Translate

Kamis, 24 Mei 2012

NILAI PEREMPUAN DALAM SASTRA


kita akan rindu, tapi kapan-kapan
ada yang yang tak pernah selesai, memang
dari sebuah perjalanan
begitu juga semua yang kukerjakan
di dalam
(Dina Oktaviani, 2006 : 73)

Karena keindahannya, perempuan sering ditampilkan dalam karya sastra. Sudah seperti menjadi komoditas iklan dalam karya sastra. Karena keindahannya pula, untuk karya sastra yang bobot kehadirannya sama, antara laki-laki dan perempuan, biasanya perempuanlah yang dipilih.
Selain karena keindahan, perempuan sering menjadi inspirasi, dalam melahirkan produk apapun. Alhasil, atribut atau sikap yang mencirikan keperempuanan, sebagai potensi kodrati perempuan, kini justru kian menjadi aset dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan.
Berbagai kalangan berpendapat, ketika kegiatan industri mulai merambahi kehidupan masyarakat, rumah tangga mulai dipandang tidak berkaitan sama sekali dengan kegiatan ekonomi. Sebab, dalam masyarakat industri, laki-laki dipandang sebagai satu-satunya aktor dalam proses produksi.
Ketika industrialisasi masih berada dalam tahap-tahap awal perkembangannya, masih terbatas pada pertambangan dan pabrik, hanya tenaga laki-laki yang dibutuhkan sebagai tenaga kerja. Sifat pekerjaan industri pada saat itu membutuhkan tenaga fisik yang kuat, dan secara kultural hal itu hanya dimiliki oleh laki-laki.
Kaum perempuan karena dipandang lebih lemah fisiknya daripada laki-laki, ditempatkan untuk melakukan pekerjaan di sekitar rumah tangga. Kegiatan yang dilakukan dalam rumah tangga ini cenderung dianggap sebagai kegiatan non-ekonomi, karena yang utama tugas perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga.
Tugas-tugas rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan reproduksi atau konsumsi, dipandang sebagai kegiatan yang non-ekonomi.
Kaum feminisme tentu saja berusaha meluruskan persepsi dan pandangan tersebut. Mereka berusaha menunjukkan bahwa kaum perempuan justru memberikan konstribusi yang signifikan dalam kegiatan ekonomi meskipun menyandang status ibu rumah tangga.
Berbagai studi tentang konstribusi perempuan dalam kehidupan rumah tangga telah pula dilakukan di berbagai tempat. Hasil studi itu memperlihatkan bagaimana ibu-ibu rumah tangga tersebut memberikan konstribusi yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangganya.
Setidaknya, ada lima citra yang dengan itu nilai perempuan dapat dilihat dalam karya sastra, yaitu sebagai citra pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan.
Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri biologis tertentu, seperti buah dada, pinggul, dan seterusnya, maupun ciri kewanitaan yang dibentuk budaya seperti rambut panjang, betis ramping mulus, dan sebagainya.
Citra tersebut pada generasi sastra 2000-an berhasil dikupas oleh Ayu Utami dkk. Rata-rata penulisnya memang kaum perempuan. Mereka beranggapan, sudah sejak lama citra perempuan dalam karya sastra didominasi kaum lelaki. Padahal, cuma akaum perempuanlah yang tahu dan memahami kondisi biologis perempuan.
Maka, aroma sastra wangi dalam perjalanan kesusastraan kita sangat terasa pada penghujung abad 21, seperti terlihat pada Saman, Larung, Jangan Bilang Saya Monyet, Jangan Bermain-main dengan Kelamiku, dan sebagainya. Penampilan citra pigura ini sangat berbeda pada era NH. Dini, La Rose, Mira W (era 1970-an s.d. 1980-an).
Sedangkan pada citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan perempuan itu sederajat, tapi kodratnya berbeda. Karena itulah, wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya berbeda pula.
Gerakan kaum feminisme untuk membuktikan bahwa kegiatan ekonomi sangat berkaitan dengan peran perempuan, termasuk yang memosisikan dirinya sebagai ibu rumah tangga, hingga saat ini cukup kuat.
Hal ini tentunya merupakan bagian yang penting bagi upaya gerakan feminisme untuk menuntut keadilan dan kesamaan hak dalam kehidupan masyarakat. Juga, tidak memungkinkan untuk memperkirakan sumbangan pekerjaan perempuan terhadap nafkah keluarga dan meramalkan jumlah anggota keluarganya.          
Sebagaimana dimahfumi, ada berbagai latar belakang perempuan memasuki pasar kerja. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, terutama bagi perempuan yang belum bersuami tetapi juga menopang keberlangsungan ekonomi keluarga.
Kedua, perempuan tidak lagi bersuami tetapi harus memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarganya. Ketiga, masih bersuami namun ikut membantu suami dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan rumah tangganya.
Karena itu, pendapatan perempuan akan berpengaruh menyamaratakan terhadap ketimpangan kelas dengan menyamakan perbedaan yang terdapat dalam pendapatan total rumah tangga.
Argumen ini bisa saja dapat ditukar dengan cara lain, misalnya penghasilan perempuan adalah terpenting artinya dalam rumah tangga yang para penerima gajinya terdiri dari pekerja kurang terampil dan bekerja pada pekerjaan yang berupah cukup.
 Citra perempuan yang bekerja ini sering terlihat dalam karya sastra. Misalnya, tentang perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, pembantu rumah tangga, perempuan karier, pramugari, sekretaris cantik, buruh industri, dan sebagainya.
Citra peraduan menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki, khususnya pemuasan seksual. Sehingga, seluruh kecantikan perempuan, baik kecantikan alamiah maupun buatan (melalui kosmetik), disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan konsumtif.
Citra peraduan ini sering dibidik pengarang yang menonjolkan erotisme perempuan. Karya-karya sastra wangi yang pernah booming pada awal tahun 2000-an secara vulgar mengeksploitasi keperempuanan dan keperawanan sebagai modal dasar untuk menjatuhkan kaum lelaki. Drama Lysistrata Aristophanes juga menceritakan apa yang terjadi ketika kaum perempuan melakukan mogok seks terhadap kaum lelaki.
Untuk citra pinggan, digambarkan bahwa betapapun tingginya perempuan dalam memperoleh gelar pendidikan dan sebesar apapun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Berkat teknologi pula, kegiatan di dapur ini tidak lagi berat dan membosankan. Ada kompos gas, mesin cuci, bahan masakan instan, dan sebagainya.
Citra pinggan ini misalnya tentang perempuan saleha yang pintar menyenangkan suami dan anak-anak, tentang ibu yang bijaksana terhadap anak-anak,  dan sebagainya, seperti terlihat pada novel Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El-Shirazy), Di Bawah Lindungan Ka’bah (Hamka), Salah Asuhan (Abdul Muis) atau sajak Surat dari Ibu (Asrul Sani).
Terakhir dalam citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang selalu khawatir tidak tampil memikat dan menawan. Untuk dapat diterima, perempuan perlu melakukan perawatan tubuh secara khusus. Bentuk atau lekuk tubuh, aksentuasi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan kosmetik dan aksesoris yang selaras sehingga seorang perempuan bisa anggun dan menawan, mengundang pesona, dan unggah-ungguh fisik perlu dijaga sedemikian rupa agar menarik dan tidak membawa implikasi rendah diri di arena pergaulan luas.
Citra pergaulan itu kerap dipotret pengarang sebagai obyek bermulanya konflik. Konflik terjadi ketika perempuan secara psikologis menjadi pencemburu karena merasa tidak tampil memikat dan menawan terhadap suaminya, atau suami yang selingkuh terhadap perempuan yang dapat menjaga citra pergaulannya, dan sebagainya.
Nah, ilustrasi tersebut menunjukkan, nilai atau mitos perempuan telah dimanfaatkan bersamaan menngkatnya profesionalisme di kalangan sastrawan. Perempuan dianggap lebih efektif merebut khalayak sasaran. Tidak peduli hal itu bisa dikategorikan sebagai proses dehumanisasi perempuan – meminjam istilah Kasiyan (2008) – yang pada akhirnya akan benar-benar merendahkan martabat perempuan.
Memang demikiankah yang terjadi pada diri perempuan?
Nilai perempuan dalam karya sastra barangkali akan selalu sejalan dengan nilai dalam masyarakat. Semakin masyarakat hipokrit dan patriarkis, semakin kuat pula perempuan menjadi simbol represi, dan pada gilirannya perempuan akan semakin diburu oleh industri budaya. ***


 sumber : Rubrik Rebana, Harian Analisa, Minggu 13 Juli 2008, Halaman 7

Senin, 07 Mei 2012

MORAL, KEMANUSIAAN, MASYARAKAT


Moral
Ada dua tujuan besar karya sastra ditulis orang : hiburan dan pendidikan. Yang dimaksudkan dengan unsur moral atau pengajaran itu ialah tujuan besar karya dihasilkan, yaitu untuk pendidikan. Sememangnyalah semua karya ada mengandung unsur pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan di sini ialah menyampaikan sesuatu pesan atau amanat untuk meningkatkan cara berpikir, menambah pengetahuan, menjadikan seseorang itu lebih peka dan sensitif serta berbudi bahasa. Karya sastra, pada umumnya, menginginkan pembacanya mengambil hikmah atau pelajaran dari karya yang dibacanya, supaya ia dapat meningkatkan moralnya.
Kajian dari sudut moral memang patut diajarkan dan diperkuatkan. Ada berbagai cara pertanyaan itu dibuat, seperti apakah nilai pengajaran yang boleh didapat dari karya tersebut, sebutkan pesan yang hendak disampaikan, dan sebagainya.
Unsur-unsur moral dan pengajaran dalam sastra dapat dilihat dari berbagai cara. Pertama, mengkaji cerita yang dikemukakan pengarang; apa unsur-unsur moral yang hendak disampaikan. Ini dapat kita bicarakan setelah selesai atau tamat membaca sebuah karya sastra, karena unsur moral biasanya tidak dinyatakan oleh  pengarang dengan jelas. Jadi, terpaksa kita sendiri mencari di balik penceritaannya.
Kedua, unsur moral dapat dilihat dari sudut apakah pesan yang hendak disampaikan oleh sang pengarang. Ada kalanya pesan itu adalah moral karya, tetapi harus dipahami tidak semua pesan karya menjadi unsur moral. Begitu juga aspek persoalan dan pemikirannya juga dapat dijadikan unsur moral, karena apa yang hendak diutarakan pengarang ada saatnya mengandung unsur moral. Sama seperti pesan, tidak semua persoalan dan pemikiran dalam karya sastra dapat dikatakan membawa unsur moral.
Ketiga, unsur moral dapat juga dilihat dari tindakan dan sikap para tokoh dan wataknya. Ini terlebih lagi dapat dikaji dari gerakan watak-watak pemeran utamanya. Sikap watak tidak saja memperlihatkan unsur-unsur moral, namun sekaligus juga dapat mengemukakan contoh moral yang baik.
Unsur moral dalam karya sastra ada hubungannya dengan aspek falsafah dan agama, dan ini merupakan suatu kajian di tingkat selanjutnya. Termasuklah unsur-unsur premis  dan ide yang menjadi tulang punggung penciptaan karya yang sering kali bertalian dengan unsur moral. Konsep dan nilai moral itu juga sering berubah. Perubahan ini diakibatkan oleh perkembangan budaya dan pemikiran manusia. Dan moral suatu bangsa tidak pula sama antara satu sama lain.

Kemanusiaan
Aspek manusia atau unsur kemanusiaan juga merupakan suatu bidang penelitian dalam karya sastra, yang harus diteliti dan ditelaah secara komprehensif. Unsur manusia dan kemanusiaan begitu kental dalam sastra, karena sastra mempunyai hubungan langsung dengan manusia. Apalagi, yang menjadi karakteristik utama dan karakter tokoh lainnya, terdiri dari manusia. Begitupun ada juga karya sastra yang menggunakan tokoh  hewan seperti karya-karya sastra lama atau sastra lisan di Indonesia, terutama dongeng.
Sastra dihasilkan manusia, menggambarkan manusia dan situasi kemanusiaan. Yang menjadi pembacanya secara akrab dan langsung adalah juga manusia. Karenanya, unsur-unsur kemanusiaan sangat kaya dalam sastra. Seorang sastrawan dalam proses penciptaannya ingin menggambarkan kehidupan manusia, pemikiran, perasaan, sikap, dan cita-cita manusia. Apapun yang diceritakan oleh para sastrawan mau tidak mau tetap menyangkut soal kemanusiaan. Bahkan, karya sastra yang baik seperti yang ditulis Shakespeare, misalnya dalam Hamlet, menggambarkan manusia dan kemanusiaan dengan cukup bulat dan kuat.
Membicarakan unsur kemanusiaan dan aspek manusia dalam karya sastra, setidaknya ada tiga bagian yang dapat dilakukan. Pertama, melihat atau menganalisis sifat-sifat kemanusiaan yang terwujud dalam karya. Di antaranya, perasaan, kasih sayang, hormat-menghormati, sombong, pemurah, pendendam, dan sebagainya. Yang terpenting ialah bagaimana unsur kemanusiaan itu mempunyai peranan dalam pengembangaan cerita. Dan bagaimana pula cara  sastrawan mengemukakannya.
Kedua, membahas bagian-bagian dalam karya yang berhubungan dengan situasi untuk menonjolkan manusia. Sering juga disebut sebagai pembahasan karya yang menyentuh masalah memanusiakan manusia. Termasuk di dalamnya mengenai kesadaran manusia terhadap kelemahan dan kekuatannya, perasaan gagal ataupun keyakinan diri dan tindakan-tindakan yang masuk akal atau perasaan, dan sebagainya. Di sini tentunya melibatkan kegiatan atau aksi watak, baik berbentuk fisik, mental maupun kejiwaan para tokoh utama.
Ketiga, melihat makna keseluruhan dalam karya kemudian dikaitkan dengan unsur kemanusiaan. Apakah makna yang terkandung dalam cerita memiliki unsur kemanusiaan atau tidak. Kalau ada, apakah ia halus atau ringan. Soalnya, terkadang ada karya sastra yang mengakhiri ceritanya dengan mengemukakan unsur kemanusiaan, seperti adanya unsur pengorbanan, perjuangan, kerelaan, dan  sebagainya.
Dalam hal meninjau unsur kemanusiaan ini, sebenarnya ada pertalian dengan gambaran masyarakat dan aspek moral. Begitu juga ada kaitannya dengan gambaran kejiwaan atau psikologi. Antara satu sama lainnya mempunyai hubungan yang erat. Hanya saja, cara penekanan masing-masing aspek itu yang dapat menentukan unsur mana yang ditegaskan pengarang dalam karyanya.
Biasanya, seorang pengarang berbakat memiliki daya sensitivitas yang tajam dan peka dengan alam sekitarnya, ia akan memasukkan unsur-unsur kemanusiaan dalam karyanya. Unsur kemanusiaan inilah yang akan menjadikan karyanya bermutu atau tidak. Pembaca tentunya juga akan terasa terlibat jika unsur kemanusiaan  ini dijalin dengan sebaiknya.

Kemasyarakatan
Setiap karya tidak lahir dalam keadaan hampa atau kekosongan sosial. Karya sastra adalah ekspresi masyarakat. Dan sebuah karya itu dapat menggambarkan situasi atau pergolakan masyarakat. Pendek kata, karya sastra dapat dijadikan bahan untuk mengetahui seluk-beluk dan gambaran masyarakat. Singkatnya, dalam karya sastra terdapat berbagai nilai sosial; malah ada yang menyatakan sebuah karya sastra tidak akan menjadi besar atau agung jika ia tidak berhasil mengungkap masalah masyarakat dan hal ihwal manusia yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.
Pendekatan yang mengkaji hubungan masyarakat dalam karya disebut sosiologi atau ukuran-ukuran kemasyarakatan. Dengan menggunakan pendekatan ini, kita lebih memahami karya itu. Bahkan, ahli sosiologi dapat mengkaji bukan saja mengenai keadaan masyarakat yang diceritakan pengarang, tetapi juga membina berbagai teori kemasyarakatan. Karenanya, karya  sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Pendekatan kemasyarakatan mempunyai beberapa aspek yang hendak dikaji. Pertama, mengkaji diri pengarangnya sendiri. Dengan mengkaji latar belakang pengarang, pendidikannya, sosialisasinya, dan sebagainya, kita dapat lebih memahami karyanya. Ini sebenarnya ada kaitannya dengan apa yang sering disebutkan bahwa  setiap yang ditulis pengarang selalu memiliki kaitan dengan dirinya, pengalaman ataupun imajinasinya. Diri pengarang ada hubungan dengan karyanya. Malah terkadang apa yang ditulis merupakan cerita fakta mengenai diri sang pengarang, namun tentunya mendapat beberapa tambahan guna mendramatisasikan keadaan.
Kedua, pendekatan ini melihat atau menguraikan gambaran masyarakat yang ditulis di dalam karya sastra. Setiap karya sastra apapun mau tak mau atau sedikit banyak akan menyentuh seluk-beluk masyarakat; maka pendekatan ini menguraikan bentuk, sifat, dan ciri-ciri kemasyarakatan yang terdapat dalam karya.
Dengan adanya uraian ini, kita dapat memahami situasi masyarakat yang diceritakan. Para pembaca juga dapat mendapatkan pengajaran dan teladan dari peristiwa yang diceritakan, seperti nilai-nilai pertentangan kelas dan kedudukan sosial masyarakat tersebut. Ini tidak hanya memahami masyarakat yang ada di dalam karya, tetapi sekaligus memahami bentuk masyarakat si pengarang.
Ketiga, membahas fungsi dan pengaruh hasil karya. Sebuah karya, pengarang, aliran dan kesusastraan keseluruhan, mempunyai tugas dan pengaruh yang besar terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. Karya sastra dapat memberi sumbangan ke arah membukakan mata masyarakat yang buta, memberikan bimbingan, dan sebagainya.
Pengaruh ini termasuk juga melihat kesan yang diberikan sesuatu bentuk, aliran, atau angkatan penulis. Pengaruh institusi juga memberikan kesan timbal-balik kepada perkembangan kesusastraan. Artinya, di antara masyarakat dan karya tidak saja mempunyai hubungan dan pengaruh, tetapi juga menyatu dan lekat antara satu dengan lainnya.

NILAI DAN FUNGSI SASTRA


Sastra = Pertunjukan kata-kata
Sastra ialah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain,  memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah sastra atau karya sastra : prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra, kita akan memeroleh ”sesuatu” yang dapat memerkaya wawasan dan/atat meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.
Robert Frost menyebutkan, sastra ialah pertunjukan dalam kata. Ini berkaitan dengan seni. Jadi, dapat pula dikatakan bahwa sastra itu pada hakikatnya adalah pertunjukan dalam kata-kata.  Dengan pertunjukan ini, sastra memiliki kekuatan untuk menghibur. Dengan adanya kata-kata yang menjadi komponen pentingnya, sastra juga memiliki potensi untuk mengajar. Pengajaran tidak mungkin berlangsung tanpa kata-kata meskipun pendidikan lebih efektif disampaikan melalui tindakan.
Hakikat sastra sebagai seni pertunjukan dalam kata dapat diterapkan kepada segala jenis sastra. Sastralah lagu rakyat yang dinyanyikan dan memberikan rasa senang kepada kita. Sastralah pada daun lontar yang ”mempertunjukkan” dan ”mengabadikan” buah pikiran dan renungan Mpu Kanwa tentang keagungan Raja Airlangga. Demikian pula sastralah yang mempertunjukkan seorang gadis Minang yang malang bernama Sitti Nurbaya. Sastralah yang menampilkan sosok seorang manusia yang terobsesi semangat mau hidup seribu tahun lagi dalam ”Aku” karangan Chairil Anwar.
Sebagai seni pertunjukan, sastra paling praktis jika dibandingkan dengan seni pertunjukan lainnya. Teks sastra yang ditulis ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, dapat ”dipertunjukkan” kapan dan di mana pun. Seni-seni lain tidak sepraktis sastra. Untuk menikmati seni tari, misalnya, diperlukan ruang khusus, waktu khusus, dan orang-orang khusus pula. Untuk menghibur diri dengan seni musik, kita memerlukan persiapan berikut manusia yang memainkan peralatan musik tersebut dalam waktu dan tempat tertentu.
Lalu, kenapa sastra harus menghibur? Menghibur bukan berarti membuat pembaca terpingkal-pingkal karena tak dapat menahan tawanya. Namun lebih kepada kepuasan batin ketika mengikuti alur cerita. Herman J. Waluyo (2006) memberikan istilah katarsis, yaitu pencerahan jiwa atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat atau terhadap keterbatasan individu yang sering kali melabrak posisi Tuhan. Memang, ada pengarang yang merepresentasikan karyanya sebagai hiburan dalam artian membuat pembaca hanyut dalam tawanya. Seperti cerita “Kambing Jantan” (2006) misalnya (maaf saya lupa nama pengarangnya) yang penuh dengan kekonyolan-kekonyolan. Namun entah kenapa karya-karya seperti ini sering dianaktirikan sebagai bukan karya sastra tetapi karya teenlit atau sastra prematur.
Jelaslah, sastra itu seni yang paling praktis bagi kita. Namun, seni yang paling praktis itu sering terabaikan. Apresiasi sastra kita terhadap sastra demikian rendahnya. Mengapa? Inilah yang perlu dicari jalan keluarnya.


Nilai Sastra
Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik.
Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai itu dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau di dalam larik, kuplet, rima, dan irama.
            Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain adalah sebagai berikut:
(1)   nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;
(2)   nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melaksanakan suatu pekerjaan;
(3)   nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan;
(4)   nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral, relligion value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama;
(5)   nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Fungsi Sastra
Abdul Wachid B.S. secara eksplisit mengemukakan dalam buku kumpulan esai sastranya berjudul “Sastra Pencerahan” (2005) bahwa sastra berfungsi sebagai media perlawanan terhadap slogan omong-kosong tentang sosial kemasyarakatan. Sapardi (1979) mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan yaitu:
a)      Sudut pandangan ekstrim kaum Romantik misalnya menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; dalam anggapan ini tercakup juga pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
b)      Dari sudut lain dikatakan bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini, gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best seller.
c)      Semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Lantas apa fungsi sastra sebenarnya? Tidak terlalu susah namun dikatakan mudah pun juga tidak dalam menentukan fungsi sastra. Namun, pendapat Sapardi di atas adalah pendapat umum tentang fungsi sastra. Kenapa sastra berfungsi sebagai pembaharu? Seperti yang sudah disebutkan jauh di atas, sastra adalah ruang dinamis yang terus bergerak. Akan ada sesuatu yang baru dalam dunia kesastraan. Pendapat yang baru merupakan penyusunan kembali pendapat lama. Kadang-kadang menjadi inspirasi tiada tara. Keadaan yang dinamis ini tentunya tidak akan menciptakan kondisi yang adem ayem saja, tetapi karena sastra itu bergerak dan berpikir, maka polemik, kritik sana-kritik sini adalah hal yang lumrah.
Dari uraian di atas, fungsi sastra dapat dibagi pada beberapa hal.

1.        Sastra sebagai pembentuk Wawasan Baru
Dalam membaca sastra, baik puisi maupun prosa, kita sebenarnya membentuk wawasan baru yang selama ini tidak muncul di dalam jiwa kita. Bagaimana sikap ibu yang baik, umpamanya, dapat kita lihat dalam sastra. Pada suatu saat sosok seorang ibu yang bijaksana kita baca di dalam sebuah novel karena kebijaksanaannya itu menyentuh batin kita. Pada saat lain, kebijaksanaan yang menyentuh itu tidak dapat kita terima lantaran kita telah membaca sebuah novel dengan sosok ibu yang lain yang sebenarnya lebih menyentuh daripada sosok ibu yang pertama. Keberadaan sastra seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sarana pembentuk wawasan baru bagi kita.
Bandingkan konsep ibu dalam sajak Surat dari Ibu (Asrul Sani) dengan cerita Malin Kundang (anonim), dan roman Salah Asuhan (Abdoel Moeis).

2.        Sastra sebagai pembentuk Kepribadian Bangsa
Apa yang dapat ditarik dari sebuah karya sastra dalam hal pembentuk kepribadian bangsa? Banyak sekali yang dapat ditarik dan diambil. Tidak hanya pada sastra Indonesia Modern, pada sastra Indonesia lama pun kita mendapatkan nilai kepribadian kita itu.
Nilai kesetiaan seorang istri kepada suami nyata dapat kita lihat pada banyak sastra kita. Nama Puti Subang Bagalang dalam sastra Minangkabau adalah nama tokoh mitos atau tokoh legenda yang dihubungkan dengan kesetiaan. Tunangan Puti Subang Bagalang yang bernama Magek Manandin dituduh mencuri sapi sehingga harus dibuang ke lurah dalam. Magek Manandin itu tidak pernah diharapkan untuk kembali oleh siapa pun. Akan tetapi, Puti Subang Bagalang tetap menanti kedatangannya itu walaupun dia sudah tahu bahwa Magek Manandin tidak akan pernah datang.
 Ni Nogati dalam Setahun di Bedahulu (Armijn Pane) tidak mau menjadi orang yang tidak berguna. Kalau dia sekali dapat mengalihkan cintanya, tentu dia dapat mengalihkan cintanya untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Hal sama dapat terlihat pada kesetiaan Widuri terhadap suaminya walaupun dia tidak mencintai suaminya dalam Kugapai Cintamu (Ashadi Siregar). Bagaimana dengan kamu?

3.        Sastra sebagai sarana Fatwa dan Nasihat
Sastra banyak memberikan fatwa kepada pembaca baik secara langsung maupun tidak langsung. Fatwa yang ada itu dapat dipetik oleh pembaca sebagai pengetahuan yang baru. Akan tetapi, fatwa tersebut dapat pula dipandang sebagai penggugah, peremaja, peningkat, atau penyistem pengetahuan pembacanya. Fatwa dapat diserap pembaca setelah selesai membaca novel yang isinya dapat disimpulkan oleh pembaca sendiri. Fatwa dapat pula disimak dari peristiwa yang disampaikan tokoh-tokohnya.

4.        Sastra sebagai Kritik Sosial Masyarakat
Kritik sosial dalam sastra dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sastra itu memang mengungkapkan kebobrokan masyarakat dan ketidakpuasan masyarakat terhadap apa-apa yang sudah dimilikinya.  Jika manusia mendapat satu macam, mereka inginnya dua macam. Jika sudah mendapat dua macam, mereka ingin tiga macam. Begitulah terus-menerus ketidakpuasan itu terjadi pada diri manusia.

5.        Sastra sebagai Catatan Warisan Kultural
Sekolah dan universitas memberikan pelajaran dan pengetahuan orang tentang Indonesia. Karya sastra mempunyai fungsi untuk itu secara tidak langsung. Kalau kita membaca karya sastra yang terbit pada tahun-tahun terdahulu, kita akan mengetahui tentang corak budaya pada masa novel itu ditulis. Novel Sitti Nurbaya yang terbit pada 1922 menyuarakan suatu kebudayaan, yang kebudayaan ”kawin paksa”. Pada tahun 1922 kebudayaan kawin paksa masih berlangsung. Pada tahun 1922 kebudayaan ”seorang penghulu atau pemuka masyarakat mempunyai istri lebih dari satu orang” hadir di tengah masyarakat. Bagaimana pula dengan novel Salah Asuhan-nya Abdoel Moeis (1928), Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1945), Hulubalang Raja Nur Sutan Iskandar (Balai Pustaka), Saman Ayu Utami, Laskar Pelangi Andrea Hirata  atau Ayat-ayat Cinta Habiburrahman El Sirazy (2000)?

6.        Sastra sebagai Pengalaman Perwakilan
Sastra, walaupun suatu karya fiktif, dapat memberikan informasi kepada kita tentang tempat-tempat yang kita belum tahu. Karya sastra juga akan memberi informasi tentang apa yang ada di suatu tempat yang tempat itu tidak sempat dikunjungi oleh pembaca. Pengalaman sastrawan tentang suatu tempat atau keadaan itu ditularkan kepada pembaca dengan karyanya, baik berupa sajak maupun novel. Melalui informasi yang ada di dalam sebuah sajak atau novel, kita mengetahui tempat-tempat penting atau keadaan-keadaan penting, situasi penting, dan sebagainya. Melalui pembacaan sajak yang termuat dalam buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, kita mengetahui bahwa daerah Karet adalah tempat pemakaman umum di Jakarta. Upacara karya Korri Layun Rampan merupakan sebuah novel yang bercerita tentang adat istiadat bermasyarakat atau cara bermasyarakat di Kalimantan, yaitu suku Dayak.

7.        Sastra sebagai Manivestasi Kompleks Tertekan
Tidak sedikit karya sastra lahir dari suatu luapan perasaan yang paling dalam. Karya sastra menjadi suatu sublimasi dari ketertekanan sehingga bahasa, imaji, serta teknik penceritaannya menjadi meluap-luap. Oleh sebab itu, karya sastra jenis ini perlu dipahami karena di dalamnya terdapat ide atau gagasan yang ide dan gagasan itu tidak dapat muncul di alam sadar. Sajak ”Kembalikan Indonesiaku Padaku” karya Taufik Ismail merupakan salah satu sajak yang bersifat melampiaskan apa yang tidak dapat dikatakan melalui dunia biasa, alam sadar, atau alam normal. Hal sama dialami Iwan Simatupang. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Indonesia sudah kehilangan pribadi. Kecemasan dan kegelisahannya diungkapkannya dalam novel Kooong (1975). Dalam novel ini, Iwan mengkhawatirkan Indonesia yang penuh dengan kehidupan glamour ala Barat, padahal Indonesia mempunyai kehidupan tenang, dengan kokok ayam yang menyamankan hati, nyanyian burung yang merdu pada setiap tempat.

8.        Sastra sebagai Manivestasi Keindahan
Sastra sebenarnya tulisan yang indah. Oleh sebab itu, sastra dapat memunculkan kenangan bagi pembacanya. Kesenangan itu disebabkan oleh kehadiran pengalaman baru bagi pembaca. Pembaca dapat mengembangkan imajinasinya untuk mengenal daerah atau tempat yang asing, yang belum dikunjunginya, atau yang tak mungkin dapat diungkapkan lewat sastra. Bentuk-bentuk baru yang dimunculkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dengan sajaknya yang aneh, membuat kita merasa senang karena kita menemukan yang baru, membaca hal baru, dapat memberikan nuansa indah baik tentang makna maupun bentuknya. Cara penceritaan Supernova (2001) karya Dewi Lestari juga memiliki kebaruan, yakni seperti silang antara gelang cerita dan inti cerita. Pada gelang cerita hadir Ruben dan Dhimas. Pada inti cerita hadir Ferre, Rara, dan Diva. Akan tetapi, pada suatu saat Diva dapat muncul pada gelang cerita. ***

TINJAUAN STRUKTUR SASTRA


Tema = Rekonstruksi imajinasi
Setiap cerita (fiksi) yang baik tidak hanya berisi perkembangan suatu peristiwa atau kejadian, tetapi juga menyiratkan pokok pikiran yang akan dikemukakan pengarang kepada pembaca. Itulah yang menjadi dasar, gagasan utama, atau tema cerita. Cerita yang tidak mempunyai tema tentu tidak ada manfaatnya bagi khalayak pembaca.
Sebagai pokok persoalan, tema merupakan sesuatu yang netral. Dalam tema, boleh dikatakan belum terlihat kecenderungan pengarang untuk memihak. Oleh karena itu, masalah apa saja dapat dijadikan tema dalam cerita atau karya susastra.
Tema dapat menyangkut idaman remaja, kerukunan antarumat beragama, kesetiaan, ketakwaan, korupsi, pemanfaatan air, atau bahkan kengerian yang ditimbulkan perang. Cerita dapat menjadi lebih menarik apabila pokok pembicaraan itu baru, hangat, atau bercorak lain daripada yang lain.
Nah, bayangkan suatu ketika terjadi aksi unjuk rasa di gedung wakil rakyat, memprotes penyerobotan tanah. Pasalnya, pihak pengembang (developer) memaksakan kehendak membeli lahan penduduk dengan harga relatif murah. Masyarakat bertahan, pihak pengembang tak kehabisan akal. Sejumlah pejabat penting dan aparat menjadi perpanjangan tangan.
Karuan, masyarakat tak berkutik. Secara mendadak mesin buldoser membahana dan memorakporandakan rumah penduduk. Jerit tangis warga tak lagi terdengar, lenyap ditelan bising buldoser hingga mengangkasa. Sebagai jalan terakhir, mereka menempuh jalur politik ke gedung wakil rakyat. Mereka berharap mendapat pembelaan.
Sayangnya, di gedung dewan mereka tidak menemukan sesiapa. Tidak seorang pun wakil rakyat muncul di hadapan mereka. Hati warga menjadi masygul. Itukah jelmaan suara rakyat yang pada masa kampanye bertekad memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas?
Apa yang Anda lakukan sebagai pencerita?

Watak = pelaku imajinatif
Pelaku yang ditemukan dalam cerita fiksi adalah pelaku yang imajinatif, pelaku yang ada di dalam benak pengarang. Tidak akan dijumpai, sekalipun dicari pada seantero dunia.tidak dapat ditangkap oleh alat dria. Ia hanya dapat ditangkap oleh daya imajinasi seseorang. Raut muka, bentuk tubuh, sepak terjang, dan karakter pelaku dapat dikenal melalui penggambaran, baik yang dilakukan pengarang, pencerita maupun pelaku.
Berikut ada beberapa hal yang menjadi petunjuk bagi pembaca untuk mengetahui sifat tokoh, yaitu:
1.      melalui keterangan langsung dari tokoh
2.      melalui apa yang dikerjakan
3.      melalui ucapan-ucapannya
4.      melalui penggambaran fisik tokoh;
5.      melalui pikiran-pikirannya;
6.      melalui keterangan langsung dari pengarang.

Point of View
Point of view menjawab pertanyaan: siapakah yang menceritakan kisah ini?; bagaimana kisah ini  diceritakan? Point of view adalah visi pengarang, sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Lazim disebut gaya pengarang.  Pemilihan point of view sangat penting sebab akan menyangkut masalah seleksi terhadap kejadian-kejadian cerita yang akan disajikan, menyangkut masalah ke mana pembaca akan dibawa, menyangkut masalah kesadaran siapa yang dipaparkan.
Ada empat macam point of view, yakni:
1)      Omnicient point of view (sudut pandang Yang Berkuasa). Di sini pengarang serba tahu. Ia bisa menciptakan apa saja yang diperlukannya guna mencapai efek yang diinginkannya. Ia bisa mengeluar-masukkan tokoh-tokoh cerita. Ia bisa mengungkapkan perasaannya, kesadaran, dan jalan pikiran para pelaku. Sangat cocok pada cerita sejarah, edukatif atau humor.
2)      Objektive point of view. Hampir sama dengan omnicient, namun pengarang tidak sampai memberi komentar. Pembaca hanya disuguhi ”siaran pandangan mata”. Sama seperti penonton pertunjukan teater. Ia sama sekali tidak masuk ke dalam pikiran pelaku. Penulis modern banyak melakukan teknik seperti ini.
3)      Point of view orang pertama. Ini yang banyak digunakan pengarang di Indonesia. Ia menggunakan sudut pandang ”aku”. Karena itu, pengarang harus berhati-hati, apakah ”aku” sang tokoh sama dengan ”aku” sang pengarang. Terkadang pengarang tidak bisa melepaskan dirinya dengan si ”aku” dalam cerita.
4)      Point of view peninjau. Si pengarang menggunakan tokoh ”dia”. Hampir sama dengan teknik orang pertama, namun menggunakan pihak ketiga, si dia.

Plot
Plot ialah jalan cerita yang melahirkan konsep dan menggerakkan cerita dari awal hingga akhir. Plot pada karya sastra bergantung besar kepada konflik. Konflik ini dapat dilihat dari gerakan aksi para tokoh, penggunaan unsur dramatik, pembinaan dramatikalnya, dan bagaimana konflik memuncak sampai kepada tahap klimaks.
Filosof Aristoteles adalah orang pertama yang menggariskan arti plot dalam karya sastra pada kurun kedua sebelum Masehi. Bukunya Poetics menjelaskan, "plot is the imitation of the action". Plot ialah suatu peniruan terhadap aksi manusia yang selaras dengan jalan hidup manusia. Pendeknya, plot adalah perkembangan cerita yang digerakkan oleh aksi dan peristiwa serta ia terjalin dari awal hingga akhir; melahirkan satu kesatuan cerita.
Aristoteles menentukan tiga tahap plot, yakni :
n  Protasis : Bagian pengenalan atau eksposisi.
n  Apitasis : Bagian krisis dan klimaks
n  Katastasis : Bagian peleraian, penyelesaian, dan penutup.

Dalam perkembangannya, tahap pengembangan plot dijadikan dari tiga kepada lima bagian, yakni :
n  Eksposisi.
n  Krisis dan meruncingnya peristiwa.
n  Pemuncak dan klimaks.
n  Anti-klimaks atau penurunan dan jawaban.
n  Penyelesaian.

Bagaimanapun, struktur plot itu hanya digunakan di dalam karya sastra bercorak dan aliran realisme. Karya sastra mutakhir atau absurd dan abstrak sudah tidak memakai plot seperti itu. Lebih menggunakan plot situasi dan plot yang disifatkan anti-plot. Yang dimaksudkan dengan anti-plot bukan berarti ia tidak mempunyai plot, ia tetap mempunyai plot, jika tidak bagaimana hendak mengembangkan ceritanya. Anti-plot juga berarti karya sastra yang mempunyai plot tetapi tidak menggunakan plot konvensional. Plot konvensional ialah yang menggunakan  lima atau tiga tahap tadi.

Bahasa
Satu kriteria yang umum dan dominan dipakai dalam menilai keindahan atau estetik sebuah karya sastra banyak bergantung kepada penggunaan bahasanya. Dari pemakaian bahasalah, karya tersebut diekspresikan dan dikomunikasikan dengan audien.
Hal-hal penting yang menjadi bidang pembicaraan bahasa ialah melihat pemilihan dan penggunaan kosa kata, menganalisis struktur kalimat, meninjau aspek makna, menguraikan unsur-unsur dramatikal bahasa, gaya individualisme, dan sifat-sifat ekspresi pengkaryaan yang mengomunikasikan karya itu dengan  peminatnya. Dari sini barulah beranjak ke arah pencapaian nilai kesusastraannya sebagai hasil kreatif dan hubungannya dengan zaman.
Dalam aspek pemilihan dan penggunaan kosa kata atau diksi (leksikal), yang ingin dilihat adalah sejauh mana perkataan itu memiliki keistimewwan tersendiri atau berjaya untuk menimbulkan imaji dan ide yang hendak digambarkan. Apakah ia sesuai dengan persoalan dan pemikiran karya?  Di sini bisa dilihat penggunaan beberapa segi, seperti berapa banyak kosa kata daerah, intelektualitas atau tidak, dan sebagainya, apakah ia wajar digunakan! Pemilihan kosa kata juga ada kaitannya dengan bentuk dan aliran sastra.
Dengan menggunakan kriteria kosa kata dan unsur bahasa akan dapat memperlihatkan suasana dan sifat pengarang. Kosa kata yang pendek dan ringkas sesuai dengan suasana ketegangan dan sejalan dengan pengarang realisme. Penganalisisan struktur kalimat dapat dilihat dari jenis panjang pendeknya kalimat tersebut. Kapankah seorang penulis harus menggunakan kalimat yang panjang dan kenapa pula dalam saat tertentu menggunakan kalimat yang pendek?  Dalam suasana kejutan atau konflik, misalnya, memerlukan kalimat-kalimat yang pendek, sementara dalam menggambarkan suasana penuh romantik atau berfalsafah, cocok menggunakan kalimat yang panjang. Ada masanya pula kalimat-kalimat itu diulang-ulang atau dipilah-pilah untuk menghasilkan keindahan.
Dari segi makna atau semantik, bertujuan untuk mengkaji keseluruhan penggunaan dimensi bahasa, apakah karya itu memiliki pengertian yang mudah atau berat, dalam atau dangkal, terbuka atau tertutup, lurus atau bersimbol, dan sebagainya. Kajian ini untuk mengemukakan persoalan dan pemikiran yang hendak disampaikan oleh pengarangnya. Banyak kita temui karya-karya, misalnya sastra absurd, agak sukar untuk dipahami, maka penganalisisan dari sudut semantik ini diharapkan dapat menolong.
Selanjutnya, terdapat banyak sekali unsur ketaksaan dalam karya sastra, misalnya perbandingan, kiasan, eufemisme, epigram, dan lain-lain. Unsur-unsur ini dipergunakan dalam usaha sang penulis hendak memperindah dan memperkuat ungkapan-ungkapan dialognya serta memberikan makna yang tajam dan kokoh. Seorang sastrawan, yang sangat mengetahui dan peka dengan peranan bahasanya, akan mengaplikasikannya dengan penuh kesadaran serta berusaha menciptakan ungkapan-ungkapan yang padu dan berkesan.
Pendekatan stilistika ini juga memersoalkan masalah gaya keseluruhan penggunaan bahasa yang dominan bagi seseorang penulis, dan dapat membuat tanggapan serta kesimpulan, yang akhirnya dapat memperlihatkan kepribadian sang penulis. Kekuatan bahasa ini selalu muncul dari hasil kekuatan kepengarangannya dan berhasil membentuk gaya individualnya sendiri. Rendra dan N. Riantiarno, misalnya, memiliki gaya pribadinya sendiri. Begitu juga Putu Wijaya dan Arifin C. Noer unggul dalam genre cerita rekaan.
Adalah menjadi tugas kita untuk mengkaji dan menganalisis gaya pribadi seseorang penulis. Dari situ, diharapkan dapat melihat tinggi-rendahnya mutu karya yang dihasilkan. Shakespeare, misalnya, dapat disimpulkan unggul dalam bidang sastra dan satu penyebab ia mempunyai daya ekspresi yang kuat dalam bidang gaya pribadi ini, berhasil mengeksploitasi seluruh dimensi bahasa. Bahasa yang baik dalam sebuah karya dapat berkomunikasi dengan sebaiknya terhadap audien, karena sebuah karya sastra yang baik harus dapat berhubungan erat dengan pembacanya. Pendekatan ini juga bertanggung jawab melihat pencapaian ekspresi penulisnya.
Selain itu, bahasa juga ada kaitannya dengan pembentukan dan penganut aliran seseorang penulis. Rabrindanath Tagore suka menggunakan aliran romantisisme, Slawomir Mrozek dengan realisme, pendekatan stilistik dapat membantu memperjalan hal ini. Kritikan pendekatan stilistik ini, meskipun bertitik-tolak dengan kajian penggunaan bahasa, namun ia mampu membahas bidang-bidang yang luas seperti hubungan pengkaryaan dan kepengarangan. Tak ayal, ia merupakan pendekatan yang berwibawa dan sesuai untuk semua drama.

Estetik
Medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa. Pengamatan terhadap bahasa ini pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya atau bagian-bagiannya, untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian inilah yang disebut pengkajian stilistik. Dalam pengkajian stilistik, tampak relevansi linguistik atau ilmu bahasa terhadap studi sastra.
Dengan stilistika, dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra.  (Panuti Sudjiman, hal. vii).
Sebelum memiliki stilistika,  bahasa dan sastra memang telah memiliki  gaya (style). Gaya adalah sesuatu yang “menyimpang” dari pemakaian biasa.  Penyimpangan tersebut bertujuan untuk keindahan.  Keindahan ini banyak muncul dalam karya sastra,  karena sastra memang sarat dengan unsur estetik.
Segala unsur estetik ini menimbulkan manipulasi bahasa, plastik bahasa, dan kado bahasa sehingga mampu membungkus rapi gagasan penulis. Dalam bahasa Jawa, manipulasi demikian dinamakan lelewaning basa (gaya bahasa). (Suwardi Endraswara, hal. 71).
Stilistika (sylistics) adalah (1) ilmu yang menyelidii bahasa yang digunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusasteraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. (Kridalaksana, 1982 : 157 via Tirto Suwondo, 2003 : 151).
Dalam membicarakan stilistika, orang selalu menekankan kepada hubungan pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan pemakaian bahasa biasa (C.F. Voegelin, 1960; N.E. Enkvist, 1964: 23-26; 1973: 11-26). Kadang-kadang mungkin ada anggapan bahwa pemakaian bahasa pada karya sastra yang mengandung unsur style, sesuatu yang tidak netral, mungkin ke arah menyalahi “tata bahasa”.
Pandangan ini jelas melihat adanya dua pemakaian bahasa pada karya sastra, yang “berbeda” dan  tak “berbeda”. Yang tidak berbeda, yang netral, sebenarnya lebih banyak. Tapi, yang berbeda, yang lebih sedikit, ternyata memberikan warna kepadanya. Ia menjadi dominan. (Umar Junus, hal. 27).
Pendekatan stilistika  bertolak dari asumsi bahwa bahasa mempunyai tugas dan peranan yang penting  dalam kehadiran karya sastra. Bahasa tidak dapat dilepaskan dari sastra. Tidak ada bahasa tidak ada sastra. Keindahan sebuah karya sastra sebahagian besar disebabkan kemampuan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasa sehingga menimbulkan kekuatan dan keindahan. (M. Atar Semi, hal. 81).
Penelitian karya sastra saat ini  umumnya masih terbatas pada struktur narasinya, perlulah diadakan penelitian gaya bahasanya. Lebih-lebih lagi pada waktu sekarang di Indonesia belum ada penelitian dan penulisan stilistika yang khusus di bidang kesusastraan, bahkan belum ada juga buku stilistika umum yang dapat menjadi pegangan dalam mempelajari gaya bahasa dan untuk penelitiannya.
Sudah sejak awal tahun 1950-an Slametmuljana (1956:5) mengemukakan bahwa belum ada penelitian (penulisan buku) stilistika di Indonesia.  (Rachmat Djoko Pradopo, hal. 263-264). Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Stilistika adalah ilmu bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi-variasi penggunaan bahasa, seringkali, tetapi tidak secara eksklusif, memberikan perhatian khusus kepada penggunaan bahasa yang paling sadar dan kompleks dalam kesusastraan.
Stilistika berarti studi tentang gaya bahasa, menyugestikan sebuah ilmu, paling sedikit merupakan sebuah studi yang metodis. (G.W. Turner, hal. 7-8). Pendekatan stilistik juga berbicara tentang stail keseluruhan penggunaan bahasa yang dominan bagi seorang dramatis, dan dapat membuat tanggapan serta kesimpulan, yang akhirnya dapat melihat kepribadian si penulis.
Kekuatan bahasa selalunya muncul hasil dari kekuatan kepengarangannya, di mana ia berhasil membentuk stail individualnya sendiri. (Mana Sikana, hal. 78). Menggunakan bahasa tulis sebagai sarana teks drama, pengarang berarti tidak berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga ada celah kelemahan komunikasi dibandingkan dengan bahasa  lisan.
Akan tetapi, karena situasi bahasa utama di dalam drama adalah dialog, maka meskipun menggunakan bahasa tulis, kesan kelisanan dalam bahasa langsung tetap menonjol dan dominan dibandingkan pada fiksi. Upaya untuk memahami penggarapan bahasa di dalam drama – sebagaimana di dalam karya sastra lainnya – biasanya lebih populer dengan istilah kajian stilistika.  (Hasanuddin WS, hal. 99-100).

Latar
Latar atau setting ialah aspek yang menunjukkan plot, perwatakan dan dialog yang berfungsi membina sebuah kisah serta dapat menerangkan kapan dan di mana peristiwa-peristiwa itu terjadi. Dengan menjelaskan aspek tempat dan waktu tersebut,pembaca akan dapat membantu memahami karya yang dibacanya.
Kita juga sudah mengkaji bagaimana peranan setiap komponen sastra seperti plot, perwatakan, dan bahasa untuk menciptakan sebuah karya. Antara satu dengan lainnya saling berhubungan dan integral sekali bagi melahirkan sebuah teks sastra, apalagi karya sastra yang baik harus ada kesatuan: mencari bentuk yang ekspresif dan mampu membangun elemen-elemen estetik.
Di samping ketiga komponen tersebut, latar juga mempunyai hubungan dan fungsi autentik dalam struktur cerita. Plot yang digerakkan oleh perwatakan dan perwatakan pula dimanifestasikan oleh dialog, bertujuan untuk menyampaikan cerita atau menyuguhkan pemikiran. Tetapi tanpa konsep tempat dan waktu, cerita dan pemikiran seorang pengarang hanya seperti berlangsung di awang-awang alias melangit (tidak membumi atau tidak dipahami pembaca).
Sesungguhnya, baik aksi dan reaksi perwatakan atau perkembangan plotnya memerlukan satu tempat dan waktu serta kemudian dapat menerangkan atau menggambarkan secara tidak langsung peristiwa yang sedang berlangsung. Sebuah latar, misalnya, dapat menyuguhkan  suatu gagasan penceritaan yang: berfungsi untuk menciptakan suasana dan mencerminkan kondisi watak serta membantu pencapaian ide cerita di samping menimbulkan motivasi bagi plotnya.
Dalam sebuah novel atau cerpen, latar berupa tulisan naratif yang mendeskripsikan "the environment of its event and visible background”. Latar itu disesuaikan dengan perkembangan keperluan plot di samping menjelaskan prinsip dan motif utamanya : waktu dan tempatnya. Sementara itu latar yang baik tidak saja menjelaskan kedua motif di atas, juga berhasrat menimbulkan suasana dengan menggambarkan latar belakang peristiwa dan perwatakan dengan serta gambaran umum kehidupan yang hendak diungkapkan.
Dalam penelitian yang lebih mendalam, latar belakang dan budaya juga pernah dibincangkan. Misalnya dalam cerita sejarah, masyarakat manakah yang menjadi latar cerita itu. Kita mengambil contoh cerita pertarungan "Ken Arok"  (Saini KM), masyarakat yang menjadi latarnya ialah kerajaan Singasari dan Kediri di Jawa, yang mengamalkan sistem pemerintahan feodal.