Translate

Kamis, 12 Februari 2015

Sudah Kugembok Suaramu


 

“SUDAH kugembok suaramu”. Begitulah ungkapan batin penyair kita, NA Hadian, dalam kumpulan sajak terbarunya Laut Mutiara. Ungkapan yang sangat sederhana. Jujur dan tidak mengada-ada. Barangkali ucapan itu sangat tepat tatkala bangsa kita memasuki 60 tahun kemerdekaan.
Sudah kugembok suaramu. Ya, betapa miriskah nasib bangsa ini menghadapi segala fenomena kehidupan? Keprihatinan demi keprihatinan, itulah yang kita hadapi memasuki usia 60 tahun kemerdekaan bumi Nusantara ini.
Enam puluh tahun, harusnya kita makin matang menghadapi berbagai persoalan. Tidak gagap atau kagok mencari jalan keluar setiap permasalahan. Apalagi sudah ratusan tahun diuji penindasan. Rasanya, begitu naif jika kita terus merasa kalut dan sulit lepas dari lubang jarum keniscayaan.
Enam puluh tahun, ya, enam puluh tahun. Enam puluh tahun itu kita dicekoki janji. Jargon dan mutiara kata untuk bangkit dari penindasan. Enam puluh tahun itu kita dibuai mimpi berkepanjangan. Revolusi dan pembangunan. Reformasi dan perubahan. Semuanya sangat menjanjikan. Manis di bibir, sangat indah di perkataan.
Namun, begitu ironi. Kita harus antre mendapatkan BBM. Padahal, mendapatkannya pakai duit. Duitnya sulit didapat. Didapat dengan susah payah. Banting tulang. Peras keringat, pikiran, dan tenaga.
Penguasa dengan enteng meminta kita agar berhemat. Berhemat. Kencangkan ikat pinggang. Puasa Senin-Kamis.Wah! Bukankah sejak dahulu kita berhemat? Mengencangkan ikat pinggang? Ditambah lagi yang setiap saat puasa, tidak hanya Senin-Kamis.
Saking hematnya, saking menyempitnya pinggang, kita sampai cakar-cakaran. Berebut pekerjaan. Kehilangan pekerjaan. Sikut kanan, sikut kiri. Sikat kanan, sikat kiri. Jilat kanan, jilat kiri. Ujung-ujungnya, korupsi. Monopoli, oligopoli, manipulasi. Dan sebagainya. Yang penting happy. Tak peduli kanan dan kiri. Masing-masing cari selamat. Selamatkan diri masing-masing alias SDM.
Wah! Untuk itu, penyair NA Hadian bilang :

Sudah kugembok suaramu
jangan ucapkan lagi kata itu
kita saling berbohong
aku bohong kau pun bohong
(Sudah Kugembok Suaramu, bait 1)

Bohong! Itulah yang sebenarnya. Aku bohong kau pun bohong.  Apakah kita saling berbohong? Entahlah. Yang jelas, pada saat kita kehilangan tongkat, pada saat kita kesulitan sandang dan pangan, pada saat kita antre BBM, penguasa hanya mampu bilang kesulitan membayar minyak di luar negeri, apalagi utang piutang. Padahal sudah 60 tahun penguasa berkuasa. Diberi  kesempatan mengolah hasil bumi, rempah-rempah; untuk keselamatan rakyat, untuk kesejahteraan rakyat.
Lihat saja, saat kita sudah sering berhemat, segala macam merek dan jenis kendaraan setiap hari mengalir deras ke bumi Pertiwi. Setiap saat berseliweran di depan mata kita. Booming. Dari mana datangnya? Dari luar negeri, tentu. Koq bisa? Siapa yang beli? Yang punya duit, tentu. Lho koq! Ya bisa, karena memang tidak ada ketentuannya. Tidak ada aturannya. Nah!

Mau apa lagi kita sekarang
bikin janji ke janji
janjimu bermata pisau
bicaramu tembaga berparuh ular
(Sudah Kugembok Suaramu, bait 2)

Hal sama terjadi dalam skop lokal. Terutama yang terjadi di kota besar, Medan misalnya. Simaklah sajak berikut :

“Adakah yang lebih sakral, anakku,
pada potret-potret lama
kecuali tempat yang kita kenal
saat-saat yang tak pernah
baka?”
(Goenawan Mohammad, Horison, Juli 1990)

Petikan sajak Goenawan Mohammad itu tampaknya cukup bersentuhan dengan masalah cacopolis. Cacopolis ialah kota yang mengerikan dan kacau balau; diceritakan dengan sangat rinci: udara yang panas berdebu, suara yang bising memekakkan telinga, lalu lintas kendaraan yang macat, perumahan yang berlebihan kepadatannya, listrik padam, jaringan jalan semrawut bagaikan bakmi, sampah menggunung, selokan tersumbat, air minum tercemar, dan lain-lain.
Daftarnya sangat panjang tanpa ada akhirnya. Dan, itu diceritakan Prof. Kevin Lynch dari hasil penelitian terhadap anak muda-anak muda di Cambridge, Massachusetts, S mengenai gambaran kota atau dunia ideal yang didambakan.
Lalu, sekelompok tim perancang yang menamakan dirinya super audio, bahkan nekad melukiskan secara visual fantasinya tentang cacopolis di masa depan, dalam bentuk kota yang geometrik kaku, terkotak-kotak, tak ada peluang komunikasi sosial, tumbuh tanpa batas, dan setiap kegiatan manusia diatur secara eksternal di luar dirinya. Bangunan-bangunan kuno yang diakrabi penduduk, terkikis habis. Sentuhan estetis dikerdillkan oleh perhitungan ekonomi dan bisnis. Manusianya kepaten obor, kehilangan lacak dan orientasi, bagaikan orang hilang ingatan.
Cacopolis? Alahmak! Lalu, bagaimana?
Kota dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya, diistilahkan oleh I. Rapoport dengan “cultural landscape”, dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota maupun daerah. Yang paling rumit dan kompleks adalah perkotaan. Nah!
Kevin Lynch, dia lagi, dalam tulisannya tentang “The City as Environment” berceloteh bahwa penampilan dan wajah kota bagaikan mimpi buruk: tunggal rupa, serba sama, tidak berwajah, lepas dari alam, dan sering tidak terkendali, tidak manusiawi. Air dan udara kotor, jalan-jalan sangat berbahaya dipadati kendaraan, papan reklame mengganggu pandangan, pengeras suara memekakkan telinga.
Jurang kaya-miskin menganga mencolok mata, komunitas yang guyub (batin) pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan (kepentingan) yang dilandasi penalaran kalkulatif (Weber) dan kepekaan moral yang disepakati bersama makin meluntur (Durkheim).
Dalam setiap kota yang merupakan ‘melting pot’ selalu terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan pada skala kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi.
Kalau begitu, masihkah kita percaya dengan penguasa untuk mengelola kota ini dengan baik, sementara “//Rakyat kehilangan cintanya, kepadamu/semua kita sudah berdosa/akhirnya aku lari tunggang-langgang///”. (Sudah Kegembok Suaramu, NA Hadian, bait 3).
Menghadapi negeri yang berulang tahun bulan depan, memang seharusnya kita segera mengoreksi diri. Jangan seperti penguasa kita yang berebut minta gaji besar di tengah keterpurukan bangsa. Penyair Hadian, mengibaratkan hal itu laksana semut :

Seekor semut melenggang
di rumput hijau
mencari telur ulat
yang berserak
dalam lembar daun
(Sajak Putih, bait 1).

Ya, seekor semut/mencari telur ulat/dalam lembar daun. Lembar daun. Begitu halusnya Hadian menyindir perilaku politikus dan pejabat  kita pada umumnya. Padahal “//Dunai protes/kalian tidak adil/tanpa berjuang terima gaji/mau bintang kehormatan//” (bait 2). Siapa yang paling berjasa di negeri ini? “//Sedang matahari dan bulan/paling berjasa/selalu terima angka nol/dari semua makhluk bumi///” (bait 3).
Hiruk pikuk kota. Polusi kendaraan. Bersatu padu dalam jantung kepalsuan. Kalau begitu, ‘../mari kita tidur saja, wahai/wakil rakyat tidur saja///” (Kita Sudah Kesasar, Hadian).
Barangkali inilah yang harus kita katakan. Sebab, sudah kegembok suaramu. *** (Suyadi San)


sumber : Harian Mimbar Umum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar