Translate

Kamis, 12 Februari 2015

“Wek Wek” Kartupat nan Gamang


Catatan : Suyadi San


APA yang terjadi jika berhadapan dengan seorang pengadil yang lelah? Apa dampaknya bagi para penuntut keadilan? Apa pula yang terjadi jika rekonstruksi pengadilan itu dipertontonkan secara gegabah? Apakah dampaknya bagi sang penonton?
         Adalah Djaduk Djajakusumah yang pada era 1960-an memotret buram ruang pengadilan. Melalui naskah ”Wek Wek”, ia mempreteli sepak terjang para penegak hukum. Masalahnya, bagaimana membuat keputusan seadil-adilnya bagi para pencari keadilan.
        Untuk membongkar masalah tersebut, D. Djajakusumah menghadirkan empat orang tokoh, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Tokoh-tokoh ini tidak lain merupakan punakawan dari kisah dunia pewayangan ala Jawa.
Petruk merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan bebek-bebek Bagong yang diangon. Untungnya, Gareng datang membantu. Pokrol bambu ini menyelamatkan Petruk dari tuntutan Bagong di hadapan Semar. Tekniknya, Gareng meminta Petruk supaya menggunakan bahasa bebek, yakni wek wek.
Hasilnya mujarab. Petruk terbebas dari tuntutan, bahkan mendapatkan imbalan 10 juta rupiah akibat kelalaian Bagong yang tidak bisa memperhatikan kesehatan pengangon bebek tersebut.
        Ya, bagaimana mungkin mengadili seseorang yang cuma bisa berkata ”wek wek”. Bahasa verbal manusia berubah menjadi bahasa bebek. Itu, lantaran Petruk dinilai setia mengangon bebek. Sampai tidur di kandang bebek, takut bebek-bebek yang diangon hilang.
           Ketika kemelut itu terjadi, ketika merasa kehilangan dua ekor bebek, Petruk terus ditakuti kesalahan. Saban hari memikirkan nasib bebek dan takut menerima hukuman Bagong. Transformasi bahasa manusia menjadi bahasa hewan inilah yang berhasil membebaskan dakwaan.
          Tatkala bebas dari tuntutan, Gareng meminta sebagian keuntungan dari Petruk. Di luar itu, Semar yang menjadi lurah sejak awal sejarah, ikut meminta jatah juga.
      Lakon tersebut dimainkan oleh Teater Kartupat di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jumat malam (5/12), disutradarai Sabarto. Pergelaran yang merupakan proyek Unit Pelaksana Teknis (UPT) TBSU ini, merupakan yang kesekian kali saya saksikan.
         Naskah utuh  saya tonton ketika dimainkan Studio Oncor di teater arena Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, tahun 1994, disutradarai Dewi Yull. Saya tonton lagi ketika menjadi pengamat work shop Kartupat di Jalan Jemadi Medan, tahun 1995-an. Hal sama juga saya saksikan ketika lakon ini dimainkan Teater O Fakultas Sastra USU.
        D. Djajakusumah memang ingin membongkar masalah hukum ini dengan guyonan. Kehadiran empat tokoh punakawan merupakan ikon guyonan tersebut. Mereka ini merupakan tokoh rekaan yang cuma dikenal  pada pakem wayang ala Jawa. Pemunculannya biasanya seusai atau di sela goro goro cerita pewayangan. Tujuannya memang untuk menghibur penonton. Apalagi, dalam kisah Mahabharata maupun Ramayana, tokoh-tokoh tersebut anonim.
         Lalu, bagaimana ketika lakon itu dimainkan Teater Kartupat sepeninggal almarhum Raswin Hasibuan?   Ya, tidak ada yang berubah. Kental komedi dan improvisasi. Inilah ciri khas Kartupat. Sabarto mampu mempertahankan identitas tersebut.
     Bahkan, Sabarto yang merangkap menjadi pemain (Semar), terlalu menonjolkan sisi pertunjukan tinimbang esensi cerita. Ia harus menghadirkan tokoh-tokoh lain yang tidak terlalu penting. Padahal, tanpa usaha tersebut sebenarnya lakon Djajakusumah sudah sangat komunikatif dan kuat.
    Kreativitas sutradara dalam suatu seni pertunjukan sah-sah saja terjadi. Namun, kita justru mempertanyakan usaha di luar teks yang terlalu berlebihan. Memperkuat ide cerita pengarang atau malah membunuh pengarang dengan makin memperingan kualitas cerita asli?
         Dan, ufh! Hal sangat mengganggu adalah begitu beraninya sang sutradara mengubah sosok Petruk yang sejatinya lelaki itu menjadi tokoh perempuan. Ini tidak saja mencincang pakem ­leluhur budaya Jawa, tetapi sekaligus penistaan!
Dalam tradisi Jawa, para tokoh punakawan ini sering jadi panutan. Pesan-pesan penting yang disampaikan secara guyon sangat mengena ke ulu hati penonton. Nah, jika jenis kelamin seorang tokoh saja dari punakawan itu seenaknya diubah, merupakan suatu pembiasan  yang harusnya tidak terjadi.
Dalam banyak versi kisah punakawan ini, memang ada yang mengisahkan tokoh tersebut menjadi perempuan. Tapi, itu dalam usaha penyamaran sang punakawan menjadi banci atau waria. Bukan mengubah wujud. Pemvisualan tokoh ini mengakibatkan kegamangan esensi cerita.
           Lihat saja, dalam lakon ”Wek Wek”, Petruk yang menggunakan bahasa bebek, wek wek, terbebas lantaran dianggap berkontribusi memperbanyak jumlah ternak bebek Bagong.  Gareng mencari dalih, tanpa Petruk, bebek Bagong tidak akan beranak-pinak. Sebab, bebek-bebek Bagong semuanya betina. ”Ini jasa kejantanan si Petruk,” tukas Gareng menyelamatkan Petruk.
            Disebabkan pengubahan jenis kelamin sang tokoh, dialog-dialog penting milik Djajakusumah banyak terpenggal. Esensi cerita pun menjadi kabur. Padahal, penonton ingin menyaksikan kehebatan Petruk menyelamatkan bebek-bebek majikannya. Poin penting ini pula yang jadi satu di antara sejumlah indikator pembebasan dakwaan terhadap Petruk.
            Begitulah. Sebagai penyuka seni pertunjukan, lakon ”Wek Wek” Kartupat ini patut diacungi jempol. Namun, ditilik bahwa esensi seni pertunjukan adalah untuk mengangkat budaya luhur bangsa, kita patut mempertanyakan nawaita UPT TBSU menggelar proyek pertunjukan teater itu. Siapakah yang patut bertanggung jawab! ***

sumber: Harian Waspada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar