“SUDAH kugembok suaramu”.
Begitulah ungkapan batin penyair kita, NA Hadian, dalam kumpulan sajak
terbarunya Laut Mutiara. Ungkapan
yang sangat sederhana. Jujur dan tidak mengada-ada. Barangkali ucapan itu
sangat tepat tatkala bangsa kita memasuki 60 tahun kemerdekaan.
Sudah kugembok suaramu. Ya, betapa miriskah nasib
bangsa ini menghadapi segala fenomena kehidupan? Keprihatinan demi
keprihatinan, itulah yang kita hadapi memasuki usia 60 tahun kemerdekaan bumi
Nusantara ini.
Enam puluh tahun,
harusnya kita makin matang menghadapi berbagai persoalan. Tidak gagap atau
kagok mencari jalan keluar setiap permasalahan. Apalagi sudah ratusan tahun
diuji penindasan. Rasanya, begitu naif jika kita terus merasa kalut dan sulit
lepas dari lubang jarum keniscayaan.
Enam puluh tahun,
ya, enam puluh tahun. Enam puluh tahun itu kita dicekoki janji. Jargon dan
mutiara kata untuk bangkit dari penindasan. Enam puluh tahun itu kita dibuai
mimpi berkepanjangan. Revolusi dan pembangunan. Reformasi dan perubahan.
Semuanya sangat menjanjikan. Manis di bibir, sangat indah di perkataan.
Namun, begitu
ironi. Kita harus antre mendapatkan BBM. Padahal, mendapatkannya pakai duit.
Duitnya sulit didapat. Didapat dengan susah payah. Banting tulang. Peras
keringat, pikiran, dan tenaga.
Penguasa dengan
enteng meminta kita agar berhemat. Berhemat. Kencangkan ikat pinggang. Puasa
Senin-Kamis.Wah! Bukankah sejak dahulu kita berhemat? Mengencangkan ikat
pinggang? Ditambah lagi yang setiap saat puasa, tidak hanya Senin-Kamis.
Saking hematnya,
saking menyempitnya pinggang, kita sampai cakar-cakaran. Berebut pekerjaan.
Kehilangan pekerjaan. Sikut kanan, sikut kiri. Sikat kanan, sikat kiri. Jilat
kanan, jilat kiri. Ujung-ujungnya, korupsi. Monopoli, oligopoli, manipulasi.
Dan sebagainya. Yang penting happy.
Tak peduli kanan dan kiri. Masing-masing cari selamat. Selamatkan diri
masing-masing alias SDM.
Wah! Untuk itu,
penyair NA Hadian bilang :
Sudah kugembok suaramu
jangan ucapkan lagi kata itu
kita saling berbohong
aku bohong kau pun bohong
(Sudah
Kugembok Suaramu, bait 1)
Bohong! Itulah
yang sebenarnya. Aku bohong kau pun
bohong. Apakah kita saling
berbohong? Entahlah. Yang jelas, pada saat kita kehilangan tongkat, pada saat
kita kesulitan sandang dan pangan, pada saat kita antre BBM, penguasa hanya
mampu bilang kesulitan membayar minyak di luar negeri, apalagi utang piutang.
Padahal sudah 60 tahun penguasa berkuasa. Diberi kesempatan mengolah hasil bumi,
rempah-rempah; untuk keselamatan rakyat, untuk kesejahteraan rakyat.
Lihat saja, saat
kita sudah sering berhemat, segala macam merek dan jenis kendaraan setiap hari
mengalir deras ke bumi Pertiwi. Setiap saat berseliweran
di depan mata kita. Booming. Dari
mana datangnya? Dari luar negeri, tentu. Koq bisa? Siapa yang beli? Yang punya
duit, tentu. Lho koq! Ya bisa, karena memang tidak ada ketentuannya. Tidak ada
aturannya. Nah!
Mau apa lagi kita sekarang
bikin janji ke janji
janjimu bermata pisau
bicaramu tembaga berparuh ular
(Sudah
Kugembok Suaramu, bait 2)
Hal sama terjadi
dalam skop lokal. Terutama yang terjadi di kota besar, Medan misalnya. Simaklah
sajak berikut :
“Adakah
yang lebih sakral, anakku,
pada
potret-potret lama
kecuali
tempat yang kita kenal
saat-saat
yang tak pernah
baka?”
(Goenawan Mohammad, Horison, Juli 1990)
Petikan sajak
Goenawan Mohammad itu tampaknya cukup bersentuhan dengan masalah cacopolis. Cacopolis ialah kota yang mengerikan dan kacau balau; diceritakan
dengan sangat rinci: udara yang panas berdebu, suara yang bising memekakkan
telinga, lalu lintas kendaraan yang macat, perumahan yang berlebihan
kepadatannya, listrik padam, jaringan jalan semrawut bagaikan bakmi, sampah
menggunung, selokan tersumbat, air minum tercemar, dan lain-lain.
Daftarnya sangat
panjang tanpa ada akhirnya. Dan, itu diceritakan Prof. Kevin Lynch dari hasil
penelitian terhadap anak muda-anak muda di Cambridge, Massachusetts, S mengenai
gambaran kota atau dunia ideal yang didambakan.
Lalu, sekelompok
tim perancang yang menamakan dirinya super
audio, bahkan nekad melukiskan secara visual fantasinya tentang cacopolis di masa depan, dalam bentuk
kota yang geometrik kaku, terkotak-kotak, tak ada peluang komunikasi sosial,
tumbuh tanpa batas, dan setiap kegiatan manusia diatur secara eksternal di luar
dirinya. Bangunan-bangunan kuno yang diakrabi penduduk, terkikis habis.
Sentuhan estetis dikerdillkan oleh perhitungan ekonomi dan bisnis. Manusianya kepaten obor, kehilangan lacak dan
orientasi, bagaikan orang hilang ingatan.
Cacopolis? Alahmak! Lalu, bagaimana?
Kota dan daerah
pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya, diistilahkan oleh I. Rapoport
dengan “cultural landscape”, dengan
beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena
itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok
masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan
simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota maupun daerah.
Yang paling rumit dan kompleks adalah perkotaan. Nah!
Kevin Lynch, dia
lagi, dalam tulisannya tentang “The City
as Environment” berceloteh bahwa penampilan dan wajah kota bagaikan mimpi
buruk: tunggal rupa, serba sama, tidak berwajah, lepas dari alam, dan sering
tidak terkendali, tidak manusiawi. Air dan udara kotor, jalan-jalan sangat
berbahaya dipadati kendaraan, papan reklame mengganggu pandangan, pengeras
suara memekakkan telinga.
Jurang
kaya-miskin menganga mencolok mata, komunitas yang guyub (batin) pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan (kepentingan) yang dilandasi
penalaran kalkulatif (Weber) dan kepekaan moral yang disepakati bersama makin
meluntur (Durkheim).
Dalam setiap kota
yang merupakan ‘melting pot’ selalu
terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan pada skala
kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi.
Kalau begitu,
masihkah kita percaya dengan penguasa untuk mengelola kota ini dengan baik,
sementara “//Rakyat kehilangan cintanya,
kepadamu/semua kita sudah berdosa/akhirnya aku lari tunggang-langgang///”.
(Sudah
Kegembok Suaramu, NA Hadian, bait 3).
Menghadapi negeri
yang berulang tahun bulan depan, memang seharusnya kita segera mengoreksi diri.
Jangan seperti penguasa kita yang berebut minta gaji besar di tengah
keterpurukan bangsa. Penyair Hadian, mengibaratkan hal itu laksana semut :
Seekor semut melenggang
di rumput hijau
mencari telur ulat
yang berserak
dalam lembar daun
(Sajak
Putih, bait 1).
Ya, seekor semut/mencari telur ulat/dalam lembar
daun. Lembar daun. Begitu halusnya Hadian menyindir perilaku politikus dan
pejabat kita pada umumnya. Padahal “//Dunai protes/kalian tidak adil/tanpa
berjuang terima gaji/mau bintang kehormatan//” (bait 2). Siapa yang paling
berjasa di negeri ini? “//Sedang matahari
dan bulan/paling berjasa/selalu terima angka nol/dari semua makhluk bumi///” (bait
3).
Hiruk pikuk kota.
Polusi kendaraan. Bersatu padu dalam jantung kepalsuan. Kalau begitu, ‘../mari kita tidur saja, wahai/wakil rakyat
tidur saja///” (Kita Sudah Kesasar, Hadian).
Barangkali inilah
yang harus kita katakan. Sebab, sudah
kegembok suaramu. *** (Suyadi San)
sumber : Harian Mimbar Umum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar