Translate

Kamis, 10 Desember 2009

Tinjauan Buku : ”Doa Buaya” Abu Bakar Parodi Kehidupan


Suyadi San


Judul Buku : Doa Buaya

Penulis : Abu Bakar Siregar

Penerbit/Kota : Teater Kita, Medan

Cetakan/Tahun : I/2002

Tebal : 65 halaman + x

Ukuran : 8,5 x 13,5 cm

PARODI merupakan kisah jenaka yang berasal dari tiruan karya sastra terkenal, parodi ini bersifat menyindir. Penciptanya menggunakan gaya tertentu, menuliskannya dengan menggunakan aliran sastra tertentu pula dengan ciri yang sangat menonjol.

Kita dapat menikmati parodi jika kita hanya mengenal karya yang ditirukan. Kita menjadi bingung dan tertawa tergelak-gelak karena keberadaan parodi. Itulah tujuan dari pembuatan parodi (Berger, 2000 : 82).

Di Indonesia, parodi masuk ke panggung kesenian sudah sejak lama. Di pentas teater, dramawan terkenal yang banyak memarodikan kepemimpinan Orde Baru adalah N. Riantiarno. Di layar kaca, ada Republik BBM, Republik Mimpi, Extravaganza, dan sebagainya.

Di panggung musik, tentu kita masih mengenal grup orkes Pengantar Minum Racun (PMR), Pancaran Sinar Petromak (PSP), Project P, dan teranyar Team-Lo. Di panggung sastra tak kalah menariknya. Lihat saja sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Jatman, Ibrahim Sattah, Hamid Jabbar, dan Abu Bakar Siregar.

Lho, Abu Bakar? Ya. Nama Abu Bakar Siregar layak disandingkan dengan penyair terkemuka tersebut. Sajak-sajak Abu Bakar Siregar dapat dibaca dalam buku ”Doa Buaya”. Buku ini diterbitkan Teater Kita, Medan, tahun 2002, karena penulisnya merupakan anggota komunitas ini. Kata pengantar diberikan Dahri Uhum Nasution, H.M. Rasyid, S.H., dan AS Atmadi.

Ukuran buku puisi Abu Bakar ini mirip buku kumpulan puisi balsem ”Ohoi”-nya Mustafa Bisri. Sajak-sajak yang terdapat di dalamnya juga berisikan ’balsem’, obat gosok, panas namun bisa menyembuhkan penyakit ’puskesmas’ (pusing, keseleo, masuk angin).

Buku ini memang diterbitkan tahun 2002. Namun, isinya masih awet sepanjang masa. Karena itu, kita patut mengapresiasi sajak-sajak parodinya Abu Bakar Siregar ini. Setidaknya, nama Abu Bakar patut diperhitungkan dalam jagad sastra Indonesia, Sumatera Utara khususnya.

Buku saku ini memuat karya Abu Bakar Siregar yang umumnya mengungkap nilai-nilai kehidupan yang ada dalam masyarakat. Puisi-puisinya sangat sederhana dan singkat yang secara jujur mengungkapkan watak manusia dan kehidupan sehari-harinya.

Puisi yang berjudul ‘Doa Buaya’ sendiri bercerita tentang doa anak manusia yang ingin hidup bahagia. Abu mengungkapkan keinginan anak manusia yang mau ‘enaknya’ saja dalam puisi tersebut.

Dalam puisi ini, Abu Bakar sarat menyentil masalah realitas sosial secara ironi dan satire. Tak heran, sebagaimana judul, DOA BUAYA ini, bisa dikategorikan sebagai kumpulan puisi humor, karena mengundang senyum siapa saja yang membacanya. Padahal, dia ingin mengungkap kebenaran dan ketidakbenaran.

Lihat saja puisi yang berjudul ‘Hening Cipta’ di bawah ini:


Untuk mengenang arwah para pahlawan

marilah kita hening cipta sejenak

hening cipta dimulai

aku rundukkan kepalaku

aku lihat sepatuku

made in Itali

padahal aku tahu, sepatuku buatan sukaramai

kemudian aku berbisik

pahlawan, masih banyak bangsa kita

yang malu mengaku dia Indonesia

hening cipta selesai


Saya menyebut sajak-sajak “Doa Buaya” ini sebagai satu bentuk karya parodi. Berger (2002) menggolongkan parodi sebagai teknik humor (bandingkan dengan bentuk humor seperti lawak atau teka-teki) yang menggunakan teknik-teknik khusus untuk melucu, seperti permainan kata, melebih-lebihkan dan kelucuan.

Fakta membuktikan bahwa tanda-tanda dapat kita gunakan untuk berbohong. Judul buku Abu Bakar, misalnya, yakni “Doa Buaya” membuktikan kebohongan itu. Tanda-tanda memiliki kemampuan untuk memberitahukan kebenaran dengan kerumitannya.

Penggunaan kosa kata “doa” dan “buaya” merupakan penanda sekaligus petanda kebohongan itu. Kosa kata “doa” merujuk kegiatan spritual seseorang kepada Sang Pencipta. Namun kata ini menjadi berbeda arti ketika disambung dengan kosa kata “buaya”, hewan yang hidup pada dua dunia; darat dan air. Di sinilah letak parodi tersebut.

Sajak yang menjadi pembuka buku ini berisi 13 baris. Baris pertama sampai sembilan, berisikan doa sebagaimana biasa, yakni : ”/murahkan rezekiku/terangilah jalan hidupku/mudahkanlah jodohku/”. Ia menginginkan jodoh yang cantik (baris ke-6), baik, jujur, setia (baris ke-7) serta sayang suami dan keluarga (baris ke-8).

Selain itu, jodoh yang diinginkan adalah yang hormat pada mertua (baris ke-9).itu semua merupakan kata-kata yang lazim diucapkan orang dalam doa. Namun, pada baris kesepuluh dan seterusnya dia berucap begini :


dan kelak di kemudian hari

bersedia membiayai

ketika aku kepingin kawin sekali lagi

buaya.....


Dilihat dari sudut semiologi, parodi mendasarkan pada kenyataan bahwa kita mengenal seseorang lebih dekat dengan berpura-pura dan berbohong. Kita harus mengetahui objek yang diparodikan agar kita dapat menikmati humor dalam bentuk parodi.

“Doa Buaya” memresentasekan hal-hal seperti itu. Ini bisa dianalogikan pada orang-orang yang bertipe penjilat pada atasan. Bagi orang-orang Sumatera Utara, tentu saja mengenal objek-objek yang dibidik Abu Bakar melalui sajak-sajaknya.

Misalnya, terlihat dalam sajak ‘Indonesia Satu’, mengungkapkan, jika KKN tidak bisa hilang maka semua daerah dari Sabang sampai Merauke akan minta berpisah. Jika hal itu terjadi, maka Indonesia hanya tinggal dari Canang sampai Keramat Tunggak saja. Canang dan Kramat Tunggak dahulu dikenal sebagai kawasan lokalisasi pelacuran terkenal di Medan dan Jakarta.

Tak hanya bertemakan nasionalisme, Abu juga menulis puisi dengan tema-tema sosial dan wanita. Uniknya, puisi-puisi itu terkesan polos dan jujur, tidak munafik, disusun dengan kata-kata yang padat dan mengena.

Tema sosial di antaranya mengungkap masalah perjudian yang sudah membudaya di tanah air, seperti dalam puisi ‘Buku’, ‘SDSB’, ‘Bisikan’, ‘Zaman’, ‘Jantung’, dan ‘Istilah’. Meski Kapolri Jenderal Sutanto paling alergi dengan judi, namun secara diam-diam tampaknya bisnis haram ini terus bergerilya.

Sedangkan yang bertema wanita dan cinta terdapat pada puisi ‘Madu’, ‘Koran Pagi’, ‘Mantera’, ’Telegram’, ’Warna’, ’Harap’, ’Bulan’, ’Ilmu Ukur’, ’Lisa’, ’Rindu Rosita’, ’Imbang’, ’Surat si Udin yang Tercecer’, ’Manis’, ’Modern’, ’Cinta Pertama’, ’Lebih’, ’Mubajir’, ’Ganjal’, ’Iman’, ’Faujiah’, ’Lenyap’, ’Kekasih’, ’Polong’, ’Bloon’, dan ‘Lipstik’.

Di akhir kumpulan puisinya, dengan puisi yang unik, Abu secara menggelitik menutup bukunya dengan puisi ‘Doa’:


Ya Allah ya Tuhanku

hanya kepadaMulah aku mengadu

karena pada yang lain

duitlah ujungnya.


Begitulah. Enam puluh empat sajak yang terdapat di dalam buku ”Doa Buaya”-nya Abu Bakar ini mengingatkan kita agar tidak bermain-main dengan kebenaran. Sepatutnya kita tidak melupakan karya-karya Abu Bakar ini dalam pentas sastra. Semoga! ***

Penulis adalah sastrawan

dan staf peneliti pada Balai Bahasa Medan

sumber : Analisa, Minggu 3 Februari 2008 Rubrik Rebana 2 halaman 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar