Translate

Senin, 27 Februari 2012

TPF II : PROSA FIKSI sebagai genre sastra


PROSA FIKSI sebagai genre sastra



“Tentu saja, sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda” (Robert Scholes dalam Luxemburg dkk, 1992: 1). Mengutip pandangan Robert Scholes di atas, dapat dikatakan bahwa sastra merupakan ruang yang mengedepankan kata-kata (semacam lahan berekspresi) dibandingkan pada kebendaan yang mungkin setiap saat bisa lapuk dan binasa. Kata-kata diyakini akan lebih awet sebab ia berputar pada imajinasi antara hati dan otak manusia. Sehingga, jarang untuk binasa.
Sapardi (1979: 1) memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Lebih khusus, Burhan Nurgiyantoro (1995) menyebutkan, pada dunia kesastraan dikenal adanya prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesastraan disebut juga dengan fiksi, teks naratif, atau wacana naratif (dalam pendekatan struktural dan semiotik). Istilah fiksi adalah cerita rekaan atau cerita khayalan. Menurut Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 1995: 2) dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajiner, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.”
Dalam kata lain, fiksi atau cerita rekaan ialah cerita dalam prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaiannya tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi, atau pengolahan tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung dalam hayalannya.  Atar Semi (1988 : 31) mengatakan, fiksi dapat berupa suatu penceritaan tentang tafsiran atau imajinasi pengarang tentang peristiwa yang pernah terjadi atau hanya aterjadi dalam hayalannya saja. Fiksi juga harus berbicara tentang pengalaman manusia. Kalaupun pernah muncul cerita-cerita fabel, namun binatang yang digambarkan harus berwujud simbolis dari pengalaman hidup manusia.
Sampai sekarang, belum ada semacam kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. Taum (1997) mengungkapkan bahwa pendefinisian sastra tak mungkin dirumuskan secara luas, namun tergantung pada lingkungan kebudayaan tertentu tempat sastra itu dijalankan. Sastra hanya sebuah istilah yang dipergunakan untuk menyebut sejumlah karya dengan alasan tertentu dalam lingkup kebudayaan tertentu pula.
Definisi ontologis yang bermaksud merumuskan hakikat sastra terbukti tidak dapat diterapkan. Misalnya definisi seperti: “sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau “sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain” (Taum, 1997: 13). Ketiadaan pengertian yang baku terhadap sastra tidak membuat sastra kehilangan bentuk atau menjadi hantu sebagai satu disiplin ilmu. Saya berpikir bahwa hal ini adalah esensi positif terhadap penilaian sastra karena ia terus-menerus menampilkan wajah baru. Tidak stagnan tetapi dinamis, tidak terikat dengan pengertian baku menjadi sastra lebih bebas berekspresi dalam pencapaian hakikat maupun fungsinya.
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (2005 : 383) tertera, hakikat adalah kebenaran atau kenyataan yang sebenarnya. Dari berbagai pendapat yang dipaparkan sebelumnya maka dapat ditarik sebuah garis tentang hakikat sastra yaitu pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara fiksi. Dalam hal ini, sastra memang representasi dari cerminan masyarakat. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Georg Lukacs (Taum, 1997: 50) bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik.
Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan (Nurgiyantoro, 1995: 5). Walaupun dunia fiksi lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan, namun ia tak bisa lepas dari kejadian-kejadian langsung maupun tidak langsung yang dialami oleh pengarang. Memang pengarang diberi ruang seluas-luasnya dalam memanipulasi fakta, membuat apologi-apologi baru seperti E.S. Ito dalam novel “Rahasia Meede” (2007) yang mengungkapkan kemungkinan adanya harta karun VOC di lepas pantai Jakarta tepatnya di Pulau Onrust, tetapi E.S. Ito menyusunnya dari kenyataan sejarah yang terjadi di Hindia Belanda. Banyaknya pengungkapan data sejarah baru membuat orang berpikir jangan-jangan memang ada harta karun yang ditinggalkan oleh VOC.  Hal ini mengesampingkan pendapat Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 2) yang mengatakan bahwa fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Karya fiksi, dengan demikian, menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, hayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.
Bila berbicara tentang pengalaman manusia, maka fiksi tidak boleh terlalu asing dengan kehidupan sebagaimana yang kita kenal atau kita alami. Sebuah karya fiksi seperti novel dan cerpen, tidak sama betul dan tidak mungkin sama betul dengan kehidupan. Apa yang diceritakan dalam fiksi, mungkin tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi. Kalau sebuah karya fiksi sudah sama dengan kehidupan tanpa olahan pengarang, mungkin saja karya tersebut tidak dibaca orang, karena kering, tanpa bumbu.
Sebaliknya, jika sebuah karya fiksi terlalu asing dari kehidupan, ia akan menjadi abstrak dan sukar dikenal maupun dinikmati. Bila seorang sastrawan menulis tentang peristiwa  kehidupan manusia, seorang wartawan juga menuliskan hal yang sama, namun hasilnya akan sangat berbeda, dan kesan bagi pembacanya pun berbeda.  Seorang failasuf juga pada umumnya menceritakan tentang manusia serta tindak-tanduknya, namun hasilnya akan berupa penyampaian yang abstrak dan teoretis. Sedangkan melalui fiksi hal itu diceritakan secara konkret, melalui gerak-laku tokoh. Oleh sebab itu, Atar Semi menyebutkan, fiksi itu terletak di antara jurnalistik dan filsafat, dan sekaligus sintetis dari keduanya.
Lihatlah contoh ini :
Aku dan kamu sudah saling kenal dari dulu,kamu mengenal aq dengan baik begitu juga dengan aku. Aku sangat sering membutuhkan pertolonganmu jadi aku sudah menganggap dirimu sebagai sahabat terbaik ku. Apakah kamu juga menganggap aku teman baikmu? Atau kamu hanya menganggap aku ini sekadar teman biasa saja? Apakah dengan masalah yang pernah kita lakukan waktu dulu kamu masih belum bisa memaafkan aku? Padahal itu kan hanya salah paham saja. Waktu itu aku juga sudah minta maaf berulang kali, tapi mengapa kamu hanya diam, dan tidak memberi jawaban apa-apa sama aku? Sekarang aku minta kepadamu tolong jawab pertanyaanku ,kamu masih mau kan memaafkan aku kembali? Dan menganggap aku teman baikmu? Karena selama ini yang aku rasakan sangat kehilangan dirimu tanpa ada kabar apa-apa darimu. aku harap kamu masih bisa menjadi teman baikmu seperti dulu.

Apakah kutipan kisah di atas fiksi ataukah fakta? Karya sastra atau jurnalistik?

Senin, 13 Februari 2012

Silabus Kritik Sastra 2012



KB20431182 Kritik Sastra: S-1, 2 SKS, Semester VIII



Mata kuliah ini lebih ditekankan pada aplikasi langsung kajian karya sastra. Selesai mengikuti perkliahan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep dasar, metode, aliran, dan jenis kritik sastra, serta mahir mengaplikasikannya terhadap karya sastra Indonesia. Dengan demikian mahasiswa diharapkan terampil dalam menimbang dan menilai karya sastra dari berbagai aspeknya. Dalam perkuliahan ini dibahas: sejarah, fungsi, aspek pokok, metode, aliran, dan jenis kritik sastra, serta penerapannya terhadap karya sastra Indonesia.

Perkuliahan ini juga membahas dan mengkaji isu-isu mutakhir sekitar dunia sastra. Pelaksanaan perkuliahan dilakukan dengan pendekatan ekspositori dalam bentuk ceramah dan tanya jawab dengan ditunjang media LCD, OHP, slide, video, dan pendekatan inkuiri yaitu penyusunan, penyelesaian, dan penyajian makalah, laporan buku dan artikel kritik sastra, diskusi dan pemecahan masalah. Evaluasi terhadap kemampuan penguasaan materi oleh mahasiswa dilakukan melalui UTS, UAS, tugas, penyajian makalah, dan diskusi. Buku sumber utama: Harjana, Andre. (1981). Kritik Sastra Sebuah Pengantar; K.S., Yudiono. (1984). Telaah Kritik Sastra Indonesia; Pradopo, Rahmat Djoko. (1994). Prinsip-prinsip Kritik Sastra Indonesia; ............... . (2002). Kritik Sastra Indonesia Modern; Semi, Atar. (1984). Kritik Sastra; Sukada, Made. (1993). Pembinaan Kritik Sastra Indonesia; Pengantar Kritik Sastra, K.S., Yudiono (2010)..





SILABUS



1.   Identitas Mata Kuliah
Nama Mata Kuliah             : Kritik Sastra
Kode Mata Kuliah              : KB 20431182
Bobot SKS                        : 2 SKS
Semester/Jenjang                : VIII/S1
Kelompok Mata Kuliah      : MKKPS
Jurusan/Program Studi        : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dosen/Kode                       : Suyadi San, S.Pd., M.Si./5023

2.   Tujuan
Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep dasar, metode, aliran, dan jenis kritik sastra, serta mahir mengaplikasikannya terhadap karya sastra Indonesia.

3.   Deskripsi Mata Kuliah
Dalam perkuliahan ini dibahas: sejarah, fungsi, aspek pokok, metode, aliran, dan jenis kritik sastra, serta penerapannya terhadap karya sastra Indonesia. Perkuliahan ini juga membahas dan mengkaji karya-karya sastra Indonesia, baik karya klasik maupun karya mutakhir.

4.   Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan            : Ekspositori, komunikatif, eksperimental.
Metode                  : Ceramah, Tanya jawab, diskusi, pemecahan masalah, dll.
Tugas                     : Laporan buku, makalah, penyajian, kajian karya, dll.
Media                    : OHP, LCD/power point, dll.

5.   Evaluasi
·        Kehadiran
·        Karya kritik
·        Makalah
·        Penyajian dan diskusi
·        UTS
·        UAS

6.   Rincian Materi Perkuliahan Tiap Pertemuan
Pertemuan I
Membahas:
Membahas:
1.      Tujuan mata kuliah.
2.      Ruang lingkup mata kuliah.
3.      Kebijakan pelaksanaan perkuliahan.
4.      Kebijakan penilaian hasil belajar.
5.      Tugas yang harus diselesaikan.
6.      Buku ajar yang digunakan dan sumber belajar lainnya.
7.      Hal-hal lain yang esensial dalam pelaksanaan perkuliahan.


Pertemuan II s.d. VII
Membahas:
1.      Sejarah perkembangan kritik sastra
2.      Fungsi kritik sastra
3.      Aspek pokok kritik sastra
4.      Rancangan dan teknik dasar penulisan karya kritik
5.      Pendekatan kritik sastra
6.      Aliran-aliran kritik sastra
7.      Reviu materi perkuliahan sebelum UTS

Tugas:
1.      Bentuk tugas: kritik terhadap karya sastra Indonesia (cerpen dan sajak)
2.      Waktu penyerahan: pertemuan ke-3

Bacaan lebih lanjut:
1.      Buku: Kritik Sastra Indonesia Modern (Rahmat Djoko Pradopo, 2002).
2.      Sumber on-line
3.      Artikel yang relevan.

Pertemuan VIII
Ujian Tengah Semester: Ujian tertulis/lisan

Pertemuan IX s.d. XV
Membahas:
1.      Kritik impresionistik dan kritik akademik
2.      Kritik Judisial dan kritik induktif
3.      Kritik sastrawan dan metode ganzheit
4.      Kritik sastra feminisme
5.      Penilaian dalam kritik sastra
6.      Kritik sastra Indonesia: mengenal kritikus dan karyanya
7.      Reviu materi perkuliahan sebelum UAS

Tugas:
1.      Bentuk tugas: kritik terhadap karya sastra Indonesia (novel/wawancara)
2.      Waktu penyerahan: pertemuan ke-15

Bacaan lebih lanjut:
1.      Buku:
Kritik Sastra Indonesia Modern (Rahmat Djoko Pradopo, 2002).
Kritik Sastra Feminisme (Soenarjati Djajanegara, 2000).
2.      Sumber on-line
3.      Artikel yang relevan.

Pertemuan XVI
Ujian Akhir Semester: Ujian tertulis/lisan

7.   Daftar Buku
a.   Buku Utama
Djajanegara, Soenarjati.2000. Kritik Sastra Feminisme. Jakarta: Gramedia.
Harjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
K.S., Yudiono. 1984. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
........................ 2010. Pengantar Kritik Sastra. Jakarta : Grasindo
Pradopo, Rahmat Djoko. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
............... . 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
………... . 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sukada, Made. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

b.   Referensi
Abram, H.M. 1979. The Mirror and The Lamp. London-New York: Oxford University Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hawkes, Terence. 1978. Strukturalism and Semiotics. London: Methueb & Co. Ltd.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Selden, Raman. 1986. A Reader's Guide to Contemporary Literary Theory. Liverpool: The Harvester Press.
Sofia, Adib dan Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra. Bandung: Katarsis.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.





Medan, 13 Februari 2012

Dosen Mata Kuliah,




Suyadi San, S.Pd., M.Si.
NIP 197009292005011002

Bahan Ajar TP


TELAAH PROSA : Batasan dan Langkah-langkah


TELAAH barangkali merupakan barang baru stok lama bagi ilmu sastra. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI, hal. 1036), telaah berarti penyelidikan atau pemeriksaan; sedangkan menelaah  memiliki berbagai pengertian, yakni mempelajari, menyelidiki, memeriksa ataupun menilik. Istilah ini sangat langka kita temui di berbagai referensi ilmu sastra. Yang paling dekat dengan istilah telaah ini adalah penelitian, sebagaimana kita pinjam dari pernyataan Atmazaki (1993 : 114) yang menyebutkan "penelitian sastra adalah telaah sastra". Dengan demikian kita sepakati saja istilah Telaah Prosa itu berarti juga penelitian prosa.
            Penelitian atau telaah prosa sebenarnya tidak jauh beda dengan aktivitas kritik maupun resensi seni, hanya saja lebih bersifat akademis dan ilmiah daripada kedua istilah yang hampir mirip itu. Sememangyalah, penelitian atau telaah identik dengan pengkajian secara ilmiah terhadap objek penelitian itu. Sebutan akademis atau ilmiah sesungguhnya tidaklah berarti bahwa yang dapat melakukannya hanya kalangan akademis, dosen, misalnya. Siapa saja dapat melakukan, asal memenuhi persyaratan keilmiahan.
            Hal-hal yang diperlukan dalam pengkajian secara ilmiah adalah mengikuti alur berpikir ilmiah, yaitu : (a) ada yang menarik untuk diteliti (permasalahan), (b) ada tujuan yang ingin dicapai, (c) jelas teori tempat berpijak, dan (d) jelas metode yang diterapkan sesuai dengan jenis penelitian itu. Di samping itu, ada dua kriteria berpikir secara nalar, yaitu logis dan analitis (Nazir, 1985 : 12). Telaah prosa tentunya memerlukan satu syarat lagi, yakni kreatif.
            Penelaahan prosa secara kreatif maksudnya penelitian prosa yang memerlukan interpretasi dan evaluasi dari penelitian. Penelaahan prosa sebatas analisis unsur-unsurnya belum dapat disebut kreatif  karena kerja semacam itu tidak begitu menuntut sifat kritis, wawasan, dan intuisi yang tajam. Kerja semacam itu dapat dilakukan oleh siapa saja yang suka sastra dan memiliki sedikit ilmu sastra.
            Keperluan untuk menelaah karya prosa secara kreatif didasarkan atas anggapan yang menyebutkan bahwa karya prosa adalah juga karya kreatif, sebagaimana genre sastra lainnya. Sebagai karya kreatif, karya prosa tidak tunduk kepada istilah klasifikasi atau pengelompokan sebagaimana biasanya terdapat dalam objek kajian di luar sastra. Hal ini karena setiap karya sastra membawa suatu ideologi atau pemikiran. Pemikiran itu dikembangkan sesuai dengan visi sastrawan. Tentu saja seorang sastrawan bukanlah seorang yang bebas/bersih dari pengaruh lingkungannya. Tak ayal, pemikiran yang terdapat di dalam karya prosa dibangun berdasarkan keadaan sosial budaya yang ada dan yang diinginkan . Tugas penelaahlah membuka filosofi pemikiran itu dan memberi makna serta menempatkannya dalam konteks yang tepat. Selain itu, penelaah jugalah yang harus membantu pembaca untuk mengetahui filosofi pemikiran atau ideologi yang tersembunyi di dalam karya prosa.
            Pada dasarnya untuk tujuan di atas maka perlu menggunakan teori-teori dalam penelaahan prosa. Karena setiap teori sastra didasarkan atas pemikiran tertentu, maka sebuah teori tidak dapat digunakan untuk seperangkat tujuan. Teori tertentu digunakan untuk tujuan tertentu.
            Teori apa yang digunakan dalam telaah prosa? Jawaban sederhana untuk pertanyaan itu tentulah : teori sastra. Juga bisa dilandasi teori-teori lain, seperti sosiologi, psikologi, stilistika, sejarah, antropologi, dan sebagainya. Penelaahan prosa seringkali bercorak eksploratif seperti mencari teks di daerah pedalaman, membongkar naskah kuno di museum, melakukan telaah teks, dan sebagainya. Di samping itu, penelaahan prosa juga seperti melakukan kritik sastra : melakukan interpretasi dan merumuskan tentang sifat dan ciri  sastra (drama). Karena luasnya jangkauan kerja, penelaahan prosa  memerlukan banyak tenaga, kegigihan, dan kesungguhan, yang bermula dari suatu sikap ingin tahu serta berusaha keras menemukan sesuatu yang  "tidak ada" menjadi "ada" (meminjam istilah to be or not  to be-nya Richard Borislavsky), atau dari sesuatu yang ada dilakukan elaborasi dan kontemplasi untuk kemudian diberikan rumusan, teori, dan bahkan diberikan makna.
            Sebagai suatu kegiatan ilmiah, penelaahan prosa harus dilakukan dengan dukungan teori dan prinsip keilmuan secara lebih mendalam. Sebelum mengambil keputusan harus terlebih dahulu diuji berkali-kali dengan konsep, teori, atau dengan informasi lain. Ini perbedaan lain dengan kritik sastra bahkan dalam hal ini kritik sastra dapat dianggap hanya bagian saja dari kegiatan penelitian. Sedangkan penelaahan sastra tidak hanya menyangkut sejarah, verifikasi teori yang ada, menemukan teori-teori baru, melakukan tafsiran, penilaian, penentuan bentuk-bentuk karya sastra, tetapi juga berupaya mengemukakan pandangan, membuat kesimpulan, dan memberikan rumusan-rumusan. Kesemua itu diarahkan kepada pemerkayaan teori sastra.
            Langkah pertama dalam telaah sastra adalah keterlibatan jiwa, yaitu suatu peristiwa ketika pembaca menyimak pikiran dan perasaan pengarang dalam hubungannya dengan suatu masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya. Namun di dalam kenyataannya, penyimakan terhadap pikiran dan perasaan pengarang itu terjadi secara tidak langsung. Pembaca terlebih dahulu memahami hubungan sebab-akibat antara peristiwa-peristiwa di dalam alur cerita atau plot; alasan bagi setiap tindakan, perkataan dan pikiran serta perasaan tokoh-tokoh cerita,  terutama tokoh-tokoh penting, motivasi yang menggerakkan cerita, dan suasana cerita khususnya yang ditimbulkan penggunaan bahasa oleh pengarang.
            Keterlibatan jiwa seorang pembaca dapat diuji dengan seperangkat pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk mengajuk gerak-gerik pikiran, perasaan, dan khayal pembaca dalam hubungannya dengan unsur-unsur sastra.
Langkah kedua dalam telaah sastra adalah kemampuan pembaca untuk melihat hubungan mantik (logis) antara gerak-gerik pikiran, perasaan, dan khayalnya dengan unsur-unsur sastra  yang terdapat dalam karya sastra itu. Misalnya, dalam langkah ini harus mampu memberi alasan mengapa sastrawan menyusun peristiwa dengan cara tertentu tidak dalam cara yang lain; mengapa ia bersimpati dengan tokoh X dan berantipati dengan tokoh Y, dan sebagainya. Dengan kata lain, dalam langkah ini pembaca mampu memberi pertanggungjawaban terhadap gerak-gerik jiwanya. Ke dalam langkah kedua telaah ini, termasuk pula kemampuan mengkaji dan menilai unsur-unsur sastra sebagai pengungkap buah pikiran sastrawan. Misalnya, dalam langkah ini pembaca memberikan pendapat bahwa alur cerita atau plot memiliki bagian-bagian yang lemah atau kurang masuk akal, bahwa tokoh-tokoh tertentu wataknya tidak tergambar dengan baik atau kurang ajeh (konsisten), dan sebagainya. Semua kemampuan itu dapat diuji melalui perangkat pertanyaan yang lain.
            Langkah ketiga dalam telaah karya sastra dicapai ketika pembaca memasalahkan dan menemukan atau tidak menemukan hubungan (relevansi) antara buah pikiran pengarang dengan pengalaman pribadinya dan pengalaman kehidupan masyarakat secara umum. Dalam tingkat ini, pembaca menetapkan apakah buah pikiran sastrawan itu ada manfaatnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat. Mungkin saja ia berpendapat bahwa buah pikiran sastrawan, walaupun diungkapkan dengan jelas, dalam, dan kaya, sudah tidak penting lagi, atau terlalu sepele atau sebaliknya, sangat penting dan mendesak. Kemampuan ini pun dapat diuji melalui seperangkat pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab sendiri atau di dalam diskusi kelas maupun kelompok. Menjawab melalui diskusi dalam kelompok, sesuai dengan tuntutan kurikulum pendidikan formal. Kesempatan untuk diskusi-diskusi itu terbuka di dalam kelas atau di luar kelas dengan berbagai strategi.
Strategi pertama tentu saja berada di sekitar sastra. Prosa adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan mengasyikkan para pembaca sehingga sangat digemari masyarakat. Bentuk ini didukung oleh tradisi sejak zaman dahulu yang melekat erat pada budaya masyarakat setempat. Di samping mudah disesuaikan untuk diapresiasi dan dinikmati masyarakat segala umur. Karena sastra merupakan dramatisasi tingkah laku dan miniatur kehidupan manusia yang mendasar, karya sastra baru dapat disusun dan diproduksi dengan berhasil jika diikuti pengamatan atau penelaahan yang teliti baik oleh penulis maupun para penulisnya.

Silabus Telaah Prosa dan Fiksi


SILABUS MATA KULIAH




A. INFORMASI UMUM

            1. Nama Mata Kuliah              : Telaah Prosa
            2. Kode Mata Kuliah              :
            3. Bobot SKS                         : 3 SKS
            4. Pembina MK                      : Suyadi San, S.Pd., M.Si.
                                                            Email: suyadisan@yahoo.com.
            5. Prodi                                 :  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
            6. Prasyarat                           :  Lulus mata kuliah Teori Sastra

B. DESKRIPSI
Perkuliahan ini diisi dengan pembahasan tentang hakikat prosa, penelaahan struktur intrinsik prosa yang  meliputi: struktur alur, latar, penokohan dan perwatakan,  tema dan amanat serta pesan, sudut pandang pengisahan, sarana bahasa; penelaahan unsur ekstrinsik prosa, keterampilan memahami dan interpretasi unsur intrinsik dan ekstrinsik prosa dengan menerapkan berbagai pendekatan telaah sastra.

C. TUJUAN
 Setelah perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan:
1.       Mampu menjelaskan prinsip dan langkah-langkah  telaah  prosa secara  intrinsik dan ekstrinsik.
2.       Terampil menelaah prosa sebagai karya sastra.
3.       Mampu mempublikasikan telaah sastra yang dikontribusikan untuk pembelajaran sastra.
4.       Mampu mengajarkan telaah prosa dalam pembelajaran sastra Indonesia. 


D. BENTUK PERKULIAHAN

Perkuliahan ini dilaksanakan dalam bentuk kuliah, presentasi dan diskusi mahasiswa,  tanya jawab dengan pembimbing, kerja kelompok, dan unjuk kerja. Pada beberapa pertemuan awal, dosen akan menyampaikan konsep-konsep penting hakikat prosa: pengertian, karakteristik, dan beda prosan dan nonprosa, unsur intriksik dan ekstrinsik. Penyampaian konsep-konsep itu dimaksudkan untuk  menyamakan persepsi mahasiswa tentang apa yang dimaksud dengan istilah prosa. Dengan demikian, diharapkan dalam presentasi, mahasiswa mampu memberi arah yang jelas tentang topik yang dibahasnya. Setiap mahasiswa mendapat, minimal, satu topik untuk disajikan dan presentasinya diikuti dengan diskusi kelas untuk membahas, menanggapi, klarifikasi, saran-saran, dan aplikasinya. Oleh karena itu, setiap mahasiswa wajib membaca materi yang akan ditampilkan sebelumnya. Dosen akan mencek persiapan mahasiswa sebelum diskusi dan memberikan tanggapan akhir serta meminta refleksi dari mahasiswa berkenaan dengan pelaksanaan perkuliahan hari itu.   Keberhasilan perkuliahan akan sangat ditentukan oleh kemauan, keseriusan, dan antusias mahasiswa di dalam mendengarkan, membaca, berdiskusi, dan berlatih.

E.  EVALUASI
            1. Partisipasi aktif                   20%
            2. Tugas-tugas                         30%
            3. Ujian tengah semester         20%
            4. Ujian akhir semester            30%

F. REFERENSI
Atmazaki dan Hasanuddin WS. 1990. Pembacaan Karya Sastra sebagai Seni Pertunjukan. Padang: Angkasa Raya
Damono, Sapardi Djoko.  Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Bahasa,  2001.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:Medpress.
M. Atar Semi. 1984. Anatomi Sastra. Padang: Sridharma
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
San,  Suyadi. 2011. Pengantar Teori Sastra. Diktat.
....................... 2012. Telaah Prosa dan Penerapannya dalam Pembelajaran Sastra. Handout.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Zaimar, Okke KS. 2008. Semiotikdan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Zoest, Aart van Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993.

Buku-buku dan artikel yang relevan.


G. GBPP

Minggu Ke

Pokok Bahasan


Referensi
I
Pengantar perkuliahan, pentingnya analisis prosa sebagai ilmu dan keterampilan, telaah prosa dalam pembelajaran  
Endraswara, 2006;
Ratna, 2008.
II
Hakikat Prosa: Perbedaan prosa dan Nonprosa, jenis-peran-fungsi dan struktur prosa, kaitan prosa dengan pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988
III
Unsur-unsur prosa: alur dan pengaluran, kejadian, tindakan, peristiwa.
Identifikasi unsur prosa fiksi melalui penelusuran alur (satuan peristiwa) Telaah alur dan langkah-langkahnya. Pelatihan telaah alur prosa.
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
IV
Unsur-unsur prosa fiksi: tokoh dan penokohan, penamaan, pencitraan fisik dan karakter psikologis. Langkah-langkah telaah penokohan dan perwatakan. Pelatihan telaah penokohan
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
V
Unsur-unsur prosa fiksi: latar tempat, waktu, dan sosial budaya. Telaah latar dan pelatihan
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
VI
Unsur-unsur prosa fiksi: sudut pandang dan pusat pengisahan. Pengarang dan penceritaan dan telaah pusat pengisahan. Pelatihan. 
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
VII
Unsur-unsur prosa fiksi: tema, amanat, dan pesan prosa. Menentukan tema dan amanat prosa. Pelatihan
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
VIII
UTS

IX
Unsur ekstrinsik penunjang: konvensi sastra, konvensi budaya, konvensi bahasa, sastra dan tanda. (tinjauan semiotic)
Luxemburg M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011; Zaimar, 2008
X
 Unsur ekstrinsik utama: pengarang, sensitivitas, imajinasi, intelektual, pandangan hidup (telaah idiologi-filosofis)
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
XI
Unsur ekstrinsik penunjang: norma-norma, ideologi, tatanilai; nilai-nilai budaya, moral, agama, dan  pendidikan. (telaah nilai-nilai)
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
XII
Prosa dan perannya dalam pengembangan  psikologis; karakter, konformitas, dan kejiwaan dan kebangkitan berbangsa dan implikasi dalam pembelajaran  (telaah psikologis)
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
XIII
Peran pengarang dan kaitan peran prosa dalam cerminan social masyarakat, kaitannya dengan tema dan style prosa, dan nilai kesastraan prosa,  keadilan dan pornografi. (telaah sosiologis)
Lubis M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
XIV
Peran prosa dalam mempermasalahkan gender, feminimisme, citra perempuan,  dan kekerasan dan eksploitasi wanita (telaah feminisme)
Atmazaki, 2007; M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
XV
Prosa dan spritualitas, prosa religius, peran prosa dalam pembinaan etika dan kesalehan individual dan sosial. (telaah religiositas)
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
XVI
Telaah prosa dan imlimentasinya dalam pembelajaran bahasa sastra, penilaian dan pemilihan karya prosa yang tepat sasaran dan strategi pendidikan prosa sebagai sastra.
Endraswara, 2006
M. Atar Semi, 1984; Teeuw, 1988; Siswanto, 2009: San, 2011
XVII
Ujian Akhir Semester




H. TAGIHAN TUGAS

1.      Laporan bacaan/book report (individu)
2.      Tugas identifikasi unsur intrinsik cerpen/novel.
3.      Tugas identifikasi unsur ekstrinsik cenpen/novel.
4.      Tugas makalah kelompok untuk presentasi
5.      Tugas makalah akhir, memilih salah satu topik atau sub topik.

I. ATURAN KELAS

1.     Mahasiswa tidak dapat mengikuti ujian akhir semester  apabila  menghadiri pertemuan intensif tatap muka perkuliahan kurang dari  80%.
2.    Mahasiswa dapat menyerahkan tugas sejak awal atau sesuai jadwal yang ditetapkan dan dosen segera memberikan umpan balik.
3.     Dosen dan mahasiswa sepakat untuk tidak terlambat dan berpakaian sopan.
4.     Bila dosen belum hadir, setelah lima menit dari jadwal yang ditetapkan ketua kelas harus menghubungi dosen.
5.   Semua anggota kelas sepakat mencapai kesuksesan dalam perkuliahan ini dengan lebih mengembangkan iklim akademik dan bekerjasama.
6.     Semua hambatan yang dihadapi dalam  perkuliahan ini dapat dibicarakan dengan dosen pembina  dan dosen pembina akan  memfasilitasi.




Medan, 14 Februari 2012

Dosen Mata Kuliah,




Suyadi San, S.Pd., M.Si.
NIP 197009292005011002