Translate

Senin, 27 Februari 2012

TPF II : PROSA FIKSI sebagai genre sastra


PROSA FIKSI sebagai genre sastra



“Tentu saja, sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda” (Robert Scholes dalam Luxemburg dkk, 1992: 1). Mengutip pandangan Robert Scholes di atas, dapat dikatakan bahwa sastra merupakan ruang yang mengedepankan kata-kata (semacam lahan berekspresi) dibandingkan pada kebendaan yang mungkin setiap saat bisa lapuk dan binasa. Kata-kata diyakini akan lebih awet sebab ia berputar pada imajinasi antara hati dan otak manusia. Sehingga, jarang untuk binasa.
Sapardi (1979: 1) memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Lebih khusus, Burhan Nurgiyantoro (1995) menyebutkan, pada dunia kesastraan dikenal adanya prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesastraan disebut juga dengan fiksi, teks naratif, atau wacana naratif (dalam pendekatan struktural dan semiotik). Istilah fiksi adalah cerita rekaan atau cerita khayalan. Menurut Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 1995: 2) dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajiner, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.”
Dalam kata lain, fiksi atau cerita rekaan ialah cerita dalam prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaiannya tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi, atau pengolahan tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung dalam hayalannya.  Atar Semi (1988 : 31) mengatakan, fiksi dapat berupa suatu penceritaan tentang tafsiran atau imajinasi pengarang tentang peristiwa yang pernah terjadi atau hanya aterjadi dalam hayalannya saja. Fiksi juga harus berbicara tentang pengalaman manusia. Kalaupun pernah muncul cerita-cerita fabel, namun binatang yang digambarkan harus berwujud simbolis dari pengalaman hidup manusia.
Sampai sekarang, belum ada semacam kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. Taum (1997) mengungkapkan bahwa pendefinisian sastra tak mungkin dirumuskan secara luas, namun tergantung pada lingkungan kebudayaan tertentu tempat sastra itu dijalankan. Sastra hanya sebuah istilah yang dipergunakan untuk menyebut sejumlah karya dengan alasan tertentu dalam lingkup kebudayaan tertentu pula.
Definisi ontologis yang bermaksud merumuskan hakikat sastra terbukti tidak dapat diterapkan. Misalnya definisi seperti: “sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau “sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain” (Taum, 1997: 13). Ketiadaan pengertian yang baku terhadap sastra tidak membuat sastra kehilangan bentuk atau menjadi hantu sebagai satu disiplin ilmu. Saya berpikir bahwa hal ini adalah esensi positif terhadap penilaian sastra karena ia terus-menerus menampilkan wajah baru. Tidak stagnan tetapi dinamis, tidak terikat dengan pengertian baku menjadi sastra lebih bebas berekspresi dalam pencapaian hakikat maupun fungsinya.
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (2005 : 383) tertera, hakikat adalah kebenaran atau kenyataan yang sebenarnya. Dari berbagai pendapat yang dipaparkan sebelumnya maka dapat ditarik sebuah garis tentang hakikat sastra yaitu pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara fiksi. Dalam hal ini, sastra memang representasi dari cerminan masyarakat. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Georg Lukacs (Taum, 1997: 50) bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik.
Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan (Nurgiyantoro, 1995: 5). Walaupun dunia fiksi lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan, namun ia tak bisa lepas dari kejadian-kejadian langsung maupun tidak langsung yang dialami oleh pengarang. Memang pengarang diberi ruang seluas-luasnya dalam memanipulasi fakta, membuat apologi-apologi baru seperti E.S. Ito dalam novel “Rahasia Meede” (2007) yang mengungkapkan kemungkinan adanya harta karun VOC di lepas pantai Jakarta tepatnya di Pulau Onrust, tetapi E.S. Ito menyusunnya dari kenyataan sejarah yang terjadi di Hindia Belanda. Banyaknya pengungkapan data sejarah baru membuat orang berpikir jangan-jangan memang ada harta karun yang ditinggalkan oleh VOC.  Hal ini mengesampingkan pendapat Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 2) yang mengatakan bahwa fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Karya fiksi, dengan demikian, menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, hayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.
Bila berbicara tentang pengalaman manusia, maka fiksi tidak boleh terlalu asing dengan kehidupan sebagaimana yang kita kenal atau kita alami. Sebuah karya fiksi seperti novel dan cerpen, tidak sama betul dan tidak mungkin sama betul dengan kehidupan. Apa yang diceritakan dalam fiksi, mungkin tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi. Kalau sebuah karya fiksi sudah sama dengan kehidupan tanpa olahan pengarang, mungkin saja karya tersebut tidak dibaca orang, karena kering, tanpa bumbu.
Sebaliknya, jika sebuah karya fiksi terlalu asing dari kehidupan, ia akan menjadi abstrak dan sukar dikenal maupun dinikmati. Bila seorang sastrawan menulis tentang peristiwa  kehidupan manusia, seorang wartawan juga menuliskan hal yang sama, namun hasilnya akan sangat berbeda, dan kesan bagi pembacanya pun berbeda.  Seorang failasuf juga pada umumnya menceritakan tentang manusia serta tindak-tanduknya, namun hasilnya akan berupa penyampaian yang abstrak dan teoretis. Sedangkan melalui fiksi hal itu diceritakan secara konkret, melalui gerak-laku tokoh. Oleh sebab itu, Atar Semi menyebutkan, fiksi itu terletak di antara jurnalistik dan filsafat, dan sekaligus sintetis dari keduanya.
Lihatlah contoh ini :
Aku dan kamu sudah saling kenal dari dulu,kamu mengenal aq dengan baik begitu juga dengan aku. Aku sangat sering membutuhkan pertolonganmu jadi aku sudah menganggap dirimu sebagai sahabat terbaik ku. Apakah kamu juga menganggap aku teman baikmu? Atau kamu hanya menganggap aku ini sekadar teman biasa saja? Apakah dengan masalah yang pernah kita lakukan waktu dulu kamu masih belum bisa memaafkan aku? Padahal itu kan hanya salah paham saja. Waktu itu aku juga sudah minta maaf berulang kali, tapi mengapa kamu hanya diam, dan tidak memberi jawaban apa-apa sama aku? Sekarang aku minta kepadamu tolong jawab pertanyaanku ,kamu masih mau kan memaafkan aku kembali? Dan menganggap aku teman baikmu? Karena selama ini yang aku rasakan sangat kehilangan dirimu tanpa ada kabar apa-apa darimu. aku harap kamu masih bisa menjadi teman baikmu seperti dulu.

Apakah kutipan kisah di atas fiksi ataukah fakta? Karya sastra atau jurnalistik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar