Translate

Minggu, 14 Agustus 2011

INTI SARI TESISKU

Nama Peneliti : Suyadi San, S.Pd., M.Si.

PEKERJAAN :

Staf Teknis Balai Bahasa Medan Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia

Tenaga Pengajar SMK Negeri 1 Percut Sei Tuan, Deliserdang

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (PBSI FKIP) Universitas Islam Sumatera Utara

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (PBSI FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

JUDUL PENELITIAN

”Peran Orang Jawa dan Cina dalam Keruangan Kota Medan : Sebuah Studi Antropologi dalam Pengembangan dan Penataan Kota Medan”

untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Antropologi Sosial pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan Tahun 2007

TAHUN PENELITIAN : 2005-2007

Resume:

Studi tentang etnisitas di dalam masyarakat perkotaan, sering memusatkan perhatian pada ketegangan dan kesamaan antara dua prinsip organisasi. Di satu pihak terdapat kelompok-kelompok yang bersifat kebudayaan, sejarah, dan geografis yang anggota-anggotanya menganggap diri mereka (dan dipandang oleh orang lain) sebagai satu jenis, tak soal apapun peranan yang mereka mainkan dalam masyarakat perkotaan. Di lain pihak, ada pula perbedaan fungsional di dalam sistem itu sendiri, dengan distribusi tugas dan sumber-sumber serta dengan sistem penempatan tertentu, yang akan menentukan interes kepada kecenderungan tertentu.

Kota Medan terdiri dari masyarakat majemuk. Ciri utama dari masyarakat majemuk, menurut Furnivall (1980)[1], adalah orang hidup berdampingan secara pisik, tetapi, karena perbedaan sosial mereka terpisah dan tidak tergabung dalam satu unit politik. Furnivall menekankan sebab utama kemajemukan itu, yaitu ekonomi dan kepentingan sekitar usaha monopoli sumber-sumber ekonomi tersebut bagi kelompok tertentu. Sejalan dengan Furnivall, maka dalam penelitian ini, orang Jawa dan Cina yang tinggal di Kota Medan sesungguhnya hidup berdampingan secara fisik, apalagi sama-sama menjadi warga pendatang. Namun, toh, mereka harus terpisah dan tidak tergabung dalam satu unit politik.

Menurut Hanners (op.cit), dalam masyarakat perkotaan kita dapat membedakan dua jenis kelompok yang terlibat dalam perjuangan memperebutkan sumber. Pertama, ialah kelompok etnis yang tidak secara tegas dibatasi oleh suatu posisi dalam struktur masyarakat perkotaan tetapi oleh tempat pemukiman. Sedangkan alokasi sumber dalam tempat pemukiman itu tidak menjadi persoalan. Kelompok ini didominasi etnis Jawa. Orang Jawa tidak pernah mempersoalkan adanya perbedaan pelayanan bidang usaha oleh pejabat setempat. Meskipun mereka berada di kawasan pinggiran dan menjadi ’penonton’ di tengah kemegahan wajah kota, hingga kini orang Jawa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Sikap budaya Jawa seperti mikul ngisor mendem njero menjadi senjata ampuh bagi pemerintah untuk meneruskan program-program pembangunan.

Kelompok lainnya adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang pada suatu daerah pemukiman yang membatasi diri menurut daerahnya dan juga menginginkan jumlah sumber sebesar mungkin di kalangan mereka. Kelompok ini sangat identik dengan kultur Cina, khususnya di Medan. Banyak orang Cina membatasi dirinya pada kawasan tertentu. Bahkan, mereka seolah-olah membuat perkampungan tertutup yang akrab disebut Pecinan. Beberapa lokasi di Medan, seperti Kompleks Asia Mega Mas dan Rumah Susun Sukaramai maupun di kawasan Jalan Metal Tanjungmulia, mereka membuat segregasi tersendiri. Ini, belum lagi dengan banyaknya yang tinggal di kawasan rumah toko.

Mengutip pendapat Furnivall dan Hanners itu, maka dalam konteks penelitian ini, pertarungan kepentingan antara kelompok etnis Jawa dan Cina sesungguhnya sangat kentara dalam kaitan penataan keruangan kota[2] di Medan. Hubungan laten antara etnik asli Indonesia dengan etnik Cina seperti ‘api dalam sekam”. Kalau dalam pada 1970-an terjadi huru-hara anti Cina di beberapa kota besar di Jawa, maka pada April 1994 dan Mei 1998 berlangsung aksi anti Cina di Medan. Persaingan dan pertikaian demikian, ternyata tidak hanya berlangsung pada tataran batin atau dunia simbolik, tetapi juga mengemuka pada tataran prilaku. Sebab, ada cukup laporan bahwa pada kerusuhan sekitar reformasi 1998-pun ditengarai memuat kecenderungan untuk memusuhi etnik Cina.

Namun, para narasumber yang penulis wawancarai membantah konflik yang pernah terjadi di Medan adalah lantaran masalah perebutan ruang publik di kota Medan, melainkan kesenjangan sosial. Para narasumber berkeyakinan, konflik antara orang Jawa dan Cina sebagai akibat keruangan kota yang ada di kota Medan, dalam sejarah, sampai hari ini tidak terjadi. Konflik antaretnik di kota Medan tidak terjadi karena jumlah penduduk Cina dianggap tidak signifikan. Orang Jawa yang besar jumlah penduduknya lebih signifikan dari yang lain tidak menjadi sumber konflik karena memang Jawa tidak punya potensi untuk bikin konflik. Bahkan, orang Jawa di Medan mudah bersosialisasi dengan etnis apa saja.

Hal tersebut ini sejalan dengan dasar moral masyarakat Jawa. Mulder (1981) menyatakan, orang Jawa sadar sekali bahwa mereka merupakan satu masyarakat dan bahwa mereka harus saling menolong. Sering mereka diminta sokongan, untuk kampung, untuk pembangunan, untuk kematian dan seterusnya, dan mereka harus memberi. Sikap tolong-menolong itulah yang membuat orang Jawa disenangi banyak orang, termasuk oleh orang Cina.

Orang Jawa dan Cina sebenarnya memiliki nilai sosial suka tolong-menolong dan punya solidaritas yang tinggi pada sistem kekerabatan. Hanya bedanya, pada kultur Tionghoa penekanan kepentingan keluarga lebih utama daripada individu dan masyarakat[3]. Sedangkan pada kultur Jawa hubungan antarindividu, keluarga, dan masyarakat cukup seimbang. Hal ini tampak pada budaya Jawa yang cenderung conform dengan sesamanya (masyarakat), serta dikembangkan sikap solidaritas di antara para anggota suatu kelompok masyarakatnya.

Mengenai hakikat hidup, orang Jawa dan Cina juga sama-sama menganggap bahwa hidup itu penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan yang harus diterima oleh setiap manusia. Namun kedua-duanya optimis, bahwa kondisi ini dapat diperbaiki dengan cara aberusaha atau berikhtiar, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri. Hal inilah yang kemungkinan tidak menyebabkan adanya konflik keruangan kota di Medan.

Seorang narasumber dari etnik Tionghoa dalam penelitian ini mengatakan, konflik antara etnik Jawa dan Cina akibat keruangan kota Medan tidak pernah terjadi. Kota Medan masih sangat kondusif dari isu-isu konflik. Kita akui, memang kaum pribumi tidak mampu menandingi mereka (orang Cina). Paling-paling ada kecemburuan sosial antara pengusaha-pengusaha menengah ke atas itu dengan tradisional. Kita perkirakan, plaza-plaza memang dapat mematikan pasar-pasar tradisional.

Hal sama dikemukakan narasumber penelitian ini yang merupakan seorang warga Jawa yang bekerja di sekolah pembauran, tepatnya di SMA Swasta Sutomo 1 Medan. Orang Jawa perantauan ini (saat penelitian ini berlangsung) sudah 12 tahun mengajar di sekolah yang mayoritas siswanya orang Cina. Kepada penulis ia menuturkan, selama bekerja di sekolah tersebut, dirinya sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada di lingkungan sekolah ini. Meskipun saat ini ia sudah menjadi pegawai negara di Balai Bahasa Medan Depdiknas (kini Kemdiknas), namun pihak sekolah tidak pernah melarang atau memberhentikannya. Itu, lantaran hubungan emosional dirinya dengan pihak sekolah sudah terjalin. Tidak lain karena berlandaskan kepercayaan (trust).

Masalahnya, mengapa di Medan pernah terjadi konflik anti-Cina? Konflik antara pribumi – termasuk orang Jawa – dengan orang Cina ternyata merupakan warisan budaya politik adu-domba kolonial Belanda. Sebelum kedatangan kaum kolonialis dari Eropa, hubungan orang Tionghoa dengan orang Pribumi di wilayah Indonesia tidak menunjukkan persoalan ras. Ini diperkuat dengan peran kerja sama antara orang Cina dan Jawa dalam pengembangan syiar keagamaan.

Banyak bukti bahwa miniatur dan motif sejumlah masjid di kalangan kaum Muslim Jawa berarsitektur Cina. Bahkan di Medan, tokoh Cina Tjong A Fie berkontribusi besar dalam pendirian Masjid Raya Al Mansum dan Masjid Raya di Medan Labuhan serta Tjong Jong Hian terhadap Masjid Bengkok di Jalan Hindu.

Kemudian datang zaman kolonial. Untuk keperluan berkuasa, penguasa Belanda berpolitik adu-domba. Selama beberapa abad tertanam sikap anti-Cina. Sedari gerakan kemerdekaan, seharusnya sikap anti-Cina sudah dapat berangsur-angsur dihilangkan. Ini gagal disebabkan pimpinan politik pihak Pribumi maupun minoritas Cina ternyata dalam hal ini kurang tepat garisnya, ditambah adanya campur tangan Amerika Serikat dan Inggris melalui dinas rahasianya masing-masing, CIA dan MI6. Campur tangan berupa bantuan dan dorongan untuk mengobarkan perasaan anti-Cina semula dilakukan untuk membendung pengaruh komunis RRT.

Hasutan terhadap orang Cina, juga dilakukan di Negara-negara Asean lain, namun hasilnya tak sebesar di Indonesia. Di negara-negara Asean selain Indonesia, kedudukan orang Cina di dalam pemerintahan tidak menjadi masalah. Di Myanmar (Burma) tokoh di belakang layar Jenderal Ne Win keturunan Tionghoa. Demikian pula di Thailand pernah memiliki perdana menteri Chuan Leekpai, di Pilipina bekas presiden Corazon Aquino dan 3 atau 4 menteri di Malaysia yang berketurunan Tionghoa.

Secara substantif, kajian terhadap masalah etnisitas memang memberikan perhatian lebih besar terhadap bentuk interaksi konflik dan dalam konteks perkotaan. Begitu besar perhatian diberikan pada potensi konflik antaretnik di perkotaan, seakan-akan hanya interaksi bersifat konflik sosial yang terjadi dan hanya berlangsung di perkotaan. Padahal, pengamatan awal penelitian ini, juga menemukan gejala interaksi kerjasama antara etnik Cina dengan Jawa di kota Medan. Bentuk kerja sama itu antara lain berupa pemilikan tanah atas nama orang pribumi, penyewaan tanah yang dikelola oleh warga setempat, serta dalam dunia usaha itu sendiri.

Berdasarkan pertimbangan atas pemaparan di atas, kajian berperspektif mikrointerpretatif terhadap persoalan etnisitas, dimana kehadiran etnis Cina dan kerjasamanya dengan masyarakat perkotaan yang mayoritas etnis Jawa, khususnya dalam masalah keruangan kota, berikut didapat temuan dari hasil penelitian tentang pola kerjasama keduanya, di Kota Medan.

Orang Cina yang datang ke Tanah Deli adalah kelompok terakhir dalam gelombang migrasi dari Tiongkok. Mereka memindahkan seluruh kebudayaan mereka di tempat baru. Mereka inilah yang menjadi generasi Cina totok, dimana salah satu sifatnya memandang rendah bangsa-bangsa pribumi yang disebut sebagai Ho-ana. Sementara orang Cina yang sudah tinggal lebih dari dua generasi – disebut Cina peranakan, termasuk narasumber yang berhasil penulis wawancarai – justru lebih sulit bersosialisasi dengan sesama Cina. Apalagi, ketika ayahnya memeluk agama Islam dan meninggalkan sebagian besar budaya Cina, ia lebih sering bersosialisasi dengan orang pribumi, terutama orang Jawa.

Berdasarkan keterangan narasumber pula, persaingan antara Cina dan pribumi, bermula dari adanya diskriminasi dalam struktur sosial, ekonomi dan budaya kolonial yang pernah berlaku di Hindia Belanda. Pembedaan itu pada akhirnya menjadi dasar menguatnya kecurigaan dan prasangka yang merugikan kedua belah pihak. Tidak hanya di masa lalu, di masa kini pun kerugian-kerugian akibat kecurigaan dan prasangka itu akan terus membayangi.

Hal ini makin diperparah dengan perilaku aparat atau oknum pejabat yang lebih memberikan kemudahan kepada orang Cina untuk menanam investasi di kota Medan. Warisan budaya kolonial yang dipraktikan sejumlah pejabat mengakibatkan orang Cina selalu dimenangkan dalam perebutan lahan publik. Tak ayal, kecemburuan sosial pun kerap terjadi. Konflik pada awal era reformasi membuktikan, amuk massa dan penjarahan tidak hanya terjadi pada orang Cina, melainkan juga pada mobil-mobil mewah plat merah atau milik negara.

Kejadian yang melibatkan Cina dan pribumi dalam satu gelanggang, terlihat jelas pada masa revolusi. Ketika orang-orang Cina yang tidak tahu harus bersikap bagaimana, harus langsung berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang bangkit karena momen untuk itu memang tepat. Di kancah revolusi di Sumatera Timur, orang Cina Medan merasa menjadi korban, meski sesungguhnya mereka menyandang dua gelar sekaligus: korban dan pelaku.

Namun, kita punya keberuntungan karena etnis yang terbesar di Medan adalah Jawa, sehingga dia (Jawa) mampu menjadi perekat antara multietnis yang ada di kota Medan ini. Kalaupun ada konflik, misalnya seperti peristiwa Mei 1998, bukan karena persoalan etnis. Itu, karena persoalan kesenjangan ekonomi yang pada gilirannya melahirkan kecemburuan sosial.

Kalau kemudian etnis Tionghoa pada waktu itu yang digambarkan menjadi ’korban’, namun bukan orang Tionghoanya, melainkan bidang usahanya. Karena, bukan rahasia lagi kayaknya semua bidang usaha yang strategis dikuasai etnis Tionghoa. Nah, karena isunya tadi ’kecemburuan sosial’ yang diakibatkan oleh kesenjangana ekonomi, maka kalau bidang usaha yang dipegang etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa, itu menjadi suatu konsekuensi logis meski bukan merupakan suatu pembenaran terhadap kasus yang pernah menimpa warga Cina Medan pada era 1998.

Meski pernah ada konflik bernuansa anti-Cina pada masa-masa lampau, menurut para narasumber dalam penelitian ini, bukan kebencian terhadap etnis Tionghoanya. Buktinya, banyak orang Jawa berbelanja ke etnis Tionghoa. Begitu juga sebaliknya. Orang Cina membeli rujak bikinan orang Jawa ketika orang Cina belum bisa bikin rujak. Begitu orang Cina sudah bisa bikin rujak, orang malah banyak membeli rujak orang Cina. Orang Indonesia buka kedai sampah, etnis lain – termasuk Cina-- berbelanja. Ketika etnis Cina buka kedai sampah juga, etnis lain juga berbelanja di kedai orang Cina. Artinya, secara etnis tidak ada persoalan. Tapi, karena kecemburuan sosial tadi akibat kesenjangan ekonomi, maka sasarannya pasti yang memegang sentra-sentra ekonomi. Itu sesuatu yang logis. Cara mengatasi itu, bagaimana memeratakan kesempatan di bidang ekonomi.

Orang Cina Medan yang merasa kuat dengan dukungan orang Cina lainnya menganggap bahwa adalah keharusan untuk mempersiapkan pertahanan lebih dahulu sebelum menggunakan pertahanan itu. Pemahaman itu membuat orang Cina Medan tergolong agresif dibanding dengan Cina lainnya. Dengan ciri-ciri khusus yang disosialisasikan secara khusus pula. Gambaran tentang Cina Medan mewakili bagaimana kekuatan orang Cina itu sesungguhnya di tengah menempatkan diri dalam persaingan dengan komunitas lainnya.

Dari hasil pembahasan penelitian di atas, dapat ditarik simpulan sementara bahwa orang Jawa dan Cina sangat berperan dalam keruangan kota di Medan. Peran mereka merupakan bawaan dan tradisi sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mereka bawa dari tanah leluhurnya. Partisipasi mereka sangat besar sehingga Medan saat ini terus berkembang meski masih perlu penataan yang lebih baik lagi.

Mengenai masalah keruangan kota Medan sudah sering dibahas di kalangan warga kota. Tidak sedikit yang mengkhawatirkan adanya ketidakseimbangan dalam penataan ruang Carut-marut wajah kota Medan menurut pengamatan penulis, sudah berlangsung sejak era 1990-an ketika pemerintahan setempat mengizinkan pembangunan sebuah plaza di depan Masjid Raya. Kawasan yang masuk Wilayah Pembangunan Kota (WPK) G itu seharusnya diperuntukkan bagi perumahan, pendidikan, dan kebudayaan, karena tidak jauh dari Bandar Udara (Bandara) Polonia dan peninggalan sejarah Istana Maimun beserta Masjid Raya-nya.

Ketidakseimbangan wajah kota Medan makin kentara sejak tahun 2000-an ketika pemerintahan setempat melegalkan terjadinya penumpukan plaza pada satu kawasan, perampasan hak publik di kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka yang diubah menjadi pusat jajanan, pembangunan rumah toko dan rumah mewah pada jalur hijau, penyempitan Sungai Deli meski sungai itu adalah ikon-nya Kota Medan, perampasan trotoar oleh papan reklame-papan reklame, pusat permainan anak-anak Taman Ria dan Medan Fair yang diubah menjadi plaza, kawasan perkantoran berubah menjadi pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Hampir kesemuanya tidak lagi sesuai dengan rencana induk sebagaimana ditetapkan pemerintahan sebelumnya dan belum pernah diganti secara formal.

Semasa Kota Medan dipimpin Walikota Drs. H. Sjoerkani pada 1966 luas kota Medan sangat terbatas, yakni hanya 5.000 hektare sesuai dengan luas kota masa penjajahan Belanda. Tahun 1971-1972 kota Medan diperluas hingga mencapai 26 ribu hektare.

Tugas pemerintah kota saat itu adalah membina masyarakat yang bermacam-macam kepentingan dan menyediakan fasilitas umum seperti air, listrik dan lainnya. Selain itu, melaksanakan pembangunan sesuai dengan master plan yang telah dibuat agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya di lapangan. Hal itu sangat penting dilaksanakan agar pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pembangunan kota Medan saat ini harus dilaksanakan secara merata agar tidak terjadi penumpukan di satu kawasan (inti kota). Seperti, membangun kawasan-kawasan penyangga, membangun jalan lingkar dalam dan jalan lingkar luar agar kemacatan lalu lintas dapat diminimalkan. Sebab, pertambahan jumlah kendaraan di kota Medan setiap tahun sangat pesat, yakni mencapai 10-20 persen, sedangkan jalan baru yang dibangun boleh dikatakan tidak ada. Peruntukan lahan juga harus jelas. Misalnya, untuk perkantoran pemerintah, bisnis, dan pemukiman. Contohnya Penang, Malaysia, di sana kawasan pantai diperuntukkan khusus bagi sektor pariwisata (perhotelan).

Pada 1973, Sjoerkani membuat master plan dengan konsultan dari ITB. Master plan tersebut berlaku untuk kurun waktu 20 hingga 26 tahun, sesudah itu harus direvisi kembali oleh konsultan city planning. Nyatanya, hingga tahun 2000-an master plan itu belum diubah secara formal meski perubahan fisik wajah kota terus terjadi. Barulah pada tahun 2006 niat merevisi master plan mulai terlihat melalui seminar Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan yang dilaksanakan Bappeda Medan.

Pembangunan kota Medan saat ini kita akui sangat pesat dan keindahan serta kebersihan juga luar biasa. Namun, Pemkot Medan seharusnya membangun tempat-tempat hiburan untuk rakyat, seperti kebun binatang lebih luas dan modern dengan suasana hutan. Fasilitas umum yang dipindah/dibongkar harus terlebih dahulu disediakan penggantinya. Sedangkan air mancur dan taman kota yang dibangun Pemerintah Kota Medan merupakan suatu keindahan sebuah kota. Namun ia mengkritik, pembangunan pusat perbelanjaan (plaza) di Kota Medan terlalu terpusat di inti kota. Radiusnya pun terlalu berdekatan, sehingga menimbulkan kemacatan di mana-mana. Hal ini terjadi karena antara satu plaza dengan plaza lain jaraknya tak sampai 1 kilometer.



[1] Furnivall, J.S. Plural Societies, dalam Evers, Hans Dieter (ed), Reading in Social Change and Development.Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1980 (Pelly, 1987 : 22-23)

[2] Keruangan kota, menurut Koestoer (2001: 2), merupakan hasil karya dan upaya manusia yang memberi ‘warna’ dan karakteristik keruangan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya terhadap kota yang bersangkutan.

[3] P. Hariyono (1994: 43) mengemukakan, perbedaan ini tampak pada ajaran Konfusius yang banyak berbicara tentang keluarga, serta pernyataan bahwa tiga di antara lima hubungan manusia, merupakan hubungan keluarga. Bahkan negeri Cina sendiri sering dijuluki sebagai negeri keluarga.

Sabtu, 13 Agustus 2011

MEDAN DALAM IMAJINASI SASTRAWAN

Oleh Suyadi San, S.Pd., M.Si.

S

ejak Provinsi Sumatera Utara berdiri, Medan ditetapkan sebagai pusat pemerintahan ibu kota provinsi. Sebagai ibu kota provinsi terbesar setelah Jakarta dan Surabaya, Medan menjadi kota terpenting bagi Indonesia di pintu gerbang bagian Barat. Medan di samping sebagai bagian dari imej kota yang padat (high population density), namun publik sering kali memberikan cap kepada Medan sebagai “kota preman”. Istilah orang awam terhadap kota Medan: “Ini Medan, Bung”, tidak saja mengandung pencitraan (stereotip) yang positif (berani, khas atau unik), tetapi juga berkesan negatif seperti “sangar dan keras”[1].

Kota-kota di Indonesia, termasuk Medan, dibentuk berdasarkan kerjasama, toleransi, dan kesepakatan[2]. Konflik justru muncul manakala pemukiman kumuh atau sektor informal kota tumbuh secara gradual kemudian digusur dan digantikan pemukiman yang terencana. Di balik keburukan proses pertumbuhan gradual berdasarkan kerja sama, toleransi, dan kesepakatan dari kota-kota semacam Medan, proses pertumbuhan itu – dengan budaya feodalisme yang sejak lama berkembang – akan sangat mungkin dimanipulasi oleh kalangan elite atau pemerintahan. Sehingga, wajah keruangan kota serta strukturnya merupakan hasil dari proses kerja sama, toleransi, dan kesepakatan yang diturunkan dari atas (top-down), dan dengan demikian mengeliminasi partisipasi serta kepentingan rakyat.

Pelly (ibid) dalam penelitiannya mengenai masyarakat Minangkabau dan Mandailing di Kota Medan membuat suatu peta pemukiman etnik Medan pada tahun 1909 sebagai pusat kota. Tidak hanya pemukiman asli dan pendatang dari dalam negeri (Jawa, Minang, Aceh, Bugis, Banjar), tetapi juga pemukiman orang-orang pendatang dari luar negeri (Eropa, Cina, India, dan Arab). Mengutip berbagai literatur, Pelly memaparkan segregasi lahan pemukiman etnik di Medan. Di antaranya, dalam wilayah orang Eropa terletak berbagai kantor pemerintah, kantor perkebunan, dan perumahan bangsa Eropa. Pemukiman India berbatasan dengan pemukiman orang Eropa. Sementara dekat pasar lama, terdapat toko-toko Cina dan Arab serta perumahan mereka. Sedangkan kaum pribumi Indonesia, misalnya Melayu, Mandailing, dan Minangkabau, berada di sekitar pinggiran kota.

Pemisahan lokasi-lokasi etnik itu, menurut Pelly, diperkuat oleh peraturan-peraturan dan oleh pembagian-pembagian kehidupan politis dan ekonomik. Sehingga, orang yang tinggal di dalam kota dianggap “rakyat gobernemen” dan orang yang tinggal di luar kota adalah “rakyat Sultan” (dianggap berada di bawah kekuasaan keadilan Sultan dengan segala hukum kerajaan yang tertulis.[3] Hanya saja, semua kuli kontrak (Cina, Jawa, Sunda, dan Banjar) di perkebunan-perkebunan dan mereka yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan Belanda dan Eropa, walau tinggal di wilayah Sultan secara administratif bukanlah rakyat Sultan (Bool, 1904 : 35 dan Sinar, 1976 : 9 via Pelly, ibid).

Menjelang 1930, Medan berkembang menjadi suatu kota modern baru. Sebuah elite yang berakar pada perkebunan-perkebunan telah menggantikan elite-elite kebangsawanan pedesaan prakolonial yang “feodalistik” (Langenberg, 1982 : 4, ibid). Dari sini, kota Medan terlapis dalam tiga kelompok sosial yang berbeda: 1) para tuan kebun, pengusaha, dan pegawai pemerintah berbangsa Belanda dan bangsa Eropa lain; 2) bangsawan-bangsawan Melayu, pengusaha Cina, dan orang-orang profesional Indonesia berpendidikan Barat (terutama pegawai negeri senior); dan 3) orang-orang Melayu, Cina, dan Indonesia kebanyakan serta para perantau dari berbagai kelompok etnik, termasuk Jawa, Mandailing, dan Minang (ibid).

Penjajah Belanda mempertahankan pemisahan sosial ini secara resmi dengan mengeluarkan peraturan diskriminatif; memisahkan wilayah-wilayah pemukiman tertentu dan memberikan perlakuan khusus, misalnya penjagaan keamanan khusus dan akses yang diskriminatif terhadap fasilitas-fasilitas rekreasi orang-orang Eropa dan Cina kaya. Pemukiman Cina, Arab, dan India di pusat kota diberi pengamanan oleh polisi Belanda. Selain itu, komunitas Cina dikepalai seorang “mayor” Cina dan komunitas-komunitas Arab serta India dikepalai seorang “kapten” India dan Arab. “Mayor” dan “kapten” ini dianggap sebagai wakil-wakil politis masing-masing komunitas (op.cit).

Dari ilustrasi di atas, segregasi penguasaan lahan menjadi sangat penting untuk menentukan kehidupan kota. Pemisahan lokasi peninggalan Belanda yang sepertinya masih “terpelihara” hingga pemerintahan sekarang, berakibat adanya penumpukan suatu komunitas di inti kota dan peminggiran wilayah komunitas lain. Hal ini dapat terlihat dari lokasi pemukiman kaum migran yang berasal dari etnis Jawa dan Cina pada beberapa kecamatan di Medan. Meskipun kedua etnis ini pada umumnya merupakan warga pendatang, namun memiliki tipikal yang berbeda. Orang Jawa meski mendominasi persebaran penduduk hampir di semua kecamatan, tetap menempati kelas rendahan (menengah ke bawah) dibandingkan masyarakat turunan Tionghoa yang menempati kelas menengah ke atas.

Menurut pengamatan penulis, sebagian besar masyarakat Jawa tinggal di kawasan padat dan kumuh di pinggiran kota serta banyak memilih usaha sebagai buruh, pertukangan, pedagang kecil, pembantu rumah tangga, dan pegawai rendahan. Ini berbanding terbalik dari kelompok minoritas Cina yang mampu menguasai kota dan mengembangkan pusat-pusat bisnis serta menguasai lahan berlebih di inti kota.

Namun, dari segi realitas politik, sosial, dan budaya, kaum migran Jawa dan Cina ini sesungguhnya mendapatkan perlakuan yang sama dari kelompok elite yang ada di pemerintahan. Orang Jawa, meskipun merupakan penduduk mayoritas, namun jarang mendapatkan posisi-posisi penting dan strategis di tubuh pemerintahan, dari mulai jabatan di Kelurahan, Kecamatan hingga di Pemerintah Kota. Orang Cina lebih parah lagi. Meski mereka mendominasi lahan bisnis dan pemukiman yang memiliki lahan berlebih, namun sering kali mendapatkan diskriminasi pelayanan dibandingkan penduduk pribumi.

Begitupun, dibandingkan masyarakat Jawa, masyarakat Cina tetap mendapat perlakuan istimewa pejabat elite pemerintahan. Dari data yang ada di Dinas Pertamanan Kota Medan tahun 1999[4], misalnya, tercatat jumlah ruang terbuka untuk publik hanya 228,03 hektar atau hanya sekitar 0,86 persen dari luas total kota Medan yang berjumlah 26.510 hektar. Ruang publik itu dikalahkan oleh kepentingan bisnis dan permukiman eksklusif yang didominasi masyarakat Cina. Bahkan, ruang publik tersisa itu banyak dikuasai pengusaha etnis Cina beserta pejabat di pemerintahan.

Bagaimana pula dengan peran pemerintah terhadap warganya – termasuk orang Jawa dan Cina – dalam menjalankan struktur pembangunan sesuai keruangan kota yang ada? Sebab, suatu proses pembangunan tidak akan berhasil jika peran serta masyarakat terabaikan. Hal itu tampaknya disadari kalangan pengambil kebijakan di tubuh pemerintahan Kota Medan. Terbukti, pada tahun 2006 Pemerintah Kota Medan menyelenggarakan Seminar Rencana Tata Ruang Kota[5] di Hotel Best Western Asean Medan. Seminar tersebut dimaksudkan untuk menyerap aspirasi segenap lapisan masyarakat mengenai Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan.

Observasi yang penulis lakukan pada peristiwa politik ini untuk mengetahui sejauh mana potensi masyarakat dilibatkan oleh Pemerintah Kota Medan dalam mengambil kebijakan mengenai keruangan kota Medan. Partisipasi publik ini bisa terlihat dari rumusan pokok yang diperoleh seusai seminar. Di antaranya, merupakan keinginan kuat dari masyarakat, agar dalam RUTRK Medan yang baru, Kota Medan direncanakan sebagai kota inti dalam konstelasi kota-kota regional di Sumatera Utara (Mebidang) yang dihubungkan dengan jaringan kereta api dan jaringan jalan tol yang terintegrasi.

Masyarakat kota Medan juga menginginkan agar Kota Medan dikembangkan sebagai Metropolitan yang memiliki beberapa titik pusat kegiatan yang dihubungkan oleh jaringan kereta api komuter. Untuk menciptakan hal tersebut, publik menekankan agar Pemerintah Kota Medan memperhatikan penyediaan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) pada pusat-pusat kegiatan yang dikembangkan dalam tata guna lahan dengan intensitas tinggi. Implikasinya adalah terbangunnya moda sirkulasi utama dalam titik-titik pusat kegiatan dalam bentuk pejalan kaki guna mendorong Medan terminimalkan dari resiko polusi dan hemat energi.

Publik juga menginginkan, agar Pemerintah Kota Medan tetap memperhatikan kondisi lingkungan hidup dalam merencanakan dan melaksanakan Tata Ruang Kota yang baru. Seluruh sempadan pinggir sungai, kanal, dan saluran air merupakan jalur hijau yang dapat dikembangkan sebagai taman. Di sepanjang sisi sungai setelah jalur hijau, direncanakan terdapat jalan inspeksi yang berfungsi sebagai koridor pengarah agar kota menghadap sungai sekaligus menjaga kelestariannya. Untuk menjaga kelestarian tanah dan sumber air itu pula, publik mendesak agar batas-batas kota seyogyanya dijadikan jalur hijau berupa hutan kota ataupun taman publik. Dalam hal ini, RUTR harus menjabarkan visi pembangunan Kota yang telah ditetapkan, termasuk menjadi pembangkitan ekonomi secara lokal, regional dan nasional. Selain itu, RUTR harus atraktif/menarik sehingga menjadi daya tarik penanaman modal dan dalam konsep global/regional, tidak administratif.

Hal penting lain yang ditekankan masyarakat Medan tersebut adalah bahwa Visi Kota harus benar-benar didukung potensi kota untuk menjadikan Kota unggul, RUTR harus benar-benar mempertimbangkan kepentingan komunitas masyarakat menengah ke bawah, termasuk UKM serta mencerminkan perubahan-perubahan fundamental secara struktural. Untuk mencapai sasaran tersebut, publik Medan meminta Pemerintah Kota Medan perlu peningkatan manajemen perkotaan, memperhatikan efisiensi, efektivitas, dan ekonomisasi dalam penyusunan RUTR, dan RUTR harus mempertimbangkan kemampuan ruang dan lingkungan sehingga dapat ditetapkan zoning-zoning yang tepat.

Nah, bagaimana pula Medan di mata sastrawan? Menyimak 15 cerita pendek (cerpen) dari 15 sastrawan Sumatera Utara agaknya ada beberapa hal yang patut menjadi pemikiran kita. Para sastrawan Sumatera Utara ini memotret keadaan kota Medan dalam berbagai imajinasinya. Peristiwa-peristiwa yang dibidik pun tak luput dari perjalanan kota ini menuju metropolitan. Tak ayal, kumpulan cerpen Medan yang diterbitkan Komunitas Seni Medan ini tampaknya menjadi catatan penting bagi orang luar Medan untuk mengenal kota Medan dari dekat. Namun, tentunya, dengan tetap memahami karakteristik orang Medan yang beragam.

Lihat saja, A. Rahim Qahhar dalam cerpen berjudul Traffict Laight, menyindir tentang ketidak-tertiban sebagian besar orang Medan dalam berlalu lintas. Ketidaktertiban itu diperparah dengan semrawutnya sarana dan prasarana jalan. Pengendara Honda tua dan Yamaha pun jadi korban ketidakberesan rambu jalan. Ketika mereka berurusan dengan Polisi, seorang pengendara Vespa dengan santainya berhenti di dekat trafick light dan memperbaiki traffick light yang jadi sengketa dua orang naas itu. Traffick light itu ternyata rusak akibat digilas hujan.

Bersihar Lubis dalam cerpen Bau Tubuhmu Sehabis Hujan malah mengkhayal pada 2099 Medan dipimpin Walikota Patimpus. Kita tahu, Patimpus adalah pendiri Kampung Medan, yang jadi embrio kota Medan. Patimpus pada perayaan hari jadi Kota Medan tahun 2099 berkeliling kota mengenderai bus kota berukuran jumbo. Taman kota yang berjajar asri di sekitar jalanan inti kota menambah pesona mata yang memandang. Tidak dihuni hutan beton dan terkesan semrawut.

Sementara cerpen Kupon Getah yang ditulis Damiri Mahmud mengajak kita kembali ke kota Medan era tempoe doeloe ketika kota ini jadi pusat perkebunan. Melalui cerpen ini, kita diperkenalkan dengan tempat penampungan pemasaran getah terbesar di Medan, yakni Hock Lie. Sesuai namanya, Hock Lie adalah pengusaha turunan Tionghoa yang sempat jadi tambatan hidup para petani getah. Sayangnya, sejak kedatangan Jepang, perusahaan itu gulung tikar menyusul penderitaan orang-orang Medan berkat pendudukan Jepang di Medan. Cerpen berbau sejarah ini mengingatkan kita pada situasi susah era Jepang berkuasa.

Cerpen Hanya Angin yang Terpahat di Rahang Pintu membuat kita terkesima ketika orang Medan menyindir letak geografis kota ini. Hasan Al Banna yang menulis cerpen ini seperti merasa tidak tinggal di Medan. Ia menulis begini : “Mak Odah tinggal di perkampungan nelayan – tak jauh dari Belawan, atau sekitar 28 kilo dari Medan.” (Hal. 51). Ada beberapa kali Hasan berucap seolah-olah Belawan bukan bagian dari Medan. Memang, dalam kenyataan sehari-hari, banyak orang yang tidak sengaja berucap seperti itu. Padahal, orang Marelan tetap merasa dirinya orang Medan. Saya sendiri waktu kecil merasa Pulo Brayan adalah kota. Namun, “Medan masih jauh lagi dari Brayan, harus naik (bus) Budi dulu,” kata ibu saya.

Hal paradoksal terjadi pada cerpen Medan 2250. Hidayat Banjar yang menulis cerpen ini beranggapan bahwa dua setengah abad lagi harga-harga biaya pendidikan Sekolah Dasar mencapai dua juta rupiah, mainan anak-anak seharga 13 juta, celana sekolah 1,6 juta rupiah, cendol seharga 75 ribu per gelas. Namun, Hidayat mungkin khilaf. Ia masih beranggapan, dua setengah abad nanti gaji pegawai rendahan tamatan S1 tidak mampu membayar itu semua. Padahal, tahun ini saja gaji pegawai negeri paling rendah satu juta dan tamatan S1 paling rendah bergaji dua juta rupiah. Seharusnya, dua setengah abad nanti gaji pegawai negeri hampir sekitar setengah miliar. Gaji ratusan juta itu tentunya bisa membeli apa saja. Untungnya, si Bejo yang menjadi tokoh cerpen ini ternyata Cuma berkhayal. Hidayat pun selamat dari kesalah-perkiraan Bejo mengestimasi harga-harga pada dua setengah abad mendatang di Medan.

Idris Pasaribu dalam cerpen Teh Tong sepertinya mengajak kita untuk menikmati minuman khas kota Medan, yakni teh tong. Teh tong ini tampaknya menjadi ikon kota Medan. Suatu saat kita memperkirakan minuman ini masuk ke dalam folklor Medan. Itu, lantaran Marudut yang jadi tokoh cerpen ini mempromosikan minuman tersebut. Dia mengatakan, “…teh tong itu di dunia ini, hanya ada di Medan.” (hal. 89). Kita pun patut berterima kasih pada Idris Pasaribu yang telah mengangkat kekhasan kota Medan ini melalui cerpennya tersebut.

Sebagai kota yang semula ditata oleh pemerintahan Belanda, Medan tentu punya segudang cerita di sela kekuasaan kolonial itu. Nah, dalam cerpen Bendera untuk Van den Brink yang ditulis Khairul Ikhwan Damanik, kita terbawa dalam alam Medan tempoe doeloe saat menjadi Gobernemen. Cerpen bernuansa sejarah ini mengisahkan amanat seseorang bernama Van Den Brink yang tewas usai perang kemerdekaan. Ia mengamanatkan kepada tokoh Eyang – yang menembaknya dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan di kawasan Medan Area – agar menyerahkan bendera merah putih biru kepada keluarga Brink. Eyang pun mewasiatkan itu pada putranya agar menyerahkan kain berupa bendera Belanda itu kepada keluarga Brink. Sayangnya, sang cucu tidak berkeinginan mewasiatkan kepada anak-cucunya. Ia lebih memilih menyerahkan sobekan bendera kecil itu pada Musem Belanda di Leiden. Gaya penulisan reportase ini menjadi ciri khas Khairul dalam cerpen tersebut.

Sementara itu, nasib miris dialami Lena, tokoh dalam cerpen Kukutak-Katik Kotaku karya Muram Batu. Lena yang bersekolah dan bertekad untuk memajukan kotanya harus menerima pengalaman pahit dalam hidupnya. Ia beranggapan, kotanya bakal megah dan bersahabat dengan lingkungannya. Kotanya bakal indah dan mentereng, karenanya patut didukung dan dipromosikan pada siapa saja. Kenyataannya, sampai dia tua, sampai orang tuanya tiada, kotanya tidak juga berubah sesuai yang diinginkannya. Ia bahkan sampai terus sebatang kara tanpa suami. Impian masa mudanya saat berpacaran di taman kota tidak menjadi kenyataan. Sebab, taman itu telah dirampas penguasa kota. Hii!

Membangun tanpa menggusur jarang terjadi di kota besar. Medan yang semakin tambun bertambah tambun dengan persoalan kota. Agaknya hal ini dipotret Nasib TS dalam cerpen Perempuan Perkasa. Wajah Medan memang terlihat karut-marut. Kesemrawutan selain dalam berlalu lintas, juga terjadi di jalan raya dan pinggiran jalan. Di pinggiran jalan itu, sering kita dapati pedagang sektor informal yang menghuni kota. Tidak hanya itu, para pedagang nekad berdagang pada banyak badan jalan. Mereka seolah mengejek kewibawaan penguasa kota. Kota yang berwibawa adalah kota yang bisa menertibkan kesemrawutan. Tak ayal, penggusuran biasanya terpaksa dilakukan pemerintah kota untuk memperindah wajah kota. Situasi itulah yang dibidik Nasib. Termasuk, pada Rumintang, perempuan yang menentang penggusuran, yang memiliki anak seorang pejabat yang tinggal di Jakarta. Anaknya pun terperangah ketika mudik ke Medan mendapati ibunya berdemo akibat digusur.

Masalah air bersih juga menjadi fenomena sebuah kota. Cerpen Air-nya Rina Mahfuzah Nasution mengajari kita supaya peduli terhadap air bersih. Nilai keperempuanan Rina mengemuka ketika tokoh dalam cerpen ini kesulitan memasak karena air PAM mampat, padahal air di sungai tak habis-habis. Ia pun bisa membayangkan bagaimana keadaan di rumah almarhum Haji Rangkuti yang meninggal saat air PAM macat.

Nasib tragis dialami lelaki renta berprofesi tukang beca. Beca dayung sampai kini memang kendaraan khas kota Medan. Meski sudah renta, sang tokoh tidak pernah jera untuk menarik pedal kehidupannya di atas beca. Ia masih sigap mendayung. Meski sang istri kerap mengingatkan agar ia menjual becanya dan beralih profesi, sang suami malah bangga pernah beberapa kali membantu orang kesusahan dengan becanya. Bahkan, dia harus rela membantu sekelompok anak muda revolusioner yang berunjuk rasa melawan ketidakadilan di tengah kota. Dia bangga membawa anak muda pejuang tersebut. Saking bangganya, ia menolak diberi ongkos beca. Namun, pada akhirnya dia merasa bersalah ketika penumpang yang dibawanya tewas di tempat saat becanya diserempet mobil di jalan raya. Itu tergambar dalam cerpen Bayang Hitam karangan Sulaiman Sambas.

Cerpen Belati Ompu Monang karya T. Agus Khaidir sangat mirip dengan kisah keris Ken Arok. Ken Arok dapat bertahta menjadi raja dengan keris itu. Sayangnya, keris itu pula yang turun-temurun menjadi penyebab kematian keturunan raja Singasari dan Kediri. Hal sama dialami keluarga Ompu Monang. Belati miliknya menjadi petaka bagi penerus klan-nya. Ada yang tewas karena kebaikan, tapi lebih banyak meninggal karena menyalahgunakan belati tersebut. Terakhir meninggal adalah Koh Abun. Polisi mendapati Koh Abun tewas dengan belati Ompu Monang. Padahal belati itu baru dipinjam Bang Kecik, preman kampung, dari cicit Ompu Monang. Nah, sang cicit inilah yang harus menerima resiko dari belati tersebut.

Nasib perempuan malang dialami Mar dalam cerpen Mar karangan Teja Purnama. Janda pedagang kecil ini tidak rela gerobak dagangannya diangkut paksa petugas pamongpraja. Mar mungkin bagian dari kaum lemah lainnya di kota Medan yang tidak berdaya menghadapi gempuran kehidupan. Sejak ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, Mar memilih jadi pedagang warung kopi di pinggiran kota. Dia merasa, ijazah SMP-nya tidak sanggup untuk bekerja lebih baik. Karena itu, dia berharap, anaknya, Fatimah, harus bekerja lebih layak sehingga harus disekolahkan tamat SLTA. Sayang, ketika tiga bulan Fatimah belum membayar uang sekolah, seketika itu dagangan Mar diangkut paksa pamongpraja. Mar pun tidak dapat membayangkan bagaimana melunasi uang sekolah anaknya yang mengatakan sedang mengikuti les komputer di rumah temannya. Kenyataannya, Fatimah bergayut manja di leher seorang lelaki separuh baya. Begitukah nasib tragis sebagian warga kota kita?

Keadaan taman kota sepintas dibidik YS. Rat dalam cerpen Taman Kota, Rembulan dan Mentari. Rat beranggapan, taman kota yang terang benderang pada malam hari sangat berguna bagi kaum remaja memadu janji. Tidak hanya itu, taman kota juga menjadi tempat tinggal sementara kaum gelandangan dan pengemis. Dari taman itu pula, sepasang gelandangan, Rembulan dan Mentari, “berterima kasih” pada polisi pamongpraja yang menikahkan mereka secara massal.

Cerpen terakhir, Jangan Panggil Aku Katua karangan Yulhasni, memperlihatkan stereotip Medan kota yang sangar; kota preman. Entah mengapa, sebutan ketua atau katua di kota ini jadi panggilan akrab di pasaran. Sapaan ini dikenal akrab di telinga politikus di gedung parlemen, di kalangan wartawan, OKP, dan sejumlah pebisnis lainnya. Pameo “Ini Medan Bung” tampaknya terpatri dalam cerpen ini. Lihat saja, gubernur, panglima, dan walikota serta agen federal (federal ?) harus tunduk dan patuh pada Katua. Sampai-sampai, mereka tidak tahu materi undangan yang diberikan sang Katua. Padahal, sang Katua hanya ingin memproklamasikan agar dirinya tidak lagi dipanggil Katua karena hal itu mewarisi sejarah yang salah. Sebab, imej negatif sebutan Katua selama ini seolah-olah jadi penentu kebijakan bagi setiap pejabat, pengusaha, dan lainnya di kota ini. Sebab itu, imej tersebut harus diluruskan dan dihentikan. Ya, itulah khayalan Yulhasni dalam cerpen yang mengambil latar Kota Medan tahun 2350 Masehi. Kesadaran psikologis dan sosiologis dari raja preman Medan diprediksi Yulhasni baru muncul ratusan tahun nanti. Ratusan tahun nanti pula wajah kota dihuni jalan kereta api yang membelah kawasan Sekip dan Jalan Gatot Subroto serta masuk ke terowongan di bundaran Petisah.

Begitulah, 15 sastrawan Sumatera Utara memotret kota Medan dalam beragam versi. Penggusuran, ruang publik, taman kota, tata ruang, hingga penderitaan kaum miskin kota menjadi tema besar cerpen yang terdapat dalam buku Kumpulan Cerpen Medan. Buku ini setidaknya menjadi bahan masukan bagi penguasa untuk meneruskan pengelolaan kota yang baik dan ramah lingkungan. Melalui buku ini pula, pembaca dapat terhibur dari berbagai versi sisi kehidupan di kota Medan serta bermanfaat untuk mengetahui kota ini dari dekat. ***

Medan, 4 Desember 2009.-

SUYADI SAN lahir di Medan 29 September 1970. Dunia tulis-menulis digeluti sejak mengasuh majalah dinding sekolah, lalu mengirim tulisan berupa berita, reportase, cerita pendek, esai, dan sajak ke SKM Demi Masa, Harian Mimbar Umum, Analisa, Waspada, Bukit Barisan, Garuda, Medan Pos, Portibi, Andalas, Republika, Seputar Indonesia, SKM Taruna Baru, SKM Bintang Sport dan Film, SKM Swadesi, serta Majalah Sastra Horison dan Majalah Gong.

Sejumlah karya puisi, cerpen, esai, dan naskah dramanya serta menjadi editor di dalam buku-buku antologi : Puisi Koran Sabtu Pagi (SSI, 1993), Bumi (SSI, 1994), Dalam Kecamuk Hujan (KSK, 1997), Jejak (DKSU, 1998), Indonesia Berbisik (DKSU, 1999), Tengok (Arsas, 2000), Muara Tiga (Dialog Utara IX Medan, 2000), Sankalakiri (Dialog Utara X Thailand Selatan, 2003), Amuk Gelombang (Star Indonesia Production, 2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Medan, 2005), Jelajah : Kumpulan Puisi Ekologis (Valentino Group, 2006), Potret Sastrawan Sumatera Utara (Balai Bahasa Medan, 2006), Fungsi Tekstual dalam Wacana : Panduan menulis Rema dan Tema karya Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. (Balai Bahasa Medan, 2007), Medansastra (Dewan Kesenian Sumatera Utara, 2007), Urban Enam Penyair (Laboratorium Sastra, 2009), Tanah Pilih (Pemprov Jambi, 2008), Prosiding : Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik Utara ke-6 (Balai Bahasa Medan, 2009).

Sedangkan buku tunggalnya adalah Sajak Burung Luka (kc, manuscrip, 1991), Yang Tersobek (kc, manuscrip, 1993), Kado Ulang Tahun 19 (kp, manuscrip, 1994), Telaah Drama : Konsep Teori dan Kajian (bt, GENERASI dan Mimbar Umum, 2004), Stilistika : Sebuah Pengenalan Awal (bt, GENERASI, 2005), Menguak Tabir Bahasa Jurnalistik (bt, Balai Bahasa Medan dan GENERASI, 2006), Kejurnalistikan : Mengenal Seluk Beluk Jurnalistik (bt, GENERASI, 2008).

Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Medan dan Magister Sains Antropologi Sosial pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan. Tesisnya berjudul “Peran Oang Jawa dan Cina dalam Keruangan Kota : Sebuah Studi Antropologis dan Sosiologis mengenai Penataan dan Pengembangan Kota Medan”. Tahun 1995 mendirikan Teater GENERASI di Medan. Mengikuti berbagai kegiatan sastra dan teater di Cibubur, Padang, Kayutanam, Bandaaceh, Jakarta, Denpasar, Palembang, Jambi, Pulau Pinang, Kuala Lumpur, Negeri Sembilan, Bandung, Pekanbaru, Bandarlampung, Tanjungpinang, Surabaya, Malang. Namanya juga tercantum dalam Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000).

Pernah menjadi Redaktur Budaya Harian Mimbar Umum, kini staf teknis Balai Bahasa Medan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia sembari melatih dan mengajar sastra, teater, dan jurnalistik di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sumatera Utara dan SMK Negeri 1 Percut Sei Tuan Deliserdang.

Telepon : 08126520983

Pos elektronik : suyadisan@yahoo.com

Rekening Bank : a.n. SUYADI, S.Pd., M.Si.

BRI Unit Simpang Limun Medan

No. Rek. 5327-01-011995-53-0



[1] Stereotip, menurut Walter Lippmann sebagaimana dikutip Suwarsih Warnaen (2002 : 117) menyebutkan, adalah gambar di kepala yang merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang sebenarnya. Karenanya, menurut asumsi penulis, stereotip tersebut bukan merupakan citra objektif, meskipun tidak bisa dikatakan pencitraan seperti ini tanpa suatu dasar argumentasi faktual sama sekali. Citra objektif, selain sulit didapatkan, juga membutuhkan suatu pengumpulan fakta-fakta yang kurang komprehensif serta kajian yang multidisipliner.

[2] Pada tahap-tahap awal pertumbuhan kota, setidaknya kesepakatan mengenai keruangan dan struktur kota, dapat mencerminkan kepentingan berbagai pihak dan mengurangi konflik vertikal (pemerintah dengan masyarakat) maupun konflik horisontal (antarmasyarakat) menjadi sekecil mungkin. Berkaitan aspek ekonomi, sosial, dan politik, kajian Bank Dunia mencatat munculnya konflik-konflik yang menimbulkan kekerasan akibat perbedaan kepentingan ketiga aspek tadi (kerja sama, toleransi, kesepakatan), dengan ciri yang agak berbeda-beda pada masing-masing kota.

[3] Kasus-kasus perdata dan pidana rakyat Sultan, misalnya, diadili oleh pengadilan Sultan (Kerapatan), sementara rakyat Gobernemen diadili oleh pengadilan pemerintah (Landraad). Orang-orang yang tinggal dalam kota harus membayar pajak-pajak kepada kotapraja, sedang rakyat yang tinggal di wilayah Sultan selain membayar pajak kepada Sultan, dengan tambahan harus melakukan kerja wajib (Kotapraja, 1959 : 74 via Pelly, 1994 : 78).

[4] Ampun, Nuh Anak. Sikap WNI Keturunan Cina terhadap Pembauran di Pemkot Medan dalam Meningkatkan Ketahanan Nasional. Tesis : Universitas Indonesia, 2002

[5] Seminar yang diikuti seluruh kelompok masyarakat itu menghasilkan sejumlah rekomendasi guna menjadi pijakan bagi Pemerintah Kota Medan dalam merancang dan menetapkan Tata Ruang Kota Medan yang baru. Penulis yang melakukan observasi terhadap pelaksanaan seminar itu menyaksikan begitu antusiasnya masyarakat Medan, baik dari kalangan LSM, partai politik, organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dan etnis, akademisi, pakar, tokoh pemuda, tokoh pers, dan organisasi profesi lainnya, untuk memberi masukan mengenai konsep Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan 2026.