Translate

Senin, 07 Mei 2012

TINJAUAN STRUKTUR SASTRA


Tema = Rekonstruksi imajinasi
Setiap cerita (fiksi) yang baik tidak hanya berisi perkembangan suatu peristiwa atau kejadian, tetapi juga menyiratkan pokok pikiran yang akan dikemukakan pengarang kepada pembaca. Itulah yang menjadi dasar, gagasan utama, atau tema cerita. Cerita yang tidak mempunyai tema tentu tidak ada manfaatnya bagi khalayak pembaca.
Sebagai pokok persoalan, tema merupakan sesuatu yang netral. Dalam tema, boleh dikatakan belum terlihat kecenderungan pengarang untuk memihak. Oleh karena itu, masalah apa saja dapat dijadikan tema dalam cerita atau karya susastra.
Tema dapat menyangkut idaman remaja, kerukunan antarumat beragama, kesetiaan, ketakwaan, korupsi, pemanfaatan air, atau bahkan kengerian yang ditimbulkan perang. Cerita dapat menjadi lebih menarik apabila pokok pembicaraan itu baru, hangat, atau bercorak lain daripada yang lain.
Nah, bayangkan suatu ketika terjadi aksi unjuk rasa di gedung wakil rakyat, memprotes penyerobotan tanah. Pasalnya, pihak pengembang (developer) memaksakan kehendak membeli lahan penduduk dengan harga relatif murah. Masyarakat bertahan, pihak pengembang tak kehabisan akal. Sejumlah pejabat penting dan aparat menjadi perpanjangan tangan.
Karuan, masyarakat tak berkutik. Secara mendadak mesin buldoser membahana dan memorakporandakan rumah penduduk. Jerit tangis warga tak lagi terdengar, lenyap ditelan bising buldoser hingga mengangkasa. Sebagai jalan terakhir, mereka menempuh jalur politik ke gedung wakil rakyat. Mereka berharap mendapat pembelaan.
Sayangnya, di gedung dewan mereka tidak menemukan sesiapa. Tidak seorang pun wakil rakyat muncul di hadapan mereka. Hati warga menjadi masygul. Itukah jelmaan suara rakyat yang pada masa kampanye bertekad memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas?
Apa yang Anda lakukan sebagai pencerita?

Watak = pelaku imajinatif
Pelaku yang ditemukan dalam cerita fiksi adalah pelaku yang imajinatif, pelaku yang ada di dalam benak pengarang. Tidak akan dijumpai, sekalipun dicari pada seantero dunia.tidak dapat ditangkap oleh alat dria. Ia hanya dapat ditangkap oleh daya imajinasi seseorang. Raut muka, bentuk tubuh, sepak terjang, dan karakter pelaku dapat dikenal melalui penggambaran, baik yang dilakukan pengarang, pencerita maupun pelaku.
Berikut ada beberapa hal yang menjadi petunjuk bagi pembaca untuk mengetahui sifat tokoh, yaitu:
1.      melalui keterangan langsung dari tokoh
2.      melalui apa yang dikerjakan
3.      melalui ucapan-ucapannya
4.      melalui penggambaran fisik tokoh;
5.      melalui pikiran-pikirannya;
6.      melalui keterangan langsung dari pengarang.

Point of View
Point of view menjawab pertanyaan: siapakah yang menceritakan kisah ini?; bagaimana kisah ini  diceritakan? Point of view adalah visi pengarang, sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Lazim disebut gaya pengarang.  Pemilihan point of view sangat penting sebab akan menyangkut masalah seleksi terhadap kejadian-kejadian cerita yang akan disajikan, menyangkut masalah ke mana pembaca akan dibawa, menyangkut masalah kesadaran siapa yang dipaparkan.
Ada empat macam point of view, yakni:
1)      Omnicient point of view (sudut pandang Yang Berkuasa). Di sini pengarang serba tahu. Ia bisa menciptakan apa saja yang diperlukannya guna mencapai efek yang diinginkannya. Ia bisa mengeluar-masukkan tokoh-tokoh cerita. Ia bisa mengungkapkan perasaannya, kesadaran, dan jalan pikiran para pelaku. Sangat cocok pada cerita sejarah, edukatif atau humor.
2)      Objektive point of view. Hampir sama dengan omnicient, namun pengarang tidak sampai memberi komentar. Pembaca hanya disuguhi ”siaran pandangan mata”. Sama seperti penonton pertunjukan teater. Ia sama sekali tidak masuk ke dalam pikiran pelaku. Penulis modern banyak melakukan teknik seperti ini.
3)      Point of view orang pertama. Ini yang banyak digunakan pengarang di Indonesia. Ia menggunakan sudut pandang ”aku”. Karena itu, pengarang harus berhati-hati, apakah ”aku” sang tokoh sama dengan ”aku” sang pengarang. Terkadang pengarang tidak bisa melepaskan dirinya dengan si ”aku” dalam cerita.
4)      Point of view peninjau. Si pengarang menggunakan tokoh ”dia”. Hampir sama dengan teknik orang pertama, namun menggunakan pihak ketiga, si dia.

Plot
Plot ialah jalan cerita yang melahirkan konsep dan menggerakkan cerita dari awal hingga akhir. Plot pada karya sastra bergantung besar kepada konflik. Konflik ini dapat dilihat dari gerakan aksi para tokoh, penggunaan unsur dramatik, pembinaan dramatikalnya, dan bagaimana konflik memuncak sampai kepada tahap klimaks.
Filosof Aristoteles adalah orang pertama yang menggariskan arti plot dalam karya sastra pada kurun kedua sebelum Masehi. Bukunya Poetics menjelaskan, "plot is the imitation of the action". Plot ialah suatu peniruan terhadap aksi manusia yang selaras dengan jalan hidup manusia. Pendeknya, plot adalah perkembangan cerita yang digerakkan oleh aksi dan peristiwa serta ia terjalin dari awal hingga akhir; melahirkan satu kesatuan cerita.
Aristoteles menentukan tiga tahap plot, yakni :
n  Protasis : Bagian pengenalan atau eksposisi.
n  Apitasis : Bagian krisis dan klimaks
n  Katastasis : Bagian peleraian, penyelesaian, dan penutup.

Dalam perkembangannya, tahap pengembangan plot dijadikan dari tiga kepada lima bagian, yakni :
n  Eksposisi.
n  Krisis dan meruncingnya peristiwa.
n  Pemuncak dan klimaks.
n  Anti-klimaks atau penurunan dan jawaban.
n  Penyelesaian.

Bagaimanapun, struktur plot itu hanya digunakan di dalam karya sastra bercorak dan aliran realisme. Karya sastra mutakhir atau absurd dan abstrak sudah tidak memakai plot seperti itu. Lebih menggunakan plot situasi dan plot yang disifatkan anti-plot. Yang dimaksudkan dengan anti-plot bukan berarti ia tidak mempunyai plot, ia tetap mempunyai plot, jika tidak bagaimana hendak mengembangkan ceritanya. Anti-plot juga berarti karya sastra yang mempunyai plot tetapi tidak menggunakan plot konvensional. Plot konvensional ialah yang menggunakan  lima atau tiga tahap tadi.

Bahasa
Satu kriteria yang umum dan dominan dipakai dalam menilai keindahan atau estetik sebuah karya sastra banyak bergantung kepada penggunaan bahasanya. Dari pemakaian bahasalah, karya tersebut diekspresikan dan dikomunikasikan dengan audien.
Hal-hal penting yang menjadi bidang pembicaraan bahasa ialah melihat pemilihan dan penggunaan kosa kata, menganalisis struktur kalimat, meninjau aspek makna, menguraikan unsur-unsur dramatikal bahasa, gaya individualisme, dan sifat-sifat ekspresi pengkaryaan yang mengomunikasikan karya itu dengan  peminatnya. Dari sini barulah beranjak ke arah pencapaian nilai kesusastraannya sebagai hasil kreatif dan hubungannya dengan zaman.
Dalam aspek pemilihan dan penggunaan kosa kata atau diksi (leksikal), yang ingin dilihat adalah sejauh mana perkataan itu memiliki keistimewwan tersendiri atau berjaya untuk menimbulkan imaji dan ide yang hendak digambarkan. Apakah ia sesuai dengan persoalan dan pemikiran karya?  Di sini bisa dilihat penggunaan beberapa segi, seperti berapa banyak kosa kata daerah, intelektualitas atau tidak, dan sebagainya, apakah ia wajar digunakan! Pemilihan kosa kata juga ada kaitannya dengan bentuk dan aliran sastra.
Dengan menggunakan kriteria kosa kata dan unsur bahasa akan dapat memperlihatkan suasana dan sifat pengarang. Kosa kata yang pendek dan ringkas sesuai dengan suasana ketegangan dan sejalan dengan pengarang realisme. Penganalisisan struktur kalimat dapat dilihat dari jenis panjang pendeknya kalimat tersebut. Kapankah seorang penulis harus menggunakan kalimat yang panjang dan kenapa pula dalam saat tertentu menggunakan kalimat yang pendek?  Dalam suasana kejutan atau konflik, misalnya, memerlukan kalimat-kalimat yang pendek, sementara dalam menggambarkan suasana penuh romantik atau berfalsafah, cocok menggunakan kalimat yang panjang. Ada masanya pula kalimat-kalimat itu diulang-ulang atau dipilah-pilah untuk menghasilkan keindahan.
Dari segi makna atau semantik, bertujuan untuk mengkaji keseluruhan penggunaan dimensi bahasa, apakah karya itu memiliki pengertian yang mudah atau berat, dalam atau dangkal, terbuka atau tertutup, lurus atau bersimbol, dan sebagainya. Kajian ini untuk mengemukakan persoalan dan pemikiran yang hendak disampaikan oleh pengarangnya. Banyak kita temui karya-karya, misalnya sastra absurd, agak sukar untuk dipahami, maka penganalisisan dari sudut semantik ini diharapkan dapat menolong.
Selanjutnya, terdapat banyak sekali unsur ketaksaan dalam karya sastra, misalnya perbandingan, kiasan, eufemisme, epigram, dan lain-lain. Unsur-unsur ini dipergunakan dalam usaha sang penulis hendak memperindah dan memperkuat ungkapan-ungkapan dialognya serta memberikan makna yang tajam dan kokoh. Seorang sastrawan, yang sangat mengetahui dan peka dengan peranan bahasanya, akan mengaplikasikannya dengan penuh kesadaran serta berusaha menciptakan ungkapan-ungkapan yang padu dan berkesan.
Pendekatan stilistika ini juga memersoalkan masalah gaya keseluruhan penggunaan bahasa yang dominan bagi seseorang penulis, dan dapat membuat tanggapan serta kesimpulan, yang akhirnya dapat memperlihatkan kepribadian sang penulis. Kekuatan bahasa ini selalu muncul dari hasil kekuatan kepengarangannya dan berhasil membentuk gaya individualnya sendiri. Rendra dan N. Riantiarno, misalnya, memiliki gaya pribadinya sendiri. Begitu juga Putu Wijaya dan Arifin C. Noer unggul dalam genre cerita rekaan.
Adalah menjadi tugas kita untuk mengkaji dan menganalisis gaya pribadi seseorang penulis. Dari situ, diharapkan dapat melihat tinggi-rendahnya mutu karya yang dihasilkan. Shakespeare, misalnya, dapat disimpulkan unggul dalam bidang sastra dan satu penyebab ia mempunyai daya ekspresi yang kuat dalam bidang gaya pribadi ini, berhasil mengeksploitasi seluruh dimensi bahasa. Bahasa yang baik dalam sebuah karya dapat berkomunikasi dengan sebaiknya terhadap audien, karena sebuah karya sastra yang baik harus dapat berhubungan erat dengan pembacanya. Pendekatan ini juga bertanggung jawab melihat pencapaian ekspresi penulisnya.
Selain itu, bahasa juga ada kaitannya dengan pembentukan dan penganut aliran seseorang penulis. Rabrindanath Tagore suka menggunakan aliran romantisisme, Slawomir Mrozek dengan realisme, pendekatan stilistik dapat membantu memperjalan hal ini. Kritikan pendekatan stilistik ini, meskipun bertitik-tolak dengan kajian penggunaan bahasa, namun ia mampu membahas bidang-bidang yang luas seperti hubungan pengkaryaan dan kepengarangan. Tak ayal, ia merupakan pendekatan yang berwibawa dan sesuai untuk semua drama.

Estetik
Medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa. Pengamatan terhadap bahasa ini pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya atau bagian-bagiannya, untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian inilah yang disebut pengkajian stilistik. Dalam pengkajian stilistik, tampak relevansi linguistik atau ilmu bahasa terhadap studi sastra.
Dengan stilistika, dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra.  (Panuti Sudjiman, hal. vii).
Sebelum memiliki stilistika,  bahasa dan sastra memang telah memiliki  gaya (style). Gaya adalah sesuatu yang “menyimpang” dari pemakaian biasa.  Penyimpangan tersebut bertujuan untuk keindahan.  Keindahan ini banyak muncul dalam karya sastra,  karena sastra memang sarat dengan unsur estetik.
Segala unsur estetik ini menimbulkan manipulasi bahasa, plastik bahasa, dan kado bahasa sehingga mampu membungkus rapi gagasan penulis. Dalam bahasa Jawa, manipulasi demikian dinamakan lelewaning basa (gaya bahasa). (Suwardi Endraswara, hal. 71).
Stilistika (sylistics) adalah (1) ilmu yang menyelidii bahasa yang digunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusasteraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. (Kridalaksana, 1982 : 157 via Tirto Suwondo, 2003 : 151).
Dalam membicarakan stilistika, orang selalu menekankan kepada hubungan pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan pemakaian bahasa biasa (C.F. Voegelin, 1960; N.E. Enkvist, 1964: 23-26; 1973: 11-26). Kadang-kadang mungkin ada anggapan bahwa pemakaian bahasa pada karya sastra yang mengandung unsur style, sesuatu yang tidak netral, mungkin ke arah menyalahi “tata bahasa”.
Pandangan ini jelas melihat adanya dua pemakaian bahasa pada karya sastra, yang “berbeda” dan  tak “berbeda”. Yang tidak berbeda, yang netral, sebenarnya lebih banyak. Tapi, yang berbeda, yang lebih sedikit, ternyata memberikan warna kepadanya. Ia menjadi dominan. (Umar Junus, hal. 27).
Pendekatan stilistika  bertolak dari asumsi bahwa bahasa mempunyai tugas dan peranan yang penting  dalam kehadiran karya sastra. Bahasa tidak dapat dilepaskan dari sastra. Tidak ada bahasa tidak ada sastra. Keindahan sebuah karya sastra sebahagian besar disebabkan kemampuan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasa sehingga menimbulkan kekuatan dan keindahan. (M. Atar Semi, hal. 81).
Penelitian karya sastra saat ini  umumnya masih terbatas pada struktur narasinya, perlulah diadakan penelitian gaya bahasanya. Lebih-lebih lagi pada waktu sekarang di Indonesia belum ada penelitian dan penulisan stilistika yang khusus di bidang kesusastraan, bahkan belum ada juga buku stilistika umum yang dapat menjadi pegangan dalam mempelajari gaya bahasa dan untuk penelitiannya.
Sudah sejak awal tahun 1950-an Slametmuljana (1956:5) mengemukakan bahwa belum ada penelitian (penulisan buku) stilistika di Indonesia.  (Rachmat Djoko Pradopo, hal. 263-264). Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Stilistika adalah ilmu bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi-variasi penggunaan bahasa, seringkali, tetapi tidak secara eksklusif, memberikan perhatian khusus kepada penggunaan bahasa yang paling sadar dan kompleks dalam kesusastraan.
Stilistika berarti studi tentang gaya bahasa, menyugestikan sebuah ilmu, paling sedikit merupakan sebuah studi yang metodis. (G.W. Turner, hal. 7-8). Pendekatan stilistik juga berbicara tentang stail keseluruhan penggunaan bahasa yang dominan bagi seorang dramatis, dan dapat membuat tanggapan serta kesimpulan, yang akhirnya dapat melihat kepribadian si penulis.
Kekuatan bahasa selalunya muncul hasil dari kekuatan kepengarangannya, di mana ia berhasil membentuk stail individualnya sendiri. (Mana Sikana, hal. 78). Menggunakan bahasa tulis sebagai sarana teks drama, pengarang berarti tidak berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga ada celah kelemahan komunikasi dibandingkan dengan bahasa  lisan.
Akan tetapi, karena situasi bahasa utama di dalam drama adalah dialog, maka meskipun menggunakan bahasa tulis, kesan kelisanan dalam bahasa langsung tetap menonjol dan dominan dibandingkan pada fiksi. Upaya untuk memahami penggarapan bahasa di dalam drama – sebagaimana di dalam karya sastra lainnya – biasanya lebih populer dengan istilah kajian stilistika.  (Hasanuddin WS, hal. 99-100).

Latar
Latar atau setting ialah aspek yang menunjukkan plot, perwatakan dan dialog yang berfungsi membina sebuah kisah serta dapat menerangkan kapan dan di mana peristiwa-peristiwa itu terjadi. Dengan menjelaskan aspek tempat dan waktu tersebut,pembaca akan dapat membantu memahami karya yang dibacanya.
Kita juga sudah mengkaji bagaimana peranan setiap komponen sastra seperti plot, perwatakan, dan bahasa untuk menciptakan sebuah karya. Antara satu dengan lainnya saling berhubungan dan integral sekali bagi melahirkan sebuah teks sastra, apalagi karya sastra yang baik harus ada kesatuan: mencari bentuk yang ekspresif dan mampu membangun elemen-elemen estetik.
Di samping ketiga komponen tersebut, latar juga mempunyai hubungan dan fungsi autentik dalam struktur cerita. Plot yang digerakkan oleh perwatakan dan perwatakan pula dimanifestasikan oleh dialog, bertujuan untuk menyampaikan cerita atau menyuguhkan pemikiran. Tetapi tanpa konsep tempat dan waktu, cerita dan pemikiran seorang pengarang hanya seperti berlangsung di awang-awang alias melangit (tidak membumi atau tidak dipahami pembaca).
Sesungguhnya, baik aksi dan reaksi perwatakan atau perkembangan plotnya memerlukan satu tempat dan waktu serta kemudian dapat menerangkan atau menggambarkan secara tidak langsung peristiwa yang sedang berlangsung. Sebuah latar, misalnya, dapat menyuguhkan  suatu gagasan penceritaan yang: berfungsi untuk menciptakan suasana dan mencerminkan kondisi watak serta membantu pencapaian ide cerita di samping menimbulkan motivasi bagi plotnya.
Dalam sebuah novel atau cerpen, latar berupa tulisan naratif yang mendeskripsikan "the environment of its event and visible background”. Latar itu disesuaikan dengan perkembangan keperluan plot di samping menjelaskan prinsip dan motif utamanya : waktu dan tempatnya. Sementara itu latar yang baik tidak saja menjelaskan kedua motif di atas, juga berhasrat menimbulkan suasana dengan menggambarkan latar belakang peristiwa dan perwatakan dengan serta gambaran umum kehidupan yang hendak diungkapkan.
Dalam penelitian yang lebih mendalam, latar belakang dan budaya juga pernah dibincangkan. Misalnya dalam cerita sejarah, masyarakat manakah yang menjadi latar cerita itu. Kita mengambil contoh cerita pertarungan "Ken Arok"  (Saini KM), masyarakat yang menjadi latarnya ialah kerajaan Singasari dan Kediri di Jawa, yang mengamalkan sistem pemerintahan feodal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar