Translate

Sabtu, 05 Januari 2013

PERS UJUNG TOMBAK PEMERTAHANAN BAHASA



Oleh : Suyadi


PERS memiliki kekuatan yang sangat besar. Kekuatannya  tidak melulu dalam pembentukan opini, tetapi juga – bahkan sebagian besar – karena pengaruh pemakaian bahasanya. Bahkan, dalam proses pembakuan bahasa, bahasa pers memiliki karakteristik tersendiri dan bersaing dengan bahasa yang digunakan atau diajarkan di sekolah yang sering tidak diikuti oleh pers.
Masalah penggunaan bahasa pers mengemuka dalam sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebahasaan yang dilakukan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Medan di Hotel Garuda Citra Medan, 14 Agustus lalu. Berbagai pihak yang hadir dalam sosialisasi itu, menyoalkan penggunaan bahasa pers ini. Mengapakah?
***
Tak bisa dipungkiri, pers memiliki pengaruh yang amat luas untuk menginformasikan sesuatu maupun sejumlah persoalan. Pers, baik media cetak ataupun elektronik, memiliki keunggulan komparatif untuk menyebarluaskan informasi, pendapat, dan wacana publik ke tengah khalayak.
Persoalannya, pers selalu menuai kritik yang berkaitan dengan bahasa. Sedikit saja pers keliru menggunakan bahasa, masyarakat akan terus mengikuti kekeliruan itu. Apalagi, jika wartawan mengutip tokoh atau pejabat Negara dan pejabat publik lainnya.
Tentang mutu penggunaan bahasa Indonesia oleh pers sudah banyak orang yang mengulasnya. Tidak hanya dari kalangan di luar pers, tetapi juga dari lingkungan pers sendiri. Sebut saja tulisan Rosihan Anwar, Muchtar Lubis (1983), Soewardi Idris (1987), Kurniawan Junaedhie (1991), Djafar H Assegaf (2000), Krisna Harahap (2000), Septiawan Santana Kurnia (2002), AM Dewabrata (2004), Parni Hadi, Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Mohammad Sobari, dan sebagainya.
 Begitu juga makalah-makalah atau kertas kerja para tokoh pers yang ditampilkan pada setiap acara Kongres Bahasa Indonesia yang dilaksanakan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Pers memang memiliki kekuatan tersendiri dalam menyampaikan pesan-pesan moral kepada masyarakat. Begitupun, bukan berarti pers tidak mendapatkan kritik pedas dari pembacanya.  Pasalnya, bahasa pers yang kerap cenderung tidak sesuai dengan norma yang ditetapkan – terlebih dengan yang diajarkan di sekolaj – menuai tuduhan bahwa pers sebagai perusak bahasa.
Hal ini, menurut C Ruddyanto dari Pusat Bahasa pada Kongres Bahasa Indonesia VIII di Jakarta (2003), sebenarnya bukan karena parahnya pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan, tetapi terlebih karena dominannya bahasa pers itu dalam aktivitas berbahasa masyarakat sehari-hari.Kalangan pers sebenarnya juga telah menyadari kecenderungan tersebut.
Dari hasil survei Ruddyanto terhadap penggunaan bahasa para guru, tokoh birokrat, dan wartawan di Jakarta, menyebutkan, kalangan jurnalis atau wartawan ternyata adalah kelompok yang paling banyak menerima bentuk-bentuk bahasa yang ditawarkan Pusat Bahasa sebagai lembaga resmi Pemerintah di bidang kebahasaan.
Survei tersebut menyimpulkan, birokrat lebih sulit melakukan inovasi bahasa. Bahasa mereka cenderung konservatif. Guru lebih mudah menyesuaikan diri walau tidak seleluasa jurnalis. Sangat mungkin bahasa guru cenderung normatif, tidak mudah berubah jika sudah ada norma yang ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan pers lebih mudah melakukan pembaruan. Ini, agaknya disebabkan oleh kecenderungan banyaknya tantangan untuk menemukan ungkapan atau kosa kata baru baik untuk menghindari kesan terpaku pada bentuk klise maupun memang untuk mengungkapkan hal-hal yang berkembang. Bahasa jurnalis cenderung kreatif.
Kita mengetahui misi media – terkhusus media cetak – adalah turut mencerdaskan bangsa dengan peran memberikan informasi yang benar, objektif, dan akurat. Sebagai media pendidikan publik, tidak pula terlepas sebagai media hiburan.
Di sisi lain, dalam perannya turut menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparansi publik, media massa juga menyandang fungsi sebagai lembaga pengawasan sosial. Tugas dan fungsi ini dilaksanakan secara simultan dan komparatif oleh masing-masing pegiat media, makanya dituntut kemampuan simulasi hingga materi yang disampaikan bisa dimengerti dan dipahami masyarakat, khususnya pembaca.
Bagaimana cara menyampaikannya adalah tergantung pada kemampuan menggunakan bahasa, yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar; ini yang nantinya disebut dengan laras bahasa jurnalistik.
Sekarang permasalahannya, apakah semua media telah menyadari hal tersebut? Jawabannya, belum semua media memperhatikannya. Forum Bahasa Media Massa (FBMM) mencatat, masyarakat dan media massa sama-sama punya andil menciptakan dan memelihara keteledoran berbahasa. Keduanya dianggap mempertautkan penyebab dan akibat persoalan berbahasa yang tidak berujung-pangkal.
Praktisi media massa, Masarimar Mangiang (Kompas, 14 Januari 2003) malah membeberkan, kesalahan berbahasa di media massa bukan hanya berkutat pada kesalahan teknis pemilihan kata, tetapi juga pada kekacauan berlogika.
Hal itu terjadi karena wartawan tidak berupaya menyempurnakan struktur kalimat dari ucapan sang narasumber. Ironisnya, sumber berita wartawan tidak sedikit pejabat tinggi negara ataupun pejabat publik lainnya yang memungkinkan ucapannya ditiru oleh orang banyak.
Wartawan, katanya, tidak jarang meloloskan kalimat yang dikutip dari birokrat, seperti : “Kita harus segera mengambil suatu langkah-langkah antisipatif…” Kalimat ini rancu karena kata “langkah-langkah” yang dimaksudkan sebagai ‘beberapa butir kebijakan’, diawali kata “suatu” yang berarti tunggal.
Mangiang pun merisaukan, lingkungan pemakai bahasa, narasumber, dan wartawan lebih sering tidak acuh ketimbang peduli pada bahasa yang baik. Hal-hal seperti ini dinilai sepele, karena hanya kesalahan penggunaan titik koma (padahal sifatnya serius).
Mereka, sebut Mangiang, berada dalam masyarakat yang sulit sekali menyadari kesalahan dalam tradisi, tidak terlatih berpikir jernih dan logis, serta mudah hanyut dalam aneka pengaruh. Padahal, peran wartawan dengan media massanya bukan sekadar sebagai distributor informasi. Ada pesan yang tak kalah penting, yaitu fungsi mendidik.
Mengapa itu terjadi? Pemerhati bahasa lainnya, Suroso (Kompas, 4 Januari 2003), juga mengakui, bahasa jurnalistik sebagai salah satu varian ragam bahasa Indonesia, belum banyak dikembangkan oleh surat kabar yang ada di Indonesia.
Ada kecenderungan, pegiat media hanya menggunakan  kalimat dengan struktur yang mementingkan unsur “siapa” orang yang menjadi berita. Tidak heran kalau unsur lain, seperti “mengapa”, jarang disampaikan dalam berita yang ada di koran nasional.
Surat kabar yang ada, katanya, lebih mementingkan unsur “siapa” orang yang menjadi tokoh berita, karena ada pengaruh budaya di Indonesia yang memang lebih mementingkan siapa orang yang berbicara dibandingkan substansi suatu persoalan.
Akibatnya, jarang sekali dijumpai berita yang diproduksi dari kerja investigasi yang lebih banyak mengungkap unsur “mengapa”. Padahal, menurutnya, dengan mengembangkan unsur “mengapa” dalam struktur kalimat, wartawan akan membuat sebuah berita lebih informatif yang menguntungkan pembaca.
Suroso mengakui, hal itu terjadi tidak terlepas karena selama ini memang belum ada lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang kemampuan menulis sejak dini. Bahkan, menurutnya, perguruan tinggi yang punya pendidikan jurnalistik pun tidak membekali keterampilan bahasa jurnalistik dengan baik.
***
Sebenarnya, pers tidak perlu dipersalahkan dalam penggunaan bahasa. Sebab, sudah sejak lama keprihatinan dan kepedulian terhadap bahasa yang digunakan kalangan pers dimunculkan dalam berbagai pertemuan kebahasaan, terutama dari kongres ke kongres bahasa di Indonesia. Hanya saja hingga kini belum ada formula jitu unuk menjalankan putusan-putusan pertemuan atau kongres tersebut.
Setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara wartawan (pers) dengan Bahasa Indonesia diakui oleh Kongres Bahasa Indonesia I 1938 sampai Kongres Bahasa VIII 2003. Kongres Bahasa I di Solo bahkan mengutip saran tokoh pers nasional, Adinegoro (almarhum), menjadi salah satu keputusan kongres, yakni :
“Sudah waktunya kaum wartawan berdaya upaya mencari jalan-jalan untuk memperbaiki bahasa di dalam persuratkabaran, karena itu berharap supaya Perdi (Persatoean Djoernalis Indonesia) bermufakat tentang hal itu dengan anggota-anggotanya dan komisi yang akan dibentuk oleh Kongres yang baru bersama-sama pengurus pusat Perdi” (ejaan dan istilah telah disesuaikan dengan yang kini berlaku).
Kongres Bahasa II 1954 di Medan malah secara khusus menghasilkan satu Resolusi tentang Bahasa Indonesia dalam Pers dan Radio. Resolusi pada bagian “Mengingat” antara lain menyebutkan, alat dari pers dan radio adalah bahasa. Di bagian “Menimbang” antara lain tertulis:
1.      Bahasa sebagai alat pers dan radio harus dibuat seefektif-efektifnya atau dijadikan sebaik-baiknya.
2.      Kebaikan bahasa sebagai alat Pers dan Radio terliht pada sifat mudah dan jelas.
3.      Sifat mudah dan jelas itu terjadi jika mengikuti pertumbuhan bahasa dengan timbulnya kata-kata, lenggam-langgam, daya, dan ungkapan-ungkapan baru di dalam masyarakat.
Resolusi iu sendiri menyatakan pendapat :
1)      Bahasa Indonesia di dalam Pers dan Radio tak dapat dianggap sebagai bahasa yang tak terpelihara dan rusak.
2)      Bahasa Indonesia di dalam Pers dan Radio adalah bahasa  masyarakat umum yang langsung mengikuti pertumbuhan sebagai fungsi masyarakat.
3)      Pers dan radio hendaknya sedapat mungkin berusaha memperhatikan tata bahasa yang resmi.
4)      Menganggap perlu supaya dilanjutkan adanya kerja sama yang lebih erat antara Pers dan Radio dengan Balai-balai Bahasa.
Dua puluh empat tahun kemudian, tepatnya pada Kongres Bahasa Indonesia III 1978 di Jakarta, kongres juga secara tegas menyarankan masalah pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia di bidang komunikasi, sebagai berikut:
1)      Untuk mencegah erosi bahasa, perlu diadakan penelitian mendalam tentang sebab-sebabnya.
2)      Kerja sama antara wartawan dan ahli bahasa dalam penumbuhan bahasa Indonesia perlu digalakkan.
3)      Perlu diadakan penataran bahasa Indonesia untuk wartawan surat kabar, televisi, dan radio, baik pemerintah maupun swasta.
4)      Pejabat Negara, baik pada tingkat pusat maupun daerah, dalam segala jenjang hendaknya berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang lebih cermat, baik dalam komunikasi resmi maupun dalam pergaulan resmi.
5)      Perlu dipikirkan kemungkinan penempatan ahli-ahli bahasa di kantor-kantor pemerintah dan swasta untuk memantapkan penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan masing-masing.
6)      Sebaiknya, surat kabar dan majalah berbahasa Indonesia menyediakan “Pojok Bahasa” yang memuat petunjuk praktis penggunaan bahasa Indonesia.
7)      Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa, pen.) bersama dengan Dewan Pers dan lembaga lainnya hendaknya segera menyusun pedoman lafal baku bahasa Indonesia yang didasarkan atas penelitian, antara lain, untuk penyiar radio dan televisi.
8)      Sebaiknya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, pers, dan televisi serta radio dapat melakukan kerja sama yang lebih efektif dalam usaha keefisienan pengembangan bahasa Indonesia yang baik dan baku.
Kongres Bahasa Indonesia IV 1983 di Jakarta menyarankan, semua petugas pemerintahan, khususnya yang berhubungan langsung dengan masyarakat, seperti lurah, guru, juru penerang, penyiar RRI/TVRI, dan staf redaksi media cetak, harus memiliki kemampuan dan keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kongres Bahasa Indonesia V 1988 di Jakarta mencatat, karena media massa merupakan komunikator pembangunan yang memanfaatkan bahasa Indonesia, maka media massa seperti surat kabar dan majalah, hendaknya memiliki tenaga khusus kebahasaan yang membina bahasa siaran sehingga bahasa media massa dapat dijadikan contoh bagi masyarakat.
Kongres Bahasa Indonesia VI 1993 di Jakarta malah merekomendasikan tindak lanjut putusannya :
a.       Untuk meningkatkan sikap positif dan menggalakkan penggunaan bahasa yang lebih cendikia, media cetak dianjurkan menyediakan rubrik bahasa sebagai sarana pembaca untuk berdialog mengenai bahasa.
b.      Dalam memperkaya bahasa Indonesia, dunia pers telah menunjukkan kepeloporannya dalam menerima unsur serapan. Bagi perkembangan bahasa, hal itu sama sekali tidak merugikan, namun pengguna bahasa dalam pers dianjurkan juga menggali kekayaan bahasa dari bahasa serumpun dan bahasa daerah.
c.       Selain penguasaan bahasa, minat terhadap sastra hendaknya menjadi bahan pertimbangan khusus dalam penerimaan calon wartawan.
d.      Setiap media massa dianjurkan untuk mengangkat redaktur khusus bahasa agar pemantauan dan evaluasi atas bahasa yang dipergunakan dapat dilakukan secara lebih efektif.
Kongres Bahasa Indonesia VII 1998 di Jakarta yang bertepatan dengan suasana reformasi pasca-lengser-nya Pak Harto mengusulkan tindak lanjut:
·         Pengembangan peristilahan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi perlu diprioritaskan dan pengembangan kosa kata perlu ditingkatkan, antara lain, dengan penyerapan kata dari bahasa lain melalui kaidah penyerapan yang lebih mantap.
·         Penggunaan eufemisme secara berlebihan dengan maksud menutup-nutupi kenyataan yang negatif harus dihindarkan, sedangkan eufemisme yang berkaitan dengan kesopansantunan berbahasa serta adat istiadat perlu dilestarikan.
·         Bahasa Indonesia dalam iklan, selain harus mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, juga harus berpedoman pada norma-norma sosial budaya bangsa sehingga kata-kata yang berkonotasi vulgar tidak digunakan.
Begitulah. Betapa besarnya peranan media dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai laras yang ada, menyebabkan bahasa media terus menjadi sorotan dan tindak lanjut setiap Kongres Bahasa Indonesia.
Nyatanya, tidak sedikit media masih mengabaikan keputusan-keputusan kongres tersebut. Bahkan, pers terus dituduh sebagai perusak bahasa karena banyak mengabaikan kaidah bahasa baku dengan alasan memiliki laras bahasa jurnalistik tersendiri.
Ironisnya, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai payung hukum pers, juga tidak mencantumkan masalah bahasa. Padahal, masalah bahasa pers kerap diperbincangkan secara serius pada setiap Kongres Bahasa Indonesia.
Bahkan, para tokoh persnya juga ikut berurun-rembug mempresentasekan makalahnya. Oleh karena itu, barangkali sudah waktunya UU Nomor 40/1999 itu direvisi dengan memasukkan masalah bahasa agar menjadi pedoman mengikat bagi kalangan pers.
Untungnya, di dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah mencantumkan hal tersebut. UU ini secara eksplisit mengatur Bahasa Siaran, yakni dalam Bab IV bagian kedua dalam tiga pasal, yakni pasal 37, 38, dan 39.
Pasal 37 berbunyi: “Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.”  Pasal 38: “1) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan program dan siaran muatan lokal dan, apabila diperlukan, untuk mendukung mata acara tertentu; 2) Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara siaran.”
Lalu, Pasal 39 berbunyi: “1) Mata acara siaran berbahasa sing dapat disiarkn dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks bahasa Indonesia atau secara selektif disulisuarakan ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu; 2) Sulih suara bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan; 3)Bahasa isyarat dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak tunarungu.”
***
Sudah jelas sebenarnya bahwa media massa juga harus andil dalam pemertahanan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sayangnya, keluhan terhadap mutu bahasa Indonesia yang digunakan media hingga kini belum sirna.
Anggota Badan Pertimbangan Bahasa yang juga tokoh pers Parni Hadi dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII (2003) mengatakan, apa yang dapat dianggap sebagai kekurangan dan pelanggaran sebagaimana telah tercatat dari kongres ke kongres bahasa semakin menjadi-jadi.
Apa dan siapa yang salah? Apakah insan pers tidak serius dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Perlukah mereka ‘dipolisikan’? Apakah sanksinya? Masalah sanksi bagi pelanggar bahasa inilah yang masih terus digodok dalam pembuatan RUU Kebahasaan.
Di dalam RUU Kebahasaan, penggunaan bahasa Indonesia pada pers atau media massa diatur di dalam Pasal 18 Bab III, yang terdiri atas empat ayat. Yakni, bahasa Indonesia harus digunakan sebagai bahasa pengantar utama dalam media massa (ayat 1); bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar media massa dalam segmen kedaerahan (ayat 2).
Lalu, bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar media massa dalam segmen internasional dan/atau untuk keperluan tertentu (ayat 3) serta film, sinema elektronik, dan produk multimedia lain yang disiarkan menggunakan bahasa asing harus diberi teks bahasa Indonesia atau disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia (ayat 4).
Pengaturan sanksi atas pelanggaran bahasa oleh pers ini ternyata tidak berlaku secara khusus, melainkan juga berlaku pada para pengguna bahasa lainnya. Hal ini tercantum di dalam Pasal 31. Sanksi pun hanya dikenai pada pelanggaran ayat (1) dan (4) Pasal 18, yaitu berupa sanksi administratif.
Sebagaimana tulisan saya terdahulu (Analisa, 25 Agustus 2007, halaman 29),  sanksi administratif tersebut berupa teguran lisan, teguran tertulis, denda administratif, penundaan atau penghentian layanan publik, dan/atau pencabutan izin.
Bentuk sanksi ini, tampaknya tidak terlalu berbeda sebagaimana terdapat di dalam UU Penyiaran. Di dalam UU Penyiaran masalah sanksi tercantum di dalam Bab V pasal 55  mengenai Sanksi Administratif bagi pelanggar pasal 39 ayat (1), yakni teguran lisan, penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, dan pencabutan izin penyelenggaraan siaran.
           Dengan demikian, pengaturan kebahasaan sebagaimana terkandung di dalam draf RUU Kebahasaan, sebenarnya bukan bermaksud membatasi kreativitas dan kebebasan kalangan pegiat media atau pers. Justru, dengan RUU itu, pers ikut berperan dalam pemertahanan bahasa Indonesia di tengah era globalisasi saat ini. Matur nuwun. *** (Penulis adalah tenaga  teknis Balai Bahasa Medan dan tengah menyelesaikan tesis pada PPs Antropologi Sosial Unimed)



sumber : Harian Analisa , 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar