Translate

Sabtu, 05 Januari 2013

MENYONGSONG UNDANG-UNDANG KEBAHASAAN



Oleh : Suyadi



SAAT ini pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Bahasa. Draf RUU yang disiapkan Badan Pertimbangan Bahasa dan Pusat Bahasa ini pun masuk ke DPR untuk dibahas dan disebarkan kepada publik. Menyongsong RUU Bahasa ini, Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Medan menggelar sosialisasi di Hotel Garuda Citra Medan 14 Agustus 2007. Berbagai pihak pun menanggapi kemungkinan diundangkannya pengaturan bahasa ini.
Mengapa Undang-Undang (UU) tentang kebahasaan itu perlu? Ada berbagai alasan perlunya UU itu. Di antaranya, dilatarbelakangi penggunaan bahasa Indonesia saat ini yang menampakkan gejala makin kurang memperhatikan kaidah bahasa.
Gejala ini makin meluas dan meliputi berbagai unsur masyarakat, termasuk kalangan penyelenggara negara atau pejabat pemerintahan. Ini ditambah masyarakat Indonesia yang paternalistik, melihat perilaku pemimpin untuk dijadikan pegangan. Mereka selalu meniru penggunaan bahasa para pemimpinnya, baik di kantor maupun melalui media massa.
Penggunaan bahasa Indonesia oleh pejabat yang terjadi sampai sekarang tidak atau belum merupakan teladan yang baik. Sebaliknya, apa yang dapat dilihat dalam praktik, penuturan bahasa Indonesia maupun penulisan bahasa Indonesia, kurang mampu memperhatikan kaidah bahasa yang telah ditetapkan.
        Lalu, adakah pelanggaran bahasa dilakukan para pejabat kita? Pelanggaran berbahasa dalam pengertian ini berarti tidak menggunakan kaidah bahasa yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada 1972, beserta ketentuan-ketentuan lainnya dari Pusat Bahasa.
            Sayangnya, keputusan menteri mengenai pedoman umum ejaan yang disempurnakan (EYD) itu tidak mencantumkan pasal tentang sanksi atas pelanggaran ketentuan EYD.
Sebuah keputusan menteri tidak dapat mencantumkan ketentuan administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh para pejabat di lingkungan departemen yang bersangkutan, berkaitan materi yang diatur, jadi tidak bersifat umum. Ini menjadikan keputusan tersebut tidak menggigit.
Itulah yang mendasari perlunya Bahasa Indonesia di-UU-kan. Malah, lebih penting lagi UU Kebahasaan ini merupakan amanah ‘ruh’ Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia mengamanahkan “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, akan diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Frasa ‘pemindahan kekuasaan dan lain-lain’ itu pun memang dilakukan secara cepat. Seluruh hal menyangkut sistem kenegaraan yang paling mendasar itu pun diatur dalam butir-butir UUD 45 yang dideklarasikan satu hari setelah proklamasi, yakni 18 Agustus 1945.
Sesuai amanah Proklamasi Kemerdekaan pula, penyelenggara negara punya tugas besar merencanakan, menyusun, dan melaksanakan tugas-tugas yang memperkuat sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala peraturan dan perundangan pun dibuat. Termasuk – tentunya – adalah mengenai kebahasaan.
Meski terbilang terlambat, – maklum, amanah Proklamasi Kemerdekaan RI sudah berjalan 62 tahun – UU Kebahasaan memang perlu dilahirkan demi pemertahanan keutuhan bangsa dan negara. UU Kebahasaan ini perlu secepatnya dibentuk, mengingat amanah UUD 1945 yang telah diamandemen empat kali selama reformasi.
Di dalam versi terakhir perubahan UUD 1945 itu, terdapat beberapa ketentuan mengenai bahasa, yaitu Pasal 32 ayat (2) berbunyi “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”; Pasal 36 berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”; Pasal 36c berbunyi “Ketentuan lebih lanjut tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dalam undang-undang.
Karena itu, wajar bila Pasal 36c, khususnya mengenai bahasa, dianggap sebagai amanat agar pasal 32 dan 36 dijabarkan dalam bentuk undang-undang organik.
Ia menyebutkan, pada dasarnya ketentuan-ketentuan dan UU Bahasa bertujuan untuk menegaskan bidang penggunaan bahasa yang harus menggambarkan pemuliaan dan pengunggulan bahasa nasional dan pelbagai aspek bahasa lain yang mendukungnya.
        Untuk mewujudkan UU Kebahasaan itu, juga bukan disusun dalam waktu sebentar. Ia telah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan  disampaikan Soekarno-Hatta. Setidaknya, sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 didengungkan, bahasa Indonesia sudah menjadi identitas bangsa Indonesia.
Nasib bahasa Indonesia pun terus dibahas. Sudah sejak lama keprihatinan dan kepedulian terhadap bahasa dimunculkan dalam berbagai pertemuan kebahasaan, terutama dari kongres ke kongres bahasa di Indonesia. Hanya saja hingga kini belum ada formula jitu unuk menjalankan putusan-putusan pertemuan atau kongres tersebut.
Pasca-Sumpah Pemuda, kongres demi kongres diadakan. Dimulai dari Kongres Bahasa Indonesia I 1938 sampai Kongres Bahasa Indonesia VIII 2003. Hal itu dimaksudkan agar bahasa Indonesia sebagai identitas kultur bangsa Indonesia tidak lapuk oleh hujan tidak lekang oleh panas.
Nyatanya, kekurangan dan pelanggaran bahasa sebagaimana telah tercatat dari kongres ke kongres bahasa semakin menjadi-jadi. Apa dan siapa yang salah? Apakah insan kita memang tidak serius dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Perlukah para pelanggar bahasa  ‘dipolisikan’? Apakah sanksinya?
Berkaitan itulah, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional didukung Badan Pertimbangan Bahasa menyusun draf RUU Kebahasaan. Ini juga merupakan penugasan dari Kongres Bahasa Indonesia VIII 2003.
Di Medan, setidaknya draf RUU Kebahasaan itu sudah beberapa kali disosialisasikan. Pertama oleh Kepala Pusat Bahasa Dr. Dendy Sugono, 16 September 2006 di Hotel Dhaksina Medan. Acara ini dirangkaikan penyerahan Anugerah bahasa kepada Media Cetak Kota Medan dan pelantikan Forum Bahasa Media Massa Medan.
Kedua, dilakukan Biro Hukum Departemen Pendidikan Nasional melalui diseminasi di Balai Bahasa Medan, Desember 2006. Terakhir, dilakukan Kepala Bidang Pengembangan Pusat Bahasa Dr. Sugiyono di Hotel Garuda Citra Medan, Selasa (14/8) barusan.
Masalah sanksi bagi pelanggar bahasa tampaknya menjadi persoalan mengemuka dalam setiap sesi sosialisasi. Dalam hal ini, para perumus draf RUU Kebahasaan tampaknya terlalu berhati-hati. Sampai-sampai, tidak mencantumkan proses penyelidikan, penyidikan sampai peradilan bagi para pelanggar bahasa.
        Di dalam pasal 31 Bab VII draf RUU Kebahasaan, hanya mencantumkan  sanksi administratif, yaitu, teguran lisan, teguran tertulis, denda administratif; penundaan atau penghentian layanan publik, dan/atau pencabutan izin.
         Pelaksana eksekusi sanksi hanya dilaksanakan atas lembaga pemerintah yang membidangi kebahasaan di Indonesia bersama pejabat terkait. Siapakah yang dimaksud pejabat terkait itu?
        Di dalam Penjelasan pasal 31 ayat (2) draf RUU Kebahasaan, tidak satu pun menyinggung lembaga hukum, kepolisian ataupun kejaksaan. Padahal, kedua lembaga ini yang berwenang melakukan penyidikan terhadap suatu pelanggaran hukum, umum ataupun khusus, perdata maupun pidana.
          Draf RUU Kebahasaan hanya menjelaskan, sanksi berupa teguran lisan dan tertulis dilakukan lembaga pemerintah yang membidangi kebahasaan dan kesusastraan di Indonesia. Sanksi teguran tertulis disampaikan kepada pihak pelanggar oleh lembaga pemerintah yang membidangi kebahasaan dan ditembuskan kepada lembaga yang memberikan pelayanan kepada pihak pelanggar.
    Sanksi berupa penundaan pemberian layanan dilakukan oleh lembaga kepemerintahan yang menyelanggarakan pelayanan publik sesuai kewenangannya. Sanksi berupa penundaan pelayanan bagi pelanggar perseorangan dilakukan melalui lembaga pemberi pelayanan kepada pelanggar sesuai kepenmtingannya, dengan mengikuti prosedur serupa sebagaimana dilakukan kepada pelanggar berupa lembaga.
        Lalu dijelaskan, penundaan layanan bagi pelanggar yang berbentuk badan dilakukan pada jangka waktu tertentu yang ditentukan oleh lembaga yang memberikan pelayanan kepada pelanggar sesuai tingkat pelanggarannya. Penundaan pemberian layanan ini dapat dicabut atau ditingkatkan menjadi pencabutan izin, jika pelanggar mengabaikannya setelah diperingatkan secara tertulis sebanyak tiga kali.
            Sedangkan pencabutan izin dilakukan setelah diberi teguran tertulis sebanyak tiga kali dan tetap tidak diindahkan.
Menilik jenis-jenis sanksi itu, tampaknya RUU Kebahasaan ini diarahkan kepada para pejabat publik atau lembaga publik. Ini memang dapat dimaklumi, mengingat budaya paternalistik yang melekat pada masyarakat Indonesia. Meskipun sanksi yang ada terbilang terlalu ringan, namun diharapkan dapat menimbulkan efek jera jike pelanggar bahasa tersebut berkali-kali mendapat sanksi.
Penerapan sanksi administratif, ketimbang sanksi perdata dan pidana, yang arahnya lebih banyak ditujukan kepada pemberian insentif dan disinsentif, tampaknya sangat berkaitan dengan pendidikan sikap dan moral masyarakat Indonesia.
Pemberian insentif dan disinsentif dapat dikaitkan dengan persyaratan kenaikan pangkat bagi pejabat yang bersangkutan, dalam arti bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar oleh pejabat atau lembaga diberikan penilaian positif untuk kenaikan jenjang kepangkatannya, sedangkan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baik dan benar diberikan penilaian negatif.
Karena itu, wajar saja jika kita mendesak pemerintah – dalam hal ini eksekutif dan legislatif – segera mengesahkan RUU Kebahasaan ini menjadi UU. Kalaupun ada kekurangan, bisa diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri terkait, agar UU itu dapat diimplementasikan di lapangan. *** (Penulis adalah staf teknis Balai Bahasa Medan dan sedang menyelesaikan tesis pada PPs Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan)


sumber : Harian Analisa, Sabtu 25 Agustus 2007 Halaman 28

4 komentar:

  1. terima kasih atas informasinya
    sungguh bermanfaat artikel ini..thanks for share
    model mobil

    BalasHapus
  2. harga toyota avanza 201410 April 2014 pukul 23.43

    Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
    keep update!Harga Toyota Avanza 2014

    BalasHapus