Translate

Sabtu, 05 Januari 2013

MENGUNGKAP KEMISTERIUSAN BAHASA



Oleh : Suyadi


MENARIK sekali tulisan Himpun Panggabean yang termuat di harian ini edisi Sabtu 22 September 2007. Tulisan bertajuk “Bahasa Indonesia Berkembang Tanpa Arah” itu, ia menyatakan tidak puas atas perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini. Terutama, penggunaan bahasa Indonesia oleh pejabat dan wartawan.
Tulisan itu sebenarnya sangat sejalan dengan niat Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional untuk segera membentuk Undang-Undang Kebahasaan. Dalam dua tulisan saya terdahulu (Sabtu 25 Agustus 2007 dan 8 September 2007), saya juga mencermati hal serupa.
Berteori tentang asal usul dan masalah bahasa, memang sangat spekulatif. Ia penuh dengan misteri. Ia seperti udara, dirasa perlu jika terkena polusi. Kalau sudah begini, orang pun berdebat mengenai kepentingannya. Tidak heran, semua orang pasti membutuhkannya.
Karena sifatnya yang penuh spekulatif dan misteri, maka teori mengenai asal-usul bahasa telah berkembang sedemikian rupa, sejak dari yang bersifat ilmiah, ideologis-rasialis, sampai bernada mitos dan main-main (2004: 35). Secara garis besar, terdapat tiga teori mengenai hal ini, yaitu teologis, naturalis, dan konvensionalis.
Pendukung aliran teologis mengatakan, manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan, yang pada awalnya diajarkan pada Adam, nenek moyang seluruh manusia. Pendapat ini biasanya dicarikan pembenarannya dari cerita Bibel atau Al-Quran mengenai kehidupan Adam di surga dan dialognya dengan Tuhan.
Teori kedua, naturalis, beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana kemampuan melihat, mendengar maupun berjalan. Contohnya, bangsa Mesir yang merasa peradaban mereka paling tua di dunia berpandangan bahwa bahasa Phrygian adalah bahasa tertua.
Legenda ini bersumber pada sebuah cerita mengenai Psammatichus, Raja Mesir Kuno yang memerintah sekitar 600 SM melakukan eksperimentasi terhadap dua bayi yang baru saja lahir. Dua bayi tersebut dititipkan kepada seorang pengasuh, dengan syarat, harus dijaga baik-baik, tetapi tidak boleh diajak bicara sepatah kata pun. Alasannya, raja ingin tahu ucapan apa yang keluar pertama kali dari seorang bayi yang tidak mengenal pengajaran bahasa.
Begitulah hingga suatu saat satu di antara dua bayi itu mengucapkan kata “bekos” yang ternyata dalam bahasa Phrygian berarti roti. Sejak saat itu, Raja Psammatichus membuat maklumat bahwa bahasa alami yang paling tua adalah bahasa Phrygian.
Teori serupa diperkenalkan Max Muller (1883-1900) dan Johan Gotfried Von Herder (1722). Muller memopulerkan teori ding-dong. Ia berpandangan, pada awalnya bahasa muncul secara alamiah, secara spontan ketika mendengar suara-suara alam. Disebut teori ding-dong, karena getaran suara yang ditangkap oleh indera telinga bagaikan pukulan pada bel, sehingga melahirkan bunyi yang kemudian diteruskan oleh mulut.
Gottfried memperkuat teori naturalis dengan menganalogkan dorongan berbahasa bagi manusia dengan janin atau embrio bayi dalam kandungan ibu yang senantiasa mempunyai dorongan alami untuk keluar. Pada umur tertentu, janin dalam perut ibu memiliki kehendak dan kekuatan untuk keluar. Begitu pula halnya dengan dorongan berbahasa.
Teori ketiga, konvensionalis, berpandangan bahwa bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil konvensi sosial yang disepakati dan kemudian dilestarikan bersama-sama secara turun-temurun.
Karena bahasa adalah hasil konvensi, maka setiap masyarakat atau bangsa memiliki bahasa tersendiri dan bahkan bisa menciptakan bahasa yang baru. Ibarat pohon dalam taman, bahasa selalu berkembang, sekalipun ada pula yang kering dan lama-lama mati.
Pembahasan mengenai kompleksitas dan misteri bahasa ini juga diperkaya oleh kalangan ahli neurolinguistik, sebuah kajian ilmiah yang meneliti asal-usul bahasa dari segi jaringan saraf otak. Menurut kajian ini, otak manusia terbagi dua: otak belahan kiri dan otak belahan kanan. Ungkapan verbal, analitis, repetitif, dan imitiatif adalah produk otak sebelah kiri, sedangkan berpikir dan berbahasa puitis, imajinatif, komprehensif, dan kontemplatif pekerjaan otak sebelah kanan.
Demikianlah berbagai teori mengenai asal-usul bahasa dari berbagai pandangan. Kemisterian akan terjadi kalau kita mau menengok asal-usul bahasa kita. Lihat saja, bagaimana bangsa Mesir yang merasa bahwa Phrygian sebagai bahasa yang paling tua, maka orang India pun berkeyakinan bahwa bahasa yang diajarkan Tuhan pertama kali adalah bahasa Hindi.
Begitu juga orang Cina mengklaim bahwa bahasa Cina  merupakan bahasa tertua yang diajarkan Tuhan. Sementara orang muslim Arab memercayai bahwa Tuhan akan mengadili manusia di akhirat dengan bahasa Arab, karena wahyu Al-Quran yang merupakan kalam Tuhan adalah berbahasa Arab. Bagaimana dengan Indonesia? Misteri!

Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Sejak masyarakat manusia ada di dunia, hasrat bergaul merupakan naluri sosial yang dirasakan keperluannya. Hasrat ini merupakan dorongan naluri yang ada pada setiap manusia. Naluri ini berwujud pada naluri ingin selamat, naluri ingin adil, naluri ingin aman dan naluri lainnya.
Begitulah. Ras Siregar menyatakan, untuk mencapai nalurinya, manusia menggunakan medium bahasa. Dengan medium bahasa, dunia manusia semakin luas, melewati batas fisik, agama, dan kebudayaan, bahkan juga melewati batas ruang dan waktu. Dengan bahasa, benda-benda atau orang-orang di sekelilingnya dirajut dengan pemberian nama dan label, sehingga dengan alat label itu manusia menciptakan jaringan komunikasi serta membangun makna-makna.
Dengan demikian, bahasa merupakan medium ekspresi dan eksternalisasi diri agar dirinya dipahami dan diterima orang lain. Lewat bahasa pula, seseorang melakukan identifikasi dan internalisasi nilai-nilai serta informasi yang dijumpainya. Dengan bahasa, alam sekelilingnya diberi atribut dan klasifikasi sehingga atribusi dan klasifikasi mengantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jarak ruang dan waktu bisa dipersempit dan bisa juga diperlebar oleh wawasan ilmu pengetahuan yang dikomunikasikan oleh bahasa. Jika sejarah berhasil mendekatkan masa lalu ke masa kini, maka prediksi tentang masa depan pun bisa diproyeksikan sejak hari ini. Kalau saja tak ada institusi bahasa, terlebih bahasa tulis, maka dunia manusia akan menjadi sempit, pendek, karena khazanah hidup masa lalu akan lenyap bersama perjalanan waktu.
Peran bahasa pada konteks sosial paling mencolok adalah dalam memelihara identitas dan kohesi masyarakat atau bangsa. Sebuah bangsa mampu menyelenggarakan tertib sosial dan melakukan komunikasi secara efektif ketika ditemukan teknologi mesin cetak, telepon dan satelit.
Dalam hal ini cendikiawan Muslim, Komaruddin Hidayat (2004: 46) mengakui, fenomena bangsa dan bahasa Indonesia sangat menarik diamati. Ia menyebutkan, sebuah penghargaan tak ternilai layak diberikan kepada para pahlawan yang secara gigih memperjuangkan agar bahasa Indonesia dijadikan bahasa nasional, yang dicanangkan jauh sebelum hari kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Menurutnya, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya melakukan komunikasi politik, agama, dan pembangunan kalau masyarakat Indonesia yang secara etnis dan bahasa begitu beragamnya tidak memiliki bahasa kesatuan yang dengannya komunikasi antarsesama suku di tanah air berlangsung.
Dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, ditambah lagi oleh proses penyebarannya yang relatif cepat, umur Republik Indonesia yang relatif muda secara gemilang telah berhasil menciptakan sebuah kesatuan dan wawasan nusantara. Kohesi nasional yang mampu merakit pluralitas etnis dan bahasa lokal ke dalam kesatuan nusantara dengan pengikat dan medium bahasa Indonesia, merupakan modal sosial yang harus dijaga.
Bahasa adalah Proses Berpikir
Bahasa adalah lambang bunyi teratur, mengungkapkan pikiran dan perasaan, bersumber dari dalam tubuh, keluar dari tenggorokan sebagai alat ucap, lisan dan tulisan (1987: 32). Pada dasarnya manusia memiliki akal dan perasaan. Memiliki gradasi pikiran dan emosi. Pikiran dan emosi yang tercetus ini bercakap-cakap atau berbicara disebut dengan bahasa lisan. Pikiran dan emosi yang keluar ini kemudian disalin, disebut bahasa tulis.
Begitulah, jarak antara bahasa dan pikiran menjadi sangat dekat ketika seseorang merenung, berpikir dan berbicara tanpa kata dan tanpa tulisan, karena di saat diam, yang aktif adalah bahasa pikiran.
Namun, jika hakikat bahasa adalah pikiran, dan jika sebuah pikiran tidak dieksternalisasikan dalam kata-kata atau pembicaraan, yaitu sebagai media berkomunikasi dengan orang lain, apa yang terjadi? Di sini tampak jelas bahwa bahasa bukanlah sekadar bunyi suara yang memiliki makna berdasarkan kesepakatan masyarakat, melainkan lebih dari itu, bahasa memiliki entitas ontologis.
Karena berpikir maupun berbicara selalu mengasumsikan adanya materi maupun objek yang dipikirkan dan muncul sebagai produk pembicaraan, maka berbahasa teratur dan komunikatif hanya bisa dilakukan oleh mereka yang secara konseptual menguasai materi pembicaraan.
Dengan demikian, mutu sebuah karya tulis, misalnya, bahannya bukan diukur dari tebal-tipisnya halaman, melainkan dari kualitas isinya. Termasuk di dalamnya, kaidah gramatikal, keindahan bahasa, kejituan gagasan, ekonomisasi dan pemilihan kata, serta kadar kebenaran informasi yang disajikan.
Dalam filsafat bahasa, dikenal tiga macam teori makna, yaitu ideational, referential, dan behavioral. Teori pertama berpandangan, sebuah ungkapan kalimat tidak memiliki kebenaran pada dirinya karena kebenaran dan makna yang esensial benda secara otonom dalam bentuk ide. Menurut Plato, realitas sejati dan sempurna berada di alam ide, sementara objek dan realitas yang tertangkap oleh indera hanyalah penampakan dan serpihan partikular dan realitas yang ada di alam ide, yang tidak mungkin terjangkau secara utuh oleh indera dan penalaran manusia.
Mirip teori ini adalah teori intensional. Teori ini berpandangan, kebenaran suatu kalimat ataupun ungkapan tidak terletak pada struktur kalimatnya, melainkan pada kehendak, maksud atau intensi dari sang pembicara.
Teori ini kemungkinan dimunculkan untuk mengingatkan pendengar atau pembaca sebuah buku, majalah atau surat kabar agar tidak serta-merta memercayai sepenuhnya sebuah narasi dan informasi, mengingat daya tampung bahasa yang terbatas dan kadang kala kurang tepat untuk menghadirkan kehendak yang ada dalam hati, pikiran, dan perasaan penutur.
Teori kedua, teori referensial atau teori gambar (picture theory), berpendapat, kebenaran makna sebuah ungkapan dan pernyataan terletak pada ketepatan relasi antara proposisi dan objek yang ditunjuk. Sangat dominan dalam alam pikiran modern dan metodologi ilmu pengetahuan alam yang bersifat positivistik. Sebuah pernyataan dan proposisi ilmiah dinyatakan valid jika mampu bertahan, diklasifikasi dan diverifikasi dengan mengacu pada realitas objektif yang berada di luar kita.
Teori ketiga, behavioral (tingkah laku), menyebutkan, makna paling mendasar dari sebuah ungkapan terletak pada pesan yang diinginkan pembicara untuk memengaruhi prilaku pendengar atau pembicara. Teori ini sangat disadari oleh kalangan politisi dan ideolog, sehingga muncullah bahasa-bahasa jargon dan propaganda. Juga digemari kalangan bisnis modern yang sangat mengandalkan kekuatan bahasa iklan untuk memengaruhi calon konsumen.
Menyadari misteri bahasa berupa kompleksitas hubungan antara teks, pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan, maka disadari ataukah tidak, setiap saat kita selalu berada dalam dunia penafsiran dalam pengambilan keputusan.
Pada setiap peristiwa komunikasi, objek apapun yang tertangkap telinga, mata dan pikiran selalu mengundang kita untuk menafsirkan dan memberi respon. Bahkan, sebelum mengungkapkan perasaan atau pikiran kepada orang lain, kita dituntut melakukan penafsiran terhadap diri sendiri, yakni kata atau kalimat apakah yang tepat untuk mengomunikasikan maksud yang masih ada dalam disket otak agar komunikan mudah memahami.
Tidak hanya penafsiran gramatikal-kognitif, kita juga menafsirkan aspek psikologis kultural, karena sikap gaya dan suasana pembicaraan akan memengaruhi bagaimana sebaiknya kita memberi respon. Berbicara tatap muka dan melalui telepon, misalnya berpengaruh pada bagaimana cara kita bersikap.
Demikianlah. Dari uraian di atas, dapat diambil makna bahwa dengan bahasa kita dapat menyampaikan isi pernyataan atau pikiran kita kepada orang lain. Sebaliknya, orang lain dapat menyampaikan isi pernyataan pada kita. Karena itu, jelas dan pasti bahwa bahasa itu dapat dijadikan alat komunikasi.

Sejarah Bahasa Indonesia
Pemberlakuan Bahasa Indonesia di bumi nusantara mengalami sejarah yang panjang. Tidak terlepas dari keberagaman suku dan budaya. Masing-masing suku tentunya memiliki identitas tersendiri, di antaranya bahasa. Bahasa inilah yang mempersatukan suku-suku tersebut. Ia berkembang sesuai warisan budaya, alam perasaan dan alam pikiran masing-masing.
Sejarah mencatat, suku-suku yang ada di bumi nusantara pernah disatukan oleh dua kerajaan besar: Sriwijaya dan Majapahit. Kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Pulau Sumatera memiliki ciri khas bahasa Melayu Kuno, orang Malaysia menyebutnya bahasa Jawi. Kerajaan Majapahit yang berkedudukan di Pulau Jawa dengan ciri khas bahasa Jawa Kuno.
Tak heran, J. Crawfurd (1992: 4) berpendapat, bahasa Jawa dan bahasa Melayu ini merupakan cikal bakal bahasa-bahasa di Nusantara. Bahasa Jawa dan bahasa Melayulah yang induk dari bahasa serumpun yang terdapat di bumi nusantara ini.
Crawfurd menambah analisisnya dengan bukti bahwa bangsa Melayu dan bangsa Jawa telah memiliki taraf kebudayaan yang tinggi dalam abad ke-19. Taraf ini hanya dicapai setelah mengalami perkembangan budaya beberapa abad lamanya.
Dari kajian terhadap perbandingan bahasa yang ada di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan kawasan Polinesia, ia berkesimpulan bahwa: a) Orang Melayu tidak berasal dari mana-mana, tetapi merupakan induk yang menyebar ke tempat lain; b) Bahasa Jawa ialah bahasa tertua dan bahasa induk dari bahasa lain.
Lalu mengapa bahasa Melayu saja yang menjadi dasar bahasa Indonesia? Mengapa bukan bahasa Jawa? Pakar bahasa kita, Prof. Dr. Slametmuljana memaparkan empat faktor penyebab bahasa Melayu dijadikan bahasa Indonesia, yaitu: Pertama, lingua franca. Sejak lama bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan dan perdagangan di Indonesia.
Dengan bantuan para pedagang, bahasa Melayu tersebar ke seluruh Indonesia, terutama di Pesisir, kota pelabuhan. Bahasa Melayu juga menjadi penghubung antarindividu. Karena perkembangan bahasa Melayu ini, penjajah menetapkan bahasa Melayu diajarkan di sekolah.
Begitu juga pada masa penjajahan Jepang, bahasa Melayu diharuskan digunakan di Indonesia karena Jepang tidak menyukai bahasa Inggris dan Belanda. Dengan demikian, bahasa Melayu mengalami kontak sosial di seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai bahasa suku.
Kedua, bahasa Melayu sederhana ditinjau dari sudut ilmu. Sistem bahasa Melayu sederhana, baik fonologi, morfologi, maupun sintaksis, sehingga mudah dipelajari. Selain itu, kesederhanaannya pun tidak menampilkan adanya tingkatan seperti bahasa Jawa: ngoko dan kromo; tidak mengarah halus-kasar seperti dalam bahasa Sunda.
Ketiga, faktor psikologis. Erat kaitannya dengan sikap politis.suku Jawa dan Sunda yang mayoritas sudah dengan sukarela menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Rela dengan kepentingan nasional. Ada keikhlasan mengembangkan semangat dan rasa nasionalisme ketimbang kesukuan, karena sadar akan perlunya kesatuan dan persatuan.
Keempat, bahasa budaya. Kesanggupan bahasa Melayu itu sendiri untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas. Bahasa Melayu mampu merumuskan pendapat secara jelas dan tepat serta dapat mengekspresikan perasaan secara baik. 

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Kedudukan bahasa ialah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial, dihubungkan dengan bahasa bersangkutan. Sedangkan fungsi bahasa adalah pesan bahasa yang bersangkutan di dalam masyarakat pemakainya.
Salah satu kedudukan bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional. Kedudukan ini dimiliki oleh bahasa Indonesia sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan dimungkinkan oleh kenyataan bahwa bahasa Melayu, yang melandasi bahasa Indonesia, telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan Indonesia.
Bahkan, di dalam masyarakat Indonesia tidak terjadi “persaingan bahasa”, misalnya, persaingan di antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lain untuk mencapai kedudukan sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya serta antardaerah. 
Selain  kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara, sesuai ketentuan yang tertera di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36: “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.”
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional, (4) bahasa resmi untuk pengembangan kebudayaan nasional, (5) sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, (6) bahasa media massa, (7) pendukung sastra Indonesia, dan (8) pemerkaya bahasa dan sastra daerah.
Karena itulah, kehadiran Undang-Undang Kebahasaan nantinya diharapkan dapat membuka misteri bahasa itu sendiri. Kegelapan pikiran terhadap bahasa, dapat dikupas melalui UU ini apabila kita melihatnya secara jernih dan tepat sasaran. Monggo! *** (Penulis adalah Koordinator Siaran Bahasa dan Sastra Balai Bahasa Medan di RRI Medan. Pos-el: suyadisan@yahoo.com)


sumber :

(1)          Harian Analisa, Rabu 21 November 2007 Halaman 28


Tidak ada komentar:

Posting Komentar