Translate

Sabtu, 05 Januari 2013

PERANAN PEREMPUAN DALAM EKONOMI RUMAH TANGGA



Oleh : Suyadi

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) setahun lalu, tepatnya Januari 2005, mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi perempuan yang bekerja di luar negeri. Fatwa MUI ini serta-merta mengejutkan semua pihak. Betapa tidak? Selain fatwa itu baru dikeluarkan pada tahun 2005 – sedangkan pengiriman tenaga kerja perempuan – trend disebutkan sebagai tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang, bukankah masalah perempuan yang bekerja ini juga sudah lama diperdebatkan?
           Jumlah TKW yang bekerja di luar negeri sejak masa Orde Baru melampaui tenaga kerja pria. Prijono Tjiptoherijanto (1997 : 170) mencatat, pada tahun 1983 jumlah TKW sebesar 11.995 orang atau 43,3% dari keseluruhan tenaga kerja Indonesia (TKI), sementara jumlah tenaga kerja pria adalah 15.676 orang atau 56,7%. Namun pada tahun 1992, jumlah TKW jauh melampaui jumlah tenaga kerja pria, yaitu 107.142 orang untuk wanita dibandingkan dengan 51.608 orang untuk pria. 
           Pelonjakan TKW itu sejalan pula dengan perkembangan ketenagakerjaan di dalam negeri. Partisipasi angkatan kerja perempuan  mengalami peningkatan yang cukup berarti dari 32,6% pada tahun 1980 menjadi 39,6% pada tahun 1985 dan selanjutnya menjadi 39,6% pada tahun 1990. Sementara itu, angkatan kerja pria pada periode sama meningkat dari 68,8% menjadi, 68,9% dan selanjutnya meningkat lagi menjadi 70,6% (ibid, hal. 123). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa angkatan kerja perempuan meningkat  jauh lebih tinggi daripada angkatan kerja pria dan kondisi ini diperkirakan akan tetap pada masa mendatang.
        Dalam konteks ini, apakah latar belakang perempuan harus bekerja dan meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga? Sejauh mana pula peranan wanita dalam ekonomi rumah tangga? Bagaimana kalangan antropolog berdebat mengenai masalah ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis akan mengupasnya melalui kajian Antropologi Ekonomi. Safri Sairin dkk (2002 : 4) mengatakan, Antropologi Ekonomi adalah salah satu bidang kajian dalam antropologi sosial-budaya yang memusatkan stsudi pada gejala ekonomi dalam kehidupan masyarakat manusia.

Distribusi Lapangan Kerja

SEJAK  krisis ekonomi melanda negeri ini, sendi-sendi kesejahteraan masyarakat kita makin merapuh. Hal ini berdampak krisis lapangan kerja. Dunia kerja makin sempit, sementara masyarakat yang membutuhkan kerja terus meningkat.
            Sebagai gambaran, hingga tahun 2003, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai lebih dari 215 juta jiwa, sementara jumlah angkatan kerja sekitar 100 juta dan tingkat pengangguran terbuka mencapai 9,53 juta. Tahun 2005 ini jumlah penganggur diperkirakan mencapai 10,29 juta jiwa. (Kompas, Sabtu, 19 Februari 2005).
            Dalam studi kependudukan, pertumbuhan ekonomi dan revolusi demografi memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi pasar kerja masa kini dan mendatang. Revolusi demografi, seperti pertumbuhana penduduk, struktur umur dan jenis kelamin, mempengarhuhi jumlah dan pertumbuhan angkatan kerja. Karenanya, kualitas penduduk – khususnya angkatan kerja – akan mempengaruhi jenis pekerjaan yang ada dalam pasar kerja.
Sedangkan perkembangan ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi atau perubahan struktur ekonomi dari pertanian menjadi industri, akan mempengaruhi permintaan dan penawaran pasar kerja. Sempitnya lahan pertanian dan perkebunan yang tersisa terdesak oleh pembangunan kawasan-kawasan perluasan industri, sedikit banyak telah mengubah orientasi pencari kerja di wilayah-wilayah rural dengan menjadi buruh pabrik upahan, atau mencari kesempatan di wilayah perkotaan.
Namun, menurut jajak pendapat Harian Kompas (Sabtu, 19 Februari 2005), saat ini minat orang untuk bekerja di sektor agraris tidak sebesar minat untuk bekerja di sektor formal dan informal di perkotaan. Bahkan, minat untuk berusaha sendiri atau berwiraswasta menjadi bagian terbesar yang menyedot perhatian paling banyak (33,1%). Selebihnya, bidang-bidang pekerjaan yang bersifat administratif, seperti menjadi pegawai negeri (15,9%), bidang keuangan (7,2%), serta bidang-bidang jasa lainnya (26,2%), juga jauh lebih menarik daripada menggeluti usaha pertanian. Tidak sampai 2 persen responden yang mengaku bahwa bidang pertanian adalah bidang yang paling mereka minati saat ini.
        Begitupun, terbatasnya lapangan kerja di sektor-sektor formal membuat sektor informal menjadi pilihan yang rasional untuk digeluti. Kondisi ini mengimplementasikan dua hal penting, yaitu : pertama, kecepatan transformasi atau perubahan sektor ekonomi tidak sejalan dengan tranformasi tenaga kerja di mana tranformasi ekonomi relatif tinggi; dan kedua, sektor informal masih dibutuhkan pada masa mendatang dalam rangka menampung angkatan kerja di Indonesia yang tidak terserap oleh sektor formal.    
         Di antara pekerja yang bekerja di sektor formal maupun informal itu adalah kaum perempuan. Bahkan, jumlah angkatan kerja kaum perempuan terus meningkat setiap tahun. Kebutuhan pada peningkatan kondisi ekonomi rumah tangga tampaknya merupakan alasan utama penyebab banyak perempuan  yang masuk ke pasar kerja dan meninggalkan peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Pada tahun 1971 kaum perempuan yang berstatus ibu rumah tangga tercatat sekitar 24,5% dan persentase ini kemudian menurun menjadi 18,5% pada tahun 1990.
          Karena keterpaksaan bekerja itu, kaum perempuan kita tidak pilih-memilih untuk memasuki dunia kerja. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya jumlah TKW ke luar negeri. Antara tahun 1983-1992 migran perempuan rata-rata meningkat sebesar 12,1% per tahun sementara migran pria hanya meningkat dengan rata-rata 6,3% per tahun (1997 : 170). Namun, terlihat bahwa negara tujuan dari TKW ini terkonsentrasi di negara-negera tertentu, yaitu Malaysia, Singapura, dan Saudi Arabia. Sedangkan tenaga kerja pria distribusinya lebih menyebar. Kondisi ini erat kaitannya dengan kualitas TKW tersebut, di mana pada umumnya mereka terdiri dari tenaga kerja yang tidak terdidik. Tingginya kualifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah di negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat, menyebabkan TKW Indonesia sukar untuk memasuki negara-negara maju tersebut.
            Berlian Siagian (1996) via Prijono Tjiptiherijanto (ibid, hal. 171) mengemukakan, berdasarkan data yang ada terlihat bahwa TKI yang berangkat ke Malaysia didominasi oleh kaum pria dan mereka bekerja di sektor perkebunan serta konstruksi, terutama untuk mengisi jenis pekerjaan tingkat bawah. Sebaliknya, TKI yang berangkat ke Saudi Arabia didominasi oleh kaum perempuan dengan rasio jenis kelamin mencapai 8:1. Mereka ini pada umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga ada kesan negatif di Saudi Arabia bahwa Indonesia adalah gudang pembantu rumah tangga.

Feminisme : Antara Ekonomi dan Rumah Tangga

FEMINISME dalam studi Antropologi Ekonmi mulai mendapatkan tempatnya mengiringi terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat dunia (2002 : 192). Perubahan yang berlangsung telah membawa pula pada terjadinya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia, antara lain ditandai oleh semakin kuatnya tuntutan pada kehidupan yang lebih demokratis dan perlakuan yang adil terhadap hak-hak asasi manusia.
            Para ahli ekonomi aliran neo-klasik modern mempunyai pandangan bahwa kegiatan ekonomi pasar tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan rumah tangga. Meskipun kebutuhan konsumsi rumah tangga secara domestik menyatu dalam kegiatan ekonomi pasar, kegiatan rumah tangga dan keluarga tetap dipandang bukan sebagai ekonomi.  Kalaupun perempuan terlibat langsung dalam produksi dalam rumah tangga, itu tidak dipandang sebagai pekerjaan yang bersifata ekonomi.
            Syafri Sairin dkk (ibid, hal. 195) menyebutkan, ketika kegiatan industri mulai merambah dalam kehidupan masyarakat, rumah tangga mulai dipandang tidak berkaitana sama sekali dengan kegiatan ekonomi. Dalam masyarakat industri, laki-laki dipandang sebagai satu-satunya aktor dalam proses produksi. Ketika industrialisasi masih berada dalam tahap-tahap aawal perkembangannya, masih terbatas pada pertambangan dan pabrik, hanya atenaga laki-laki yang dibutuhkan sebagai tenaga kerja. Sifat pekerjaan industri pada saat itu membutuhkan tenaga fisik yang kuat, dan secara kultural hal itu hanya dimiliki oleh laki-laki.
Kaum perempuan karena dipandang lebih lemah fisiknya daripada laki-laki, ditempatkan untuk melakukan pekerjaan di sekitar rumah tangga. Kegiatan yang dilakukan dalam rumah tangga cenderung dianggap sebagai kegiatan non-ekonomi, karena yang utama tugas perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga. Tugas-tugas rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan reproduksi atau konsumsi dipandang sebagai kegiatan yang non-ekonomi.
Kaum feminisme tentu saja berusaha untuk meluruskan persepsi dan pandangan yang demikian itu dan berusaha menunjukkan bahwa kaum perempuan memberikan konstribusi yang signifikan dalam kegiatan ekonomi meskipun mereka menyandang status ibu rumah tangga. Berbagai studi tentang konstribusi perempuan dalam kehidupan rumah tangga telah dilakukan di berbagai tempat. Hasil studi itu memperlihatkan bagaimana ibu-ibu rumah tanga tersebut memberikan konstribusi yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangganya.
Elizabeth Garnsey  via Giddens dan Held (1982 : 471) berpendapat, tidak adillah menuliskan aktivitas dan sikap perempuan hanya seakan-akan mencerminkan apa yang dikerjakan laki-laki di dalam keluarga. Menurutnya, di dalam pasar tenaga kerja, perempuan cenderung tersisihkan ke sektor skunder. Sebabnya tidak diragukan lagi, termasuk prasangka langsung laki-laki terhadap pekerja perempuan serta sederetan faktor lain yang membatasi partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Keterlibtan perempuan dalam pekerjaan rumah tangga yang tidak berupah, seperti mengurus rumah tangga dan memelihara anak, adalah bagian analisa skunder dari Garnsey.
Antony Giddens dan David Held (ibid, hal. 479) melakukan analisisnya dengan menggunakan teori stratifikasi. Pendekatan dominan dalam studi stratifikasi ini adalah memandang sistem pekerjaan sebagai rangka-kerja yang di dalamnya terdapat infividu dan kelompok-kelompok serta mengikuti perkembangannya menurut hirarki keterampilan dan ganjaran yang dicerminkannya. Menurut Giddens dan Held, struktur pekerjaan, yang membentuk “tulang punggung” sistem ganjaran, termasuk posisi yang diisi oleh perempuan, tetapi ganjaran sosial dan ekonomi yang tersedia untuk kebanyakan perempuan berbeda dari yang diperoleh kebanyakan laki-laki dari posisi pekerjaan mereka.
Giddens dan Held juga menyebutkan, urgensi teknologi tidak dapat dinyatakan sebagai faktor otonom, yang tidak berkaitan dengan masalah kesempatan kerja. Tingkat upaha dan kesempatan kerja dipengaruhi oleh lemahnya posisi tawar-menawar kebenyakan pekera perempuan, berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga mereka yang tidak dibayar.  Hasil pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan anak inilah yang menentukan struktur upah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Karena kaitan antara biaya tenagaa kerja dan insentif untuk  memperkenalkan penemuan teknologi, maka penawaran tenaga kerja perempuan dengan tingkat upah yang relatif rendah merupakan satu faktor yang mempengaruhi keputusan dalam investasi.
Dalam studi stratifikasi itu, Giddens dan Held membuat tesis, persediaan tenaga kerja perempuan mempengaruhi cara-cara mengubah proses kerja dan dengan demikian menentukan perubahan dalam struktur pekerjaan. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga dan pasar tenaga kerja adalah satu faktor yang memberikan sumbangan terhadap ketimpangan kondisi dan kesempatan yang menentukan, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Bukan semata-mata karena perbedaan jenis kelamin mereka, tetapi karena sebagai anggota dari masyarakat berkelas.

Peranan Perempuan dalam Ekonomi Rumah Tangga

GERAKAN kaum feminisme untuk membuktikan bahwa kegiatan ekonomi sangat berkaitan dengan peran perempuan, termasuk yang memposisikan dirinya sebagai ibu rumah tangga, hingga saat ini cukup kuat. Hal ini tentunya merupakan bagian yang penting bagi upaya gerakan feminisme untuk menuntut keadilan dan kesamaan hak dalam kehidupan masyarakat. Juga, tidak memungkinkan untuk memperkirakan sumbangan pekerjaan perempuan terhadap nafkah keluarfa dan meramalkan jumlah anggota keluarganya.     
Penelitian khusus tentang faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi perempuan untuk bekerja dan dapat menyediakan pangkal tolak untuk menganalisa pengaruhnya.Brown (1976) via Giddens dan Held (ibid, hal. 486) menggambarkan beberapa faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi majikan dalam studi sosiologi industri.
Sebagaimana dipahami, ada berbagai latar belakang perempuan memasuki pasar kerja. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, terutama bagi perempuan yang belum bersuami tetapi juga menopang keberlangsungan ekonomi keluarga. Kedua, perempuan tidak lagi bersuami tetapi harus memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarganya. Ketiga, masih bersuami namun ikut membantu suami dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan rumah tangganya.
Karena itu, pendapatan perempuan akan berpengaruh menyamaratakan terhadap ketimpangan kelas dengan menyamakan perbedaan yang terdapat dalam pendapatan totl rumah tangga. Argumen ini bisa saja dapat ditukar dengan cara lain, misalnya penghasilan perempuan adalah terpenting artinya dalam rumah tangga yang para penerima gajinya terdiri dari pekerja kurang terampil dan bekerja pada pekerjaan yang berupah cukup.
Berdasarkan pandangan inilah, Braverman via Giddens dan Held (ibid, hal. 493) mengkritik orang yang memandang bahwa kesempatan kerja perempuan bersifat sementara, insidental dan kebetulan saja, padahal sebenarnya harus ditempatkan pada pusat perhatian semua studi tentang pekerjaan perempuan sekarang ini.
Namun orang tidak perlu berasumsi bahwa kecenderungan kesempatan kerja perempuan lebih terfokus daripada laki-laki. Yang penting adalah menyadari bahwa partisipasi permpuan di pasar tenaga kerja mempengaruhi kondisi laki-laki dan perempuan. Dalam pengertian lain, perubahan pekerjaan dan distribusi industrial pekerja laki-laki dan perempuan adalah saling melengkapi dan saling tergantung. Braverman juga menyatakan, perempuan merupakan sumber utama “tenaga kerja cadangan” yang diperlukan untuk berfungsinya ekonomi.
Sebagai tenaga cadangan pula, menurutnya, pekerja perempuan sagat dibutuhkan untuk menghasilkan barang dan jasa komersial alternatif yang sebelumnya diproduksi dalam rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga yang baru menyediakan pasar bagi bentuk-bentuk produk baru.  Sementara itu, proporsi rumah tangga yang tergantung pada penghasilan perempuan dalam memenuhi kebutuhan hidup semakin meningkat, terutama karena berhadapan dengan menyusutnya kesempatan kerja tradisional laki-laki dalam industri.
Begitulah. Peranan perempuan terhadap ekonomi rumah tangganya cukup signifikan, sehingga sebenarnya bukanlah kelompok masyarakat yang tidak berkaitan samai sekali dengan kegiatan ekonomi. Studi tentang buruh perempuan dalam pekerjaan panen di daerah pertanian di Yogyakarta, misalnya, menunjukkan para perempuan juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan rumah tangganya (Sairin, 1976 dan 2002 : 198).
Selain itu, berbagai studi lanjutan tentang konstribusi perempuan bagi ekonomi rumah tangga yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada pada awal 1990-an (ibid) telah memberikan gambaran yang lebih jelas tentang sumbangan perempuan dalam ekonomi rumah tangganya. Hal ini dapay dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Ken Suratiyah dan Sunarry Syamsi Hariadi (1990) tentang kegiatan perempuan dalam aktivitas pertanian dan sumbangan hasil kerja itu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa pada saat sibuk dengan pekerjaan pertanian, terutama pada masa tanam dan panen, para ibu rumah tangga terpaksa mengurangi jam kerja untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh anak. Pekerjaan rumah tanggaa tersebut terpaksa diambil alih oleh anak-anaknya yang lebih tua ataupun suaminya.

Simpulan

PERANAN perempuan dengan kegiatan ekonomi sangat erat kaitannya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya dan tidak dapat dibantah. Bukankah pemasaran produk rumah tangga yang dijajakan di pasar swalayan berkaitan erat dengan keputusan ibu-ibu rumah tangga? Keputusan tentang barang apa yang dibeli dan dikonsumsi untuk keperluan rumah tangga sebagian besar juga ditentukan oleh para perempuan.
Karena itu, posisi yang tidak menguntungkan dari kebanyakan perempuan di pasar tenaga kerja tidak dapat dikaitkan seluruhnya dengan pengaruh adat atau akibat diskriminasi, sekalipun kedua faktor ini penting. Da;am syudi Antropolo Ekonomi, faktor penting untuk analisa peranan pekerjaan perempuan dalam ekonomi rumah tangga adalah hambatan-hambatan yang diletakkan kesempatan kerja perempuan dan kekuatan tawar-menawar mereka di dalam pasar tenaga kerja diperlemah sebagai akibat pembagian kerja di dalam rumah tangga.
Untuk itu, perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh pekerjaan yang dilakukan perempuan dalama rumah tangga terhadap posisi mereka dalam pasar tenagaa kerja. Dalam tulisan kecil ini, hanya amenunjukkan relevansi sejumlah teori dan analisa tentang struktur pasar tenaga pasar kerja dan relevansi pembahasan tentang signidikansi ekonomi perempuan selaku pekerja dalam rumah tangga. *** (Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan bergiat di kesenian)


DAFTAR BACAAN

Adimihardja, Kusnaka, Drs., M.A., 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial dalam Pembangunan. Bandung : Tarsiro
Fischer, Dr. H. TH, 1957 Pengantar Anthropologi Kebudajaan Indonesia. Jakarta : Pembangunan
Giddens, Anthony dan Held, David, 1987. Pendekatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik. Jakarta : Rajawali 
Habib, Achmad, Dr., M.A., 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan : Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa. Yogyakarta : LKiS
Harian Kompas, Edisi Sabtu 19 Februari 2005
Heilbroner, Robert. , 1984. Runtuhnya Peradaban Kapitalisme. Bandung : Bumi Aksara
Koentjarangirat, 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : UI Press
Lloyd, Christopher (Ed),  1986. Teori Sosial dan Praktik Politik. Jakarta : Rajawali
Manning, Chris dan Effendi, Tadjuddin Noer, 1985. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta : Gramedia
Masinambow, E.K.M. (Ed), 2000. Hukum dan Kemajemukan Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Mathulada, H.A. Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia : Prospek Budaya Politik Abad ke-21. Jurnal Antropologi Indonesia No. 85 Tahun 1999
Nader, Laura and Todd, Harry F, Jr., 1978 The Disputing Process-Law in Ten Sicieties. New York : Columbia University Press
Nasikun, Dr., 1995 Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Pelly, Usman, Dr., M.A. dkk., 1997 Konflik dan Persesuaian : Bunga Rampai Perubahan Sosial dan Antropologi Pendidikan. Jakarta : Proyek Pola Pengembangan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Kantor Menteri Negara KLH Republik Indonesia
Pritchard, E.E.Evans, 1986. Antropologi Sosial. Jakarta : Bumi Aksara
Sairin, Sjafri dkk., 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Soekanto, Soerjono, Prof. Dr., S.H., M.A., 1993 Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Spindler, Louise S., 1977 Cul ture Change and Modernization. California : Holt, Rinehart and Winston
Tjiptoherijanto, Prijono,  1997. Migrasi, Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. Jakarta : UI Press
Woods, Clyde M. , 1975. Culture Change. Iowa : Wm. C. Brown Company Publisher

sumber : Harian Analisa, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar