar Pelangi Andrea Hirata  atau Ayat-ayat Cinta Habiburrahman El Sirazy (2000)?

6.        Sastra sebagai Pengalaman Perwakilan
Sastra, walaupun suatu karya fiktif, dapat memberikan informasi kepada kita tentang tempat-tempat yang kita belum tahu. Karya sastra juga akan memberi informasi tentang apa yang ada di suatu tempat yang tempat itu tidak sempat dikunjungi oleh pembaca. Pengalaman sastrawan tentang suatu tempat atau keadaan itu ditularkan kepada pembaca dengan karyanya, baik berupa sajak maupun novel. Melalui informasi yang ada di dalam sebuah sajak atau novel, kita mengetahui tempat-tempat penting atau keadaan-keadaan penting, situasi penting, dan sebagainya. Melalui pembacaan sajak yang termuat dalam buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, kita mengetahui bahwa daerah Karet adalah tempat pemakaman umum di Jakarta. Upacara karya Korri Layun Rampan merupakan sebuah novel yang bercerita tentang adat istiadat bermasyarakat atau cara bermasyarakat di Kalimantan, yaitu suku Dayak.

7.        Sastra sebagai Manivestasi Kompleks Tertekan
Tidak sedikit karya sastra lahir dari suatu luapan perasaan yang paling dalam. Karya sastra menjadi suatu sublimasi dari ketertekanan sehingga bahasa, imaji, serta teknik penceritaannya menjadi meluap-luap. Oleh sebab itu, karya sastra jenis ini perlu dipahami karena di dalamnya terdapat ide atau gagasan yang ide dan gagasan itu tidak dapat muncul di alam sadar. Sajak ”Kembalikan Indonesiaku Padaku” karya Taufik Ismail merupakan salah satu sajak yang bersifat melampiaskan apa yang tidak dapat dikatakan melalui dunia biasa, alam sadar, atau alam normal. Hal sama dialami Iwan Simatupang. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Indonesia sudah kehilangan pribadi. Kecemasan dan kegelisahannya diungkapkannya dalam novel Kooong (1975). Dalam novel ini, Iwan mengkhawatirkan Indonesia yang penuh dengan kehidupan glamour ala Barat, padahal Indonesia mempunyai kehidupan tenang, dengan kokok ayam yang menyamankan hati, nyanyian burung yang merdu pada setiap tempat.

8.        Sastra sebagai Manivestasi Keindahan
Sastra sebenarnya tulisan yang indah. Oleh sebab itu, sastra dapat memunculkan kenangan bagi pembacanya. Kesenangan itu disebabkan oleh kehadiran pengalaman baru bagi pembaca. Pembaca dapat mengembangkan imajinasinya untuk mengenal daerah atau tempat yang asing, yang belum dikunjunginya, atau yang tak mungkin dapat diungkapkan lewat sastra. Bentuk-bentuk baru yang dimunculkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dengan sajaknya yang aneh, membuat kita merasa senang karena kita menemukan yang baru, membaca hal baru, dapat memberikan nuansa indah baik tentang makna maupun bentuknya. Cara penceritaan Supernova (2001) karya Dewi Lestari juga memiliki kebaruan, yakni seperti silang antara gelang cerita dan inti cerita. Pada gelang cerita hadir Ruben dan Dhimas. Pada inti cerita hadir Ferre, Rara, dan Diva. Akan tetapi, pada suatu saat Diva dapat muncul pada gelang cerita. ***