Translate

Sabtu, 13 Agustus 2011

MEDAN DALAM IMAJINASI SASTRAWAN

Oleh Suyadi San, S.Pd., M.Si.

S

ejak Provinsi Sumatera Utara berdiri, Medan ditetapkan sebagai pusat pemerintahan ibu kota provinsi. Sebagai ibu kota provinsi terbesar setelah Jakarta dan Surabaya, Medan menjadi kota terpenting bagi Indonesia di pintu gerbang bagian Barat. Medan di samping sebagai bagian dari imej kota yang padat (high population density), namun publik sering kali memberikan cap kepada Medan sebagai “kota preman”. Istilah orang awam terhadap kota Medan: “Ini Medan, Bung”, tidak saja mengandung pencitraan (stereotip) yang positif (berani, khas atau unik), tetapi juga berkesan negatif seperti “sangar dan keras”[1].

Kota-kota di Indonesia, termasuk Medan, dibentuk berdasarkan kerjasama, toleransi, dan kesepakatan[2]. Konflik justru muncul manakala pemukiman kumuh atau sektor informal kota tumbuh secara gradual kemudian digusur dan digantikan pemukiman yang terencana. Di balik keburukan proses pertumbuhan gradual berdasarkan kerja sama, toleransi, dan kesepakatan dari kota-kota semacam Medan, proses pertumbuhan itu – dengan budaya feodalisme yang sejak lama berkembang – akan sangat mungkin dimanipulasi oleh kalangan elite atau pemerintahan. Sehingga, wajah keruangan kota serta strukturnya merupakan hasil dari proses kerja sama, toleransi, dan kesepakatan yang diturunkan dari atas (top-down), dan dengan demikian mengeliminasi partisipasi serta kepentingan rakyat.

Pelly (ibid) dalam penelitiannya mengenai masyarakat Minangkabau dan Mandailing di Kota Medan membuat suatu peta pemukiman etnik Medan pada tahun 1909 sebagai pusat kota. Tidak hanya pemukiman asli dan pendatang dari dalam negeri (Jawa, Minang, Aceh, Bugis, Banjar), tetapi juga pemukiman orang-orang pendatang dari luar negeri (Eropa, Cina, India, dan Arab). Mengutip berbagai literatur, Pelly memaparkan segregasi lahan pemukiman etnik di Medan. Di antaranya, dalam wilayah orang Eropa terletak berbagai kantor pemerintah, kantor perkebunan, dan perumahan bangsa Eropa. Pemukiman India berbatasan dengan pemukiman orang Eropa. Sementara dekat pasar lama, terdapat toko-toko Cina dan Arab serta perumahan mereka. Sedangkan kaum pribumi Indonesia, misalnya Melayu, Mandailing, dan Minangkabau, berada di sekitar pinggiran kota.

Pemisahan lokasi-lokasi etnik itu, menurut Pelly, diperkuat oleh peraturan-peraturan dan oleh pembagian-pembagian kehidupan politis dan ekonomik. Sehingga, orang yang tinggal di dalam kota dianggap “rakyat gobernemen” dan orang yang tinggal di luar kota adalah “rakyat Sultan” (dianggap berada di bawah kekuasaan keadilan Sultan dengan segala hukum kerajaan yang tertulis.[3] Hanya saja, semua kuli kontrak (Cina, Jawa, Sunda, dan Banjar) di perkebunan-perkebunan dan mereka yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan Belanda dan Eropa, walau tinggal di wilayah Sultan secara administratif bukanlah rakyat Sultan (Bool, 1904 : 35 dan Sinar, 1976 : 9 via Pelly, ibid).

Menjelang 1930, Medan berkembang menjadi suatu kota modern baru. Sebuah elite yang berakar pada perkebunan-perkebunan telah menggantikan elite-elite kebangsawanan pedesaan prakolonial yang “feodalistik” (Langenberg, 1982 : 4, ibid). Dari sini, kota Medan terlapis dalam tiga kelompok sosial yang berbeda: 1) para tuan kebun, pengusaha, dan pegawai pemerintah berbangsa Belanda dan bangsa Eropa lain; 2) bangsawan-bangsawan Melayu, pengusaha Cina, dan orang-orang profesional Indonesia berpendidikan Barat (terutama pegawai negeri senior); dan 3) orang-orang Melayu, Cina, dan Indonesia kebanyakan serta para perantau dari berbagai kelompok etnik, termasuk Jawa, Mandailing, dan Minang (ibid).

Penjajah Belanda mempertahankan pemisahan sosial ini secara resmi dengan mengeluarkan peraturan diskriminatif; memisahkan wilayah-wilayah pemukiman tertentu dan memberikan perlakuan khusus, misalnya penjagaan keamanan khusus dan akses yang diskriminatif terhadap fasilitas-fasilitas rekreasi orang-orang Eropa dan Cina kaya. Pemukiman Cina, Arab, dan India di pusat kota diberi pengamanan oleh polisi Belanda. Selain itu, komunitas Cina dikepalai seorang “mayor” Cina dan komunitas-komunitas Arab serta India dikepalai seorang “kapten” India dan Arab. “Mayor” dan “kapten” ini dianggap sebagai wakil-wakil politis masing-masing komunitas (op.cit).

Dari ilustrasi di atas, segregasi penguasaan lahan menjadi sangat penting untuk menentukan kehidupan kota. Pemisahan lokasi peninggalan Belanda yang sepertinya masih “terpelihara” hingga pemerintahan sekarang, berakibat adanya penumpukan suatu komunitas di inti kota dan peminggiran wilayah komunitas lain. Hal ini dapat terlihat dari lokasi pemukiman kaum migran yang berasal dari etnis Jawa dan Cina pada beberapa kecamatan di Medan. Meskipun kedua etnis ini pada umumnya merupakan warga pendatang, namun memiliki tipikal yang berbeda. Orang Jawa meski mendominasi persebaran penduduk hampir di semua kecamatan, tetap menempati kelas rendahan (menengah ke bawah) dibandingkan masyarakat turunan Tionghoa yang menempati kelas menengah ke atas.

Menurut pengamatan penulis, sebagian besar masyarakat Jawa tinggal di kawasan padat dan kumuh di pinggiran kota serta banyak memilih usaha sebagai buruh, pertukangan, pedagang kecil, pembantu rumah tangga, dan pegawai rendahan. Ini berbanding terbalik dari kelompok minoritas Cina yang mampu menguasai kota dan mengembangkan pusat-pusat bisnis serta menguasai lahan berlebih di inti kota.

Namun, dari segi realitas politik, sosial, dan budaya, kaum migran Jawa dan Cina ini sesungguhnya mendapatkan perlakuan yang sama dari kelompok elite yang ada di pemerintahan. Orang Jawa, meskipun merupakan penduduk mayoritas, namun jarang mendapatkan posisi-posisi penting dan strategis di tubuh pemerintahan, dari mulai jabatan di Kelurahan, Kecamatan hingga di Pemerintah Kota. Orang Cina lebih parah lagi. Meski mereka mendominasi lahan bisnis dan pemukiman yang memiliki lahan berlebih, namun sering kali mendapatkan diskriminasi pelayanan dibandingkan penduduk pribumi.

Begitupun, dibandingkan masyarakat Jawa, masyarakat Cina tetap mendapat perlakuan istimewa pejabat elite pemerintahan. Dari data yang ada di Dinas Pertamanan Kota Medan tahun 1999[4], misalnya, tercatat jumlah ruang terbuka untuk publik hanya 228,03 hektar atau hanya sekitar 0,86 persen dari luas total kota Medan yang berjumlah 26.510 hektar. Ruang publik itu dikalahkan oleh kepentingan bisnis dan permukiman eksklusif yang didominasi masyarakat Cina. Bahkan, ruang publik tersisa itu banyak dikuasai pengusaha etnis Cina beserta pejabat di pemerintahan.

Bagaimana pula dengan peran pemerintah terhadap warganya – termasuk orang Jawa dan Cina – dalam menjalankan struktur pembangunan sesuai keruangan kota yang ada? Sebab, suatu proses pembangunan tidak akan berhasil jika peran serta masyarakat terabaikan. Hal itu tampaknya disadari kalangan pengambil kebijakan di tubuh pemerintahan Kota Medan. Terbukti, pada tahun 2006 Pemerintah Kota Medan menyelenggarakan Seminar Rencana Tata Ruang Kota[5] di Hotel Best Western Asean Medan. Seminar tersebut dimaksudkan untuk menyerap aspirasi segenap lapisan masyarakat mengenai Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan.

Observasi yang penulis lakukan pada peristiwa politik ini untuk mengetahui sejauh mana potensi masyarakat dilibatkan oleh Pemerintah Kota Medan dalam mengambil kebijakan mengenai keruangan kota Medan. Partisipasi publik ini bisa terlihat dari rumusan pokok yang diperoleh seusai seminar. Di antaranya, merupakan keinginan kuat dari masyarakat, agar dalam RUTRK Medan yang baru, Kota Medan direncanakan sebagai kota inti dalam konstelasi kota-kota regional di Sumatera Utara (Mebidang) yang dihubungkan dengan jaringan kereta api dan jaringan jalan tol yang terintegrasi.

Masyarakat kota Medan juga menginginkan agar Kota Medan dikembangkan sebagai Metropolitan yang memiliki beberapa titik pusat kegiatan yang dihubungkan oleh jaringan kereta api komuter. Untuk menciptakan hal tersebut, publik menekankan agar Pemerintah Kota Medan memperhatikan penyediaan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) pada pusat-pusat kegiatan yang dikembangkan dalam tata guna lahan dengan intensitas tinggi. Implikasinya adalah terbangunnya moda sirkulasi utama dalam titik-titik pusat kegiatan dalam bentuk pejalan kaki guna mendorong Medan terminimalkan dari resiko polusi dan hemat energi.

Publik juga menginginkan, agar Pemerintah Kota Medan tetap memperhatikan kondisi lingkungan hidup dalam merencanakan dan melaksanakan Tata Ruang Kota yang baru. Seluruh sempadan pinggir sungai, kanal, dan saluran air merupakan jalur hijau yang dapat dikembangkan sebagai taman. Di sepanjang sisi sungai setelah jalur hijau, direncanakan terdapat jalan inspeksi yang berfungsi sebagai koridor pengarah agar kota menghadap sungai sekaligus menjaga kelestariannya. Untuk menjaga kelestarian tanah dan sumber air itu pula, publik mendesak agar batas-batas kota seyogyanya dijadikan jalur hijau berupa hutan kota ataupun taman publik. Dalam hal ini, RUTR harus menjabarkan visi pembangunan Kota yang telah ditetapkan, termasuk menjadi pembangkitan ekonomi secara lokal, regional dan nasional. Selain itu, RUTR harus atraktif/menarik sehingga menjadi daya tarik penanaman modal dan dalam konsep global/regional, tidak administratif.

Hal penting lain yang ditekankan masyarakat Medan tersebut adalah bahwa Visi Kota harus benar-benar didukung potensi kota untuk menjadikan Kota unggul, RUTR harus benar-benar mempertimbangkan kepentingan komunitas masyarakat menengah ke bawah, termasuk UKM serta mencerminkan perubahan-perubahan fundamental secara struktural. Untuk mencapai sasaran tersebut, publik Medan meminta Pemerintah Kota Medan perlu peningkatan manajemen perkotaan, memperhatikan efisiensi, efektivitas, dan ekonomisasi dalam penyusunan RUTR, dan RUTR harus mempertimbangkan kemampuan ruang dan lingkungan sehingga dapat ditetapkan zoning-zoning yang tepat.

Nah, bagaimana pula Medan di mata sastrawan? Menyimak 15 cerita pendek (cerpen) dari 15 sastrawan Sumatera Utara agaknya ada beberapa hal yang patut menjadi pemikiran kita. Para sastrawan Sumatera Utara ini memotret keadaan kota Medan dalam berbagai imajinasinya. Peristiwa-peristiwa yang dibidik pun tak luput dari perjalanan kota ini menuju metropolitan. Tak ayal, kumpulan cerpen Medan yang diterbitkan Komunitas Seni Medan ini tampaknya menjadi catatan penting bagi orang luar Medan untuk mengenal kota Medan dari dekat. Namun, tentunya, dengan tetap memahami karakteristik orang Medan yang beragam.

Lihat saja, A. Rahim Qahhar dalam cerpen berjudul Traffict Laight, menyindir tentang ketidak-tertiban sebagian besar orang Medan dalam berlalu lintas. Ketidaktertiban itu diperparah dengan semrawutnya sarana dan prasarana jalan. Pengendara Honda tua dan Yamaha pun jadi korban ketidakberesan rambu jalan. Ketika mereka berurusan dengan Polisi, seorang pengendara Vespa dengan santainya berhenti di dekat trafick light dan memperbaiki traffick light yang jadi sengketa dua orang naas itu. Traffick light itu ternyata rusak akibat digilas hujan.

Bersihar Lubis dalam cerpen Bau Tubuhmu Sehabis Hujan malah mengkhayal pada 2099 Medan dipimpin Walikota Patimpus. Kita tahu, Patimpus adalah pendiri Kampung Medan, yang jadi embrio kota Medan. Patimpus pada perayaan hari jadi Kota Medan tahun 2099 berkeliling kota mengenderai bus kota berukuran jumbo. Taman kota yang berjajar asri di sekitar jalanan inti kota menambah pesona mata yang memandang. Tidak dihuni hutan beton dan terkesan semrawut.

Sementara cerpen Kupon Getah yang ditulis Damiri Mahmud mengajak kita kembali ke kota Medan era tempoe doeloe ketika kota ini jadi pusat perkebunan. Melalui cerpen ini, kita diperkenalkan dengan tempat penampungan pemasaran getah terbesar di Medan, yakni Hock Lie. Sesuai namanya, Hock Lie adalah pengusaha turunan Tionghoa yang sempat jadi tambatan hidup para petani getah. Sayangnya, sejak kedatangan Jepang, perusahaan itu gulung tikar menyusul penderitaan orang-orang Medan berkat pendudukan Jepang di Medan. Cerpen berbau sejarah ini mengingatkan kita pada situasi susah era Jepang berkuasa.

Cerpen Hanya Angin yang Terpahat di Rahang Pintu membuat kita terkesima ketika orang Medan menyindir letak geografis kota ini. Hasan Al Banna yang menulis cerpen ini seperti merasa tidak tinggal di Medan. Ia menulis begini : “Mak Odah tinggal di perkampungan nelayan – tak jauh dari Belawan, atau sekitar 28 kilo dari Medan.” (Hal. 51). Ada beberapa kali Hasan berucap seolah-olah Belawan bukan bagian dari Medan. Memang, dalam kenyataan sehari-hari, banyak orang yang tidak sengaja berucap seperti itu. Padahal, orang Marelan tetap merasa dirinya orang Medan. Saya sendiri waktu kecil merasa Pulo Brayan adalah kota. Namun, “Medan masih jauh lagi dari Brayan, harus naik (bus) Budi dulu,” kata ibu saya.

Hal paradoksal terjadi pada cerpen Medan 2250. Hidayat Banjar yang menulis cerpen ini beranggapan bahwa dua setengah abad lagi harga-harga biaya pendidikan Sekolah Dasar mencapai dua juta rupiah, mainan anak-anak seharga 13 juta, celana sekolah 1,6 juta rupiah, cendol seharga 75 ribu per gelas. Namun, Hidayat mungkin khilaf. Ia masih beranggapan, dua setengah abad nanti gaji pegawai rendahan tamatan S1 tidak mampu membayar itu semua. Padahal, tahun ini saja gaji pegawai negeri paling rendah satu juta dan tamatan S1 paling rendah bergaji dua juta rupiah. Seharusnya, dua setengah abad nanti gaji pegawai negeri hampir sekitar setengah miliar. Gaji ratusan juta itu tentunya bisa membeli apa saja. Untungnya, si Bejo yang menjadi tokoh cerpen ini ternyata Cuma berkhayal. Hidayat pun selamat dari kesalah-perkiraan Bejo mengestimasi harga-harga pada dua setengah abad mendatang di Medan.

Idris Pasaribu dalam cerpen Teh Tong sepertinya mengajak kita untuk menikmati minuman khas kota Medan, yakni teh tong. Teh tong ini tampaknya menjadi ikon kota Medan. Suatu saat kita memperkirakan minuman ini masuk ke dalam folklor Medan. Itu, lantaran Marudut yang jadi tokoh cerpen ini mempromosikan minuman tersebut. Dia mengatakan, “…teh tong itu di dunia ini, hanya ada di Medan.” (hal. 89). Kita pun patut berterima kasih pada Idris Pasaribu yang telah mengangkat kekhasan kota Medan ini melalui cerpennya tersebut.

Sebagai kota yang semula ditata oleh pemerintahan Belanda, Medan tentu punya segudang cerita di sela kekuasaan kolonial itu. Nah, dalam cerpen Bendera untuk Van den Brink yang ditulis Khairul Ikhwan Damanik, kita terbawa dalam alam Medan tempoe doeloe saat menjadi Gobernemen. Cerpen bernuansa sejarah ini mengisahkan amanat seseorang bernama Van Den Brink yang tewas usai perang kemerdekaan. Ia mengamanatkan kepada tokoh Eyang – yang menembaknya dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan di kawasan Medan Area – agar menyerahkan bendera merah putih biru kepada keluarga Brink. Eyang pun mewasiatkan itu pada putranya agar menyerahkan kain berupa bendera Belanda itu kepada keluarga Brink. Sayangnya, sang cucu tidak berkeinginan mewasiatkan kepada anak-cucunya. Ia lebih memilih menyerahkan sobekan bendera kecil itu pada Musem Belanda di Leiden. Gaya penulisan reportase ini menjadi ciri khas Khairul dalam cerpen tersebut.

Sementara itu, nasib miris dialami Lena, tokoh dalam cerpen Kukutak-Katik Kotaku karya Muram Batu. Lena yang bersekolah dan bertekad untuk memajukan kotanya harus menerima pengalaman pahit dalam hidupnya. Ia beranggapan, kotanya bakal megah dan bersahabat dengan lingkungannya. Kotanya bakal indah dan mentereng, karenanya patut didukung dan dipromosikan pada siapa saja. Kenyataannya, sampai dia tua, sampai orang tuanya tiada, kotanya tidak juga berubah sesuai yang diinginkannya. Ia bahkan sampai terus sebatang kara tanpa suami. Impian masa mudanya saat berpacaran di taman kota tidak menjadi kenyataan. Sebab, taman itu telah dirampas penguasa kota. Hii!

Membangun tanpa menggusur jarang terjadi di kota besar. Medan yang semakin tambun bertambah tambun dengan persoalan kota. Agaknya hal ini dipotret Nasib TS dalam cerpen Perempuan Perkasa. Wajah Medan memang terlihat karut-marut. Kesemrawutan selain dalam berlalu lintas, juga terjadi di jalan raya dan pinggiran jalan. Di pinggiran jalan itu, sering kita dapati pedagang sektor informal yang menghuni kota. Tidak hanya itu, para pedagang nekad berdagang pada banyak badan jalan. Mereka seolah mengejek kewibawaan penguasa kota. Kota yang berwibawa adalah kota yang bisa menertibkan kesemrawutan. Tak ayal, penggusuran biasanya terpaksa dilakukan pemerintah kota untuk memperindah wajah kota. Situasi itulah yang dibidik Nasib. Termasuk, pada Rumintang, perempuan yang menentang penggusuran, yang memiliki anak seorang pejabat yang tinggal di Jakarta. Anaknya pun terperangah ketika mudik ke Medan mendapati ibunya berdemo akibat digusur.

Masalah air bersih juga menjadi fenomena sebuah kota. Cerpen Air-nya Rina Mahfuzah Nasution mengajari kita supaya peduli terhadap air bersih. Nilai keperempuanan Rina mengemuka ketika tokoh dalam cerpen ini kesulitan memasak karena air PAM mampat, padahal air di sungai tak habis-habis. Ia pun bisa membayangkan bagaimana keadaan di rumah almarhum Haji Rangkuti yang meninggal saat air PAM macat.

Nasib tragis dialami lelaki renta berprofesi tukang beca. Beca dayung sampai kini memang kendaraan khas kota Medan. Meski sudah renta, sang tokoh tidak pernah jera untuk menarik pedal kehidupannya di atas beca. Ia masih sigap mendayung. Meski sang istri kerap mengingatkan agar ia menjual becanya dan beralih profesi, sang suami malah bangga pernah beberapa kali membantu orang kesusahan dengan becanya. Bahkan, dia harus rela membantu sekelompok anak muda revolusioner yang berunjuk rasa melawan ketidakadilan di tengah kota. Dia bangga membawa anak muda pejuang tersebut. Saking bangganya, ia menolak diberi ongkos beca. Namun, pada akhirnya dia merasa bersalah ketika penumpang yang dibawanya tewas di tempat saat becanya diserempet mobil di jalan raya. Itu tergambar dalam cerpen Bayang Hitam karangan Sulaiman Sambas.

Cerpen Belati Ompu Monang karya T. Agus Khaidir sangat mirip dengan kisah keris Ken Arok. Ken Arok dapat bertahta menjadi raja dengan keris itu. Sayangnya, keris itu pula yang turun-temurun menjadi penyebab kematian keturunan raja Singasari dan Kediri. Hal sama dialami keluarga Ompu Monang. Belati miliknya menjadi petaka bagi penerus klan-nya. Ada yang tewas karena kebaikan, tapi lebih banyak meninggal karena menyalahgunakan belati tersebut. Terakhir meninggal adalah Koh Abun. Polisi mendapati Koh Abun tewas dengan belati Ompu Monang. Padahal belati itu baru dipinjam Bang Kecik, preman kampung, dari cicit Ompu Monang. Nah, sang cicit inilah yang harus menerima resiko dari belati tersebut.

Nasib perempuan malang dialami Mar dalam cerpen Mar karangan Teja Purnama. Janda pedagang kecil ini tidak rela gerobak dagangannya diangkut paksa petugas pamongpraja. Mar mungkin bagian dari kaum lemah lainnya di kota Medan yang tidak berdaya menghadapi gempuran kehidupan. Sejak ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, Mar memilih jadi pedagang warung kopi di pinggiran kota. Dia merasa, ijazah SMP-nya tidak sanggup untuk bekerja lebih baik. Karena itu, dia berharap, anaknya, Fatimah, harus bekerja lebih layak sehingga harus disekolahkan tamat SLTA. Sayang, ketika tiga bulan Fatimah belum membayar uang sekolah, seketika itu dagangan Mar diangkut paksa pamongpraja. Mar pun tidak dapat membayangkan bagaimana melunasi uang sekolah anaknya yang mengatakan sedang mengikuti les komputer di rumah temannya. Kenyataannya, Fatimah bergayut manja di leher seorang lelaki separuh baya. Begitukah nasib tragis sebagian warga kota kita?

Keadaan taman kota sepintas dibidik YS. Rat dalam cerpen Taman Kota, Rembulan dan Mentari. Rat beranggapan, taman kota yang terang benderang pada malam hari sangat berguna bagi kaum remaja memadu janji. Tidak hanya itu, taman kota juga menjadi tempat tinggal sementara kaum gelandangan dan pengemis. Dari taman itu pula, sepasang gelandangan, Rembulan dan Mentari, “berterima kasih” pada polisi pamongpraja yang menikahkan mereka secara massal.

Cerpen terakhir, Jangan Panggil Aku Katua karangan Yulhasni, memperlihatkan stereotip Medan kota yang sangar; kota preman. Entah mengapa, sebutan ketua atau katua di kota ini jadi panggilan akrab di pasaran. Sapaan ini dikenal akrab di telinga politikus di gedung parlemen, di kalangan wartawan, OKP, dan sejumlah pebisnis lainnya. Pameo “Ini Medan Bung” tampaknya terpatri dalam cerpen ini. Lihat saja, gubernur, panglima, dan walikota serta agen federal (federal ?) harus tunduk dan patuh pada Katua. Sampai-sampai, mereka tidak tahu materi undangan yang diberikan sang Katua. Padahal, sang Katua hanya ingin memproklamasikan agar dirinya tidak lagi dipanggil Katua karena hal itu mewarisi sejarah yang salah. Sebab, imej negatif sebutan Katua selama ini seolah-olah jadi penentu kebijakan bagi setiap pejabat, pengusaha, dan lainnya di kota ini. Sebab itu, imej tersebut harus diluruskan dan dihentikan. Ya, itulah khayalan Yulhasni dalam cerpen yang mengambil latar Kota Medan tahun 2350 Masehi. Kesadaran psikologis dan sosiologis dari raja preman Medan diprediksi Yulhasni baru muncul ratusan tahun nanti. Ratusan tahun nanti pula wajah kota dihuni jalan kereta api yang membelah kawasan Sekip dan Jalan Gatot Subroto serta masuk ke terowongan di bundaran Petisah.

Begitulah, 15 sastrawan Sumatera Utara memotret kota Medan dalam beragam versi. Penggusuran, ruang publik, taman kota, tata ruang, hingga penderitaan kaum miskin kota menjadi tema besar cerpen yang terdapat dalam buku Kumpulan Cerpen Medan. Buku ini setidaknya menjadi bahan masukan bagi penguasa untuk meneruskan pengelolaan kota yang baik dan ramah lingkungan. Melalui buku ini pula, pembaca dapat terhibur dari berbagai versi sisi kehidupan di kota Medan serta bermanfaat untuk mengetahui kota ini dari dekat. ***

Medan, 4 Desember 2009.-

SUYADI SAN lahir di Medan 29 September 1970. Dunia tulis-menulis digeluti sejak mengasuh majalah dinding sekolah, lalu mengirim tulisan berupa berita, reportase, cerita pendek, esai, dan sajak ke SKM Demi Masa, Harian Mimbar Umum, Analisa, Waspada, Bukit Barisan, Garuda, Medan Pos, Portibi, Andalas, Republika, Seputar Indonesia, SKM Taruna Baru, SKM Bintang Sport dan Film, SKM Swadesi, serta Majalah Sastra Horison dan Majalah Gong.

Sejumlah karya puisi, cerpen, esai, dan naskah dramanya serta menjadi editor di dalam buku-buku antologi : Puisi Koran Sabtu Pagi (SSI, 1993), Bumi (SSI, 1994), Dalam Kecamuk Hujan (KSK, 1997), Jejak (DKSU, 1998), Indonesia Berbisik (DKSU, 1999), Tengok (Arsas, 2000), Muara Tiga (Dialog Utara IX Medan, 2000), Sankalakiri (Dialog Utara X Thailand Selatan, 2003), Amuk Gelombang (Star Indonesia Production, 2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Medan, 2005), Jelajah : Kumpulan Puisi Ekologis (Valentino Group, 2006), Potret Sastrawan Sumatera Utara (Balai Bahasa Medan, 2006), Fungsi Tekstual dalam Wacana : Panduan menulis Rema dan Tema karya Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. (Balai Bahasa Medan, 2007), Medansastra (Dewan Kesenian Sumatera Utara, 2007), Urban Enam Penyair (Laboratorium Sastra, 2009), Tanah Pilih (Pemprov Jambi, 2008), Prosiding : Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik Utara ke-6 (Balai Bahasa Medan, 2009).

Sedangkan buku tunggalnya adalah Sajak Burung Luka (kc, manuscrip, 1991), Yang Tersobek (kc, manuscrip, 1993), Kado Ulang Tahun 19 (kp, manuscrip, 1994), Telaah Drama : Konsep Teori dan Kajian (bt, GENERASI dan Mimbar Umum, 2004), Stilistika : Sebuah Pengenalan Awal (bt, GENERASI, 2005), Menguak Tabir Bahasa Jurnalistik (bt, Balai Bahasa Medan dan GENERASI, 2006), Kejurnalistikan : Mengenal Seluk Beluk Jurnalistik (bt, GENERASI, 2008).

Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Medan dan Magister Sains Antropologi Sosial pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan. Tesisnya berjudul “Peran Oang Jawa dan Cina dalam Keruangan Kota : Sebuah Studi Antropologis dan Sosiologis mengenai Penataan dan Pengembangan Kota Medan”. Tahun 1995 mendirikan Teater GENERASI di Medan. Mengikuti berbagai kegiatan sastra dan teater di Cibubur, Padang, Kayutanam, Bandaaceh, Jakarta, Denpasar, Palembang, Jambi, Pulau Pinang, Kuala Lumpur, Negeri Sembilan, Bandung, Pekanbaru, Bandarlampung, Tanjungpinang, Surabaya, Malang. Namanya juga tercantum dalam Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000).

Pernah menjadi Redaktur Budaya Harian Mimbar Umum, kini staf teknis Balai Bahasa Medan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia sembari melatih dan mengajar sastra, teater, dan jurnalistik di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sumatera Utara dan SMK Negeri 1 Percut Sei Tuan Deliserdang.

Telepon : 08126520983

Pos elektronik : suyadisan@yahoo.com

Rekening Bank : a.n. SUYADI, S.Pd., M.Si.

BRI Unit Simpang Limun Medan

No. Rek. 5327-01-011995-53-0



[1] Stereotip, menurut Walter Lippmann sebagaimana dikutip Suwarsih Warnaen (2002 : 117) menyebutkan, adalah gambar di kepala yang merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang sebenarnya. Karenanya, menurut asumsi penulis, stereotip tersebut bukan merupakan citra objektif, meskipun tidak bisa dikatakan pencitraan seperti ini tanpa suatu dasar argumentasi faktual sama sekali. Citra objektif, selain sulit didapatkan, juga membutuhkan suatu pengumpulan fakta-fakta yang kurang komprehensif serta kajian yang multidisipliner.

[2] Pada tahap-tahap awal pertumbuhan kota, setidaknya kesepakatan mengenai keruangan dan struktur kota, dapat mencerminkan kepentingan berbagai pihak dan mengurangi konflik vertikal (pemerintah dengan masyarakat) maupun konflik horisontal (antarmasyarakat) menjadi sekecil mungkin. Berkaitan aspek ekonomi, sosial, dan politik, kajian Bank Dunia mencatat munculnya konflik-konflik yang menimbulkan kekerasan akibat perbedaan kepentingan ketiga aspek tadi (kerja sama, toleransi, kesepakatan), dengan ciri yang agak berbeda-beda pada masing-masing kota.

[3] Kasus-kasus perdata dan pidana rakyat Sultan, misalnya, diadili oleh pengadilan Sultan (Kerapatan), sementara rakyat Gobernemen diadili oleh pengadilan pemerintah (Landraad). Orang-orang yang tinggal dalam kota harus membayar pajak-pajak kepada kotapraja, sedang rakyat yang tinggal di wilayah Sultan selain membayar pajak kepada Sultan, dengan tambahan harus melakukan kerja wajib (Kotapraja, 1959 : 74 via Pelly, 1994 : 78).

[4] Ampun, Nuh Anak. Sikap WNI Keturunan Cina terhadap Pembauran di Pemkot Medan dalam Meningkatkan Ketahanan Nasional. Tesis : Universitas Indonesia, 2002

[5] Seminar yang diikuti seluruh kelompok masyarakat itu menghasilkan sejumlah rekomendasi guna menjadi pijakan bagi Pemerintah Kota Medan dalam merancang dan menetapkan Tata Ruang Kota Medan yang baru. Penulis yang melakukan observasi terhadap pelaksanaan seminar itu menyaksikan begitu antusiasnya masyarakat Medan, baik dari kalangan LSM, partai politik, organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dan etnis, akademisi, pakar, tokoh pemuda, tokoh pers, dan organisasi profesi lainnya, untuk memberi masukan mengenai konsep Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan 2026.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar