Catatan : Suyadi San
KARYA sastra merupakan kesaksian zaman.
Tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas. Bahkan ia (baca: karya sastra) bisa melampaui
batas dimensi. Na, apa jadinya jika teks sastra ditranformasi ke atas panggung?
Apa pula yang terjadi jika pemanggungan itu mengambil label seekor unggas,
yakni perkutut?
Jam
menunjukkan pukul 16.40 WIB. Panggung
gelap. Ketika layar terbuka, terlihat simbol bola bumi, satu di antara sembilan
gugusan planet, perlahan memancar kemerah-merahan di sudut kanan panggung. Tak
ada pergerakan manusia ataupun makhluk lainnya.
Tata
warna cahaya yang sangat artistik berpadu dengan tataan panggung yang tak
akalah artistik pula. Karya seni rupa tiga dimensi kentas mengisi setiap sudut
ruang. Barulah beberapa detik kemudian, suara seseorang terdengar meneriakkan
judul puisi “Perkututku Perkutut Urakan”.
Ya!
Judul itu, judul itu sangat tidak asing bagi saya. Memori saya pun berkelebat-kelebat. Betapa tidak? Belasan tahun lalu, pada
1990-an, judul puisi itu telah saya dengar. Belasan tahun lalu itu saya harus
membeli tiket untuk menyaksikan perkutut manggung
di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Medan. Belasan tahun itu.... Ah!
Tidak hanya mendengar dan melihat. Saya pun tak pernah mau ketinggalan
mengikuti episode demi episode nyanyian sang perkutut. Usai 1990-an itu, saya
ikut menengok penampilan episode sang perkutut dalam gelar baca puisi di Taman
Budaya Sumatera Selatan (TBSS) Palembang, Juni 2005. Setahun kemudian, saya
tengok lagi di gedung utama TBSU.
Alhamdulillah saya
berkesempatan menyaksikan (lagi) atraksi sang perkutut di atas panggung. Itu terjadi saat Unit Pelaksana Teknis
(UPT) TBSU menggelar Gelar Rangkai Puisi bertajuk ”Nyanyian Urakan” di gedung
utama TBSU, Jumat sore (13/12).
Sepertinya para petinggi di TBSU seperti saya:
ketagihan menyaksikan kelihaian sang perkutut. Tak peduli sudah pernah hinggap atau
beberapa kali dimainkan di tempat sama. Bahkan dalam kegiatan yang nyaris
serupa.
Ya, itu barangkali memang karena kehebatan sang
perkutut. Perkutut ini memang
sangat lincah. Lihai beradaptasi. Cekatan bertransformasi. Hinggap pada satu
dahan untuk terbang dan hinggap ke ruas dahan yang lain. Kecil tubuhnya tak sekecil pikirannya.
Perkututku liar
dia
tidak suka sangkar
takut
sayapnya mekar terhalang
sebab
tidak suka memaki
”lebih
baik bernyanyi
dari
jendela ke jendela”
Seperti bait puisi itulah
”si perkutut” yang saya lihat dari panggung ke panggung. Ia terbang liar. Tapi toh tetap kembali ke dahan itu juga. Meski liar, ia tetap lihai. Meski mengumpat,
tetap saja ia menyediakan penawar.
Perkututku liar
dia terbang dalam awan
tainya jatuh di atap-atap singgasana
setiap kali dia menuding
lukanya jadinya membara
darahnya dia jadikan penawar
Alamak! Seperti politisi pula ia.
Begitulah. Bagi orang
TBSU, tidak tahu orang yang di luar (TBSU), sang perkutut itu identik dengan
penyair anyar Sumatera Utara: YS. Rat. Pemilik nama Yusrianto inilah yang kerap
kali mengusung ikon perkutut dalam atraksi baca puisinya. Mungkin karena
dibesarkan dalam keluarga Jawa, pria berkaca mata ini terus kesengsem
pada perkutut.
Perkutut YS Rat bukan
sembarangan perkutut. Perkututnya ini tidak sebatas bisa dielus atau diminta manggung untuk bernyanyi. Lebih dari
itu, perkututnya bisa diajak berpikir dan membantunya untuk menyublimasi
pikirannya. Lha wong perkututnya
bukan hewan; tidak lain adalah puisi!
Selama hampir satu jam, YS
Rat bercengkerama dengan ”perkutut”-nya di gedung utama TBSU. Untuk
mereportoarkan ”perkutut” ini, YS Rat tidak sendirian. Dia dibantu deretan
penampil lainnya: dua orang penyair (Hasan Al Banna, M. Raudah Jambak) dan tiga
penari (Joni, Dewi, Roslina). Apakah ini bentuk kelelahan dia? Sebab, tahun-tahun sebelumnya dengan nafas
puisi sama ia tampil sendirian. Entahlah.
Namun, menurut YS Rat,
pergelarannya kali ini karena diberi tajuk Gelar
Rangkai Puisi. ”Jadilah saya harus melibatkan pemain lain,” tuturnya
beberapa hari menjelang pementasan kepada penulis.
Dari lima puisi, ia
membacakan empat judul, yakni Perkututku Perkutut Urakan”, ”Perkutut Urakanku
Kampanye di Langit-langit”, ”Dari Perkutut Urakan tentang Negeri Tanpa,” dan
”Kepada Jika, dari Perkutut Urakan”. Satu judul lagi, ”Surat Perkutut Urakan
buat Gadis-gadis Indonesia” dibacakan M. Raudah Jambak.
Sementara Hasan Al Banna
tampil selingan di antara penampilan YS Rat. Hasan membawakan dua puisinya
sendiri, yakni ”Mantra Negeri yang Pukang” dan ”Dari Mardan ke Taufan”.
Penampilan YS Rat kali ini sebenarnya tidak jauh
beda dari beberapa tahun lalu. Ikon perkutut dibalut simbol bola dunia ataupun
bulan, ruang nan gelap, dan suara dari belakang panggung serta gemar
membelakangi penonton. Sangat kongruen dari penampilan-penampilan sebelumnya.
Namun, pertunjnkan yang
dibuka Kepala Sub Dinas Lembaga Budaya Dinas Budaya dan Pariwisata Sumatera
Utara Drs Sudarno dan hanya disaksikan segelintir penonton ini, masih
menyusuhkan sesuatu yang baru. Yakni, munculnya gerakan tari dari beberapa
puisi yang dibacakan.
Saya menyebut gerakan tari dalam puisi ini sebagai
tarinisasi puisi, suatu penafsiran lain terhadap puisi. Saya
tidak mau terburu-buru menyebut ini bentu baru dalam apresiasi puisi. Kita
tahu, hanya ada empat cara untuk mengapresiasi puisi melalui seni pertunjukan,
yakni pembacaan (tunggal maupun berkelompok atau berantai), visualisasi,
dramatisasi, dan musikalisasi.
Yang jelas, pemvisualan dalam bentuk tari
merupakan sesuatu yang sangat dominan dalam pertunjukan YS Rat kali ini. Gerakan-gerakan tari yang sangat teaterikal
ini menjadi penyejuk dari kejenuhan tema yang diusung YS Rat.
Keunggulan lain adalah penampilan seni rupa tiga
dimensi yang diarsiteki Rudi Pama (penata artistik) dan Irma Karyono (penata
lampu). Duet Rudi—Irma ini
mampu menghidupi surealisme panggung. Patutlah, kedua orang ini serta Achi Aceh
sang penata musik yang paling cemas ketika listrik di komplek TBSU belum hidup
sampai pukul 16.10 WIB karena program pemadaman oleh PLN sejak pukul 10.00 WIB.
Lalu penampilan Hasan Al Banna? Ia tetap menjadi
pelengkap dan tidak masuk dalam suasana metafisis perkutut imajiner YS Rat. Hal
sama pernah dilakukan pada pergelaran tahun 2006 di tempat sama.
Warna kekanak-kanakan yang
ditampilkan Hasan senyatanya tidak mampu mengimbangi narasi besar yang diusung
YS Rat. Andai dia berdiri sendiri, terpisah dari skenario ”perkutut urakan” YS
Rat, mungkin pertunjukannya akan menjadi lain.
Secara keseluruhan,
pertunjukan ”Nyanyian Urakan” YS Rat yang tidak urakan ini mampu menyedot
perhatian penonton. Setidaknya,
ini menjadi penawar dari minimnya pertunjukan sastra di Medan. Akankah sang
perkutut tampil lagi? Akankah
ia tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas?
Jawabannya ada pada YS Rat! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar