Translate

Kamis, 26 November 2009

Adakah Diskriminasi Keagamaan di Indonesia?


Oleh : Suyadi

BINTANG Bollywood Shah Rukh Khan akhirnya mengaku merasa ’gerah’. Pasalnya, ia kerap jadi korban diskriminasi perlakuan pascatragedi 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat. Masalah diskriminasi keagamaan ini pun memantik emosinya dan akan digarap ke dalam film layar lebar.

Surat kabar DNA melalui kantor berita AFP dan dikutip Kompas, Rabu (24/10) menyebutkan, Khan – seperti banyak bintang terkemuka dalam industri film India – telah mengalami pemeriksaan ekstraketat setelah peristiwa tragis di AS tersebut.

"Jika Anda mengadakan perjalanan secara internasional dengan sebuah nama keluarga Muslim, Anda mungkin akan dianggap sebagai seorang teroris," kata Khan.

Di bandar udara London, setiap kali saya bepergian, orang-orang mengenali saya, tapi mereka tahu nama keluarga saya dan melakukan pemeriksaan ekstra terhadap saya," lanjut Khan, yang terkenal berkat film-film komedi romantiknya yang berhasil.

Menurut Khan, diskriminasi keagamaan lebih dirasakannya di luar India ketimbang di negerinya, yang berpenduduk mayoritas Hindu, tapi juga dihuni oleh 14 juta Muslim.

"Tak ada perbedaan antara nama keluarga Khan dengan Kumar di sini, tapi secara internasional itu membuat sebuah perbedaan," ucapnya mengacu kepada sebuah nama keluarga Hindu yang umum.

Film itu akan dijuduli My Name is Khan. Karan Johar, seorang teman Khan di Bollywood, akan menyutradarai film tersebut. Dijadwalkan, syutingnya akan dimulai di awal tahun depan. Film itu akan dirilis pada musim panas tahun depan.

Posisi Agama dan Negara

Apa yang dialami Khan sebenarnya merupakan satu fenomena yang kerap terjadi pada hampir semua negara modern di dunia. Hal itu tidak terlepas dari adanya perebutan makna antarsuku bangsa yang ada di Negara modern tersebut.

Dalam banyak bagian di dunia ini, negara dan bangsa yang hidup berdampingan sering mengalami kekhawatiran satu sama lain. Banyak negara, Jepang misalnya, mengklaim terdiri dari satu suku bangsa guna memiliki satu identitas nasional yang menggabungkan semuanya.

Namun klaim ini biasanya terjadi karena adanya perbedaan identitas kepentingan secara nasional sebagaimana dipikirkan orang-orang keturunan Jepang dan Korea, atau bagian besar dari kelompok minoritas Kristen maupun Muslim di negara itu.

Di negara-negara lainnya, seperti Sri Langka, Turki maupun Bosnia, sebagian besar kelompok minoritas berjuang menciptakan pemisahan diri mereka dari negara-bangsa. Banyak negara pula, seperti Indonesia dan Amerika Serikat, menekankan adanya keharmonisan di antara perbedaan agama dan kelompok etnik.

Kenyataan, rata-rata kelompok di negara tersebut saling berebut menguasai identitas nasional. Identitas agama beserta perbedaannya sering berada di dalam berbagai perdebatan dan bahkan dipertentangkan.

Dalam berbagai peristiwa, banyak negara di dunia yang menggabungkan beberapa kekuatan komunitas agama besar dan pluralisme keberagamaan ini bertambah meningkat. Kelompok Muslim menjadi meningkat di antara banyaknya kelompok minoritas meski mereka tidak pernah memainkan peran publik.

Di Amerika Serikat, misalnya, kelompok Muslim yang minoritas menyiapkan diri lebih banyak berkuasa daripada orang-orang Episcopalian. Bahkan, komunitas Muslim ini diharapkan dapat menyusul orang-orang Yahudi yang terlebih dahulu ‘menguasai’ negeri Paman Sam itu.

Di Perancis, kaum Muslim membentuk kekuatan besar kedua kelompok agama setelah Katholik. Sedangkan Kristen Protestan dengan cepat meningkat menguasai Jepang dan Brazil, seperti di negara-negara lainnya.

Keberagaman keagamaan menunjukkan ketajamannya dan acap kali memecahkan sejumlah pertanyaan mengenai kehidupan publik suatu bangsa. Berkaitan itu, berbagai persoalan patut dipertanyakan untuk menguji kekuatan keberagaman keagamaan (pluralistas agama) itu di dalam Negara-negara modern hari ini.

Beberapa pertanyaan yang perlu dilontarkan, di antaranya, apakah kontribusi yang dihasilkan pluralitas keagamaan itu dalam kebijakan publik dan kehidupan sosial? Dapatkah mempersatukan identitas bangsa yang berdampingan di depan umum terjadi dalam agama yang berbeda?

Jika bisa, dapatkah negara menghindari keberpihakan (diskriminasi) kepada satu agama daripada yang agama lainnya? Dari manakah menyeleksi satu di antara banyak elemen, yang memperhatikan moralitas dan keabsahan suatu keadaan yang umum terjadi?

Perspektif Antropologi Agama

Untuk menganalisis masalah ini, penulis lebih tertarik menggunakan pisau bedah antropologi agama. Di antara para ahli yang berpendapat mengenai asal mula agama sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat (1966) adalah C. de Brosses (1769), August Comte (1850), F. Max Muller (1880), dan lainnya.

Lalu, E.B. Tylor (1880), R.R. Marett (1909), J.G. Frazer (1890), Emile Durkheim (1912), W. Schmidt (1921), dan sebagainya. Dari teori-teori itu orang berpendapat, bahwa perkembangan agama menurut ilmu antropologi, dimulai dari animisme, dinamisme, politerisme, dan baru kemudian monoteisme.

Dilihat dari sumber terjadinya, agama dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu Samawi atau Agama Langit dan Wad’i atau Agama Bumi. Agama Wahyu adalah agama yang datang dan bersumber dari Wahyu. Pengalaman yang diterima berdasarkan Wahyu karena tidak dapat terjadi melalui usaha akal pikiran penelaahan manusia, akan tetapi merupakan pengetahuan terhadap kebenaran yang diilhami.

Termasuk dalam Agama Samawi adalah Yahudi, Kristen, dan Islam, dengan ciri-cirinya : a) konsep Ketuhanannya Monoteisme; b) disampaikan oleh Rasul Allah sebagai Utusan Tuhan; c) mempunyai Kitab Suci yang dibawa Rasul Allah berdasarkan Wahyu Allah; d) tidak berubah dengan perubahan masyarakat penganutnya, bahkan sebaliknya; e) kebenaran ajaran dasarnya tahan uji terhadap kritik menurut akal manusia; f) sistem merasa dan berpikirnya tidak sama dengan sistem merasa dan berpikir masyarakat penganutnya.

Sedangkan Agama Wad’i ialah agama duniawi yang tidak bersumber dari Wahyu Illahi, melainkan hasil ciptaan akal pikiran dan perilaku manusia, disebut juga Agama Budaya. Lahir berdasarkan filsafat masyarakat, baik yang berasal dari para pemimpin masyarakat atau dari penganjur agama yang bersangkutan.

Termasuk dalam golongan ini, antara lain agama Hindu, Budha, Tao, Kong Hu Chu, dan berbagai aliran paham keagamaan serta kepercayaan-kepercayaan masyarakat suku-suku sederhana atau masyarakat yang sudah maju tidak berpegang pada kitab suci dan tidak berdasarkan ajaran Rasul-rasul maupun Nabi-nabi.

Baik Agama Wahyu (samawi) maupun Agama budaya (wad’i) yang dianut masyarakat sederhana atau masyarakat yang sudah maju, memiliki budaya agama, yaitu hasil-hasil pikiran dan perilaku budaya yang menyangkut keagamaan.

Budaya agama tersebut tentunya sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Ada yang muncul dalam benak manusia berdasarkan kehendak yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi. Ada pula yang muncul dalam benak manusia berdasarkan emosi keagamaan pribadi manusia sendiri.

Dalam kaitan ini, biasanya para ahli antropologi melakukam pendekatan terhadap konsepsi-konsepsi keagamaan: 1) konsepsi tentang dewa-dewa, sifat-sifat, dan tanda-tanda (perwujudan bentuk) dari para dewa; 2) konsepsi tentang makhlus halus, seperti roh-roh, roh leluhur, hantu-hantu, dan tentang Dewa Tertinggi Yangmaha Pencipta; dan 3) konsepsi tentang kejadian bumi atau alam semesta, tentang hidup dan mati serta tentang akhirat (surga, neraka, moksha, nirwana, dan lain-lain).

Konsepsi-konsepsi tersebut bertautan satu sama lain, yang kesemuanya berdasarkan keyakinan dan kepercayaan terhadap hal-hal ghaib, ditakuti dan disayangi, yang disebut Tuhan, Dewa-dewa, Roh-roh atau Makhluk halus di sekitar alam ini, baik bersifat jahat maupun bersifat baik.

Pada masyarakat yang budayanya masih sederhana, apa yang timbul dari emodi keagamaan dan kepercayaannya, kemudian diajarkan dan diwariskan secara tradisional kepada anak cucu, sahabat, kenalan, dalam bentuk ungkapan, nyanyian, dongeng-dongeng suci atau mitologi, dan sebagainya, secara lisan.

Sedangkan pada budaya masyarakat yang sudah maju, sudah mengenal aksara, maka kepercayaan-kepercayaan itu ada yang dilukiskan dalam bentuk yang masih sederhana, di atas daun-daunan, pada kulit-kulit kayu atau bambu, dan kemudian kertas sehingga dibukukan, menjadi buku-buku kesusastraan suci dan disucikan atau dikeramatkan.

Kasus Indonesia

Indonesia adalah suatu negara bangsa (nation-state) yang terdiri dari ratusan suku bangsa. Beragam corak budaya membentangi negara kepulauan ini, di antara garis khatulistiwa, dari Sabang hingga Merauke.

Pulau-pulau yang menghuni negara ini menandakan adanya beragam kebudayaan. Baik bahasa, adat istiadat, maupun sistem kebudayaan lainnya. Itu, membuktikan Indonesia sesungguhnya merupakan negara besar dan modern, karena mampu mempersatukan kehidupan suku bangsa-suku bangsa yang hidup sejak abad-abad sebelumnya.

Meskipun terdiri atas berbagai suku bangsa dan adat istiadat, namun negara tersebut dipersatukan oleh konsepsi religiositas sebagai fundamen aturan adat yang mengikat. Sebelum para penyebar Agama Samawi datang ke Indonesia, suku-suku di Indonesia telah melakukan berbagai kegiatan ritual keagamaannya.

Antropolog dari Belanda TH Fitcher dalam bukunya, Antropologi Kebudajaan Indonesia (1957 : 141-151) mengakui, desa-desa di Indonesia pada mulanya merupakan suatu persekutuan religius dan kepala desa dianggap semacam pawang. Raja-raja sering pula disebut sebagai keturunan dewa-dewa dan perhiasan kerajaan mempunyai potensi yang magis.

Oleh karenanya, manusia Indonesia sudah sejak zaman purba, sebelum adanya agama-agama besar yang datang seperti Hindu-Budha, Kristen, dan Islam, telah mengenal kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan yang ghaib, di luar kemampuan dan kekuatan manusia.

Nenek moyang bangsa Indonesia di zaman purba sudah mengenal alam roh. Ada yang sudah tinggi tingkat budaya agamanya, percaya pada adanya Dewa tertinggi, dan ada juga yang masih rendah dan sederhana tingkat budaya agamanya.

Sebagaimana dikatakan Seno Harbangan Siagian via Hadikusumah (1993 : 40), ada di antaranya yang memiliki nama-nama khusus, seperti ‘Kaharingan’ (Agama Suku Daya Ngaju), ‘Aluk To Dolo’ (Agama Suku Toraja Sa’dan), ‘Parbegu’ (Agama Suku Batak Toba), dan lain-lain.

Agama-agama asli yang mentradisional di Indonesia dapat lebih dikenal dan nyata sekali sebagaimana terlihat dalam mitologi penciptaan. Di seluruh bagian Timur kepulauan Indonesia (pulau-pulau Nusa Tenggara mulai dari Flores, pulau-pulau Baratdaya dan Tenggara, kelompok Kei, Tanimbar dan Aru, Maluku dan Sulawesi), ditemukan mite perkawinan purba antara langit (matahari) dan bumi, sumber kelahiran seluruh penciptaan.

Menurut mitologi ini, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan secara langsung atau tidak langsung adalah keturunan dari bapak-langit dan ibu-bumi. Karenanya, penduduk setempat acap kali melakukan suatu upacara ritual untuk mengenang perkawinan bumi dan langit tersebut.

Sedangkan di belahan Barat kepulauan Indonesia terdapat suatu mitologi penciptaan berlainan jenis. Di sini, senantiasa ada dewa pencipta yang sebenarnya, membentuk manusia dari karang dan memberinya nyawa. Tokoh-tokoh itu sebagian memakai nama yang bercorak Hindu dan Islam (umpamanya : Bataraguru, Bathala dan Alatala, namun bukan berarti hal itu baru diimpor serempak dari Hinduisme dan Islam)

Sepanjang abad, religi penduduk Indonesia mengalami perubahan-perubahan besar. Hingga tahun penerbitan buku itu (1957), Fitcher mencatat, lebih dari 55.000.000 penduduk Republik Indonesia menamakan dirinya orang Islam, sementara dari statistik-statistik Zending dan Missionaris memperlihatkan jumlah penduduk Kristen (berbanding 1 : 4 antara Katolik Romawi dan Protestan) mendekati angka 2.500.000 jiwa.

Sedangkan yang menganut agama asli, jumlahnya hanya sedikit. Tiap tahun kian susut. Jumlah kaum Islam dan Kristen justru senantiasa cepat bertambah. Masa ‘keperbeguan’ di Indonesia, menurut Fitcher, telah berlalu, sehingga dengan tidak ragu-ragu lagi proses pengislaman dan pengkristenan dalam waktu relatif singkat akan terus berlangsung.

Kehadiran agama-agama modern itu (Hindu, Budha, Islam, Kristen) sememangnya menambah daftar keharmonisan pluralisme keagamaan di Indonesia. Sebagai sebuah negara besar, Indonesia mampu memelihara masing-masing agama dan aliran kepercayaan guna menambah khasanah kebudayaan di negara ini.

Tak ayal, kondisi harmonis tersebut menjadi pemicu banyaknya sarjana dan peneliti asing yang berminat meneliti masalah agama di Indonesia.

Bahkan, perhatian dan minat orang Eropa terhadap agama-agama di Indonesia, khususnya Islam Indonesia, bisa ditelusuri hingga abad ke-17, ketika para teolog dan pejabat pemerintahan Belanda mulai menghadapi kesulitan memahami dan mengawasi masyarakat Islam di Jawa, Sumatra, dan Indonesia bagian Timur.

Nama-nama sarjana dan teolog awal pelopor tradisi orientalisme Inggris-Belanda itu, di antaranya, Andrian Reland, Edward Gibbon, J.F.C. Gericke, Snouck Hurgronje, Rassers, dan Piegaud serta Clifford Geertz dan Ben Anderson.

Karya Geertz, Religion of Jawa, menggantikan karya Hurgronje The Atjhehnese sebagai rujukan standar mengenai Islam Indonesia. Geertz menegaskan, pernyataan Hurgronje “bangunan Islam terutama masih didukung oleh pilar utama, ‘tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah’, tetapi pilar ini sekarang dikelilingi serangkaian karya yang tak cocok dengannya, yang menjadi profanasi terhadap kesederhanaannya”, lebih pas diterapkan untuk Jawa.

Sedangkan Anderson sangat bersandar pada studi-studi kolonial mengenai kerajawian Hindu-Jawa dan karakterisasi Geertz mengenai Indonesia sebagai negara Hindia. Pemahaman Anderosn terhadap Islam mencerminkan kembali pandangan Hurgronje dan Geertz.

Ia menyatakan, gelar-gelar Islam disandang para penguasa, simbol-simbol keislaman dilekatkan pada para pengiring mereka, dan atribut Islam ditempelkan pada baju kebesaran mereka.

Tetapi, menurut Anderson, islamik simbolik tampaknya tidak menyebabkan perubahan terhadap jalan hidup dan pandangan mereka. Pelukisan Anderson terhadap kiai tradisional juga sebanding dengan pelukisannya terhadap para penguasa tersebut, “bersifat intuitif, personal dan mistis, yang banyak dipengaruhi agama pra-Islam”.

Etnolog teranyar yang melakukan penelitian terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia adalah Mark Woodward. Dalam penelitian yang dilakukan di Jawa, Woodward bertekad ingin menambah dan melengkapi penelitian lapangan yang pernah dilakukan Geertz tahun 1950-an, yang menancapkan teori aliran dalam masyarakat Jawa; abangan, santri, priayi.

Berbekal ilmu filsafat dan ritual Hindu-Budha, Woodward meneropong unsur-unsur Hindu dari ideologi dan modalitas ritual acara garabeg maulud, upacara ritual keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW di Yogyakarta. Usahanya ternyata sia-sia. Ia juga tidak menemukan prototipe-prototipe Hindu-Budha dalam mistisisme tradisional Jawa.

Dalam bukunya, Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Though (1996), Woodward mengemukakan genealogi dari wacana yang berwatak “anti-Islam”. Jejaknya, menurut Woodward, bisa ditelusuri hingga ke masa Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pejabat kolonial dan orientalis Inggris, yang memerintah Jawa 1811-1816.

Dalam buku klasik dan berpengaruhnya, The History of Java, Raffles memahami Islam (“Mahometanism”) sebagai agama kekerasan dan kefanatikan. Kendati sebenarnya ia mempunyai perhatian khusus terhadap “institusi-institusi kuno”, yakni kesenian dan kesusastraan Jawa pra-Islam, namun ia banyak memberikan penilaian yang bernadakan “pejoratif” terhadap Islam.

Raffles tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang menyayangkan mengapa orang Jawa dan Melayu memeluk Islam. Berlawanan dengan itu, ia memberikan deskripsi panjang lebar mengenai teks-teks dan candi-candi kuno Hindu-Budha dan mengagungkan Hindu-Bali sebagai “sisa-sisa masa lampau yang memukau”.

Pemahaman Raffles mengenai Islam dan kedudukannya dalam kebudayaan Jawa dan Indonesia lainnya, menurut Woodward yang mengutip Karel Steenbrink, berakar mendalam dari polemik teologis Kristen melawan Islam dan telah berkembang di Eropa selama berabad-abad. Polemik-polemik itu sendiri sudah digunakan oleh para sarjana Belanda senyampang membentuk “indologi” dan kebijakan Belanda selama periode kolonial.

Simpulan

Kehidupan keagamaan di Indonesia sesungguhnya saling berdampingan satu sama lain. Semuanya terpelihara berkat adanya jaminan dari negara melalui Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai fundamen mendasar kewarganegaraan Indonesia.

Tak heran, semua agama dan aliran kepercayaan di Indonesia tetap tumbuh subur bersamaan dengan semangat religiositas dan realitas sosial keagamaan para pemeluknya.

Fakta membuktikan, hampir semua agama modern di Indonesia memiliki pengikut dari berbagai macam aliran. Ada pula yang tetap mempertahankan agama aslinya, seperti Parmalim di Sumatera Utara.

UUD 45 itu memang sangat ampuh menepis dugaan bahwa Indonesia adalah negara Islam atau negara agama. Dalam penafsiran pasal 29 UUD 45 itu, negara menjamin penduduk untuk menjalankan ritual keagamaan masing-masing.

Dalam konteks kewarganegaraan, kedudukan agama di Indonesia memang sangat unik. Hal ini bisa dilihat dari doktrin Pancasila yang juga mengatur kehidupan keagamaan. Pancasila dan UUD 45 menjadi sumber kewarganegaraan Indonesia dan sebagai identitas nasional setiap warga negara Indonesia.

Pancasila dan UUD 45 itulah yang mengatur kehidupan keagamaan di Indonesia, bukan sebaliknya – sebagaimana dipercayai nenek moyang bahwa religi rakyat dan religi kerakyatan itu merupakan sesuatu yang harus dipatuhi sesuai dengan keadaan, ciri khas, dan adat istiadat masyarakat setempat.

Dengan demikian, sebenarnya diskriminasi keagamaan sebagaimana dialami Shah Rukh Khan tidak terjadi di Indonesia. Kalaupun belakangan ini muncul klaim sejumlah orang yang mendistorsi agama tertentu melalui tata cara yang sangat berbeda dari yang lazim, itu juga lantaran menguatnya pluralitas keagamaan di negara kita.

Pluralisme keagamaan yang dijamin Pancasila dan UUD 45 merupakan pergeseran realitas objektif agama nenek moyang yang semula dianut penduduk di Indonesia.

Konsekuensinya, secara implisit pluralisme tersebut bisa mengarah pada kondisi sekularisme negara terhadap kehidupan keagamaan. Apalagi, jika kehidupan keagamaan ini menghadapi tiga kategori masyarakat Indonesia berdasarkan pandangan sosiologi, yakni masyarakat tradisional, masyarakat modern, dan masyarakat pascamodern.

Pertanyaannya kemudian, di mana peran agama dan bagaimana artikulasinya dalam realitas sosial? Di Indonesia yang menganut sistem pluralisme agama, artikulasi dan eksternalisasi keberagamaan seseorang dan masyarakat tentu saja beragam.

Dimensi-dimensi utama dari sikap keberagamaan itu, antara lain, pertama, kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Karena dimensi ini begitu abstrak, maka yang terlihat secara sosial hanyalah sebatas keikutsertaan seseorang dalam aktivitas ritual kelompok dan penggunaan simbol-simbol yang menjadi konsensus mereka.

Lihat saja, masyarakat Indonesia ramai-ramai sembahyang di masjid atau kebaktian di gereja serta penggunaan simbol salib dan sejenisnya, adalah fenomena yang gampang ditemukan di mana-mana di Indonesia.

Kedua, perilaku keberagamaan yang paling dasar selalu bersifat pribadi. Apakah kepercayaan seseorang tentang Tuhan berpengaruh pada kehidupannya atau tidak, sulit diketahui secara pasti oleh orang lain.

Dalam analisis strukturalis-fungsional, dorongan seseorang mengikuti tradisi keagamaan lebih disebabkan oleh desakan eksternal ketimbang pilihan bebas dan murni dari dalam. Tindakan semacam itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan sosial agar diterima oleh lingkungan, sebagai sebuah solidaritas kelompok.

Lihat saja, sebagian masyarakat Indonesia terpaksa mencantumkan agamanya Islam atau Kristen, meski ia menganut kepercayaan Kejawen dan sejenisnya ataupun Permalin (Batak), agama asli nenek moyangnya.

Ketiga, agama selalu hadir dalam wujud kultural. Wajah kultur agama yang paling mudah terlihat, antara lain, dalam ekspresi seni arsitektur. Masyarakat dengan mudah membuat asosiasi bangunan masjid dengan Islam, gereja dengan Kristen.

Dimensi dan ekspresi kultural keagamaan ini memiliki cakupan yang sangat luas dan cenderung berbaur dengan identitas dan kultur lokal. Di Indonesia, misalnya, bedug selalu dikaitkan dengan umat Islam dan masjid. Padahal, di Jepang dan Cina, juga terdapat bedug, namun tak ada hubungannya dengan masjid.

Masih banyak lagi fenomena kultural yang diasosiasikan dengan simbol keagamaan tertentu, seperti lilin, pohon cemara, menara, kopiah, sorban, jubah, salib, bulan-bintang, dan sebagainya.

Tak ayal, kita dikejutkan dengan adanya jemaah Al Qiadah, Ahmadiyah, dan pengajian Tilawah di Medan yang menyajikan simbol-simbol Islam meski ajaran mereka sangat berbeda dengan penganut Islam pada umumnya. *** (Penulis adalah pemerhati sosial dan pegiat seni di Medan)


DAFTAR BACAAN

Abdullah, Taufik (ed)., 1996. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta : RajaGrasindo Persada

Bowen, John R., tanpa tahun. Religionn in Practice : An Approach to the Anthropology of Religion. Allyn and Bacon Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore

Budiman, Hikmat, 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius

Echols, John M. dan Shadily, Hassan, 1994. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : Gramedia

Fischer, H. TH. , 1957. Pengantar Anthropologi Kebudajaan Indonesia. Jakarta : Pembangunan

Geertz, Clifford, 1992. The Interpretation of Cultures : Selected Essays, London, Hutchinson & CO Publisher, Ltd

Hadikusuma, H. Hilman, 1993. Antropologi Agama Bagian I. Bandung : Citra Aditya Bakti

Harian Kompas, edisi Rabu 24 Oktober 2007

Hidayat, Komaruddin, 2004. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta : Teraju

Hikam, Mohammad AS, dkk. 2000. Fiqh Kewarganegaraan : Intervensi Agama-Negara terhadap Masyarakat Sipil. Jakarta : PB PMII

Koentjaraningrat, 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan

Lauer, Robert H. , 2001. Perspectives on Social Change. Penerjemah Alimandan S.U. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta : Rineka Cipta

Maran, Rafael Raga, 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta

Mathulada, H.A. Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia : Prospek Budaya Politik Abad ke-21. Jurnal Antropologi Indonesia No. 85 Tahun 1999

Muthahhari, Murtadha, 1985. Society and History, The Council for Ten-Day Dawn Celebration, Teheran

Nasikun, 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Pals, Daniel L., 2001. Seven Theories of Religion. Yogyakarta : Qalam

Smith, Huston, 2001. The Religion of Man, Perrenial Library, Harper & Row, Publisher New York, Hargestown, San Fransisco, London

Soekanto, Soerjono, 1993. Struktur Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers

Woodward, Mark R, 1999. Islam in Java : Normative Piety and Mysticism in The Sultane of Yogyakarta, alih bahasa Hairus Salim HS, Islam Jawa : Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Yogyakarta : LKiS

SIGALEGALE IKON SAMOSIR

Oleh : Suyadi San, S.Pd., M.Si.

SUMATERA Utara sangat kaya dengan legenda. Bahkan, legenda yang terjadi kerap pula dimitoskan. Hampir tak bisa dipisahkan kebenaran dalam dunia imajinasi si empunya cerita ataupun kebenaran dunia nyata. Termasuk, Sigalegale.

Sigalegale menjadi ikon di ranah Samosir. Tak lengkap rasanya berkunjung ke Danau Toba jika tidak menyeberang ke Pulau Samosir. Di pulau inilah, kita akan disambut boneka bergerak, Sigalegale.

Boneka hidup Sigalegale sampai sekarang menyimpan legenda penting bagi Samosir. Ia seolah-olah jadi benda sejarah bagi pulau ini. Sama seperti legenda Tunggal Panaluan, Sigalegale juga mengandung daya mistis bagi siapa saja yang melihatnya.

Padahal, kisah Sigalegale ini tidak terlepas dari kehebatan orang Batak yang mengukir batang kayu menjadi seni patung yang memikat. Seorang lelaki, Datu Panggana, adalah seorang ahli patung yang sangat terkenal di sebuah huta (desa). Begitu terkenal sampai makam raja pun dibuatnya.

Begitulah awal kisah Sigalegale. Konon, suatu hari Datu Panggana ingin membuat patung sebagai pajangan di rumahnya, lalu ia pergi ke hutan. Di hutan, Datu Panggana melihat sebatang pohon kayu kering yang sangat mencolok di antara pepohonan lain. Pohon itu tingginya menyamai ukuran manusia, tidak berdaun dan tidak beranting. Kemudian Datu Panggana memahat menjadi patung seorang perempuan.

Selang berapa waktu, Datu Panggana didatangi oleh Bao Partigatiga, seorang pedagang keliling yang menjual barang berupa pakaian dan perhiasan emas. Bao Partigatiga mencoba mengenakan pakaian dan perhiasan pada patung itu. Patung tampak sangat cantik dan seakan-akan hidup.

Ketika hari sudah senja, Bao Partigatiga hendak mengambil kembali pakaian yang dikenakan pada patung tersebut. Alangkah terkejutnya, pakaian yang dikenakan, tidak bisa dilepas lagi, Bao Partigatiga kecewa, lalu melanjutkan perjalanannya.

Keesokan harinya, seorang dukun penawari, yang mempunyai keahlian mengobati, memanggil roh, serta mempunyai obat ajaib, yang bernama Datu Partaoar, pergi ke luar rumah seperti biasanya hendak mengobati pasien ke huta (desa) seberang. Untuk menuju huta tersebut, Datu Partoar terbiasa melewati jalan pintas.

Di perjalanan, Datu Partoar melihat patung wanita tersebut dan terkagum-kagum. Dalam hati Datu Partoar berkeinginan mencoba untuk membuat patung itu hidup, dengan beberapa tetes dan mantera-mantera handalannya.

Berkat keahlian Datu Partoar, patung wanita tersebut mulai bergerak bagaikan gerakan manusia. Kemudian Datu Partoar membawa pulang ke desanya. Istrinya menyambut dengan gembira. Akhirnya, Datu Partoar beserta istrinya mengangkat sebagai anak dan diberi nama Nai Manggale.

Upacara pengangkatan anak dilaksanakan oleh keluarga Datu Partaoar dengan cara membawa Nai Manggale ke pekan. Di pekan Nai menari dengan lemah gemulai, sehingga orang-orang yang menyaksikannya turut pula menggerak-gerakkan badan mereka seirama dengan lenggak - lenggok Nai Manggale.

Kabar tentang Nai Manggale itu sampai pula kepada pemahat patung Datu Panggana dan Bao Partigatiga yang juga merasa punya andil pada patung tersebut. Datu Panggana dan Bao Partigatiga menyambangi ke rumah Datu Partoar. Terjadilah pertengkaran di antara mereka bertiga, memperebutkan diri Nai Manggale.

Datu Panggana yang semula membuat patung perempuan itu merasa lebih berhak atas Nai Manggale. Bao Partigatiga yang mempercantik patung dengan memberi pakaian dan perhiasan juga merasa lebih berhak atas Nai Manggale, begitu juga dengan Datu Partoar, tanpanya dirinya patung itu takkan bisa hidup. Terjadilah pertengkaran hebat yang tidak bisa mereka selesaikan.

Konflik di antara mereka bertiga akhirnya sampai ke hadapan raja, namun raja juga tidak dapat menyelesaikannya. Raja menyarankan untuk menyelesaikan persoalan itu kepada Si Aji Bahir-bahir. Si Aji Bahir-bahir adalah seorang tokoh yang dituakan di huta tersebut dan dapat menyelesaikan permasalahan di antara mereka bertiga.

Adapun keputusan yang disetujui oleh masing-masing pihak, ialah bahwa dukun Datu Partoar (dukun penawari) dianggap sebagai bapak dan berhak memberi berkat dalam perkawinan Nai Manggale. Bao Partigatiga (pedagang) sebagai abang (mariboto), berhak menerima bagian emas kawin (wang mahar). Pemahat patung Datu Panggana diangkat menjadi paman (tulang) dan akan memperoleh bagian pula sebagai paman.

Datu Partiktik yang tinggal di huta sebelah telah mendengar akan kecantikan Nai Manggale. Datu Partiktik pun datang meminang Nai Manggale. Akan tetapi, Nai Manggale menolak pinangan tersebut. Datu Partiktik tidak kehabisan akal, Datu Partiktik pun menggunakan ilmu sihirnya untuk menaklukkan hati Nai Manggale. Berkat ilmu sihir tersebut akhirnya Nai Manggale bersedia kawin dengan Datu partiktik.

Setelah sekian lama mengarungi bahtera rumah tangga, namun tidak juga ada tanda-tanda untuk mempunyai anak. Penantian yang panjang membuat Nai Manggale akhirnya jatuh sakit lalu meninggal.

Sewaktu Nai Manggale masih sakit dia berpesan kepada suaminya, bahwa ia harus meminta kepada Datu Panggana untuk membuatkan patung sebesar dirinya dan diberi Sigalegale. Kalau amanah itu tidak dilaksanakan, maka roh Nai Manggale tidak akan diperkenankan tinggal di alam baka. Ia tak akan sentosa, akibatnya Nai Manggale terpaksa mengutuk Datu Partiktik agar tidak memperoleh putra dan putri apabila kelak dia kembali kawin.

Datu Partiktik pun segera melakukan apa yang telah dipesankan oleh istrinya. Dengan alasan itulah patung Sigalegale dibuat untuk seseorang yang meninggal tanpa mempunyai anak, agar begunya tidak terkena siksa. Percayakah Anda dengan kisah ini? Namanya juga legenda, Anda boleh percaya boleh tidak. Maturnuwun. ***

(Penulis adalah pegiat sastra dan teater serta peneliti pada Balai Bahasa Medan)



sumber : Andalas