Translate

Jumat, 04 Desember 2009

Semangat Heroisme Bergeming

09:14 | Tuesday, 24 November 2009
Semangat Heroisme Bergeming, Suyadi San SPd Suyadi San SPd

Seketika nasionalisme kita bergolak saat lagu ‘Rasa Sayange’ menjadi nyanyian latar promosi pariwisata negara tetangga. Padahal, sebelumnya kita tak pernah peduli dengan aset budaya yang ada. Berikut bincang-bincang Staf Teknis Publikasi dan Penerbitan Balai Bahasa Medan, Suyadi San SPd MSi, terkait banyaknya daftar panjang budaya Indonesia yang diklaim negara luar, kepada wartawan koran ini, Rahmat Sazaly, kemarin (23/11).

Bagaimana saat ini Anda melihat kedaulatan Indonesia?

Sejumlah kasus yang menggoyahkan sendi-sendi kedaulatan kita sebagai bangsa berdaulat sedang diuji. Daftarnya kalau diurut bisa sangat panjang. Begitulah. Rasanya kewibawaan bangsa ini telah meluntur. Semangat heroisme dan nasionalisme yang disuarakan pendiri bangsa ini nyaris bergeming. Padahal, itu terjadi di tengah bangsa yang mulai melek hak asasi manusia dan demokratisasi.

Lalu, benarkah semangat nasionalisme kita mulai pudar?
Betapa tidak, ketika rakyat mencemaskan sembako, minyak tanah, listrik, air minum, bencana alam, degradasi moral dan mental anak-anak, serta kagok aneka budaya global, para pemimpin kita justru tetap sibuk memikirkan kursi dan jabatan. Sementara negara ‘dizalimi’ bangsa lain.

Sebenarnya apa yang terjadi di Indonesia ini?
Perubahan sosial telah terjadi di wilayah sentral kajian antropologi, yang mengintegrasikan jutaan orang ke dalam pasar dan negara. Perhatian antropologi terhadap nasionalisme justru menempuh jalur yang berbeda dari ilmu politik yang sejak awal menempatkan negara sebagai pusat kajian.

Apa yang menyebabkan goyahnya nasionlaisme di Indonesia?
Hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh masuk dan berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia, dan menjadi bagian dari cara ilmu-ilmu sosial memikirkan negara-bangsa dan nasionalisme kita sendiri.

Jadi, apa yang harusnya dilakukan?
Banyak orang berpendapat, multikulturalisme merupakan alternatif yang paling tepat untuk membangun kembali integrasi bangsa tersebut, meski belum ditemukan model multikulturalisme seperti apa yang paling tepat untuk Indonesia.
Pendapat tersebut tidak salah, karena pendekatan proses dalam multikulturalisme lebih relevan untuk menjawab isyu kebangsaan dan integrasi nasional yang kini dituntut mampu menjawab tantangan perubahan.

Apa harapan Anda kepada pemerintah?
Kondisi negeri kita yang serba lemah di berbagai sektor mempermudah kita menjadi rentan untuk “tidak lagi dikehendaki” dalam proses seleksi global. Untuk itu, sudah seharuslah para pemimpin negeri ini memberikan suri-teladan nasionalisme kepada rakyatnya. Tidak cuma berebut kursi dan jabatan. (*)

Tags:

sumber : Sumut Pos, Selasa 24 November 2009 halaman 1 Metropolis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar