Translate

Jumat, 09 Januari 2009

Orang Melayu di Kota Medan

Oleh : Prof. Dr. Usman Pelly, MA.

Penulis mengungkapkan bahwa kehi¬dupan orang Melayu di kota Medan ber¬kembang se¬suai de¬ngan perjalanan sejarahnya. Pada awalnya adalah gambaran peran orang Melayu dalam ke¬hidupan politik, ekonomi, adat, agama dan sebagainya pada masa pe¬me¬rintahan kolonial.
Pada masa berikutnya terjadi perubahan ekonomi yang membuat orang Melayu kembali pada tradisi pertanian। Keadaan itu membuat orang Melayu tidak mampu berpartisipasi dalam pembangunan di kota Medan dan tidak mampu bersaing dalam merebut posisi birokrasi modern। Menurut penulis, hal itu disebabkan oleh pertimbangan prestise, kendala normatif pendidikan, dan kurangnya semangat kom¬petisi pada orang Melayu।

1. Pendahuluan
Dalam syair Melayu Putri Hijau diungkapkan bahwa kata “medan” berasal dari gelanggang pertempuran antara Ke¬rajaan Deli dan Kerajaan Aceh yang terjadi pada tahun 1552। Tragedi perang antara dua kerajaan yang bertetangga ini terjadi karena pinangan Sultan Aceh terhadap Putri Hijau yang menjadi primadona Kerajaan Deli waktu itu ditolak. Medan da¬lam bahasa Melayu berarti ‘gelanggang‘. Menurut kisah tadi, di gelanggang yang sekarang di¬bangun kota Medan, tentara Kerajaan Deli berhasil dikalahkan dan Putri Hijau diboyong ke Bandar Aceh (Thaib, 1959: 44).
Legenda tragis ini seakan memberi isyarat kepada generasi Putri Hijau di kemudian hari, bahwa kota Medan kelak akan tetap merupakan gelanggang “pertempuran” yang harus dihadapi oleh se¬tiap putra Melayu। Orang yang kalah dalam gelanggang ini harus berada di pinggir dan kehormatan diri sebagai taruhannya, yang secara simbolik diinterpretasikan sebagai Putri Hijau yang jatuh ke tangan orang lain। “Apa isyarat sejarah dari kisah ini?” Makna di dalamnya dapat memberikan kearifan kepada putra Melayu dalam menghadapi kehidupan di gelanggang pertempuran kota Medan। Kiranya sejarah juga dapat menjawabnya। Dewasa ini banyak yang percaya bahwa kisah Putri Hijau tersebut telah berulang pada orang Melayu di kota Me¬dan। Walaupun demikian banyak pula yang yakin bahwa keber¬¬adaan orang Melayu di kota tersebut tetap penting dan berarti।
Selain kisah Putri Hijau, terdapat sumber sejarah yang masih dapat dipercaya, yaitu naskah lama Riwayat Hamparan Perak। Naskah ini dianggap penting karena isinya dapat mengung¬kap¬kan liku-liku hubungan kekerabatan dan genealogis orang Melayu Sumatera Timur yang mendiami daerah dataran rendah (lowland) pantai Selat Melaka dengan orang-orang Batak, Karo, dan Simalungun yang tinggal di dae¬rah pegunungan। Naskah Riwayat Hamparan Perak ini menjadi pe¬gangan Panitia Hari Jadi Kota Medan yang kemudian menetapkan tanggal 1 Juli 1590 sebagai hari jadi kota Medan (Meuraxa, 1975)।
Naskah ini menceritakan perantauan salah seorang cucu Raja Batak Sisingamangaraja yang bernama Raja Hita ke tanah Karo। Raja ini mempunyai seorang putra yang bernama Guru Patimpus। Pe¬ran¬tau¬annya ke tanah Deli telah membawanya ma¬suk Islam, se¬telah dia mempelajari agama itu dari ulama terkenal, Datuk Kota Bangun। Se¬telah menikah dengan putri Datuk Berayan, salah seorang keturunan Panglima Deli, dia memba¬ngun pemerintahan। Keturunannya kelak men¬jadi cikal bakal keluarga Hamparan Perak dan Sukapiring, yang me¬rupakan rumpun-rumpun besar dari masyarakat Melayu yang mak¬mur karena hasil lada dan pala (Meuraxa, 1975: 34)।
John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli, pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan, berpenduduk sekitar dua ratus orang, dan dinyatakan se¬ba¬gai tempat kediaman Sultan Deli। Medan ini terletak di dekat Labuhan, bandar Ke¬rajaan Deli waktu itu (Anderson, 1924; Pelzer, 1978: 2)। Lima puluh tahun setelah kunjungan Anderson, Medan telah menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial Belanda membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran।
Pada awal abad ke-20, hampir seluruh dataran rendah Suma¬tera Timur menjadi areal perkebunan ekspor dari berbagai jenis ko¬moditi seperti tembakau, kelapa sawit, cokelat, karet, teh, dan sisal। Berbagai perusahaan asing lainnya yang berasal dari Belgia, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat turut mengambil bagian dalam pem¬bangunan per¬kebunan ini। Perkebunan besar ini dapat dianggap sebagai pangkal kemasyuran tanah Melayu Su¬matera Timur yang mendapat julukan daerah dolar, tetapi juga dapat dianggap sebagai pangkal bencana yang mematikan tradisi pertanian orang Melayu (Sinar, 1976: 9)।

2. Kedudukan Orang Melayu Pada Masa Kolonial
Untuk menopang perkembangan perkebunan Sumatera Timur, pemerintah Belanda menjalankan politik pintu terbuka (open door policy) bagi kehadiran kaum perantau dari dalam maupun luar negeri। Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengatasi kelangkaan te¬naga kerja, terutama di perkebunan, karena orang Melayu, Karo, dan Simalungun diang¬gap tidak berminat bekerja sebagai buruh per¬ke¬bunan (Said, 1977), atau karena perusahaan perkebunan sendiri tidak menyu¬kai dan tidak percaya kepada mereka (Pelzer, 1978: 69)।
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 setidaknya ada dua ge¬lombang migrasi ke Sumatera Timur। Gelombang migrasi per¬ta¬ma berupa kedatangan orang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak di perkebunan, tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Cina, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun। Lagipula mere¬ka selalu menim¬bul¬¬kan kerusuhan। Perusahaan perkebunan kemudian sepenuh¬nya men¬¬¬datangkan orang Jawa। Orang-orang Cina bekas buruh kebun ter¬sebut kemudian menetap di kota-kota Sumatera Timur, seperti di Medan। Mereka kemudian mengembangkan lapangan perdagangan bersama dengan kelom¬pok etnis perantau domestik seperti orang Mi¬nang¬kabau, Man¬dai¬ling, dan Aceh। Sebagian besar para perantau do¬mestik ini datang pada gelom¬bang kedua।
Berbeda dengan pendahulu mereka, orang Mandailing, Mi¬nang¬kabau, dan Aceh ini datang ke kota Medan bukan untuk bekerja di perkebunan sebagai kuli kontrak, tetapi mereka datang untuk ber¬¬dagang, bekerja di kantor, menjadi guru, dan ulama। Orang Man¬dailing yang terpe¬lajar itu banyak diterima bekerja se¬bagai kerani di perusa¬haan perkebunan dan kantor pemerintahan kolonial Belanda atau Kesultanan Melayu। Kecenderungan orang Mandailing di bidang okupasi ini merupakan suatu preferensi yang kuat dan terus ber¬kembang ke arah pembangunan dinasti Mandailing di bidang ke¬pe¬gawai¬an (Pelly, 1983), sedang perantau Minang¬kabau tidak begitu ber¬minat menjadi pegawai dan lebih banyak mencurahkan perha¬tian ke bidang perdagangan eceran, dan kaum terpe¬lajarnya cende¬rung mengembangkan usaha mandiri dan mendu¬duki jabatan profesional, seperti notaris, wartawan, dan dokter (Pelly dan Darmono, 1981)। Ke¬lompok-kelompok etnis lainnya juga berusaha “menguasai” sumber-sumber kehidupan eko¬nomi untuk kepentingan kelompoknya।
Statistik komposisi etnis kota Medan tahun 1920 dan 1930, me¬nun¬jukkan hampir 50% penduduknya merupakan bangsa asing yang terdiri dari Cina, India, Arab, Belanda, Inggris, Jerman, dan Belgia, se¬lebihnya adalah kelompok bangsa Indonesia, yaitu Jawa 23, 1%, Mi¬nangkabau 6, 8%, Melayu 6, 65%, dan Mandailing 5, 70%, dan Batak Toba yang hanya 1%। Dari komposisi pendu¬duk ini tampak bahwa orang Melayu sejak tahun 1920 telah menjadi minoritas di Medan। Begitu juga menurut perhitungan statistik di Sumatera secara keseluruhan (Langer¬berg, 1982)। Kedudukannya sebagai kelompok minoritas pada waktu itu belum berdampak negatif terhadap ke¬hi¬dup¬an orang Me¬layu secara keseluruhan di kota Medan।
Setidaknya ada dua faktor lain yang sangat berperan dalam me¬nopang kedudukan sosial orang Melayu, yaitu faktor politik dan budaya lokal। Dalam kedua bidang tersebut orang Melayu masih do¬minan। Dalam bidang politik, kekuasaan Sultan Deli masih mampu me¬¬lindungi kepentingan orang Melayu। Dalam perjanjian antara Sul¬tan Deli dan pemerintah kolonial Belanda yang tercantum dalam Kontrak Panjang (Lange Verklaring), Sultan memiliki kekuasaan pe¬me¬rintahan otonomi ke dalam (selfgoverning territories), terutama dalam masalah tanah, adat, dan agama। Dua bidang kehidupan yang terakhir ini juga berlaku untuk orang pri¬bumi yang bermukim di kota (gemeente)। Seti¬daknya anggapan pihak Sultan Deli demikian। Hak ini tampak dalam masalah per¬ibadatan, karena hanya Sultan yang da¬pat mengadakan sem¬bahyang Jumat, baik di kota maupun di desa। Dalam masalah lain, penduduk kota adalah kawula government yang tunduk kepada hukum pemerin¬tah kolonial Belanda dan bukan ka¬wula Sultan। Dalam akta kon¬sesi tanah yang terakhir (1982), hak ula¬yat (adat) orang Melayu tetap diakui, bahkan pihak swasta dapat mengikat kontrak dengan Sultan tanpa harus meminta persetu¬juan Batavia, tetapi kontrak tersebut baru sah apabila telah disetujui Ba¬ta¬via। Hal ini menunjukkan bahwa Batavia tidak lagi mempunyai ke¬kuasaaan mutlak atas tanah (Husny, 1976; Mahadi, 1978)।
Kekuasaan adat dan agama yang didukung oleh faktor eko¬no¬mi perkebunan yang melimpah di kesultanan telah menampilkan sosok budaya Melayu yang tangguh, walaupun aktivitas budaya ini secara se¬remonial masih tetap berpusat di istana, seperti perayaan-perayaan agama dan acara kesenian Melayu। Adat-istiadat Melayu dan tata-kra¬ma kehidupan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam menjadi standar dalam kehidupan masyarakat Medan yang majemuk, terutama bahasa dan kesenian yang merupakan isi dari wujud budaya Melayu yang cukup dominan।
Adat dan agama telah menjadi satu kesatuan dalam budaya Me¬layu, sehingga kedua aspek kehidupan itu senapas। Budaya Melayu adalah budaya Islam। Orang yang masuk Melayu di¬katakan juga ma¬suk Islam, begitu juga sebaliknya। Orang Karo, Simalungun, atau Cina yang masuk Islam juga disebut masuk Melayu। Secara kultur, mereka memang memelayukan diri de¬ngan meninggalkan marga Batak, hidup dalam adat resam Melayu, dan dalam kehidupan sehari-hari me¬makai bahasa Mela¬yu। Nagata (1982), seorang antro¬polog Amerika, mengisyaratkan proses ini sebagai proses Islam yang universal ke arah Islam yang partikularistik।
Melayunisasi orang-orang Batak (Karo, Simalungun, Dairi) di Medan pada awal abad ke-20 berdasar pada sistem budaya Melayu Islam (Melayo Moslem culture) yang dijadikan sebagai landasan ideo¬logi wadah pembaruan (melting pot) aneka suku Batak. Bahkan orang-orang Mandailing dan Sipirok/Angkola yang telah memeluk Islam di kampung halamannya menjalani proses Melayunisasi juga. Walau¬pun mereka banyak yang menjadi ulama, nazir, dan imam mas¬jid, atau khadi Sultan, namun orang-orang Melayu ini dalam ke¬pustakaan sering disebut sebagai Melayu Dusun.
Orang Jawa tidak banyak terlibat dan dilibatkan dalam ke¬hidupan ber¬sama di kota Medan, karena peran mereka sebagai bekas kuli kon¬trak yang sebagian besar berasal dari strata bawah (wong cilik) tetap men¬duduki posisi minor dalam okupasi dan pe¬mukiman kota, kecuali kaum ningrat Jawa yang banyak berperan sebagai ambtenaar dan pegawai tinggi pemerintah kolonial। Mereka terpisah dari orang Jawa kebanyak¬an tadi। Keadaan seperti ini dikehendaki oleh pemerintah ko¬¬lonial Belanda agar orang Jawa itu lepas dari lapisan pemimpin mereka (Said, 1977)।
Di antara kalangan perantau domestik di kota Medan, ternyata orang Minangkabau enggan dan menolak Melayunisasi dengan be¬be¬rapa alasan। Pertama, karena keterikatan mereka yang kuat dengan kam¬¬pung halaman dalam kaitan misi budaya perantau। Dengan alasan ini mereka memandang alam rantau sebagai tem¬pat sementara। Ke¬dua, karena kebanggaan mereka terhadap budaya dan identitas me¬reka sebagai orang Minangka¬bau। Ketiga, karena mereka merasa ke¬murnian agama Islam mereka lebih tinggi daripada orang Melayu। Dalam kaitan ini, mereka kemudian mempertanyakan keabsahan Islam yang digunakan orang Melayu sebagai dasar budaya। “Apakah benar budaya Mela¬yu identik dengan budaya Islam?”
Permasalahan ini akan lebih jelas bila dikaitkan dengan gerakan purifikasi Islam di Minang¬¬kabau yang melahirkan Perang Padri dan gerakan Muhammadi¬yah। Gerakan pemurnian ini menjalar ke Medan। Gerakan ini dianggap oleh Kesultanan Melayu sebagai tantangan ter¬hadap legitimasi orang Melayu dalam bidang agama dan adat। Ke¬lom¬pok yang ingin mempertahankan keserasian adat dan agama yang disebut sebagai kaum tua kemudian melahirkan organisasi per¬¬gerakan Al Washliyah pada tahun 1930, yaitu tiga tahun setelah Mu¬ham¬¬madiyah didirikan oleh pedagang-pedagang Minangkabau di kota tersebut। Al-Washliyah yang dipimpin oleh orang-orang Man¬dailing Melayu atas bantuan para Sultan Melayu meluaskan sayap per¬¬guruannya ke pedesaan dan ke pedalaman Sumatera Timur। Ada¬pun Muhammadiyah hanya diberi izin ber¬gerak di daerah-daerah ge¬meente (Muthi, 1957; Pelly, 1980)।
Dari uraian di atas terlihat bahwa kedudukan orang Melayu di kota Medan dan sekitarnya pada zaman kolonial sangat me¬nentukan, terutama dalam lingkungan masyarakat pribumi, ken¬dati dari segi ke¬lompok dan demografis mereka menduduki status mi¬noritas। Orang Jawa merupakan penduduk mayoritas, namun posisi sosialnya me¬rupakan kelompok mayoritas yang tidak ber¬peran (silent majority)। Dua dari tiga syarat yang diperlukan untuk men¬duduki posisi sebagai kelompok budaya unggul (dominant culture) telah dipenuhi oleh orang Melayu, yaitu faktor politik dan budaya lokal, sehingga orang Melayu waktu itu dapat berperan se¬bagai pusat orientasi akulturasi budaya dalam kehidupan majemuk di kota Medan।

3. Tradisi Okupasi Orang Melayu
Seperti diuraikan sebelumnya orang Melayu memiliki tradisi per¬¬tanian yang menghasilkan komoditas ekspor seperti pala, lada, pi¬nang, dan asam gelugur, di samping bertanam padi dan palawija untuk keperluan sehari-hari. Dari hasil pertanian tersebut mereka dapat hidup makmur. Sultan juga dapat meme¬tik hasil perdagangan lada dan komoditas ekspor lainnya. Setelah tanah-tanah orang Melayu dijadikan perkebunan, timbul per¬ubahan-perubahan yang tidak hanya menyangkut sistem per¬ekonomian rakyat Melayu, tetapi juga me¬nyangkut kepen¬tingan Sultan. Pemerintah Belanda memberikan kompensasi ganti rugi kepada Sultan, sedangkan bagi rakyat disediakan tanah jaluran yang dapat dipergunakan untuk bercocok tanam, tetapi terbatas untuk tanaman semusim, seperti padi, jagung, dan palawija. Dengan demikian, tradisi pertanian eks¬por orang Melayu beralih ke per¬tanian subsisten.
Perubahan ini telah memberikan dampak psikologis yang merugi¬kan orang Melayu. Mereka menjadi tidak terbiasa membuka hutan baru untuk mengolahnya menjadi tanah pertanian lada atau pala. Mereka hanya menanti tanah yang telah diolah dan hanya menanti musim panen tembakau selesai, untuk kemudian me¬minta tanah jaluran dan menanam padi atau palawija, sehingga mereka menjadi rakyat pe¬nunggu. Perubahan sistem pertanian ini dianggap sebagai pangkal pro¬ses pemiskinan orang Melayu dan menanamkan kebiasaan hidup santai, serta tergantung kepada orang lain.
Sementara itu, tradisi okupasi baru muncul sejalan dengan per¬kem¬bangan kota, seperti perdagangan, pertukangan, jasa, in¬dus¬tri, dan kepegawaian. Pekerjaan di sektor perdagangan dan per¬tukangan tidak menarik bagi orang Melayu, karena pekerjaan itu dianggap tidak memberikan prestise sosial yang tinggi. Usaha di sektor jasa seperti kon¬traktor dan perbankan memerlukan mo¬dal dan keterampilan khu¬sus yang tidak banyak dimiliki orang Melayu. Begitu juga bidang in¬dustri seperti percetakan, yang hanya dikuasai oleh orang Mandailing dan Minangkabau, sedang industri makanan dan pengolahan hasil per¬tanian dikuasai oleh orang Cina.
Orang Melayu hampir tidak tertarik pada lapangan kerja per¬bu¬ruhan. Lapangan kepegawaian menjadi incaran (preferensi) mereka, tetapi dalam mengembangkan karir orang Melayu banyak terbentur pada tingkat pendidikan, karena rata-rata tingkat pen¬didikan formal mereka sangat rendah, dan hanya kelompok bang¬sa¬wan saja yang men¬¬dapat pendidikan agak tinggi, sehingga yang berhasil mencapai karir yang tinggi di bidang tersebut ada¬lah ke¬lompok orang-orang Man¬dailing dan Jawa atau warga suku¬bangsa lain yang terpelajar.
Absennya orang Melayu dalam dunia perdagangan kota dan ada¬nya pertimbangan politik kolonial lainnya menyebabkan peme¬rin¬tah Belanda mendorong orang-orang Cina bekas kuli per¬kebunan untuk menguasai perdagangan menengah, sedang orang-¬orang Mi¬nang¬kabau yang mempunyai preferensi di bidang oku¬pasi dagang dapat dibendung agar mereka puas bergerak di bidang perdagangan kelas rendah. Kebijakan ini juga berlaku untuk kelompok etnis lain¬nya yang mencoba terjun ke bidang per¬dagangan atau industri, se¬dangkan perdagangan tingkat tinggi, seperti perbankan, ekspor, dan impor tetap dikuasai oleh orang Belanda dan Eropa lainnya.

4. Pola Kehidupan Orang Melayu Sesudah Kemerdekaan
Pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan yang diawali oleh Revolusi Sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 telah me¬rom¬bak posisi sosiopolitis kaum bangsawan Melayu. Perubahan yang ber¬langsung sangat cepat ini telah memberikan semacam kejutan budaya (cultural shock) bagi masyarakat Melayu secara ke¬seluruhan, sehingga terjadi semacam kebingungan dan sikap ragu-ragu terhadap ke¬adaan, terutama setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indo¬nesia disiarkan secara resmi di Sumatera Utara dan pemerintahan Re¬¬publik Indonesia dibentuk tanggal 3 Oktober 1945. Hanya Sultan Serdang yang menun¬jukkan sikap tegas dengan mengirimkan telegram kepada Presi¬den Soekarno yang berisi Ke¬sultanan Serdang berdiri di belakang pemerintah Indonesia (Sinar, 1976). Sebagian besar kaum bang¬sawan dan Sultan Melayu lainnya dinilai oleh ahli-ahli sejarah bersikap ragu dan mendua (ambivalen). Sikap ini ternyata kemudian tidak menguntungkan posisi orang Melayu dan memberikan peluang besar kepada pihak “kiri” untuk melancarkan revolusi sosial (Said, 1973).
Dari segi sosiologis orang Melayu, revolusi sosial hanya suatu mimpi buruk, sebab revolusi ini hanya berhasil merombak struktur peme¬rintahan kesultanan, tetapi tidak mengubah sistem sosial dan si¬kap mental masyarakat Melayu secara keseluruhan. Revolusi tidak mungkin mengubah nasib orang Melayu kebanyakan, bahkan se¬baliknya. Posisi orang Melayu setelah kemerdekaan dan revolusi men¬¬jadi bertambah sulit. Kekua¬saan politik dan pemerintahan setelah revolusi bukan jatuh ke tangan mereka, tetapi ke tangan orang non-Melayu yang belum tentu memahami dan mengerti posisi orang Me¬layu kebanyakan. Kenyataan ini dapat dilihat dalam perkembangan ke¬hidupan majemuk di kota Medan pada dekade selanjutnya.

5. Migrasi Orang Batak Toba Ke Medan
Pada dekade pertama setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan dibanjiri perantau baru dari berbagai sukubangsa, terutama suku Batak Toba dari Tapanuli Utara. Kelompok ini terdiri dari te¬na¬ga-tenaga muda terpelajar dan petani-petani yang dijuluki oleh Langer¬berg (1982) sebagai land hunter (pemburu tanah). Sa¬saran okupasi mereka adalah kepegawaian dan pertanian yang secara kebetulan me¬rupakan bidang preferensi orang Melayu.
Pembukaan perkantoran pemerintahan republik sebagai per¬luasan jaringan birokrasi memerlukan tenaga-tenaga yang ber¬pendidikan. Dapat dimengerti apabila kesempatan yang terbuka ini sepenuhnya dipergunakan oleh para perantau Batak Toba yang rata-rata memiliki pendidikan formal yang mereka peroleh dari sekolah-sekolah yang di¬asuh oleh zending di Tapanuli Utara. Dalam kaitan ini, posisi orang Me¬layu jelas. Jumlah kaum terpelajar di kalangan orang Melayu sangat sedikit dan terbatas. Hanya kaum bangsawan yang banyak men¬¬dapat ke¬sempatan menerima pendidikan formal, sedang orang ke¬¬banyakan cende¬rung memasuki pendidikan agama. Akreditasi ija¬¬¬zah sekolah-sekolah agama hanya diterima di jawatan atau dinas agama dan formasi untuk itu pun sangat terbatas. Perpacuan yang paling menentukan pada dekade pertama di bidang kepegawaian ini tidak dapat dimenangkan oleh orang Melayu. Konsekuensi dari per¬pacuan itu ialah menipisnya lapisan kaum birokrat Melayu dari tahun ke tahun, dan keadaannya secara keseluruhan dewasa ini tidak begitu menggembirakan. Sebagai con¬toh, di bawah ini dapat dilihat sta¬tistik komposisi etnis pada Kantor Walikota Kota Medan, pada pe¬riode Walikota Syurkani (1969) dan A.S. Rangkuti.

Data yang diperhitungkan adalah pejabat struktural yang men¬duduki jabatan kepala bagian (Pelly, 1983 :171). Pejabat-pejabat senior orang Melayu di birokrasi pemerintahan pada umumnya berasal dari masa kolonial. Dewasa ini (1985) hampir seluruhnya telah menjalani masa pensiun.

Apabila dilihat dari komposisi etnis di DPRD Kotamadya Medan, maka kedudukan orang Melayu agak baik. Dalam pengertian, bah¬wa rata-rata orang Melayu yang menjadi anggota DPRD melalui berbagai fraksi dari periode Ketua DPRD pertama (Harahap, 1957) ke periode ketua Hutasuhut adalah sebesar 12%. Hal itu berarti melebihi persentase jumlah orang Melayu yang ada di kota Medan (8, 57%) pada tahun 1980. Dari jajaran nama-nama walikota kotamadya Medan ter¬nyata hanya satu orang yang putra Melayu, yaitu D. H. Aberhan. Ke¬betulan pula beliau adalah Walikota Medan semasa Sumatera Timur masuk wilayah Negara Sumatera Timur. Walikota lainnya ada¬lah tujuh orang dari Mandailing, seorang dari Jawa, dua orang dari Simalungun, seorang dari Nias, dan seorang dari Minangkabau.
Dari uraian kuantitatif di atas terlihat jelas gambaran posisi orang Melayu di dalam birokrasi kepegawaian pemerintah, wa¬lau¬pun per¬lu dicatat di sini bahwa kedua kantor pemerintahan (wali¬ kota dan gubernur) tersebut belum dapat dikatakan repre¬sentatif untuk men¬jadi dasar bagi suatu generalisasi mengenai posisi orang Melayu di kota Medan.

6. Okupasi Profesional
Berbeda dengan okupasi di bidang kepegawaian (white colar), okupasi atau jabatan-¬jabatan profesional seperti dokter, ahli hukum (advokat), notaris, atau wartawan hanya dapat dijabat oleh orang-orang yang lebih khusus daripada jabatan ke¬pegawaian. Jabatan pro¬fesional menuntut keahlian dari salah satu cabang ilmu. Biasanya pe¬nguasaan ini diperoleh dari suatu perguruan tinggi. Dalam praktik kehidupan, mereka mengabdikan keahlian itu kepada masyarakat, karena pemangku jabatan pro¬fesional mendapat posisi yang terhormat di masyarakat. Okupasi profesional di kalangan orang Melayu ternyata juga tidak be¬gitu menggembirakan, kecuali di bidang kewartawanan.

Dari uraian di atas ter¬lihat jelas bahwa posisi orang Melayu –yang pada zaman kolonial me¬rupakan kelompok dominan secara kultural– dewasa ini telah jauh berubah. Perubahan ini disebabkan oleh degradasi peran orang Me¬layu di bidang politik (pemerintahan) dan ekonomi. Posisi politik ini sangat mempergaruhi dominasi kebudayaan Melayu sebagai ke¬bu¬dayaan lokal di kota Medan. Adanya degradasi pengaruh orang Melayu di bidang politik (deci¬sion makers) telah mempengaruhi keterikatan orang lain terhadap budaya Melayu, atau dengan kata lain budaya Melayu tidak lagi dijadikan pusat orientasi akulturasi oleh penduduk Medan. Oleh karena itu sukar mencari wadah budaya pemersatu bagi masyarakat majemuk kota Medan, padahal kebudayaan nasional masih dalam proses mencari bentuk yang mantap, wa¬laupun Panca¬sila telah menjadi dasar tolok ukur dalam pengem¬bangan sistem bu¬daya nasional tersebut.

7. Pola Pemukiman Orang Melayu Di Kota Medan
Sejak tahun 1950, kota Medan telah beberapa kali melakukan per¬luasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di tahun 1974. Dengan demikian, dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedau¬latan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat. Perluasan areal kota ini telah mendorong pemekaran dan pen¬dis¬tribusian fasilitas perkotaan, seperti pusat-pusat perbe¬lanjaan, transportasi, dan fasilitas kehidupan kota lainnya. Per¬luasan dan mi¬gra¬si pesat orang Batak Toba telah menye¬babkan perubahan dalam kom¬posisi etnis kota Medan pada tahun 1930 dan tahun 1980.

Walaupun orang-orang Melayu pada tahun 1980 hanya berjumlah 8, 57% dari penduduk kota Medan yang telah berjumlah 1, 4 juta, tetapi persentase ini tidak menurun bila dibandingkan dengan statistik tahun 1930 yang berjumlah 7, 06%. Namun apabila dibandingkan dengan kenaikan jumlah pendu¬duk kelompok etnis Batak Toba, Mandailing, atau Karo, maka kedudukan orang Melayu dari segi persentase keseluruhan pen¬du¬¬duk menurun dari urutan ke-5 di tahun 1930 menjadi ke-6 di tahun 1980.
Perluasan kota Medan telah mendorong perubahan pola pe¬mu¬¬kiman kelompok-kelompok etnis, termasuk pemukiman orang Melayu. Ada kesan bahwa pemukiman orang Melayu makin ter¬gusur ke pinggir kota. Dalam beberapa zona perkotaan dugaan ini dapat di¬benarkan. Seperti telah disinggung di atas bahwa salah satu aspek pemekaran kota ialah perluasan fasilitas atau pusat-pusat perbelanjaan. Pusat-puat perbelanjaan ini dari segi proses perkembangannya dapat dilihat dalam lima zona (pusat perbe¬lanjaan yang juga menjadi pusat-pusat perdagangan), yang juga dapat dianggap sebagai pusat kota. Di pusat-pusat perdagangan ini tumbuh pemukiman baru. T

Orang Cina dan Minangkabau yang sebagian besar hidup di bidang perda¬gangan hampir 75% dari mereka tinggal di sekitar pusat-pusat per¬belanjaan, berbeda dengan orang Man¬dai¬ling dan Melayu yang ti¬dak banyak terlibat di bidang itu. Mereka yang berdiam di sekitar pusat-pusat perbelanjaan kota hanya sekitar 40%. Dengan demikian, kecenderungan orang Mandailing dan Melayu untuk pindah ke ping¬gir kota sebenarnya bukan dalam pengertian “ter¬singkir”, tetapi mung¬¬kin lebih banyak disebabkan karena per¬hitungan ke¬serasian ling¬¬kungan fisik.
Tempat di ping¬gir kota lebih aman dan nyaman untuk rumah dan kehidupan keluarga. Oleh karena itu terdapat kecenderungan di ka¬langan orang Mandailing untuk menjual rumah dan tanah mereka di tengah kota, seperti di Kampung Mesjid, Kota Maksum, dan Sungai Mati, dan mereka kemudian pindah ke pemukiman lain. Pemukiman orang Cina dan Minangkabau sejalan dengan arah pemekaran dan per¬luasan fasilitas pusat perbelanjaan.

8. Kesimpulan
Kehidupan orang Melayu sebagai “tuan rumah” (host popu¬la¬tion) dalam masyarakat majemuk kota Medan telah mengalami pasang surut bersama gelombang sejarah yang dihadapinya. Dari segi antropohistoris, kehidupan mereka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, pada masa kolonial orang Melayu secara formal me¬me¬gang kekuasaan pemerintahan (politik), walaupun terbatas pada aspek-aspek tertentu (adat dan agama). Kekuasaan ini dito¬pang oleh limpahan keuntungan konsesi perkebunan yang dapat dimanfaatkan oleh Sultan Melayu. Dalam posisi ini orang Melayu dapat berperan se¬bagai dominant culture, pusat orientasi akulturasi kelompok-ke¬lompok etnis perantauan di kota Medan.
Kedua, perubahan sistem ekonomi pertanian orang Melayu dari pola pertanian ekspor ke pola pertanian subsisten sebagai kon¬¬sekuensi dari pembangunan perkebunan asing merupakan set back yang besar dalam tradisi pertanian orang Melayu. Perubahan sistem pertanian ini merupakan permulaan proses pemiskinan orang Melayu.
Ketiga, karena pertimbangan prestise dan kendala normatif lainnya, orang Melayu tidak mampu berpartisipasi dan mengambil manfaat dari pembangunan dan perkembangan perdagangan kota. Dalam berpacu untuk memperebutkan posisi dalam birokrasi pe¬merintahan mo¬dern (sesudah kemerdekaan) orang Melayu ke¬¬lihatannya juga ti¬dak berdaya. Faktor utama yang menjadi pe¬nyebabnya adalah taraf pen¬didikan formal yang rendah dan semangat kompetisi yang kurang. Di samping itu tampak bahwa orang Melayu tidak siap menghadapi perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kota, yang berjalan dari ascribed status ke achieved status, di mana faktor pen¬didikan dan prestise me¬megang peran yang utama.
Keempat, revolusi sosial dan pembentukan Negara Sumatera Ti¬mur (NST) merupakan dua kasus historis yang secara po¬litis me¬nye¬¬babkan image masyarakat Melayu “kurang baik”. Se¬yogyanya di¬usahakan upaya untuk menampilkan sisi lain dari sejarah ke¬mer¬dekaan yang dapat mengimbangi image tersebut.
Kelima, gambaran bahwa orang Melayu tersingkir dari ke¬hidupan kota tidak sepenuhnya dapat dibuktikan dengan data-data fisik. Pola pemukiman orang-orang Melayu yang cenderung menjauhi pusat-pusat kota sejalan dengan preferensi okupasi orang Melayu yang tidak menyukai dunia perdagangan besar. Hal yang sama juga dapat ditemui pada orang Mandailing. Gambaran ter¬kucilnya kehidupan orang Me¬layu di kota Medan lebih banyak didasarkan pada menurunnya peran mereka dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Keenam, kehidupan majemuk kota Medan memerlukan penam¬pilan budaya Melayu sebagai pusat orientasi akulturasi da¬lam ke¬hi¬dup¬an bersama. Budaya Melayu sebagai budaya lokal masyarakat majemuk Medan harus dibangun dan diperkaya oleh semua warga kota Medan dan tidak hanya oleh orang Melayu.
Ketujuh, kebudayaan Melayu dapat berfungsi sebagai pra-ke¬¬bu¬dayaan nasional dengan syarat “membuka diri” terhadap peng¬kayaan gagasan kolektif yang membangun. Dengan demikian ke¬budayaan Melayu akan berfungsi sebagai salah satu identitas kota Medan.

Daftar Pustaka
Anderson, J. 1924. Mission to East Sumatra: A Report. London: Blackwood.
Bruner, E. M. 1974. “The Expression of Ethnicity in Indonesia, ” dalam Urban Eth¬ni¬¬city. A. Cohen (Ed.). London: Tavistock.
Husny, T. L. 1976. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Deli Sumatera Timur 1612-1950. Medan: Badan Penerbitan Husny.
Langerberg, M. v. 1982. Class and Ethnic Conflict in Indonesia‘s Decolonization Process: A Study of East Sumatera, Indonesia. Ithaca: Southeast Asia Pro¬ject, Conell University.
Mahadi. 1978. Sedikit Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah Suma¬tera Timur. Bandung: Penerbit Alumni.
Meuraxa, D. 1975. Sejarah Hari Jadinya Kota Medan. Medan: Sastrawan.
Mu‘thi, A. 1957. Tiga Puluh Tahun Muhammadiyah Daerah Sumatera Timur. Medan: Panitia 30 Tahun Muhammadiyah.
Nagata, J. 1982. “Islamic Revival and the Problem of Legitimacy Among Rural Re¬ligius Elites in Malaysia”. Man 17 (1).
Pelly, U. dan Darmono. 1981. Pandangan tentang Makna Hidup dan Transi¬sio¬nalitas Masyarakat: Studi Kasus Sumatera Utara. Jakarta: Studi Stra¬tegi Kebudayaan, LIPI.
Pelly, U. dkk. 1983. Sejarah Sosial Kota Medan. Jakarta: IDSN Depdikbud.
Pelly, U. 1977. Ulama di Kesultanan Melayu. Laporan Penelitian, Jakarta LEK¬NAS LIPI.
–––––––––––. 1980. Ethnicity and Religious Movements: A Study of Urban Adap¬ta¬tion Among Mandailing Batak and Minangkabau, and Their Role in Washliyah and Muham¬madiyah. Thesis. University of Illinois, Urbana- Champaign.
–––––––––––. 1983. Urban Migrations and Adaptation in Indonesia: A Study of the Minangkabau and Mandailing Batak Migrations in Medan, North Suma¬tera. Disertasi University of Illinois, Urbana-Champaign.
Pelzer, K. J. 1978. Planter and Peasant: Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Coast Sumatera (1863–1947). s‘Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Said, M. 1973. “What was the Social Revolution of 1946 in East Sumatera in Indonesia?”. Indonesia No. 15.
–––––––––––. 1977. Koeli Kontrak Tempoe Doeloe, dengan Derita dan Kemarah¬annya. Medan: Percetakan Waspada.
Sinar, T. L. 1976. The Impact of Dutch Colonialism on The Malay Coastal States in The East Sumatera During the 19 Century.
Sulaiman, N. 1956. Seperempat Abad Al-Djamiatul Washliyah. Medan.
Thaib, R. dkk. 1959. Lima Puluh Tahun Kotapraja. Medan: Panitia 50 Tahun Kota¬¬praja Medan.
oooOooo
_____________________
Prof. Dr. Usman Pelly, MA., adalah Dosen Luar Biasa IKIP Medan, Fakultas Sastra dan Ilmu Sosial Politik, Universitas Sumatera Utara dan IAIN Sumatera Utara. Lahir di Lhoksumawe pada tanggal 12 Juli 1938. Tahun 1962 lulus Sar¬jana Muda dari FKIP Universitas Sumatera Utara; tahun 1969 lulus Sarjana IKIP Medan. Master of Arts bidang Antropologi diperolehnya dari University of Illinois, USA pada tahun 1980; Ph.D. dalam bidang Antropologi Kependu¬duk¬¬an diperoleh dari University of Illinois, USA pada tahun 1983; dan Akta V/B Universitas Terbuka diperoleh pada tahun 1984. Dia aktif dalam berbagai kegiatan. Dia tercatat sebagai anggota The Honor Society Phi Kappa Phi (1978); anggota The American Anthropological Association (AAA); Ketua Komisariat HIPIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial) Medan dan sekitarnya; ang¬gota DPP MSI (Dewan Pimpinan Pusat Masyarakat Seja¬ra¬wan Indonesia); dan anggota Himpunan Studi Pengembangan Ilmu Wilayah Sumatera Utara.
Sesuai dengan profesinya sebagai dosen, dia juga aktif dalam du¬nia penelitian dan tulis-menulis. Hasil karyanya antara lain “Ara dan Perahu Bugisnya: Suatu Studi Pewarisan Keahlian Membuat Perahu Orang Bugis Kepada Anak dan Keturunan¬nya”, PLPIIS, Universitas Hasanuddin, 1975; “Peranan Ulama di Tiga Kesultanan Melayu Pesisir Sumatera Timur”, Leknas LIPI, 1976; “Ethni¬city and Religious Movement in East Sumatera”, thesis University of Illinois, USA, 1980; “Urban Migration and Adaptation in Indonesia: A Study of the Minang¬kabau and the Mandailing Batak Migrants in Medan, North Sumatra”, disertasi University of Illinois, USA, 1983; “Symbolic Aspect of Bugis Ship and Ship Building”, Journal of the Steward Anthropological Society, 8(2), 1977; “Differing Adaptation in Urban Migration”, makalah dalam The 8Ist Annual Meetings of the American Anthropological Association, Washington, D.C., 1982.
_____________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985. (Dengan penambahan hyperlink dari MelayuOnline.com)
Mengingat pentingnya makalah ini, Redaksi MelayuOnline.com memuat ulang dengan penyuntingan seperlunya.
Kumpulan makalah (prosiding) seminar ini telah dibukukan dengan judul “Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan”, dengan editor Prof. Dr. Heddy Shri Ahmisa-Putra, setelah dilakukan penyuntingan ulang pada klasifikasi dan urutan pada daftar isi, bahasa, maupun perubahan judul. Editor juga memberikan Wacana Pembuka dan Wacana Penutup serta Kata Pengantar pada setiap bagian. Diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Edisi Eksklusif (Hard Cover), 965 halaman.
Seluruh makalah pada buku tersebut akan dimuat berdasarkan urutan bagian secara bergantian. Buku tersebut terdiri atas 36 (tiga puluh enam) makalah pilihan yang terbagi dalam 8 (delapan) bagian yakni, 1) Sejarah dan Keragaman Kesulatanan Melayu; 2) Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia; 3) Sastra Melayu dan Sastrawan Melayu; 4) Naskah Melayu dan Penelitiannya; 5) Seni Pertunjukan Melayu; 6) Kepribadian, Adat Istiadat dan Organisasi Sosial Melayu; 7) Teknologi Melayu; dan 8) Melayu dan Non-Melayu.

sumber: 17 Januari 2008 15:55 (Melayu.online.com

Rabu, 07 Januari 2009

Meretas Jejak Melayu di Tanjungpinang

Catatan : Suyadi San

Apabila banyak berkata-kata

di situlah jalan masuk dusta

Apabila banyak mencela aorang
Itulah tanda dirinya kurang

Ya, sajak itu setidaknya jadi tawar-sedingin ketika saya berkesempatan menziarahi makam Raja Gurindam, Raja Ali Haji. Menjejaki kaki di komplek pekuburan raja Yangdipertuan Muda di Pulau Penyengat itu seperti jadi keharusan. Tak lengkap rasanya berdiam di kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, jika tak singgah ke situ.
Boeing 747 Sriwijaya Air mendarat mulus di bandar udara (bandara) Raja Haji Fisabilillah Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Selasa (16/12) malam। Raja Haji Fisabilillah? Pertanyaan ini mengemuka di benak saya। Kata fisabilillah terus menggayuti pikiran saya
Namun untuk sementara saya menyimpan kepenasaran terhadap kata itu। Sebab, kami berdua belas harus bergegas। Ruang kedatangan dan tempat pengecekan bagasi di bandara Raja Haji Fisabilillah tidak begitu besar। Mirip sebuah aula। Bahkan lebih kecil dari Ruang Tari Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Medan, mungkin.
Saya beserta sebelas teman penyair lainnya bakal mengisi Parade Baca Puisi Serumpun dalam Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) II yang digelar Pemerintah Kota (Pemkot) Tanjungpinang.
Turut bersama saya para penyair dan deklamator terkemuka, di antaranya, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noor, Sosiawan Leak, Asrizal Nur, Chavchai Saifullah, Inggit Putria Marga, Ramayani, Irman Syah, Sihar Ramses Simatupang, Rukmy Wisnu Wardani, dan Amin Kamil.
Kami berdua belas janji ketemu di bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Dari sinilah kami bermula untuk bersama menuju Tanjungpinang. Entah mengapa, Asrizal Nur selaku pimpinan rombongan mempertemukan kami di Soekarno-Hatta. Mungkin, lantaran kami akan menapaki jejak gurindam dua belas di Tanjungpinang.
Selain kami, sebenarnya ada sastrawan lain yang juga akan mengisi kegiatan serupa. Yakni, Sutardji Calzoum Bachri, Yurnaldi, LK Ara, Hoesnizar Hood, Nurlaily, Zulhamdani, Machzumi Dawood, Tarmizi rumahitam, Teja Alhabd, Bobby Jayanto, dan Suryatati Tahier Abdul Manan. Mereka berangkat masing-masing dari daerah asalnya.
*
Kepenasaran saya tampaknya segera terjawab. Rabu (17/12) siang, kami memanfaatkan waktu menyeberang ke Pulau Penyengat. Asrizal Nur menunjuk Ahmadun Yosi Herfanda untuk memimpin perjalanan kami.
Penamaan pulau penyengat menambah deretan kepenasaran. Saya tidak sendirian. Yang baru pertama kali berjejak di kota bauksit pulau Bintan ini, juga seperti saya. Kecuali Ahmadun dan Irman Syah. Kami pun bergurau, siap-siap benjol disengat lebah karena tidak pakai helm.
Konon, pulau mungil di muara sungai Riau ini sudah lama dikenal para pelaut sejak berabad-abad lalu, sebagai tempat persinggahan untuk mengambil air tawar yang cukup banyak tersedia.
Nama ”penyengat” diberikan kepada pulau itu, karena pernah pelaut-pelaut yang sedang mengambil air bersih di tempat itu disengat semacam lebah hingga menelan korban. Sejak peristiwa itu, pulau tersebut terkenal di kalangan pelaut dan nelayan dengan panggilan ”Pulau Penyengat”.
Pulau Penyengat terletak di sebelah Barat dengan luas tidak lebih dari 3,50 km dan berjarak sekitar 1,5 km dari kota Tanjungpinang. Naik kapal boat pompong hanya butuh waktu 15 menit dengan ombak yang sedang. Tanahnya berbukit-bukit terdiri atas pasir bercampur kerikil. Pantainya landai, sebagian berumput, sebagian berbatu karang.
Pulau ini terdiri atas beberapa kampung, tergabung dalam suatu desa atau kepenghuluan: Kepenghuluan Pulau Penyengat. Jumlah penduduknya 2.224 jiwa (2004), sebagian besar adalah etnis Melayu dan sehari-hari berbahasa Melayu. Ya, inilah bahasa Melayu yang telah lama saya kenal.
Di pulau ini, Raja Ali Haji, pujangga terkenal, menyusun kaidah-kaidah tata bahasa, ejaan, dan perkamusan; menjadikan bahasa Melayu Riau layak dipakai sebagai bahasa surat-menyurat, bahasa buku, dan bahasa kesusastraan.
Pada pertengahan abad ke-19, van Ophuysen dan von de Wall (ahli bahasa Melayu berkebangsaan Belanda) mendalami bahasa Melayu di Riau. Mereka pun menyarankan kepada pemerintahan kolonial kala itu agar bahasa yang sudah teratur susunannya itu, mudah dan mempunyai prospek yang cerah di masa yang akan datang, dijadikan bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumi putera di seluruh jajahan Belanda.
Hingga sekitar tiga perempat abad yang lalu, bahasa yang dipakai di Pulau Penyengat ini masih dipandang sebagai puncak bahasa lisan Melayu. Mirip sekali dengan bahasa yang digunakan masyarakat Malaysia ketika saya berada di sebuah resor di Pulau Pinang pertengahan 2004, sehingga saya pun bergumam, ”Masih Indonesiakah Tanjungpinang ini?”.
Pulau ini pun masih meninggalkan banyak catatan, kitab-kitab, dan naskah-naskah, sebagai bahan tempat merujuk bahasa Melayu. Di antaranya, tulisan tangan Al Quran yang terdapat di dalam Masjid Raya Pulau Penyengat. Masjid ini didirikan pada 1 Syawal 1249 H atau 1832 M atas prakarsa Yang Dipertuan Muda VII, Raja Abdul Rahman (Marhum Kampung Bulang).
Pembangunan masjid tersebut, menurut penduduk setempat, mempergunakan putih telur sebagai campuran kapur untuk memperkuat beton kubah, menara, dan bagian tertentu lainnya. Ya, mirip pembuatan dinding candi.
Sekitar seratus meter dari depan komplek masjid itu, terlihat puing-puing bangunan. Saya menduga, tempat itu pasti menyejarah sehingga terbiarkan. Benar saja. Itulah sisa-sisa gedung Engku Haji Daud, tabib kerajaan. Peninggalan abad lampau dan saksi sejarah.
Tidak jauh dari situ, persis di sebelah Kantor Pembangkit Listrik Pulau Penyengat, terdapat Komplek Makam Engku Puteri. Di komplek ini terdapat pusara tokoh-tokoh terkemuka kerajaan Riau. Yakni, pusara Raja Haji Abdullah (Marhum Mursyid, Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX), pusara Raja Ali Haji, pusara Raja Haji Abdullah, dan kerabat Engku Puteri lainnya.
Engku Puteri atau Raja Hamidah adalah Puteri Raja Haji (Marhum Teluk Ketapang). Ia dipersunting menjadi permaisuri Sultan Mahmud (Marhum Masjid Lingga). Pulau Penyengat dibangun menjadi negeri oleh Sultan Mahmud untuk dihadiahkan kepada Engku Puteri sebagai mahar perkawinan mereka. Bait-bait Gurindam XII gubahan Raja Ali Haji terdapat pada dinding-dinding tembok komplek makam Engku Puteri.
Lalu, siapakah Raja Haji Fisabilillah? Beliau tidak lain adalah Yangdipertuan Muda Riau-Lingga Johor dan Pahang IV, tokoh dan pahalawan Melayu terkemuka. Dia pernah menjadi Pangeran Suta Wijaya di Jambi, menaklukkan dan menjadi penguasa Inderagiri, menyeponsori pngangkatan Syarif Abdul Rahman sebagai Sultan Pontianak serta membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau dan menjadi kota terkenal dengan sebutan ’Kota Piring’.
Raja Haji gugur sebagai kusuma bangsa pada 1784 di Teluk Ketapang (Melaka) tatkala melakukan penyerangan terhadap pusat kedudukan dan pangkalan maritim Belanda di Melaka, sebagai pembalasan terhadap serangan kompeni Belanda ke Riau. Setelah jenazahnya beberapa tahun dikem\bumikan di Melaka, pada masa pemerintahan anaknya, Raja Jaafar menjadi Yangdipertuan Muda, pusara Raja Haji dipindahkan ke Pulau Penyengat.
Impas sudah kepenasaran saya. Sebenarnya masih banyak jejak sejarah di pulau ini, namun kami harus cepat sampai ke Tanjungpinang lagi untuk menyiapkan diri mengisi Parade Puisi Serumpun.
*
Pada panggung Parade Puisi Serumpun di Gedung Aishah Sulaiman, kami dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama tampil Rabu malam (17/12), yakni, Asrizal Nur, Chavchai Saifullah, Inggit Putria Marga, LK Ara, Bobby Jayanto, Ahmadun Y Herfanda, Ramayani, Teja Alhabd, Irman Syah, Sihar Ramses, Rukmy Wisnu, Tarmizi, dan Amin Kamil.
Kelompok kedua tampil Kamis malam (18/12), yaitu, saya (Suyadi San), Yurnaldi, Nurlaily, Zulhamdani, Machzumi Dawood, Sosiawan Leak, Acep Azamzam Noor, Hoesnizar Hood, Suryatati Tahier, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Nafas puisi yang ditampilkan para penyair serumpun ini sebenarnya sangat beragam. Namun, saya begitu terkejut ketika Ahmadun membacakan puisi Sajak Mabuk Zaman Edan. Sedangkan satunya lagi, Sembahyang Rumputan sering dimusikalkan oleh Sangga GENERASI pimpinan saya.
Mengapa saya terkejut? Ya, begitu khidmatnya Ahmadun mengucapkan ”/tuhan, maafkan, aku mabuk lagi/dalam pusingan anggur peradaban/menggelepar ditindih bayang-bayang kekuasaan/seember tuak kebebasan mengguyurku/membantingku ke ujung kakimu/...”, seolah-olah ia memang baru menenggak minuman keras.
Begitu trance-nya ia melafazkan /tuhan, maafkan, aku mabuk lagi/ dalam tiap bait puisinya. Alamak, batin saya seperti ikut tertikam pilu. Apalagi ketika dia menyebutkan ”/aku mabuk lagi, terkaing-kaing/di comberan negeriku sendiri. pilkada/menggasak-gasakku, bendera partai/mengelabuhiku, pidato pejabat/merobek-robek telingaku...//”.
Melalui sajak tersebut, ia terus mengkritisi kondisi zaman. Tak peduli di gedung itu hadir Wakil Walikota Tanjungpinang Edwar Mursali dan Ketua DPRD Tanjungpinang Bobby Jayanto. Untungnya, Bobby Jaayanto yang juga tampil sebelum Ahmadun lebih dahulu membacakan sajaknya berjudul Maaf.
Kritik terang-terangan juga dilakukan Acep Zamzam Noor. Melalui sajak Ada Banyak Cara, Acep yang juga dibesarkan dari kaum agamais menyatakan ”Ada banyak cara/untuk melacurkan diri/salah satunya/menjadi politisi//ada banyak cara/untuk disebut politisi/salah satunya sukai memakai dasi//ada banyak car/untuk selalu memakai dasi/salah satunya/karena tidak percaya diri//...///”. Dan seterusnya.
Penyair dan deklamator Sosiawan Leak melalui sajak Dunia Bogambola juga merasakan ketidakpuasannya terhadap kondisi di tanah air. Lihat saja sembari bernyanyi-nyanyi bogambola berkali-kali dia miris berpendapat, ”//siasia undang-undang aborsi, pasal pembunuhan terencana/apalagi polisi/sebab narkoba dan prostitusi tersembunyi/mempolusi setiap gang dan sekolahan/hakim kehilangan meja, ditinggal pengacara dan jaksa/yang bersaing membanting harga//...”.
Begitulah. Para penyair serumpun pada parade puisi RBM meninggalkan sejumlah catatan, agar penerus negeri ini benar-benar memperhatikan masa depan bangsa daripada ingin memenangkan dirinya sendiri ataupun kelompok.
*
RBM II 2008 secara resmi ditutup Sabtu malam (2012) oleh Walikota Suryatati Tahier di Lapangan Pamedan A Yani Tanjungpinang, sekaligus mengakhiri serangkaian kegiatan seni dan budaya, seperti pergelaran seni, peraduan pantun, parade puisi, perkemahan budaya ASEAN, dan seminar budaya Melayu.
RBM ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting menyangkut pengembangan budaya Melayu. Salah satunya adalah adanya keharusan dari pemerintah pusat dan daerah untuk memfasilitasi aktivitas dan kreativitas bersastra di masyarakat, baik secara lisan atau tulisan.
Kemudian, menjadikan pantun, syair dan Gurindam yang sudah berkembang baik di tengah masyarakat Melayu, supaya lebih dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Sekaligus menjadikannya sebagai salah satu pelajaran muatan lokal yang wajib.
Untuk menunjang proses pembelajarannya, perlu dilakukan pelatihan guru-guru yang berkompeten, kurikulum yang komprehensif dan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Termasuk, bahan pelajaran yang memenuhi syarat secara kualitas dan kuantitas. Simpulan rekomendasi ini dihasilkan tim perumus yang diketuai Abd Malik dengan anggota Mahyudin Al Mudra, Marhalim Zaini, dan Bisri Effendi.
Selain kedua rekomendasi itu, RBM juga merekomendasikan perlunya pemerintah mengalokasikan anggaran yang memadai. Gunanya, untuk membangun perpustakaan sekolah dan masyarakat. Selanjutnya taman bacaan, penerbitan buku dan lomba penulisan ilmiah atau kreatif.
Direkomendasikan juga kepada pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan studi dan penelitian kebudayaan, sastra Melayu, baik yang klasik maupun yang modern. Kemudian, memberikan penghargaan dan apresiasi kepada seniman, budayawan, media massa dan lembaga kebudayaan.
Bahkan, perlu dibentuk sebuah lembaga pemberi penghargaan yang bernama Hadiah Raja Ibahim yang disponsori pemerintah dan stakeholder lainnya. Di samping itu, gerakan awal kebangkitan nasional sebenarnya sudah dimulai sejak berdirinya Rusyidah Club di Pulau Penyengat tahun 1892.
RBM ini sendiri dibuka secara resmi oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Selasa (16/12), di Kawasan Budaya Raja Ali Haji, Senggarang, Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
”Budaya Melayu merupakan bagian dari budaya Indonesia, karena itu perlu dipertahankan dan dijaga, agar tidak tercemar oleh budaya asing yang merugikan. Kebudayaan Melayu merepresentasikan bangsa Melayu sebagai bangsa yang santun bijaksana, cinta damai, menjaga harga diri, setia, dan sabar,” tutur Meutia Hatta. Inilah pamungkas dari perjalanan kami menapaki situs Melayu di Tanjungpinang. Bravo! ***




Keterangan Foto : Penyair Ahmadun Yosi Herfanda saat tampil pada panggung Parade Puisi Serumpun Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) II di gedung Aisyah Sulaiman Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, 17-18 Desember lalu. (foto : Suyadi San)

sumber : Waspada, 5 Januari 2009