Translate

Sabtu, 05 Januari 2013

SINETRON RELIGIUS DAN KOMUNIKASI SOSIAL DI TELEVISI KITA



Oleh : Suyadi


HAMPIR seluruh televisi di Indonesia belakangan ini marak menghidangkan sajian drama relegius. Apalagi, pada tiap bulan Ramadan  dan Hari Besar Islam. Tiba-tiba saja seluruh stasiun televisi kita gandrung menayangkan sinema elektronik (sinetron) ini. Berbagai tanggapan pun menyemai seiring tayangan siaran tersebut.
Sinetron religius tampaknya mulai mengemuka tatkala bangsa ini dikejutkan dengan bencana alam dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara 26 Desember 2004. Fakta menyebutkan, yang selamat beranggapan bahwa ia  masih diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk tetap menghirup napas kehidupan.
Media massa pun menyiarkan beragam feature human interest, baik para keluarga korban yang meninggal maupun hidup. Betapa tidak? Maut yang mengintai dari gulungan ombak itu seketika meluluhlantakkan seluruh ciptaan Allah. Dengung ”Allahu akbar” dan adzan berkumandang spontan di antara jeputan Sang El Maut.
Kondisi serupa dialami daerah lain yang juga terkena bencana. Di antaranya, gempa Nias, Sumatera Barat, Pangandaran, Bantul dan Yogyakarta serta kini Bengkulu dan Sumatera Barat. Semua itu mengingatkan manusia kepada Sang Pencipta Langir dan Bumi.
Beranjak dari musibah itu, seluruh stasiun televisi pun latah menyiarkan mengenai kekuasaan Tuhan tersebut. Bencana alam itu menjadi pemantik programa siaran yang dianggap sangat dekat dengan publik. Maka, tema-tema religius jadi komoditas unggulan pada tiap tabung layar kaca.
Televisi pun berlomba menyiarkan produk unggulan tersebut. Variasi tayangan drama serial yang berklaim religius merupakan jenis tontonan (fiksi) yang bertendens. Artinya, tayangan-tayangan tersebut dibuat dengan kesengajaan dan penuh kesadaran untuk memberikan “pencerahan”, berpretensi menasihati serta diharapkan menjadi contoh dan pelajaran bagi penontonnya.
Tak heran, modus dan pola tayangan-tayangan tersebut semuanya sama dan sederhana saja, intinya “jaal haq wa dzahaqal bathil”. Kebenaran (yang datang kemudian) melenyapkan kebathilan. Tokoh-tokoh yang dalam kaca mata agama dianggap dzalim akan menemui ajalnya secara mengerikan dan tidak wajar. 
Lewat tayangan-tayangan semacam itu, kita menyaksikan dramatisasi yang luar biasa atas sesuatu yang dianggap jahat, salah, dosa, terlaknat. Strategi naratif, kalau boleh dibilang begitu, semacam itu tentu saja dimaksudkan untuk memberikan efek tertentu bagi penonton, sesuai pesan yang hendak disampaikan.
Karena dari awal memang bertujuan mengabdi pada pesan itulah, maka tayangan-tayangan jenis ini tak terlalu mementingkan alur cerita, bahkan termasuk premis-premis dasarnya maupun logika dan unsur-unsur lainnya. Apapun bisa terjadi begitu saja, tak perlu alasan dan penjelasan yang masuk akal. Yang penting tujuan tercapai: pesan tersampaikan.
*
Karya seni (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai itu dikemas dalam wujud struktur karya seni, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat (tendens).
            Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain adalah nilai hedonik, nilai artistik, nilai kultural, nilai etis, moral dan agama, serta nilai praktis. Tampaknya, nilai-nilai ini sarat terkandung di dalam tayangan sinetron religius ini.
Nilai hedonik, misalnya, yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca. Ini bisa dilihat dari tema-tema kematian yang dibalut dalam berbagai versi karena dianggap musrik dan ingkar terhadap agama.
Niilai artistik, yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Ini bisa dilihat dari teknik pengambilan gambar, animasi, dan kompugrafi yang mengajak kita seolah-olah melihat secara jelas makhluk-makhluk halus ciptaan Tuhan.
Nilai kultural, yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan. Biasanya, tayangan ini mengisahkan pemutarbalikan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu masyarakat. Misalnya, memelihara jin dan berteman dengan setan.
Nilai etis, moral, dan agama, yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama. Di sini biasanya berlakulah tokoh ulama atau ustadz yang selalu mampu mengatasi kemelut manusia melawan makhluk-makhluk jahat.
Lalu, nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai praktis inilah yang kerap terjadi di televisi kita. Kita diajarkan seolah-olah gampang mengusir hantu hanya dengan benda-benda tertentu.
Dalam bahasa Michel Foucault, dalam dua hari telah terjadi “pelipatgandaan produksi wacana tendensius” yang luar biasa lewat tayangan (media) televisi. Jika produk media (massa) adalah cermin dari realitas masyarakat di ruang dan waktu di mana ia lahir, maka kita pun barangkali menjadi bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi di “luar sana”? 
Saya membayangkan sebuah masyarakat yang sedang dilanda kepanikan moral yang luar biasa, disebabkan masalah moral dan sosial. Kepanikan semacam itu tampaknya dirasakan para pembuat tayangan fiksi berklaim religius sehingga beramai-ramai mengangkat kisah yang memberi peringatan akan ancaman yang sedang melanda masyarakat itu.  
Namun, apa yang terjadi sebenarnya? Fakta di lapangan menunjukkan sesuatu yang berbeda ketika kita menonton berita-berita di TV dan membaca koran. Yang terlihat dan terbaca adalah masyarakat yang mengalami mimpi terburuk dalam hidupnya karena tiba-tiba saja desa tempat mereka membangun kehidupan dibanjiri lumpur panas bocoran dari sebuah pabrik.
Yang terlihat dan terbaca adalah kelangkaan minyak tanah dan pemadaman listrik oleh PLN seperti minum obat. Yang terlihat dan terbaca adalah pencurian beribu-ribu kayu glondongan di Kalimantan dan Sumatera yang tak ternilai harganya. Yang terlihat dan terbaca adalah banjir di sejumlah wilayah karena penggundulan hutan di sekitarnya. Dan banyak lagi.
Kasus-kasus itulah sebenarnya yang menggambarkan kepada kita bahwa bencana – bukan – alam melainkan bencana akibat kecerobohan segelintir manusia tak bertanggung jawab yang merugikan banyak orang bisa terjadi, selalu terjadi dan terus terjadi di negeri ini.
Sebab, yang kita cemaskan selama ini –seperti tecermin dalam kepanikan masyarakat yang digambarkan oleh tayangan-tayangan fiksi berklaim religius itu- adalah hal-hal yang sebenarnya tidak pernah menjadi ancaman apa-apa di masyarakat
Yang mereka temui sehari-hari adalah kemiskinan, himpitan beban hidup yang antara lain diperparah oleh kondisi ekonomi negara yang dikendalikan pejabat-pejabat bodoh, rakus, korup dan kebal hukum.
Bangsa ini telah terpuruk begitu jauh dalam kubangan situasi yang seakan tak bisa diperbaiki lagi. Orang-orang mendaftar menjadi anggota DPRD dengan ijazah palsu. Pilkada di mana-mana rusuh dan tak jarang sampai menimbulkan pertumpahan darah. Korupsi makin merajalela dan dilakukan secara transparan serta sistematis, namun tak satu pun bahkan yang paling teri sekali pun bisa diseret ke pengadilan.
Dalam kebingungan dan ketakberdayaan, orang butuh pelampiasan, tempat atau cara untuk melarikan diri guna menemukan semacam musuh bersama yang bisa mengembalikan kekuatan moral dan rasa percaya diri. Dan, tayangan-tayangan berklaim religius itu adalah bagian dari upaya ini.
Orang-orang sirik, musrik, dan aneka kejahatan lainnya ditampilkan sebagai makluk berdosa, terkutuk, terlaknat –dengan penggambaran yang luar biasa ekstrem hingga sampai ke titik absurd- agar masyarakat yang menonton tayangan itu merasa masih (lebih) punya moral, masih (cukup) berarti, bisa sedikit (merasa) bahagia kendati tengah berada dalam keterpurukan dan tak berdaya menghadapi masalah-masalah yang muncul dalam konteks kehidupan berbangsa.
*
Begitulah.Apa yang disebut sebagai sinetron religius terus memenuhi tabung televisi publik Indonesia. Rasanya tidak satu pun televisi yang alpa dari penayangan jenis sinetron itu. Sehingga hampir tidak mungkin rasanya kita menghindar dari hidangan kisah yang dianggap bernuansa agama itu.
Komentar para ustadz muda yang meminta pemirsa untuk menyaksikan sinetron tersebut semakin menambah pekatnya aroma keagamaan dalam tayangan itu. Terlebih dalam bulan Ramadan ini. Suka tidak suka, para pemirsa seakan dipaksa menonton sinetron itu.
Konon, beberapa sinetron itu benar-benar digali dari kisah nyata kehidupan. Ia bukan hasil rekayasa yang fiktif. Bukan hasil olah imajinasi sang penulis naskah dan sang sutradara. Dan memang, ada banyak kisah yang dituturkan dalam sinetron tersebut. Mulai dari kisah tragis kematian seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya, hingga kisah kegetiran hidup seseorang yang membangkang Tuhan.
Dimensi tragis kematian orang-orang durjana itu ditunjukkan dengan beragam cara, seperti jenazahnya tertolak bumi; dari kuping mereka keluar jangkrik; mati muda tersambar petir; dan meninggal dunia lalu menjadi pocong atau hantu yang menakutkan. Sinetron religius itu seakan hendak mempertontonkan bahwa demikianlah siksa yang akan diterima orang-orang yang menyangkal orang tua dan memprotes titah Tuhan.
Salah satu motif atau tujuan yang hendak dicapai penayangan sinetron itu adalah menyemarakkan dan melebarkan syiar Islam. Pertanyaannya, apakah tujuan itu dengan mudah dapat dicapai?
Ada yang beranggapan, alih-alih mencapai tujuan, ada problem krusial dari sinetron seperti ini. Sinetron-sinetron itu dianggap telah terjebak dalam tindak pembanalan terhadap ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Islam versi Nabi Muhammad SAW, dinilai tiba-tiba menjadi identik dengan pocong dan demit. Sinetron-sinetron itu telah berhasil menjadikan Islam sebagai agama yang penuh aura magis dan agama yang tidak rasional.
Padahal, kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa al-dîn `aqlun lâ dîna liman la `aqla lah. Agama itu rasional; bukanlah orang beragama orang yang tidak bisa memungsikan akalnya secara optimal. Islam hadir di tanah Arab pertama-tama untuk mengoreksi ajaran-ajaran yang irasional tersebut.
Ada juga yang beranggapan, sinetron religius seolah-olah memperlihatkan bahwa agama telah dijadikan begitu sempit pemahamannya oleh sebagian kelompok. Hal ini tentu sangat berbahaya terutama bagi kalangan atau orang-orang yang agak lemah pemahamannya terhadap agama.
Mereka tentu akan menilai bahwa Islam ternyata hanya agama mistis. Meskipun dalam tanyangan tersebut ada upaya rasionalisasi terhadap apa yang hendak disampaikan dari sebuah realitas keseharian masyarakat, namun justru tidak rasional. Bahkan terkesan seolah-olah sesuatu yang berada dialam gaib dibawa-bawa dalam alam realitas dunia.
Lalu, ada pula yang menilai, sinetron religius memang perlu ditampilkan tapi tanpa melebih-lebihkan unsur mistisnya. Yang ada malah orang-orang lebih menyukai adegan mistisnya daripada tujuan pokoknya.
Dan seterusnya. Karena itu, ada saatnya kita perlu mendengarkan anjuran dari beberapa ulama MUI. Sikap MUI dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) pada dua minggu Ramadan terhadap masalah ini patut kita acungi jempol. Merancang ulang apa yang disebut sebagai sinetron religius itu adalah cara terbaik yang bisa dilakukan.
Sejalan dengan pendapat Abdul Moqsith Ghazali (2005), seyogyanyalah para ustad dan mubalig yang mendukung penayangan sinetron itu mulai mengevaluasi diri, karena dukungan beliau-beliau itu akan memengaruhi opini publik; seakan Islam adalah agama yang mengajarkan hal-hal magis yang tidak rasional.
Yang jelas, merebaknya sinetron-sinetron religius tersebut di satu sisi merupakan prestasi yang membanggakan. Hal ini menunjukkan dunia persinetronan di tanah air mengalami grafik naik.
Bila dibandingkan dengan perkembangan dunia perfilman, dunia persinetronan bisa dikatakan jauh lebih berkibar meskipun akhir-akhir ini dunia perfilman di negeri ini mengalami semacam kebangkitan dari kelesuan selama beberapa waktu lalu.
Namun ada beberapa hal yang perlu dikoreksi para sineas industri televise kita. Pertama, dari segi material hampir semua sinetron “religius” tersebut menampilkan suatu cerita yang menggambarkan sisi “menakutkan” dari figur Tuhan. Tuhan seringkali digambarkan sebagai figur “Pengazab”.
Memang pengilustrasian semacam ini tidak salah dan sah-sah saja karena Tuhan memang pada substansinya mempunyai sisi “Pengazab”. Namun menurut hemat penulis, penggambaran seperti itu hanya membuat pikiran kita terkonstruk oleh “ketakutan-ketakutan” yang tidak proporsional
Tanpa bermaksud menyalahkan, sudah semestinya pembuat sinetron religius lebih banyak menampilkan sisi rahman dan rahhim Allah Swt sehingga sinetron tersebut mempunyai nilai-nilai edukasi yang bernuansa spiritual-transendental bukan sekadar hiburan.
Kedua, karakter pemeranan seorang tokoh agama (baca: kyai atau ustadz) yang digambarkan dalam sinetron “religius” tersebut cenderung mengalami disfungsi dan tereduksi.
Artinya seorang tokoh agama dalam sinetron religius tersebut melulu ditampilkan dalam karakter atau watak yang bersifat mistik an sich atau lebih tepatnya klenik, bukan dalam watak sejatinya, yaitu watak sebagai tokoh agama dalam arti sesungguhnya.
Walaupun dalam fakta kehidupan sehari-hari tokoh agama memang dianggap mempunyai daya linuwih dan banyak yang membantu menyelesaikan permasalahan manusia yang bersifat mistik, seperti mengusir Jin jahat, mengobati orang yang kena santet, dan sebagainya.
Kalau hal ini dibiarkan terus tidak menutup kemungkinan akan terjadi pencitraan yang keliru tentang karakter tokoh agama yang identik dengan seorang dukun.
Ketiga, timbul sebuah pertanyaan, apakah kejadian yang diceritakaan dalam sinetron religius tersebut memang benar-benar terjadi seperti yang diklaim oleh pembuatnya, jangan-jangan itu hanya rekaan saja.
Sependapat pula dengan Ahmad Asroni, Direktur Religions and Tolerance Studies Forum, Yogya (2006), penulis beranggapan, nalar dan hukum kapitalisme sangat kental berlaku pada sinetron ini. Indikasi wajah kapitalisme adalah tidak sedikit dari tayangan televisi yang menyuguhkan acara yang mempunyai tema yang sama dan kemasannya pun sama.
Penulis sebut fenomena ini sebagai “me too culture”. Artinya, ada kecenderungan budaya bangga untuk meniru hal-hal yang sedang trend. Nalar kapitalisme mengatakan bahwa “produksi yang disukai pasar akan terus diproduksi”.
Selain tayangan sinetron religius masih seabrek tayangan yang tema dan kemasannya sama atau hampir sama, sebut saja tayangan AFI, Indonesian Idiol, API, KDI, Dai, Pildacil, Mama Mia, Uang Kaget, Tolong, Nikah Gratis, dan lain-lain.
Sekali lagi tanpa bermaksud mencibir, tayangan-tayangan tersebut —terlepas dari nilai positifnya— mengindikasikan ketidakkreativitasan pelaku persinetronan di negeri ini.
Karena itu, sudah seyogyanya insan persinetronan dan perfilman di tanah air merekonstruksi paradigma kapitalistik menjadi paradigma edukatif-spiritualistik sehingga mereka bisa menghasilkan sinetron atau film yang benar-benar berkualitas dan mencerdaskan masyarakat.
Tak ketinggalan pula, masyarakatpun harus bersikap kritis dan apresiatif dalam menilai sinetron atau film yang ditayangkan tersebut sekalipun itu religius. Amin! *** (Penulis adalah pegiat seni, mahasiswa PPs Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan, dan staf teknis Balai Bahasa Medan)

Telah Dimuat di Harian Analisa Minggu 17 Februari 2008 Halaman 6

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar