Translate

Kamis, 12 Februari 2015

Menengok Kelihaian "Sang Perkutut" di TBSU


Catatan : Suyadi San


KARYA sastra merupakan kesaksian zaman.  Tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas. Bahkan ia (baca: karya sastra) bisa melampaui batas dimensi. Na, apa jadinya jika teks sastra ditranformasi ke atas panggung? Apa pula yang terjadi jika pemanggungan itu mengambil label seekor unggas, yakni perkutut?
            Jam menunjukkan pukul 16.40 WIB.  Panggung gelap. Ketika layar terbuka, terlihat simbol bola bumi, satu di antara sembilan gugusan planet, perlahan memancar kemerah-merahan di sudut kanan panggung. Tak ada pergerakan manusia ataupun makhluk lainnya.
            Tata warna cahaya yang sangat artistik berpadu dengan tataan panggung yang tak akalah artistik pula. Karya seni rupa tiga dimensi kentas mengisi setiap sudut ruang. Barulah beberapa detik kemudian, suara seseorang terdengar meneriakkan judul puisi “Perkututku Perkutut Urakan”.
            Ya! Judul itu, judul itu sangat tidak asing bagi saya. Memori saya pun berkelebat-kelebat. Betapa tidak? Belasan tahun lalu, pada 1990-an, judul puisi itu telah saya dengar. Belasan tahun lalu itu saya harus membeli tiket untuk menyaksikan perkutut manggung di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Medan. Belasan tahun itu.... Ah!
            Tidak hanya mendengar dan melihat. Saya pun tak pernah mau ketinggalan mengikuti episode demi episode nyanyian sang perkutut. Usai 1990-an itu, saya ikut menengok penampilan episode sang perkutut dalam gelar baca puisi di Taman Budaya Sumatera Selatan (TBSS) Palembang, Juni 2005. Setahun kemudian, saya tengok lagi di gedung utama TBSU.
            Alhamdulillah saya berkesempatan menyaksikan (lagi) atraksi sang perkutut di atas panggung.      Itu terjadi saat Unit Pelaksana Teknis (UPT) TBSU menggelar Gelar Rangkai Puisi bertajuk ”Nyanyian Urakan” di gedung utama TBSU, Jumat sore (13/12).
Sepertinya para petinggi di TBSU seperti saya: ketagihan menyaksikan kelihaian sang perkutut. Tak peduli sudah pernah hinggap atau beberapa kali dimainkan di tempat sama. Bahkan dalam kegiatan yang nyaris serupa.
Ya, itu barangkali memang karena kehebatan sang perkutut. Perkutut ini memang sangat lincah. Lihai beradaptasi. Cekatan bertransformasi. Hinggap pada satu dahan untuk terbang dan hinggap ke ruas dahan yang lain.  Kecil tubuhnya tak sekecil pikirannya.

            Perkututku liar
dia tidak suka sangkar
takut sayapnya mekar terhalang
sebab tidak suka memaki
”lebih baik bernyanyi
dari jendela ke jendela”

            Seperti bait puisi itulah ”si perkutut” yang saya lihat dari panggung ke panggung. Ia terbang liar. Tapi toh tetap kembali ke dahan itu juga.  Meski liar, ia tetap lihai. Meski mengumpat, tetap saja ia menyediakan penawar.

            Perkututku liar
dia terbang dalam awan
tainya jatuh di atap-atap singgasana
setiap kali dia menuding
lukanya jadinya membara
darahnya dia jadikan penawar

            Alamak! Seperti politisi pula ia.
            Begitulah. Bagi orang TBSU, tidak tahu orang yang di luar (TBSU), sang perkutut itu identik dengan penyair anyar Sumatera Utara: YS. Rat. Pemilik nama Yusrianto inilah yang kerap kali mengusung ikon perkutut dalam atraksi baca puisinya. Mungkin karena dibesarkan dalam keluarga Jawa, pria berkaca mata ini   terus kesengsem pada perkutut.
            Perkutut YS Rat bukan sembarangan perkutut. Perkututnya ini tidak sebatas bisa dielus atau diminta manggung untuk bernyanyi. Lebih dari itu, perkututnya bisa diajak berpikir dan membantunya untuk menyublimasi pikirannya. Lha wong perkututnya bukan hewan; tidak lain adalah puisi!
            Selama hampir satu jam, YS Rat bercengkerama dengan ”perkutut”-nya di gedung utama TBSU. Untuk mereportoarkan ”perkutut” ini, YS Rat tidak sendirian. Dia dibantu deretan penampil lainnya: dua orang penyair (Hasan Al Banna, M. Raudah Jambak) dan tiga penari (Joni, Dewi, Roslina). Apakah ini bentuk kelelahan dia?  Sebab, tahun-tahun sebelumnya dengan nafas puisi sama ia tampil sendirian. Entahlah.
            Namun, menurut YS Rat, pergelarannya kali ini karena diberi tajuk Gelar Rangkai Puisi. ”Jadilah saya harus melibatkan pemain lain,” tuturnya beberapa hari menjelang pementasan kepada penulis.
            Dari lima puisi, ia membacakan empat judul, yakni Perkututku Perkutut Urakan”, ”Perkutut Urakanku Kampanye di Langit-langit”, ”Dari Perkutut Urakan tentang Negeri Tanpa,” dan ”Kepada Jika, dari Perkutut Urakan”. Satu judul lagi, ”Surat Perkutut Urakan buat Gadis-gadis Indonesia” dibacakan M. Raudah Jambak.
            Sementara Hasan Al Banna tampil selingan di antara penampilan YS Rat. Hasan membawakan dua puisinya sendiri, yakni ”Mantra Negeri yang Pukang” dan ”Dari Mardan ke Taufan”.
            Penampilan YS Rat kali ini sebenarnya tidak jauh beda dari beberapa tahun lalu. Ikon perkutut dibalut simbol bola dunia ataupun bulan, ruang nan gelap, dan suara dari belakang panggung serta gemar membelakangi penonton. Sangat kongruen dari penampilan-penampilan sebelumnya.
            Namun, pertunjnkan yang dibuka Kepala Sub Dinas Lembaga Budaya Dinas Budaya dan Pariwisata Sumatera Utara Drs Sudarno dan hanya disaksikan segelintir penonton ini, masih menyusuhkan sesuatu yang baru. Yakni, munculnya gerakan tari dari beberapa puisi yang dibacakan.
            Saya menyebut gerakan tari dalam puisi ini sebagai tarinisasi puisi,  suatu penafsiran lain terhadap puisi. Saya tidak mau terburu-buru menyebut ini bentu baru dalam apresiasi puisi. Kita tahu, hanya ada empat cara untuk mengapresiasi puisi melalui seni pertunjukan, yakni pembacaan (tunggal maupun berkelompok atau berantai), visualisasi, dramatisasi, dan musikalisasi.
            Yang jelas, pemvisualan dalam bentuk tari merupakan sesuatu yang sangat dominan dalam pertunjukan YS Rat kali ini.  Gerakan-gerakan tari yang sangat teaterikal ini menjadi penyejuk dari kejenuhan tema yang diusung YS Rat.
            Keunggulan lain adalah penampilan seni rupa tiga dimensi yang diarsiteki Rudi Pama (penata artistik) dan Irma Karyono (penata lampu). Duet Rudi—Irma ini mampu menghidupi surealisme panggung. Patutlah, kedua orang ini serta Achi Aceh sang penata musik yang paling cemas ketika listrik di komplek TBSU belum hidup sampai pukul 16.10 WIB karena program pemadaman oleh PLN sejak pukul 10.00 WIB.
Lalu penampilan Hasan Al Banna? Ia tetap menjadi pelengkap dan tidak masuk dalam suasana metafisis perkutut imajiner YS Rat. Hal sama pernah dilakukan pada pergelaran tahun 2006 di tempat sama.
            Warna kekanak-kanakan yang ditampilkan Hasan senyatanya tidak mampu mengimbangi narasi besar yang diusung YS Rat. Andai dia berdiri sendiri, terpisah dari skenario ”perkutut urakan” YS Rat, mungkin pertunjukannya akan menjadi lain.
            Secara keseluruhan, pertunjukan ”Nyanyian Urakan” YS Rat yang tidak urakan ini mampu menyedot perhatian penonton. Setidaknya, ini menjadi penawar dari minimnya pertunjukan sastra di Medan. Akankah sang perkutut tampil lagi? Akankah ia tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas?  Jawabannya ada pada YS Rat! ***             


sumber : Harian Waspada
YS Rat ”sang perkutut urakan” muncul memecah simbol bola dunia dalam puisi terakhir Kepada Jika, dari Perkutut Urakan pada Gelar Rangkai Puisi ”Nyanyian Urakan” di gedung utama TBSU, Jumat sore (13/12). (foto : Suyadi San)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar