Translate

Kamis, 26 November 2009

SIGALEGALE IKON SAMOSIR

Oleh : Suyadi San, S.Pd., M.Si.

SUMATERA Utara sangat kaya dengan legenda. Bahkan, legenda yang terjadi kerap pula dimitoskan. Hampir tak bisa dipisahkan kebenaran dalam dunia imajinasi si empunya cerita ataupun kebenaran dunia nyata. Termasuk, Sigalegale.

Sigalegale menjadi ikon di ranah Samosir. Tak lengkap rasanya berkunjung ke Danau Toba jika tidak menyeberang ke Pulau Samosir. Di pulau inilah, kita akan disambut boneka bergerak, Sigalegale.

Boneka hidup Sigalegale sampai sekarang menyimpan legenda penting bagi Samosir. Ia seolah-olah jadi benda sejarah bagi pulau ini. Sama seperti legenda Tunggal Panaluan, Sigalegale juga mengandung daya mistis bagi siapa saja yang melihatnya.

Padahal, kisah Sigalegale ini tidak terlepas dari kehebatan orang Batak yang mengukir batang kayu menjadi seni patung yang memikat. Seorang lelaki, Datu Panggana, adalah seorang ahli patung yang sangat terkenal di sebuah huta (desa). Begitu terkenal sampai makam raja pun dibuatnya.

Begitulah awal kisah Sigalegale. Konon, suatu hari Datu Panggana ingin membuat patung sebagai pajangan di rumahnya, lalu ia pergi ke hutan. Di hutan, Datu Panggana melihat sebatang pohon kayu kering yang sangat mencolok di antara pepohonan lain. Pohon itu tingginya menyamai ukuran manusia, tidak berdaun dan tidak beranting. Kemudian Datu Panggana memahat menjadi patung seorang perempuan.

Selang berapa waktu, Datu Panggana didatangi oleh Bao Partigatiga, seorang pedagang keliling yang menjual barang berupa pakaian dan perhiasan emas. Bao Partigatiga mencoba mengenakan pakaian dan perhiasan pada patung itu. Patung tampak sangat cantik dan seakan-akan hidup.

Ketika hari sudah senja, Bao Partigatiga hendak mengambil kembali pakaian yang dikenakan pada patung tersebut. Alangkah terkejutnya, pakaian yang dikenakan, tidak bisa dilepas lagi, Bao Partigatiga kecewa, lalu melanjutkan perjalanannya.

Keesokan harinya, seorang dukun penawari, yang mempunyai keahlian mengobati, memanggil roh, serta mempunyai obat ajaib, yang bernama Datu Partaoar, pergi ke luar rumah seperti biasanya hendak mengobati pasien ke huta (desa) seberang. Untuk menuju huta tersebut, Datu Partoar terbiasa melewati jalan pintas.

Di perjalanan, Datu Partoar melihat patung wanita tersebut dan terkagum-kagum. Dalam hati Datu Partoar berkeinginan mencoba untuk membuat patung itu hidup, dengan beberapa tetes dan mantera-mantera handalannya.

Berkat keahlian Datu Partoar, patung wanita tersebut mulai bergerak bagaikan gerakan manusia. Kemudian Datu Partoar membawa pulang ke desanya. Istrinya menyambut dengan gembira. Akhirnya, Datu Partoar beserta istrinya mengangkat sebagai anak dan diberi nama Nai Manggale.

Upacara pengangkatan anak dilaksanakan oleh keluarga Datu Partaoar dengan cara membawa Nai Manggale ke pekan. Di pekan Nai menari dengan lemah gemulai, sehingga orang-orang yang menyaksikannya turut pula menggerak-gerakkan badan mereka seirama dengan lenggak - lenggok Nai Manggale.

Kabar tentang Nai Manggale itu sampai pula kepada pemahat patung Datu Panggana dan Bao Partigatiga yang juga merasa punya andil pada patung tersebut. Datu Panggana dan Bao Partigatiga menyambangi ke rumah Datu Partoar. Terjadilah pertengkaran di antara mereka bertiga, memperebutkan diri Nai Manggale.

Datu Panggana yang semula membuat patung perempuan itu merasa lebih berhak atas Nai Manggale. Bao Partigatiga yang mempercantik patung dengan memberi pakaian dan perhiasan juga merasa lebih berhak atas Nai Manggale, begitu juga dengan Datu Partoar, tanpanya dirinya patung itu takkan bisa hidup. Terjadilah pertengkaran hebat yang tidak bisa mereka selesaikan.

Konflik di antara mereka bertiga akhirnya sampai ke hadapan raja, namun raja juga tidak dapat menyelesaikannya. Raja menyarankan untuk menyelesaikan persoalan itu kepada Si Aji Bahir-bahir. Si Aji Bahir-bahir adalah seorang tokoh yang dituakan di huta tersebut dan dapat menyelesaikan permasalahan di antara mereka bertiga.

Adapun keputusan yang disetujui oleh masing-masing pihak, ialah bahwa dukun Datu Partoar (dukun penawari) dianggap sebagai bapak dan berhak memberi berkat dalam perkawinan Nai Manggale. Bao Partigatiga (pedagang) sebagai abang (mariboto), berhak menerima bagian emas kawin (wang mahar). Pemahat patung Datu Panggana diangkat menjadi paman (tulang) dan akan memperoleh bagian pula sebagai paman.

Datu Partiktik yang tinggal di huta sebelah telah mendengar akan kecantikan Nai Manggale. Datu Partiktik pun datang meminang Nai Manggale. Akan tetapi, Nai Manggale menolak pinangan tersebut. Datu Partiktik tidak kehabisan akal, Datu Partiktik pun menggunakan ilmu sihirnya untuk menaklukkan hati Nai Manggale. Berkat ilmu sihir tersebut akhirnya Nai Manggale bersedia kawin dengan Datu partiktik.

Setelah sekian lama mengarungi bahtera rumah tangga, namun tidak juga ada tanda-tanda untuk mempunyai anak. Penantian yang panjang membuat Nai Manggale akhirnya jatuh sakit lalu meninggal.

Sewaktu Nai Manggale masih sakit dia berpesan kepada suaminya, bahwa ia harus meminta kepada Datu Panggana untuk membuatkan patung sebesar dirinya dan diberi Sigalegale. Kalau amanah itu tidak dilaksanakan, maka roh Nai Manggale tidak akan diperkenankan tinggal di alam baka. Ia tak akan sentosa, akibatnya Nai Manggale terpaksa mengutuk Datu Partiktik agar tidak memperoleh putra dan putri apabila kelak dia kembali kawin.

Datu Partiktik pun segera melakukan apa yang telah dipesankan oleh istrinya. Dengan alasan itulah patung Sigalegale dibuat untuk seseorang yang meninggal tanpa mempunyai anak, agar begunya tidak terkena siksa. Percayakah Anda dengan kisah ini? Namanya juga legenda, Anda boleh percaya boleh tidak. Maturnuwun. ***

(Penulis adalah pegiat sastra dan teater serta peneliti pada Balai Bahasa Medan)



sumber : Andalas

2 komentar:

  1. oh, karna cerita ini makanya namaku Panggana. Thanks buat artikelnya.

    BalasHapus
  2. oh, mungkin opung ksh namaku Panggana dari cerita ini ya, thanks artikelnya..

    BalasHapus