Translate

Minggu, 14 Agustus 2011

INTI SARI TESISKU

Nama Peneliti : Suyadi San, S.Pd., M.Si.

PEKERJAAN :

Staf Teknis Balai Bahasa Medan Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia

Tenaga Pengajar SMK Negeri 1 Percut Sei Tuan, Deliserdang

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (PBSI FKIP) Universitas Islam Sumatera Utara

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (PBSI FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

JUDUL PENELITIAN

”Peran Orang Jawa dan Cina dalam Keruangan Kota Medan : Sebuah Studi Antropologi dalam Pengembangan dan Penataan Kota Medan”

untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Antropologi Sosial pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan Tahun 2007

TAHUN PENELITIAN : 2005-2007

Resume:

Studi tentang etnisitas di dalam masyarakat perkotaan, sering memusatkan perhatian pada ketegangan dan kesamaan antara dua prinsip organisasi. Di satu pihak terdapat kelompok-kelompok yang bersifat kebudayaan, sejarah, dan geografis yang anggota-anggotanya menganggap diri mereka (dan dipandang oleh orang lain) sebagai satu jenis, tak soal apapun peranan yang mereka mainkan dalam masyarakat perkotaan. Di lain pihak, ada pula perbedaan fungsional di dalam sistem itu sendiri, dengan distribusi tugas dan sumber-sumber serta dengan sistem penempatan tertentu, yang akan menentukan interes kepada kecenderungan tertentu.

Kota Medan terdiri dari masyarakat majemuk. Ciri utama dari masyarakat majemuk, menurut Furnivall (1980)[1], adalah orang hidup berdampingan secara pisik, tetapi, karena perbedaan sosial mereka terpisah dan tidak tergabung dalam satu unit politik. Furnivall menekankan sebab utama kemajemukan itu, yaitu ekonomi dan kepentingan sekitar usaha monopoli sumber-sumber ekonomi tersebut bagi kelompok tertentu. Sejalan dengan Furnivall, maka dalam penelitian ini, orang Jawa dan Cina yang tinggal di Kota Medan sesungguhnya hidup berdampingan secara fisik, apalagi sama-sama menjadi warga pendatang. Namun, toh, mereka harus terpisah dan tidak tergabung dalam satu unit politik.

Menurut Hanners (op.cit), dalam masyarakat perkotaan kita dapat membedakan dua jenis kelompok yang terlibat dalam perjuangan memperebutkan sumber. Pertama, ialah kelompok etnis yang tidak secara tegas dibatasi oleh suatu posisi dalam struktur masyarakat perkotaan tetapi oleh tempat pemukiman. Sedangkan alokasi sumber dalam tempat pemukiman itu tidak menjadi persoalan. Kelompok ini didominasi etnis Jawa. Orang Jawa tidak pernah mempersoalkan adanya perbedaan pelayanan bidang usaha oleh pejabat setempat. Meskipun mereka berada di kawasan pinggiran dan menjadi ’penonton’ di tengah kemegahan wajah kota, hingga kini orang Jawa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Sikap budaya Jawa seperti mikul ngisor mendem njero menjadi senjata ampuh bagi pemerintah untuk meneruskan program-program pembangunan.

Kelompok lainnya adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang pada suatu daerah pemukiman yang membatasi diri menurut daerahnya dan juga menginginkan jumlah sumber sebesar mungkin di kalangan mereka. Kelompok ini sangat identik dengan kultur Cina, khususnya di Medan. Banyak orang Cina membatasi dirinya pada kawasan tertentu. Bahkan, mereka seolah-olah membuat perkampungan tertutup yang akrab disebut Pecinan. Beberapa lokasi di Medan, seperti Kompleks Asia Mega Mas dan Rumah Susun Sukaramai maupun di kawasan Jalan Metal Tanjungmulia, mereka membuat segregasi tersendiri. Ini, belum lagi dengan banyaknya yang tinggal di kawasan rumah toko.

Mengutip pendapat Furnivall dan Hanners itu, maka dalam konteks penelitian ini, pertarungan kepentingan antara kelompok etnis Jawa dan Cina sesungguhnya sangat kentara dalam kaitan penataan keruangan kota[2] di Medan. Hubungan laten antara etnik asli Indonesia dengan etnik Cina seperti ‘api dalam sekam”. Kalau dalam pada 1970-an terjadi huru-hara anti Cina di beberapa kota besar di Jawa, maka pada April 1994 dan Mei 1998 berlangsung aksi anti Cina di Medan. Persaingan dan pertikaian demikian, ternyata tidak hanya berlangsung pada tataran batin atau dunia simbolik, tetapi juga mengemuka pada tataran prilaku. Sebab, ada cukup laporan bahwa pada kerusuhan sekitar reformasi 1998-pun ditengarai memuat kecenderungan untuk memusuhi etnik Cina.

Namun, para narasumber yang penulis wawancarai membantah konflik yang pernah terjadi di Medan adalah lantaran masalah perebutan ruang publik di kota Medan, melainkan kesenjangan sosial. Para narasumber berkeyakinan, konflik antara orang Jawa dan Cina sebagai akibat keruangan kota yang ada di kota Medan, dalam sejarah, sampai hari ini tidak terjadi. Konflik antaretnik di kota Medan tidak terjadi karena jumlah penduduk Cina dianggap tidak signifikan. Orang Jawa yang besar jumlah penduduknya lebih signifikan dari yang lain tidak menjadi sumber konflik karena memang Jawa tidak punya potensi untuk bikin konflik. Bahkan, orang Jawa di Medan mudah bersosialisasi dengan etnis apa saja.

Hal tersebut ini sejalan dengan dasar moral masyarakat Jawa. Mulder (1981) menyatakan, orang Jawa sadar sekali bahwa mereka merupakan satu masyarakat dan bahwa mereka harus saling menolong. Sering mereka diminta sokongan, untuk kampung, untuk pembangunan, untuk kematian dan seterusnya, dan mereka harus memberi. Sikap tolong-menolong itulah yang membuat orang Jawa disenangi banyak orang, termasuk oleh orang Cina.

Orang Jawa dan Cina sebenarnya memiliki nilai sosial suka tolong-menolong dan punya solidaritas yang tinggi pada sistem kekerabatan. Hanya bedanya, pada kultur Tionghoa penekanan kepentingan keluarga lebih utama daripada individu dan masyarakat[3]. Sedangkan pada kultur Jawa hubungan antarindividu, keluarga, dan masyarakat cukup seimbang. Hal ini tampak pada budaya Jawa yang cenderung conform dengan sesamanya (masyarakat), serta dikembangkan sikap solidaritas di antara para anggota suatu kelompok masyarakatnya.

Mengenai hakikat hidup, orang Jawa dan Cina juga sama-sama menganggap bahwa hidup itu penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan yang harus diterima oleh setiap manusia. Namun kedua-duanya optimis, bahwa kondisi ini dapat diperbaiki dengan cara aberusaha atau berikhtiar, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri. Hal inilah yang kemungkinan tidak menyebabkan adanya konflik keruangan kota di Medan.

Seorang narasumber dari etnik Tionghoa dalam penelitian ini mengatakan, konflik antara etnik Jawa dan Cina akibat keruangan kota Medan tidak pernah terjadi. Kota Medan masih sangat kondusif dari isu-isu konflik. Kita akui, memang kaum pribumi tidak mampu menandingi mereka (orang Cina). Paling-paling ada kecemburuan sosial antara pengusaha-pengusaha menengah ke atas itu dengan tradisional. Kita perkirakan, plaza-plaza memang dapat mematikan pasar-pasar tradisional.

Hal sama dikemukakan narasumber penelitian ini yang merupakan seorang warga Jawa yang bekerja di sekolah pembauran, tepatnya di SMA Swasta Sutomo 1 Medan. Orang Jawa perantauan ini (saat penelitian ini berlangsung) sudah 12 tahun mengajar di sekolah yang mayoritas siswanya orang Cina. Kepada penulis ia menuturkan, selama bekerja di sekolah tersebut, dirinya sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada di lingkungan sekolah ini. Meskipun saat ini ia sudah menjadi pegawai negara di Balai Bahasa Medan Depdiknas (kini Kemdiknas), namun pihak sekolah tidak pernah melarang atau memberhentikannya. Itu, lantaran hubungan emosional dirinya dengan pihak sekolah sudah terjalin. Tidak lain karena berlandaskan kepercayaan (trust).

Masalahnya, mengapa di Medan pernah terjadi konflik anti-Cina? Konflik antara pribumi – termasuk orang Jawa – dengan orang Cina ternyata merupakan warisan budaya politik adu-domba kolonial Belanda. Sebelum kedatangan kaum kolonialis dari Eropa, hubungan orang Tionghoa dengan orang Pribumi di wilayah Indonesia tidak menunjukkan persoalan ras. Ini diperkuat dengan peran kerja sama antara orang Cina dan Jawa dalam pengembangan syiar keagamaan.

Banyak bukti bahwa miniatur dan motif sejumlah masjid di kalangan kaum Muslim Jawa berarsitektur Cina. Bahkan di Medan, tokoh Cina Tjong A Fie berkontribusi besar dalam pendirian Masjid Raya Al Mansum dan Masjid Raya di Medan Labuhan serta Tjong Jong Hian terhadap Masjid Bengkok di Jalan Hindu.

Kemudian datang zaman kolonial. Untuk keperluan berkuasa, penguasa Belanda berpolitik adu-domba. Selama beberapa abad tertanam sikap anti-Cina. Sedari gerakan kemerdekaan, seharusnya sikap anti-Cina sudah dapat berangsur-angsur dihilangkan. Ini gagal disebabkan pimpinan politik pihak Pribumi maupun minoritas Cina ternyata dalam hal ini kurang tepat garisnya, ditambah adanya campur tangan Amerika Serikat dan Inggris melalui dinas rahasianya masing-masing, CIA dan MI6. Campur tangan berupa bantuan dan dorongan untuk mengobarkan perasaan anti-Cina semula dilakukan untuk membendung pengaruh komunis RRT.

Hasutan terhadap orang Cina, juga dilakukan di Negara-negara Asean lain, namun hasilnya tak sebesar di Indonesia. Di negara-negara Asean selain Indonesia, kedudukan orang Cina di dalam pemerintahan tidak menjadi masalah. Di Myanmar (Burma) tokoh di belakang layar Jenderal Ne Win keturunan Tionghoa. Demikian pula di Thailand pernah memiliki perdana menteri Chuan Leekpai, di Pilipina bekas presiden Corazon Aquino dan 3 atau 4 menteri di Malaysia yang berketurunan Tionghoa.

Secara substantif, kajian terhadap masalah etnisitas memang memberikan perhatian lebih besar terhadap bentuk interaksi konflik dan dalam konteks perkotaan. Begitu besar perhatian diberikan pada potensi konflik antaretnik di perkotaan, seakan-akan hanya interaksi bersifat konflik sosial yang terjadi dan hanya berlangsung di perkotaan. Padahal, pengamatan awal penelitian ini, juga menemukan gejala interaksi kerjasama antara etnik Cina dengan Jawa di kota Medan. Bentuk kerja sama itu antara lain berupa pemilikan tanah atas nama orang pribumi, penyewaan tanah yang dikelola oleh warga setempat, serta dalam dunia usaha itu sendiri.

Berdasarkan pertimbangan atas pemaparan di atas, kajian berperspektif mikrointerpretatif terhadap persoalan etnisitas, dimana kehadiran etnis Cina dan kerjasamanya dengan masyarakat perkotaan yang mayoritas etnis Jawa, khususnya dalam masalah keruangan kota, berikut didapat temuan dari hasil penelitian tentang pola kerjasama keduanya, di Kota Medan.

Orang Cina yang datang ke Tanah Deli adalah kelompok terakhir dalam gelombang migrasi dari Tiongkok. Mereka memindahkan seluruh kebudayaan mereka di tempat baru. Mereka inilah yang menjadi generasi Cina totok, dimana salah satu sifatnya memandang rendah bangsa-bangsa pribumi yang disebut sebagai Ho-ana. Sementara orang Cina yang sudah tinggal lebih dari dua generasi – disebut Cina peranakan, termasuk narasumber yang berhasil penulis wawancarai – justru lebih sulit bersosialisasi dengan sesama Cina. Apalagi, ketika ayahnya memeluk agama Islam dan meninggalkan sebagian besar budaya Cina, ia lebih sering bersosialisasi dengan orang pribumi, terutama orang Jawa.

Berdasarkan keterangan narasumber pula, persaingan antara Cina dan pribumi, bermula dari adanya diskriminasi dalam struktur sosial, ekonomi dan budaya kolonial yang pernah berlaku di Hindia Belanda. Pembedaan itu pada akhirnya menjadi dasar menguatnya kecurigaan dan prasangka yang merugikan kedua belah pihak. Tidak hanya di masa lalu, di masa kini pun kerugian-kerugian akibat kecurigaan dan prasangka itu akan terus membayangi.

Hal ini makin diperparah dengan perilaku aparat atau oknum pejabat yang lebih memberikan kemudahan kepada orang Cina untuk menanam investasi di kota Medan. Warisan budaya kolonial yang dipraktikan sejumlah pejabat mengakibatkan orang Cina selalu dimenangkan dalam perebutan lahan publik. Tak ayal, kecemburuan sosial pun kerap terjadi. Konflik pada awal era reformasi membuktikan, amuk massa dan penjarahan tidak hanya terjadi pada orang Cina, melainkan juga pada mobil-mobil mewah plat merah atau milik negara.

Kejadian yang melibatkan Cina dan pribumi dalam satu gelanggang, terlihat jelas pada masa revolusi. Ketika orang-orang Cina yang tidak tahu harus bersikap bagaimana, harus langsung berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang bangkit karena momen untuk itu memang tepat. Di kancah revolusi di Sumatera Timur, orang Cina Medan merasa menjadi korban, meski sesungguhnya mereka menyandang dua gelar sekaligus: korban dan pelaku.

Namun, kita punya keberuntungan karena etnis yang terbesar di Medan adalah Jawa, sehingga dia (Jawa) mampu menjadi perekat antara multietnis yang ada di kota Medan ini. Kalaupun ada konflik, misalnya seperti peristiwa Mei 1998, bukan karena persoalan etnis. Itu, karena persoalan kesenjangan ekonomi yang pada gilirannya melahirkan kecemburuan sosial.

Kalau kemudian etnis Tionghoa pada waktu itu yang digambarkan menjadi ’korban’, namun bukan orang Tionghoanya, melainkan bidang usahanya. Karena, bukan rahasia lagi kayaknya semua bidang usaha yang strategis dikuasai etnis Tionghoa. Nah, karena isunya tadi ’kecemburuan sosial’ yang diakibatkan oleh kesenjangana ekonomi, maka kalau bidang usaha yang dipegang etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa, itu menjadi suatu konsekuensi logis meski bukan merupakan suatu pembenaran terhadap kasus yang pernah menimpa warga Cina Medan pada era 1998.

Meski pernah ada konflik bernuansa anti-Cina pada masa-masa lampau, menurut para narasumber dalam penelitian ini, bukan kebencian terhadap etnis Tionghoanya. Buktinya, banyak orang Jawa berbelanja ke etnis Tionghoa. Begitu juga sebaliknya. Orang Cina membeli rujak bikinan orang Jawa ketika orang Cina belum bisa bikin rujak. Begitu orang Cina sudah bisa bikin rujak, orang malah banyak membeli rujak orang Cina. Orang Indonesia buka kedai sampah, etnis lain – termasuk Cina-- berbelanja. Ketika etnis Cina buka kedai sampah juga, etnis lain juga berbelanja di kedai orang Cina. Artinya, secara etnis tidak ada persoalan. Tapi, karena kecemburuan sosial tadi akibat kesenjangan ekonomi, maka sasarannya pasti yang memegang sentra-sentra ekonomi. Itu sesuatu yang logis. Cara mengatasi itu, bagaimana memeratakan kesempatan di bidang ekonomi.

Orang Cina Medan yang merasa kuat dengan dukungan orang Cina lainnya menganggap bahwa adalah keharusan untuk mempersiapkan pertahanan lebih dahulu sebelum menggunakan pertahanan itu. Pemahaman itu membuat orang Cina Medan tergolong agresif dibanding dengan Cina lainnya. Dengan ciri-ciri khusus yang disosialisasikan secara khusus pula. Gambaran tentang Cina Medan mewakili bagaimana kekuatan orang Cina itu sesungguhnya di tengah menempatkan diri dalam persaingan dengan komunitas lainnya.

Dari hasil pembahasan penelitian di atas, dapat ditarik simpulan sementara bahwa orang Jawa dan Cina sangat berperan dalam keruangan kota di Medan. Peran mereka merupakan bawaan dan tradisi sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mereka bawa dari tanah leluhurnya. Partisipasi mereka sangat besar sehingga Medan saat ini terus berkembang meski masih perlu penataan yang lebih baik lagi.

Mengenai masalah keruangan kota Medan sudah sering dibahas di kalangan warga kota. Tidak sedikit yang mengkhawatirkan adanya ketidakseimbangan dalam penataan ruang Carut-marut wajah kota Medan menurut pengamatan penulis, sudah berlangsung sejak era 1990-an ketika pemerintahan setempat mengizinkan pembangunan sebuah plaza di depan Masjid Raya. Kawasan yang masuk Wilayah Pembangunan Kota (WPK) G itu seharusnya diperuntukkan bagi perumahan, pendidikan, dan kebudayaan, karena tidak jauh dari Bandar Udara (Bandara) Polonia dan peninggalan sejarah Istana Maimun beserta Masjid Raya-nya.

Ketidakseimbangan wajah kota Medan makin kentara sejak tahun 2000-an ketika pemerintahan setempat melegalkan terjadinya penumpukan plaza pada satu kawasan, perampasan hak publik di kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka yang diubah menjadi pusat jajanan, pembangunan rumah toko dan rumah mewah pada jalur hijau, penyempitan Sungai Deli meski sungai itu adalah ikon-nya Kota Medan, perampasan trotoar oleh papan reklame-papan reklame, pusat permainan anak-anak Taman Ria dan Medan Fair yang diubah menjadi plaza, kawasan perkantoran berubah menjadi pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Hampir kesemuanya tidak lagi sesuai dengan rencana induk sebagaimana ditetapkan pemerintahan sebelumnya dan belum pernah diganti secara formal.

Semasa Kota Medan dipimpin Walikota Drs. H. Sjoerkani pada 1966 luas kota Medan sangat terbatas, yakni hanya 5.000 hektare sesuai dengan luas kota masa penjajahan Belanda. Tahun 1971-1972 kota Medan diperluas hingga mencapai 26 ribu hektare.

Tugas pemerintah kota saat itu adalah membina masyarakat yang bermacam-macam kepentingan dan menyediakan fasilitas umum seperti air, listrik dan lainnya. Selain itu, melaksanakan pembangunan sesuai dengan master plan yang telah dibuat agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya di lapangan. Hal itu sangat penting dilaksanakan agar pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pembangunan kota Medan saat ini harus dilaksanakan secara merata agar tidak terjadi penumpukan di satu kawasan (inti kota). Seperti, membangun kawasan-kawasan penyangga, membangun jalan lingkar dalam dan jalan lingkar luar agar kemacatan lalu lintas dapat diminimalkan. Sebab, pertambahan jumlah kendaraan di kota Medan setiap tahun sangat pesat, yakni mencapai 10-20 persen, sedangkan jalan baru yang dibangun boleh dikatakan tidak ada. Peruntukan lahan juga harus jelas. Misalnya, untuk perkantoran pemerintah, bisnis, dan pemukiman. Contohnya Penang, Malaysia, di sana kawasan pantai diperuntukkan khusus bagi sektor pariwisata (perhotelan).

Pada 1973, Sjoerkani membuat master plan dengan konsultan dari ITB. Master plan tersebut berlaku untuk kurun waktu 20 hingga 26 tahun, sesudah itu harus direvisi kembali oleh konsultan city planning. Nyatanya, hingga tahun 2000-an master plan itu belum diubah secara formal meski perubahan fisik wajah kota terus terjadi. Barulah pada tahun 2006 niat merevisi master plan mulai terlihat melalui seminar Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan yang dilaksanakan Bappeda Medan.

Pembangunan kota Medan saat ini kita akui sangat pesat dan keindahan serta kebersihan juga luar biasa. Namun, Pemkot Medan seharusnya membangun tempat-tempat hiburan untuk rakyat, seperti kebun binatang lebih luas dan modern dengan suasana hutan. Fasilitas umum yang dipindah/dibongkar harus terlebih dahulu disediakan penggantinya. Sedangkan air mancur dan taman kota yang dibangun Pemerintah Kota Medan merupakan suatu keindahan sebuah kota. Namun ia mengkritik, pembangunan pusat perbelanjaan (plaza) di Kota Medan terlalu terpusat di inti kota. Radiusnya pun terlalu berdekatan, sehingga menimbulkan kemacatan di mana-mana. Hal ini terjadi karena antara satu plaza dengan plaza lain jaraknya tak sampai 1 kilometer.



[1] Furnivall, J.S. Plural Societies, dalam Evers, Hans Dieter (ed), Reading in Social Change and Development.Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1980 (Pelly, 1987 : 22-23)

[2] Keruangan kota, menurut Koestoer (2001: 2), merupakan hasil karya dan upaya manusia yang memberi ‘warna’ dan karakteristik keruangan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya terhadap kota yang bersangkutan.

[3] P. Hariyono (1994: 43) mengemukakan, perbedaan ini tampak pada ajaran Konfusius yang banyak berbicara tentang keluarga, serta pernyataan bahwa tiga di antara lima hubungan manusia, merupakan hubungan keluarga. Bahkan negeri Cina sendiri sering dijuluki sebagai negeri keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar