Oleh : Suyadi
HAMPIR seluruh televisi di Indonesia
belakangan ini marak menghidangkan sajian drama relegius. Apalagi, pada tiap bulan
Ramadan dan Hari Besar Islam. Tiba-tiba
saja seluruh stasiun televisi kita gandrung menayangkan sinema elektronik
(sinetron) ini. Berbagai tanggapan pun menyemai seiring tayangan siaran
tersebut.
Sinetron religius tampaknya mulai
mengemuka tatkala bangsa ini dikejutkan dengan bencana alam dan tsunami di Aceh
dan Sumatera Utara 26 Desember 2004. Fakta menyebutkan, yang selamat
beranggapan bahwa ia masih diberi
kesempatan oleh Allah Swt untuk tetap menghirup napas kehidupan.
Media massa pun menyiarkan
beragam feature human interest, baik para keluarga korban yang meninggal maupun
hidup. Betapa tidak? Maut yang mengintai dari gulungan ombak itu seketika
meluluhlantakkan seluruh ciptaan Allah. Dengung ”Allahu akbar” dan adzan berkumandang spontan di antara jeputan
Sang El Maut.
Kondisi serupa dialami daerah
lain yang juga terkena bencana. Di antaranya, gempa Nias, Sumatera Barat,
Pangandaran, Bantul dan Yogyakarta serta kini Bengkulu dan Sumatera Barat.
Semua itu mengingatkan manusia kepada Sang Pencipta Langir dan Bumi.
Beranjak dari musibah itu,
seluruh stasiun televisi pun latah menyiarkan mengenai kekuasaan Tuhan
tersebut. Bencana alam itu menjadi
pemantik programa siaran yang dianggap sangat dekat dengan publik. Maka,
tema-tema religius jadi komoditas unggulan pada tiap tabung layar kaca.
Televisi pun berlomba menyiarkan
produk unggulan tersebut. Variasi tayangan drama serial yang berklaim religius
merupakan jenis tontonan (fiksi) yang bertendens. Artinya, tayangan-tayangan
tersebut dibuat dengan kesengajaan dan penuh kesadaran untuk memberikan
“pencerahan”, berpretensi menasihati serta diharapkan menjadi contoh dan
pelajaran bagi penontonnya.
Tak heran, modus
dan pola tayangan-tayangan tersebut semuanya sama dan sederhana saja, intinya “jaal haq wa dzahaqal bathil”. Kebenaran
(yang datang kemudian) melenyapkan kebathilan. Tokoh-tokoh yang dalam kaca mata
agama dianggap dzalim akan menemui ajalnya secara mengerikan dan tidak
wajar.
Lewat
tayangan-tayangan semacam itu, kita menyaksikan dramatisasi yang luar biasa
atas sesuatu yang dianggap jahat, salah, dosa, terlaknat. Strategi naratif,
kalau boleh dibilang begitu, semacam itu tentu saja dimaksudkan untuk
memberikan efek tertentu bagi penonton, sesuai pesan yang hendak disampaikan.
Karena dari awal
memang bertujuan mengabdi pada pesan itulah, maka tayangan-tayangan jenis ini
tak terlalu mementingkan alur cerita, bahkan termasuk premis-premis dasarnya
maupun logika dan unsur-unsur lainnya. Apapun bisa terjadi begitu saja, tak
perlu alasan dan penjelasan yang masuk akal. Yang penting tujuan tercapai:
pesan tersampaikan.
*
Karya seni (yang baik) senantiasa mengandung nilai
(value). Nilai itu dikemas dalam
wujud struktur karya seni, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar,
tokoh, tema, dan amanat (tendens).
Nilai yang terkandung
dalam karya sastra itu, antara lain adalah nilai hedonik, nilai artistik, nilai
kultural, nilai etis, moral dan agama, serta nilai praktis. Tampaknya,
nilai-nilai ini sarat terkandung di dalam tayangan sinetron religius ini.
Nilai hedonik, misalnya, yaitu nilai yang dapat
memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca. Ini bisa dilihat dari
tema-tema kematian yang dibalut dalam berbagai versi karena dianggap musrik dan
ingkar terhadap agama.
Niilai artistik, yaitu nilai yang dapat
memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melaksanakan suatu
pekerjaan. Ini bisa dilihat dari teknik pengambilan gambar, animasi, dan
kompugrafi yang mengajak kita seolah-olah melihat secara jelas makhluk-makhluk
halus ciptaan Tuhan.
Nilai kultural, yaitu nilai yang dapat memberikan
atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau
kebudayaan. Biasanya, tayangan ini mengisahkan pemutarbalikan terhadap
kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu masyarakat. Misalnya, memelihara jin dan
berteman dengan setan.
Nilai etis, moral, dan agama, yaitu nilai yang
dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan
etika, moral, atau agama. Di sini biasanya berlakulah tokoh ulama atau ustadz
yang selalu mampu mengatasi kemelut manusia melawan makhluk-makhluk jahat.
Lalu, nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang
dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai praktis inilah yang
kerap terjadi di televisi kita. Kita diajarkan seolah-olah gampang mengusir
hantu hanya dengan benda-benda tertentu.
Dalam bahasa
Michel Foucault, dalam dua hari telah terjadi “pelipatgandaan produksi wacana
tendensius” yang luar biasa lewat tayangan (media) televisi. Jika produk media
(massa) adalah cermin dari realitas masyarakat di ruang dan waktu di mana ia
lahir, maka kita pun barangkali menjadi bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi
di “luar sana”?
Saya membayangkan
sebuah masyarakat yang sedang dilanda kepanikan moral yang luar biasa,
disebabkan masalah moral dan sosial. Kepanikan semacam itu tampaknya dirasakan
para pembuat tayangan fiksi berklaim religius sehingga beramai-ramai mengangkat
kisah yang memberi peringatan akan ancaman yang sedang melanda masyarakat itu.
Namun, apa yang
terjadi sebenarnya? Fakta di lapangan menunjukkan sesuatu yang berbeda ketika
kita menonton berita-berita di TV dan membaca koran. Yang terlihat dan terbaca
adalah masyarakat yang mengalami mimpi terburuk dalam hidupnya karena tiba-tiba
saja desa tempat mereka membangun kehidupan dibanjiri lumpur panas bocoran dari
sebuah pabrik.
Yang terlihat dan
terbaca adalah kelangkaan minyak tanah dan pemadaman listrik oleh PLN seperti
minum obat. Yang terlihat dan terbaca adalah pencurian beribu-ribu kayu
glondongan di Kalimantan dan Sumatera yang tak ternilai harganya. Yang terlihat
dan terbaca adalah banjir di sejumlah wilayah karena penggundulan hutan di
sekitarnya. Dan banyak lagi.
Kasus-kasus
itulah sebenarnya yang menggambarkan kepada kita bahwa bencana – bukan – alam
melainkan bencana akibat kecerobohan segelintir manusia tak bertanggung jawab
yang merugikan banyak orang bisa terjadi, selalu terjadi dan terus terjadi di
negeri ini.
Sebab, yang kita cemaskan
selama ini –seperti tecermin dalam kepanikan masyarakat yang digambarkan oleh
tayangan-tayangan fiksi berklaim religius itu- adalah hal-hal yang sebenarnya
tidak pernah menjadi ancaman apa-apa di masyarakat
Yang mereka temui
sehari-hari adalah kemiskinan, himpitan beban hidup yang antara lain diperparah
oleh kondisi ekonomi negara yang dikendalikan pejabat-pejabat bodoh, rakus,
korup dan kebal hukum.
Bangsa ini telah
terpuruk begitu jauh dalam kubangan situasi yang seakan tak bisa diperbaiki
lagi. Orang-orang mendaftar menjadi anggota DPRD dengan ijazah palsu. Pilkada
di mana-mana rusuh dan tak jarang sampai menimbulkan pertumpahan darah. Korupsi
makin merajalela dan dilakukan secara transparan serta sistematis, namun tak
satu pun bahkan yang paling teri sekali pun bisa diseret ke pengadilan.
Dalam kebingungan
dan ketakberdayaan, orang butuh pelampiasan, tempat atau cara untuk melarikan
diri guna menemukan semacam musuh bersama yang bisa mengembalikan kekuatan
moral dan rasa percaya diri. Dan, tayangan-tayangan berklaim religius itu adalah
bagian dari upaya ini.
Orang-orang sirik,
musrik, dan aneka kejahatan lainnya ditampilkan sebagai makluk berdosa,
terkutuk, terlaknat –dengan penggambaran yang luar biasa ekstrem hingga sampai
ke titik absurd- agar masyarakat yang menonton tayangan itu merasa masih
(lebih) punya moral, masih (cukup) berarti, bisa sedikit (merasa) bahagia
kendati tengah berada dalam keterpurukan dan tak berdaya menghadapi
masalah-masalah yang muncul dalam konteks kehidupan berbangsa.
*
Begitulah.Apa yang disebut sebagai
sinetron religius terus memenuhi tabung televisi publik Indonesia. Rasanya
tidak satu pun televisi yang alpa dari penayangan jenis sinetron itu. Sehingga
hampir tidak mungkin rasanya kita menghindar dari hidangan kisah yang dianggap
bernuansa agama itu.
Komentar para ustadz muda
yang meminta pemirsa untuk menyaksikan sinetron tersebut semakin menambah
pekatnya aroma keagamaan dalam tayangan itu. Terlebih dalam bulan Ramadan ini.
Suka tidak suka, para pemirsa seakan dipaksa menonton sinetron itu.
Konon, beberapa sinetron itu
benar-benar digali dari kisah nyata kehidupan. Ia bukan hasil rekayasa yang
fiktif. Bukan hasil olah imajinasi sang penulis naskah dan sang sutradara. Dan
memang, ada banyak kisah yang dituturkan dalam sinetron tersebut. Mulai dari
kisah tragis kematian seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya, hingga
kisah kegetiran hidup seseorang yang membangkang Tuhan.
Dimensi tragis kematian
orang-orang durjana itu ditunjukkan dengan beragam cara, seperti jenazahnya
tertolak bumi; dari kuping mereka keluar jangkrik; mati muda tersambar petir;
dan meninggal dunia lalu menjadi pocong atau hantu yang menakutkan. Sinetron
religius itu seakan hendak mempertontonkan bahwa demikianlah siksa yang akan
diterima orang-orang yang menyangkal orang tua dan memprotes titah Tuhan.
Salah satu motif atau tujuan
yang hendak dicapai penayangan sinetron itu adalah menyemarakkan dan melebarkan
syiar Islam. Pertanyaannya, apakah tujuan itu dengan mudah dapat dicapai?
Ada yang beranggapan, alih-alih
mencapai tujuan, ada problem krusial dari sinetron seperti ini.
Sinetron-sinetron itu dianggap telah terjebak dalam tindak pembanalan terhadap
ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Islam versi Nabi Muhammad
SAW, dinilai tiba-tiba menjadi identik dengan pocong dan demit.
Sinetron-sinetron itu telah berhasil menjadikan Islam sebagai agama yang penuh
aura magis dan agama yang tidak rasional.
Padahal, kanjeng Nabi
Muhammad pernah bersabda bahwa al-dîn `aqlun lâ dîna liman la `aqla lah.
Agama itu rasional; bukanlah orang beragama orang yang tidak bisa memungsikan
akalnya secara optimal. Islam hadir di tanah Arab pertama-tama untuk mengoreksi
ajaran-ajaran yang irasional tersebut.
Ada juga yang
beranggapan, sinetron religius seolah-olah memperlihatkan bahwa agama telah dijadikan begitu sempit
pemahamannya oleh sebagian kelompok. Hal ini tentu sangat berbahaya terutama
bagi kalangan atau orang-orang yang agak lemah pemahamannya terhadap agama.
Mereka tentu akan menilai
bahwa Islam ternyata hanya agama mistis. Meskipun dalam tanyangan tersebut ada
upaya rasionalisasi terhadap apa yang hendak disampaikan dari sebuah realitas
keseharian masyarakat, namun justru tidak rasional. Bahkan terkesan seolah-olah
sesuatu yang berada dialam gaib dibawa-bawa dalam alam realitas dunia.
Lalu, ada pula
yang menilai, sinetron religius
memang perlu ditampilkan tapi tanpa melebih-lebihkan unsur mistisnya. Yang ada
malah orang-orang lebih menyukai adegan mistisnya daripada tujuan pokoknya.
Dan seterusnya. Karena itu, ada saatnya kita perlu mendengarkan anjuran
dari beberapa ulama MUI. Sikap MUI dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) pada
dua minggu Ramadan terhadap masalah ini patut kita acungi jempol. Merancang ulang
apa yang disebut sebagai sinetron religius itu adalah cara terbaik yang bisa
dilakukan.
Sejalan dengan pendapat Abdul
Moqsith Ghazali (2005), seyogyanyalah para ustad dan mubalig yang mendukung
penayangan sinetron itu mulai mengevaluasi diri, karena dukungan beliau-beliau
itu akan memengaruhi opini publik; seakan Islam adalah agama yang mengajarkan
hal-hal magis yang tidak rasional.
Yang jelas, merebaknya
sinetron-sinetron religius tersebut di satu sisi merupakan prestasi yang
membanggakan. Hal ini menunjukkan dunia persinetronan di tanah air mengalami
grafik naik.
Bila dibandingkan dengan
perkembangan dunia perfilman, dunia persinetronan bisa dikatakan jauh lebih
berkibar meskipun akhir-akhir ini dunia perfilman di negeri ini mengalami
semacam kebangkitan dari kelesuan selama beberapa waktu lalu.
Namun ada beberapa hal yang
perlu dikoreksi para sineas industri televise kita. Pertama, dari segi material
hampir semua sinetron “religius” tersebut menampilkan suatu cerita yang
menggambarkan sisi “menakutkan” dari figur Tuhan. Tuhan seringkali digambarkan
sebagai figur “Pengazab”.
Memang pengilustrasian
semacam ini tidak salah dan sah-sah saja karena Tuhan memang pada substansinya
mempunyai sisi “Pengazab”. Namun menurut hemat penulis, penggambaran seperti
itu hanya membuat pikiran kita terkonstruk oleh “ketakutan-ketakutan” yang
tidak proporsional
Tanpa bermaksud menyalahkan,
sudah semestinya pembuat sinetron religius lebih banyak menampilkan sisi rahman dan rahhim Allah Swt sehingga sinetron tersebut mempunyai nilai-nilai
edukasi yang bernuansa spiritual-transendental bukan sekadar hiburan.
Kedua, karakter
pemeranan seorang tokoh agama (baca: kyai atau ustadz) yang digambarkan dalam
sinetron “religius” tersebut cenderung mengalami disfungsi dan tereduksi.
Artinya seorang
tokoh agama dalam sinetron religius tersebut melulu ditampilkan dalam karakter
atau watak yang bersifat mistik an sich
atau lebih tepatnya klenik, bukan dalam watak sejatinya, yaitu watak sebagai
tokoh agama dalam arti sesungguhnya.
Walaupun dalam
fakta kehidupan sehari-hari tokoh agama memang dianggap mempunyai daya linuwih dan banyak yang membantu
menyelesaikan permasalahan manusia yang bersifat mistik, seperti mengusir Jin
jahat, mengobati orang yang kena santet, dan sebagainya.
Kalau hal ini dibiarkan terus
tidak menutup kemungkinan akan terjadi pencitraan yang keliru tentang karakter
tokoh agama yang identik dengan seorang dukun.
Ketiga, timbul sebuah
pertanyaan, apakah kejadian yang diceritakaan dalam sinetron religius tersebut
memang benar-benar terjadi seperti yang diklaim oleh pembuatnya, jangan-jangan
itu hanya rekaan saja.
Sependapat pula dengan Ahmad Asroni, Direktur Religions and Tolerance Studies Forum, Yogya (2006), penulis
beranggapan, nalar dan hukum
kapitalisme sangat kental berlaku pada sinetron ini. Indikasi wajah kapitalisme
adalah tidak sedikit dari tayangan televisi yang menyuguhkan acara yang
mempunyai tema yang sama dan kemasannya pun sama.
Penulis sebut fenomena
ini sebagai “me too culture”. Artinya, ada kecenderungan budaya bangga
untuk meniru hal-hal yang sedang trend. Nalar kapitalisme mengatakan bahwa
“produksi yang disukai pasar akan terus diproduksi”.
Selain tayangan sinetron
religius masih seabrek tayangan yang tema dan kemasannya sama atau hampir sama,
sebut saja tayangan AFI, Indonesian Idiol, API, KDI, Dai, Pildacil, Mama Mia, Uang
Kaget, Tolong, Nikah Gratis, dan lain-lain.
Sekali lagi tanpa bermaksud
mencibir, tayangan-tayangan tersebut —terlepas dari nilai positifnya—
mengindikasikan ketidakkreativitasan pelaku persinetronan di negeri ini.
Karena itu, sudah seyogyanya insan persinetronan dan perfilman di
tanah air merekonstruksi paradigma kapitalistik menjadi paradigma
edukatif-spiritualistik sehingga mereka bisa menghasilkan sinetron atau film
yang benar-benar berkualitas dan mencerdaskan masyarakat.
Tak ketinggalan
pula, masyarakatpun harus bersikap kritis dan apresiatif dalam menilai sinetron
atau film yang ditayangkan tersebut sekalipun itu religius. Amin! *** (Penulis adalah pegiat seni, mahasiswa PPs Antropologi Sosial Universitas
Negeri Medan, dan staf teknis Balai Bahasa Medan)
Telah Dimuat di Harian Analisa Minggu 17 Februari 2008 Halaman 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar