Translate

Kamis, 12 Februari 2015

Ketika Sastrawan Indonesia Beraliansi


ASI : Tim perumus (dari kiri ke kanan), Tan Lioe Ie, Triyanto Triwikromo, Acep Zamzam Noor, dan Kartini Nurdin saat memimpin forum musyawarah tentang pembentukan lembaga sastra yang bisa menjadi wadah advokasi sastrawan pada Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 1, 7-11 Juli di Jambi. Forum akhirnya menyepakati pembentukan Aliansi Sastra Indonesia (ASI).
(Waspada/Suyadi San)
Catatan : Suyadi San


SUNGAI Batanghari menjadi saksi.  Melalui perdebatan panjang, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) I di Jambi menghasilkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, terbentuklah wadah yang diberi nama Aliansi Sastra Indonesia (ASI) serta penunjukan Provinsi Bangkabelitung dan Sumatera Selatan sebagai tuan rumah TSI II 2009 dan TSI III 2010.
            Bagaimanakah ketika sastrawan Indonesia beraliansi? Wah! Dalam forum dialog dan musyawarah saja, hampir sulit mencapai kata mufakat. Namun, alhamdulillah, ego sektoral bisa tertepis. Dan, terbentuklah ASI serta keberlanjutan TSI tersebut.
Ide pembentukan wadah sastrawan ini sebenarnya sudah jauh hari dirancang panitia TSI I Jambi. Seperti disampaikan ketua pelaksana TSI 1 Dr. Sudaryono, M.Pd. alias Dimas Arika Mihardja, panitia temu sastra melihat keberagaman budaya daerah sebagai salah satu sumber penciptaan.
"Ini, perlu diberikan ruang untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur di Indonesia memberikan keberagaman dalam keindonesiaan," ujarnya pada pembukaan TSI, Senin malam (7/7) di Hotel Grand, Jambi.
Di tengah globalisasi, panitia TSI juga yakin keberagaman warna lokal menjadi penting. Keberagaman itu membuat identitas lokal terwadahi. Tampilnya identitas lokal yang beragam merangsang tawaran-tawaran tematis dan capaian estetis dalam sastra Indonesia mutakhir. Identitas keindonesiaan dapat dibangun berdasarkan kekayaan tradisi lokal yang ada di Indonesia. Ini satu harapan dan idealisme panitia temu sastrawan.
Agenda penting lain yang jadi fokus TSI I berkaitan dengan persoalan ekologi sastra Indonesia yang dihuni sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, media, dan masyarakat pembaca. Panitia menilai, ada yang tidak sehat dalam ekologi sastra saat ini. Masing-masing ranah sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) berjalan sendiri-sendiri. Terpisah jurang yang membatasi kebersamaan dan saling pengertian.
”Dalam konteks inilah, TSI mencoba membangun rumah tangga sastra Indonesia yang menjunjung keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Dari sini, muncul harapan terciptanya ekologi sastra Indonesia yang kondusif,” sebut Dimas.
TSI juga berangkat dari keprihatinan miskinnya perkembangan kritik sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu--demikian penjelasan panitia dalam panduan TSI: Hidup segan, mati tak mau! Jika dibiarkan, karya sastra yang faktanya jauh dari masyarakat akan semakin jauh dari pembaca.
Di sinilah peran kritikus. Tanpa kritikus, sulit mendekatkan karya sastra dengan pembaca maupun apresian. Namun, pasca-H.B. Jassin, perkembangan sastra Indonesia bisa dibilang berjalan tanpa dampingan kritik sastra.
TSI juga menginginkan terbentuknya wadah yang bisa mengadvokasi sastrawan ketika bermasalah dengan pihak lain, seperti pemerintah, media massa, atau organisasi tertentu. Dengan wadah ini, sastrawan diharapkan memiliki bargaining power dan bargaining position.
Nah, wadah yang digagas panitia TSI ini terbentuk pada 9 Juli lalu dengan nama Aliansi Sastra Indonesia (ASI). Lembaga ini tidak langsung diterima. Bisa dibilang, sebagian besar peserta TSI menolak pembentukan wadah.
Ketidakjelasan peran dan fungsi menjadi alasan terkuat yang membuat sejumlah sastrawan tidak setuju dengan wadah tersebut. Isbedy Stiawan, Acep Zamzam Noor (penyair dari Jawa Barat), Sosiawan Leak (Solo), dan Suyadi San (Medan) termasuk peserta yang tidak sepaham dengan pembentukan ASI.
Penulis sendiri sangat setuju dengan gagasan Acep Zamzam Noor, yang mengembalikan wadah bersastra ini kepada komunitas-komunitas yang ada di daerah. Namun, berdasarkan musyawarah, pada 9 Juli lalu, wadah itu terbentuk juga dengan nama Aliansi Sastra Indonesia. Mengapa memakai nama aliansi? Bukankah sastra tidak bisa dialiansikan karena bukan orang?
Tim perumus--antara lain terdiri atas Triyanto Triwikromo, Acep Zamzam Noor, Tan Lioe Ie, Kartini Nurdin, Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Firdaus --memilih kata 'sastra" bukan 'sastrawan' berangkat dari konsep ekologi sastra. Dalam konsepsi tim perumus, dalam sastra itu ada produk, ada kreator, ada kritikus, dan ada elemen lain yang ikut berperan dalam sastra.

Mengapa Harus Ada ASI

Samakah profesi sastrawan dengan wartawan/jurnalis, dokter, pengacara, arsitek, guru, dsb yang sejenis dengan itu? Untuk pertanyaan-pertanyaan di atas tidak perlu dicari apa jawabnya dulu, namun cukup direnungkan saja dalam-dalam.
“Pekerjaan” sastrawan, jelas berbeda sifat dan semangatnya dengan pekerjaan profesional yang dilakukan dokter, insinyur, advokat, guru atau pengusaha, misalnya. Begitu juga dalam upaya membentuk organisasi, kepentingannya akan sangat berbeda pula.
Tentu kita bersepakat, ketika sastrawan berniat membentuk sebuah organisasi maka tujuan utamanya haruslah untuk kepentingan proses kreatif dan apresiasi, bukan untuk maksud lain. Tujuan utamanya haruslah untuk meningkatkan kreativitas dalam berkarya dan bagaimana menghasilkan karya-karya yang baik, lalu memikirkan bagaimana karya-karya tersebut bisa memasyarakat.
Jika dua hal ini yang menjadi tujuan utama, maka rasanya kurang begitu perlu organisasi formal yang berskala nasional dibentuk. Karena itu, saya sependapat dengan Acep Zamzam Noor, bahwa para sastrawan rasanya sudah cukup dengan menghidupkan komunitas-komunitas yang ada di daerah sebagai laboratorium proses kreatif mereka sekaligus wadah untuk apresiasi masyarakat.
Ada beberapa jenis komunitas yang tumbuh di beberapa daerah. Pertama, komunitas yang berbentuk sanggar. Komunitas jenis ini sifatnya melatih atau membimbing para anggota dalam proses panjang menjadi sastrawan, mulai dari hal-hal teknis menulis, membuka wawasan, meningkatkan apresiasi dengan membaca dan diskusi serta pembinaan yang hubungannya dengan mental.
Komunitas jenis tersebut berfungsi sebagai laboratorium tempat para sastrawan atau calon sastrawan bergesekan secara langsung dalam proses kreatif mereka. Secara organisasi, komunitas jenis ini sedikit longgar dan terbuka, hingga bisa menarik lebih banyak anggota, mulai dari yang ingin belajar, simpatisan sampai mereka yang berkepentingan dengan sastra seperti siswa, mahasiswa, santri, guru, dosen dan masyarakat umum peminat sastra. Di Medan, pernah ada komunitas jenis ini, yakni Forum Kreasi Sastra (FKS). Sayangnya, komunitas ini sudah tidak terdengar lagi.
Kedua, komunitas yang berbentuk lembaga swadaya. Komunitas jenis ini harus lebih serius organisasinya karena akan menjalin hubungan dan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk mengadakan berbagai kegiatan, baik pementasan kesenian, diskusi, seminar, pertemuan sastrawan, festival, pameran, pelatihan serta penelitian.
Komunitas jenis ini biasanya tidak melakukan pembinaan secara langsung terhadap anggotanya seperti di sanggar, namun lebih banyak bergerak di bidang wacana, pemikiran, apresiasi, dokumentasi atau penelitian sastra. Di Medan, pernah ada kelompok Diskusi Padang Bulan. Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan kita harapkan bisa berpola seperti itu.
Ketiga, komunitas yang merupakan gabungan dari dua jenis tersebut, yakni yang bergaya sanggar dan lembaga swadaya.  Misalnya, Teater ‘O’ Fakultas Sastra USU dan Teater LKK Unimed, yang pernah menerbitkan antologi sastra atau Teater GENERASI ynag belakangan menggelar Bengkel Penulisan Sastra secara rutin.
Apapun jenisnya, apapun titik berat gerakannya, komunitas yang merupakan laboratorium atau wadah informal seperti inilah yang paling cocok bagi para sastrawan atau calon sastrawan Indonesia yang cenderung amatir, ketimbang organisasi formal dan struktural yang mungkin hanya akan mengurus atau menyentuh hal-hal formal dan permukaan saja.
Begitupun, dengan terbentuknya ASI, kita harapkan menjadi media komunikasi yang baik antarkomunitas di berbagai daerah sehingga terjalin sebuah ikatan atau jaringan yang sifatnya ”batin”. ASI harus dijadikan wadah ikatan atau jaringan yang bersifat batin atau spiritual. Ini jauh lebih efektif dalam membangun komunikasi, silaturahmi, kebersamaan, solidaritas dan toleransi antarsastrawan dan juga calon sastrawan di manapun berada, selain untuk kepentingan meningkatkan proses kreatif itu sendiri.
TSI 1 di Jambi ini diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Kegiatan dengan tema Keberagaman, Kedinamisan, dan Keharmonisan Ekologi Sastra Indonesia ini diselenggarakan mulai 7 sampai 11 Juli oleh panitia inti, yang terdiri dari komunitas sastrawan, seniman, budayawan, dan akademisi.
            Selain forum dialog dan musyawarah, TSI ini dimeriahkan rangkaian panggung apresiasi, pameran sastra, bazar buku sastra, penerbitan antologi puisi Tanah Pilih dan antologi cerpen Senarai Batanghari, serta wisata budaya ke candi Muaro Jambi sembari menyusuri sungai Batanghari melalui perahu ketek.  Begitulah. Horas! ***


Penulis, adalah pegiat sastra dan staf teknis Balai Bahasa Medan


sumber : Harian Waspada

Sudah Kugembok Suaramu


 

“SUDAH kugembok suaramu”. Begitulah ungkapan batin penyair kita, NA Hadian, dalam kumpulan sajak terbarunya Laut Mutiara. Ungkapan yang sangat sederhana. Jujur dan tidak mengada-ada. Barangkali ucapan itu sangat tepat tatkala bangsa kita memasuki 60 tahun kemerdekaan.
Sudah kugembok suaramu. Ya, betapa miriskah nasib bangsa ini menghadapi segala fenomena kehidupan? Keprihatinan demi keprihatinan, itulah yang kita hadapi memasuki usia 60 tahun kemerdekaan bumi Nusantara ini.
Enam puluh tahun, harusnya kita makin matang menghadapi berbagai persoalan. Tidak gagap atau kagok mencari jalan keluar setiap permasalahan. Apalagi sudah ratusan tahun diuji penindasan. Rasanya, begitu naif jika kita terus merasa kalut dan sulit lepas dari lubang jarum keniscayaan.
Enam puluh tahun, ya, enam puluh tahun. Enam puluh tahun itu kita dicekoki janji. Jargon dan mutiara kata untuk bangkit dari penindasan. Enam puluh tahun itu kita dibuai mimpi berkepanjangan. Revolusi dan pembangunan. Reformasi dan perubahan. Semuanya sangat menjanjikan. Manis di bibir, sangat indah di perkataan.
Namun, begitu ironi. Kita harus antre mendapatkan BBM. Padahal, mendapatkannya pakai duit. Duitnya sulit didapat. Didapat dengan susah payah. Banting tulang. Peras keringat, pikiran, dan tenaga.
Penguasa dengan enteng meminta kita agar berhemat. Berhemat. Kencangkan ikat pinggang. Puasa Senin-Kamis.Wah! Bukankah sejak dahulu kita berhemat? Mengencangkan ikat pinggang? Ditambah lagi yang setiap saat puasa, tidak hanya Senin-Kamis.
Saking hematnya, saking menyempitnya pinggang, kita sampai cakar-cakaran. Berebut pekerjaan. Kehilangan pekerjaan. Sikut kanan, sikut kiri. Sikat kanan, sikat kiri. Jilat kanan, jilat kiri. Ujung-ujungnya, korupsi. Monopoli, oligopoli, manipulasi. Dan sebagainya. Yang penting happy. Tak peduli kanan dan kiri. Masing-masing cari selamat. Selamatkan diri masing-masing alias SDM.
Wah! Untuk itu, penyair NA Hadian bilang :

Sudah kugembok suaramu
jangan ucapkan lagi kata itu
kita saling berbohong
aku bohong kau pun bohong
(Sudah Kugembok Suaramu, bait 1)

Bohong! Itulah yang sebenarnya. Aku bohong kau pun bohong.  Apakah kita saling berbohong? Entahlah. Yang jelas, pada saat kita kehilangan tongkat, pada saat kita kesulitan sandang dan pangan, pada saat kita antre BBM, penguasa hanya mampu bilang kesulitan membayar minyak di luar negeri, apalagi utang piutang. Padahal sudah 60 tahun penguasa berkuasa. Diberi  kesempatan mengolah hasil bumi, rempah-rempah; untuk keselamatan rakyat, untuk kesejahteraan rakyat.
Lihat saja, saat kita sudah sering berhemat, segala macam merek dan jenis kendaraan setiap hari mengalir deras ke bumi Pertiwi. Setiap saat berseliweran di depan mata kita. Booming. Dari mana datangnya? Dari luar negeri, tentu. Koq bisa? Siapa yang beli? Yang punya duit, tentu. Lho koq! Ya bisa, karena memang tidak ada ketentuannya. Tidak ada aturannya. Nah!

Mau apa lagi kita sekarang
bikin janji ke janji
janjimu bermata pisau
bicaramu tembaga berparuh ular
(Sudah Kugembok Suaramu, bait 2)

Hal sama terjadi dalam skop lokal. Terutama yang terjadi di kota besar, Medan misalnya. Simaklah sajak berikut :

“Adakah yang lebih sakral, anakku,
pada potret-potret lama
kecuali tempat yang kita kenal
saat-saat yang tak pernah
baka?”
(Goenawan Mohammad, Horison, Juli 1990)

Petikan sajak Goenawan Mohammad itu tampaknya cukup bersentuhan dengan masalah cacopolis. Cacopolis ialah kota yang mengerikan dan kacau balau; diceritakan dengan sangat rinci: udara yang panas berdebu, suara yang bising memekakkan telinga, lalu lintas kendaraan yang macat, perumahan yang berlebihan kepadatannya, listrik padam, jaringan jalan semrawut bagaikan bakmi, sampah menggunung, selokan tersumbat, air minum tercemar, dan lain-lain.
Daftarnya sangat panjang tanpa ada akhirnya. Dan, itu diceritakan Prof. Kevin Lynch dari hasil penelitian terhadap anak muda-anak muda di Cambridge, Massachusetts, S mengenai gambaran kota atau dunia ideal yang didambakan.
Lalu, sekelompok tim perancang yang menamakan dirinya super audio, bahkan nekad melukiskan secara visual fantasinya tentang cacopolis di masa depan, dalam bentuk kota yang geometrik kaku, terkotak-kotak, tak ada peluang komunikasi sosial, tumbuh tanpa batas, dan setiap kegiatan manusia diatur secara eksternal di luar dirinya. Bangunan-bangunan kuno yang diakrabi penduduk, terkikis habis. Sentuhan estetis dikerdillkan oleh perhitungan ekonomi dan bisnis. Manusianya kepaten obor, kehilangan lacak dan orientasi, bagaikan orang hilang ingatan.
Cacopolis? Alahmak! Lalu, bagaimana?
Kota dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya, diistilahkan oleh I. Rapoport dengan “cultural landscape”, dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota maupun daerah. Yang paling rumit dan kompleks adalah perkotaan. Nah!
Kevin Lynch, dia lagi, dalam tulisannya tentang “The City as Environment” berceloteh bahwa penampilan dan wajah kota bagaikan mimpi buruk: tunggal rupa, serba sama, tidak berwajah, lepas dari alam, dan sering tidak terkendali, tidak manusiawi. Air dan udara kotor, jalan-jalan sangat berbahaya dipadati kendaraan, papan reklame mengganggu pandangan, pengeras suara memekakkan telinga.
Jurang kaya-miskin menganga mencolok mata, komunitas yang guyub (batin) pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan (kepentingan) yang dilandasi penalaran kalkulatif (Weber) dan kepekaan moral yang disepakati bersama makin meluntur (Durkheim).
Dalam setiap kota yang merupakan ‘melting pot’ selalu terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan pada skala kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi.
Kalau begitu, masihkah kita percaya dengan penguasa untuk mengelola kota ini dengan baik, sementara “//Rakyat kehilangan cintanya, kepadamu/semua kita sudah berdosa/akhirnya aku lari tunggang-langgang///”. (Sudah Kegembok Suaramu, NA Hadian, bait 3).
Menghadapi negeri yang berulang tahun bulan depan, memang seharusnya kita segera mengoreksi diri. Jangan seperti penguasa kita yang berebut minta gaji besar di tengah keterpurukan bangsa. Penyair Hadian, mengibaratkan hal itu laksana semut :

Seekor semut melenggang
di rumput hijau
mencari telur ulat
yang berserak
dalam lembar daun
(Sajak Putih, bait 1).

Ya, seekor semut/mencari telur ulat/dalam lembar daun. Lembar daun. Begitu halusnya Hadian menyindir perilaku politikus dan pejabat  kita pada umumnya. Padahal “//Dunai protes/kalian tidak adil/tanpa berjuang terima gaji/mau bintang kehormatan//” (bait 2). Siapa yang paling berjasa di negeri ini? “//Sedang matahari dan bulan/paling berjasa/selalu terima angka nol/dari semua makhluk bumi///” (bait 3).
Hiruk pikuk kota. Polusi kendaraan. Bersatu padu dalam jantung kepalsuan. Kalau begitu, ‘../mari kita tidur saja, wahai/wakil rakyat tidur saja///” (Kita Sudah Kesasar, Hadian).
Barangkali inilah yang harus kita katakan. Sebab, sudah kegembok suaramu. *** (Suyadi San)


sumber : Harian Mimbar Umum

Menengok Kelihaian "Sang Perkutut" di TBSU


Catatan : Suyadi San


KARYA sastra merupakan kesaksian zaman.  Tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas. Bahkan ia (baca: karya sastra) bisa melampaui batas dimensi. Na, apa jadinya jika teks sastra ditranformasi ke atas panggung? Apa pula yang terjadi jika pemanggungan itu mengambil label seekor unggas, yakni perkutut?
            Jam menunjukkan pukul 16.40 WIB.  Panggung gelap. Ketika layar terbuka, terlihat simbol bola bumi, satu di antara sembilan gugusan planet, perlahan memancar kemerah-merahan di sudut kanan panggung. Tak ada pergerakan manusia ataupun makhluk lainnya.
            Tata warna cahaya yang sangat artistik berpadu dengan tataan panggung yang tak akalah artistik pula. Karya seni rupa tiga dimensi kentas mengisi setiap sudut ruang. Barulah beberapa detik kemudian, suara seseorang terdengar meneriakkan judul puisi “Perkututku Perkutut Urakan”.
            Ya! Judul itu, judul itu sangat tidak asing bagi saya. Memori saya pun berkelebat-kelebat. Betapa tidak? Belasan tahun lalu, pada 1990-an, judul puisi itu telah saya dengar. Belasan tahun lalu itu saya harus membeli tiket untuk menyaksikan perkutut manggung di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Medan. Belasan tahun itu.... Ah!
            Tidak hanya mendengar dan melihat. Saya pun tak pernah mau ketinggalan mengikuti episode demi episode nyanyian sang perkutut. Usai 1990-an itu, saya ikut menengok penampilan episode sang perkutut dalam gelar baca puisi di Taman Budaya Sumatera Selatan (TBSS) Palembang, Juni 2005. Setahun kemudian, saya tengok lagi di gedung utama TBSU.
            Alhamdulillah saya berkesempatan menyaksikan (lagi) atraksi sang perkutut di atas panggung.      Itu terjadi saat Unit Pelaksana Teknis (UPT) TBSU menggelar Gelar Rangkai Puisi bertajuk ”Nyanyian Urakan” di gedung utama TBSU, Jumat sore (13/12).
Sepertinya para petinggi di TBSU seperti saya: ketagihan menyaksikan kelihaian sang perkutut. Tak peduli sudah pernah hinggap atau beberapa kali dimainkan di tempat sama. Bahkan dalam kegiatan yang nyaris serupa.
Ya, itu barangkali memang karena kehebatan sang perkutut. Perkutut ini memang sangat lincah. Lihai beradaptasi. Cekatan bertransformasi. Hinggap pada satu dahan untuk terbang dan hinggap ke ruas dahan yang lain.  Kecil tubuhnya tak sekecil pikirannya.

            Perkututku liar
dia tidak suka sangkar
takut sayapnya mekar terhalang
sebab tidak suka memaki
”lebih baik bernyanyi
dari jendela ke jendela”

            Seperti bait puisi itulah ”si perkutut” yang saya lihat dari panggung ke panggung. Ia terbang liar. Tapi toh tetap kembali ke dahan itu juga.  Meski liar, ia tetap lihai. Meski mengumpat, tetap saja ia menyediakan penawar.

            Perkututku liar
dia terbang dalam awan
tainya jatuh di atap-atap singgasana
setiap kali dia menuding
lukanya jadinya membara
darahnya dia jadikan penawar

            Alamak! Seperti politisi pula ia.
            Begitulah. Bagi orang TBSU, tidak tahu orang yang di luar (TBSU), sang perkutut itu identik dengan penyair anyar Sumatera Utara: YS. Rat. Pemilik nama Yusrianto inilah yang kerap kali mengusung ikon perkutut dalam atraksi baca puisinya. Mungkin karena dibesarkan dalam keluarga Jawa, pria berkaca mata ini   terus kesengsem pada perkutut.
            Perkutut YS Rat bukan sembarangan perkutut. Perkututnya ini tidak sebatas bisa dielus atau diminta manggung untuk bernyanyi. Lebih dari itu, perkututnya bisa diajak berpikir dan membantunya untuk menyublimasi pikirannya. Lha wong perkututnya bukan hewan; tidak lain adalah puisi!
            Selama hampir satu jam, YS Rat bercengkerama dengan ”perkutut”-nya di gedung utama TBSU. Untuk mereportoarkan ”perkutut” ini, YS Rat tidak sendirian. Dia dibantu deretan penampil lainnya: dua orang penyair (Hasan Al Banna, M. Raudah Jambak) dan tiga penari (Joni, Dewi, Roslina). Apakah ini bentuk kelelahan dia?  Sebab, tahun-tahun sebelumnya dengan nafas puisi sama ia tampil sendirian. Entahlah.
            Namun, menurut YS Rat, pergelarannya kali ini karena diberi tajuk Gelar Rangkai Puisi. ”Jadilah saya harus melibatkan pemain lain,” tuturnya beberapa hari menjelang pementasan kepada penulis.
            Dari lima puisi, ia membacakan empat judul, yakni Perkututku Perkutut Urakan”, ”Perkutut Urakanku Kampanye di Langit-langit”, ”Dari Perkutut Urakan tentang Negeri Tanpa,” dan ”Kepada Jika, dari Perkutut Urakan”. Satu judul lagi, ”Surat Perkutut Urakan buat Gadis-gadis Indonesia” dibacakan M. Raudah Jambak.
            Sementara Hasan Al Banna tampil selingan di antara penampilan YS Rat. Hasan membawakan dua puisinya sendiri, yakni ”Mantra Negeri yang Pukang” dan ”Dari Mardan ke Taufan”.
            Penampilan YS Rat kali ini sebenarnya tidak jauh beda dari beberapa tahun lalu. Ikon perkutut dibalut simbol bola dunia ataupun bulan, ruang nan gelap, dan suara dari belakang panggung serta gemar membelakangi penonton. Sangat kongruen dari penampilan-penampilan sebelumnya.
            Namun, pertunjnkan yang dibuka Kepala Sub Dinas Lembaga Budaya Dinas Budaya dan Pariwisata Sumatera Utara Drs Sudarno dan hanya disaksikan segelintir penonton ini, masih menyusuhkan sesuatu yang baru. Yakni, munculnya gerakan tari dari beberapa puisi yang dibacakan.
            Saya menyebut gerakan tari dalam puisi ini sebagai tarinisasi puisi,  suatu penafsiran lain terhadap puisi. Saya tidak mau terburu-buru menyebut ini bentu baru dalam apresiasi puisi. Kita tahu, hanya ada empat cara untuk mengapresiasi puisi melalui seni pertunjukan, yakni pembacaan (tunggal maupun berkelompok atau berantai), visualisasi, dramatisasi, dan musikalisasi.
            Yang jelas, pemvisualan dalam bentuk tari merupakan sesuatu yang sangat dominan dalam pertunjukan YS Rat kali ini.  Gerakan-gerakan tari yang sangat teaterikal ini menjadi penyejuk dari kejenuhan tema yang diusung YS Rat.
            Keunggulan lain adalah penampilan seni rupa tiga dimensi yang diarsiteki Rudi Pama (penata artistik) dan Irma Karyono (penata lampu). Duet Rudi—Irma ini mampu menghidupi surealisme panggung. Patutlah, kedua orang ini serta Achi Aceh sang penata musik yang paling cemas ketika listrik di komplek TBSU belum hidup sampai pukul 16.10 WIB karena program pemadaman oleh PLN sejak pukul 10.00 WIB.
Lalu penampilan Hasan Al Banna? Ia tetap menjadi pelengkap dan tidak masuk dalam suasana metafisis perkutut imajiner YS Rat. Hal sama pernah dilakukan pada pergelaran tahun 2006 di tempat sama.
            Warna kekanak-kanakan yang ditampilkan Hasan senyatanya tidak mampu mengimbangi narasi besar yang diusung YS Rat. Andai dia berdiri sendiri, terpisah dari skenario ”perkutut urakan” YS Rat, mungkin pertunjukannya akan menjadi lain.
            Secara keseluruhan, pertunjukan ”Nyanyian Urakan” YS Rat yang tidak urakan ini mampu menyedot perhatian penonton. Setidaknya, ini menjadi penawar dari minimnya pertunjukan sastra di Medan. Akankah sang perkutut tampil lagi? Akankah ia tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas?  Jawabannya ada pada YS Rat! ***             


sumber : Harian Waspada
YS Rat ”sang perkutut urakan” muncul memecah simbol bola dunia dalam puisi terakhir Kepada Jika, dari Perkutut Urakan pada Gelar Rangkai Puisi ”Nyanyian Urakan” di gedung utama TBSU, Jumat sore (13/12). (foto : Suyadi San)