Translate

Senin, 13 Februari 2012

Bahan Ajar TP


TELAAH PROSA : Batasan dan Langkah-langkah


TELAAH barangkali merupakan barang baru stok lama bagi ilmu sastra. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI, hal. 1036), telaah berarti penyelidikan atau pemeriksaan; sedangkan menelaah  memiliki berbagai pengertian, yakni mempelajari, menyelidiki, memeriksa ataupun menilik. Istilah ini sangat langka kita temui di berbagai referensi ilmu sastra. Yang paling dekat dengan istilah telaah ini adalah penelitian, sebagaimana kita pinjam dari pernyataan Atmazaki (1993 : 114) yang menyebutkan "penelitian sastra adalah telaah sastra". Dengan demikian kita sepakati saja istilah Telaah Prosa itu berarti juga penelitian prosa.
            Penelitian atau telaah prosa sebenarnya tidak jauh beda dengan aktivitas kritik maupun resensi seni, hanya saja lebih bersifat akademis dan ilmiah daripada kedua istilah yang hampir mirip itu. Sememangyalah, penelitian atau telaah identik dengan pengkajian secara ilmiah terhadap objek penelitian itu. Sebutan akademis atau ilmiah sesungguhnya tidaklah berarti bahwa yang dapat melakukannya hanya kalangan akademis, dosen, misalnya. Siapa saja dapat melakukan, asal memenuhi persyaratan keilmiahan.
            Hal-hal yang diperlukan dalam pengkajian secara ilmiah adalah mengikuti alur berpikir ilmiah, yaitu : (a) ada yang menarik untuk diteliti (permasalahan), (b) ada tujuan yang ingin dicapai, (c) jelas teori tempat berpijak, dan (d) jelas metode yang diterapkan sesuai dengan jenis penelitian itu. Di samping itu, ada dua kriteria berpikir secara nalar, yaitu logis dan analitis (Nazir, 1985 : 12). Telaah prosa tentunya memerlukan satu syarat lagi, yakni kreatif.
            Penelaahan prosa secara kreatif maksudnya penelitian prosa yang memerlukan interpretasi dan evaluasi dari penelitian. Penelaahan prosa sebatas analisis unsur-unsurnya belum dapat disebut kreatif  karena kerja semacam itu tidak begitu menuntut sifat kritis, wawasan, dan intuisi yang tajam. Kerja semacam itu dapat dilakukan oleh siapa saja yang suka sastra dan memiliki sedikit ilmu sastra.
            Keperluan untuk menelaah karya prosa secara kreatif didasarkan atas anggapan yang menyebutkan bahwa karya prosa adalah juga karya kreatif, sebagaimana genre sastra lainnya. Sebagai karya kreatif, karya prosa tidak tunduk kepada istilah klasifikasi atau pengelompokan sebagaimana biasanya terdapat dalam objek kajian di luar sastra. Hal ini karena setiap karya sastra membawa suatu ideologi atau pemikiran. Pemikiran itu dikembangkan sesuai dengan visi sastrawan. Tentu saja seorang sastrawan bukanlah seorang yang bebas/bersih dari pengaruh lingkungannya. Tak ayal, pemikiran yang terdapat di dalam karya prosa dibangun berdasarkan keadaan sosial budaya yang ada dan yang diinginkan . Tugas penelaahlah membuka filosofi pemikiran itu dan memberi makna serta menempatkannya dalam konteks yang tepat. Selain itu, penelaah jugalah yang harus membantu pembaca untuk mengetahui filosofi pemikiran atau ideologi yang tersembunyi di dalam karya prosa.
            Pada dasarnya untuk tujuan di atas maka perlu menggunakan teori-teori dalam penelaahan prosa. Karena setiap teori sastra didasarkan atas pemikiran tertentu, maka sebuah teori tidak dapat digunakan untuk seperangkat tujuan. Teori tertentu digunakan untuk tujuan tertentu.
            Teori apa yang digunakan dalam telaah prosa? Jawaban sederhana untuk pertanyaan itu tentulah : teori sastra. Juga bisa dilandasi teori-teori lain, seperti sosiologi, psikologi, stilistika, sejarah, antropologi, dan sebagainya. Penelaahan prosa seringkali bercorak eksploratif seperti mencari teks di daerah pedalaman, membongkar naskah kuno di museum, melakukan telaah teks, dan sebagainya. Di samping itu, penelaahan prosa juga seperti melakukan kritik sastra : melakukan interpretasi dan merumuskan tentang sifat dan ciri  sastra (drama). Karena luasnya jangkauan kerja, penelaahan prosa  memerlukan banyak tenaga, kegigihan, dan kesungguhan, yang bermula dari suatu sikap ingin tahu serta berusaha keras menemukan sesuatu yang  "tidak ada" menjadi "ada" (meminjam istilah to be or not  to be-nya Richard Borislavsky), atau dari sesuatu yang ada dilakukan elaborasi dan kontemplasi untuk kemudian diberikan rumusan, teori, dan bahkan diberikan makna.
            Sebagai suatu kegiatan ilmiah, penelaahan prosa harus dilakukan dengan dukungan teori dan prinsip keilmuan secara lebih mendalam. Sebelum mengambil keputusan harus terlebih dahulu diuji berkali-kali dengan konsep, teori, atau dengan informasi lain. Ini perbedaan lain dengan kritik sastra bahkan dalam hal ini kritik sastra dapat dianggap hanya bagian saja dari kegiatan penelitian. Sedangkan penelaahan sastra tidak hanya menyangkut sejarah, verifikasi teori yang ada, menemukan teori-teori baru, melakukan tafsiran, penilaian, penentuan bentuk-bentuk karya sastra, tetapi juga berupaya mengemukakan pandangan, membuat kesimpulan, dan memberikan rumusan-rumusan. Kesemua itu diarahkan kepada pemerkayaan teori sastra.
            Langkah pertama dalam telaah sastra adalah keterlibatan jiwa, yaitu suatu peristiwa ketika pembaca menyimak pikiran dan perasaan pengarang dalam hubungannya dengan suatu masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya. Namun di dalam kenyataannya, penyimakan terhadap pikiran dan perasaan pengarang itu terjadi secara tidak langsung. Pembaca terlebih dahulu memahami hubungan sebab-akibat antara peristiwa-peristiwa di dalam alur cerita atau plot; alasan bagi setiap tindakan, perkataan dan pikiran serta perasaan tokoh-tokoh cerita,  terutama tokoh-tokoh penting, motivasi yang menggerakkan cerita, dan suasana cerita khususnya yang ditimbulkan penggunaan bahasa oleh pengarang.
            Keterlibatan jiwa seorang pembaca dapat diuji dengan seperangkat pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk mengajuk gerak-gerik pikiran, perasaan, dan khayal pembaca dalam hubungannya dengan unsur-unsur sastra.
Langkah kedua dalam telaah sastra adalah kemampuan pembaca untuk melihat hubungan mantik (logis) antara gerak-gerik pikiran, perasaan, dan khayalnya dengan unsur-unsur sastra  yang terdapat dalam karya sastra itu. Misalnya, dalam langkah ini harus mampu memberi alasan mengapa sastrawan menyusun peristiwa dengan cara tertentu tidak dalam cara yang lain; mengapa ia bersimpati dengan tokoh X dan berantipati dengan tokoh Y, dan sebagainya. Dengan kata lain, dalam langkah ini pembaca mampu memberi pertanggungjawaban terhadap gerak-gerik jiwanya. Ke dalam langkah kedua telaah ini, termasuk pula kemampuan mengkaji dan menilai unsur-unsur sastra sebagai pengungkap buah pikiran sastrawan. Misalnya, dalam langkah ini pembaca memberikan pendapat bahwa alur cerita atau plot memiliki bagian-bagian yang lemah atau kurang masuk akal, bahwa tokoh-tokoh tertentu wataknya tidak tergambar dengan baik atau kurang ajeh (konsisten), dan sebagainya. Semua kemampuan itu dapat diuji melalui perangkat pertanyaan yang lain.
            Langkah ketiga dalam telaah karya sastra dicapai ketika pembaca memasalahkan dan menemukan atau tidak menemukan hubungan (relevansi) antara buah pikiran pengarang dengan pengalaman pribadinya dan pengalaman kehidupan masyarakat secara umum. Dalam tingkat ini, pembaca menetapkan apakah buah pikiran sastrawan itu ada manfaatnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat. Mungkin saja ia berpendapat bahwa buah pikiran sastrawan, walaupun diungkapkan dengan jelas, dalam, dan kaya, sudah tidak penting lagi, atau terlalu sepele atau sebaliknya, sangat penting dan mendesak. Kemampuan ini pun dapat diuji melalui seperangkat pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab sendiri atau di dalam diskusi kelas maupun kelompok. Menjawab melalui diskusi dalam kelompok, sesuai dengan tuntutan kurikulum pendidikan formal. Kesempatan untuk diskusi-diskusi itu terbuka di dalam kelas atau di luar kelas dengan berbagai strategi.
Strategi pertama tentu saja berada di sekitar sastra. Prosa adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan mengasyikkan para pembaca sehingga sangat digemari masyarakat. Bentuk ini didukung oleh tradisi sejak zaman dahulu yang melekat erat pada budaya masyarakat setempat. Di samping mudah disesuaikan untuk diapresiasi dan dinikmati masyarakat segala umur. Karena sastra merupakan dramatisasi tingkah laku dan miniatur kehidupan manusia yang mendasar, karya sastra baru dapat disusun dan diproduksi dengan berhasil jika diikuti pengamatan atau penelaahan yang teliti baik oleh penulis maupun para penulisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar