Oleh : Suyadi
SAAT ini pemerintah tengah
menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Bahasa. Draf RUU yang
disiapkan Badan Pertimbangan Bahasa dan Pusat Bahasa ini pun masuk ke DPR untuk
dibahas dan disebarkan kepada publik. Menyongsong RUU Bahasa ini, Pusat Bahasa
dan Balai Bahasa Medan menggelar sosialisasi di Hotel Garuda Citra Medan 14
Agustus 2007. Berbagai pihak pun menanggapi kemungkinan diundangkannya
pengaturan bahasa ini.
Mengapa Undang-Undang (UU) tentang kebahasaan itu perlu? Ada berbagai alasan
perlunya UU itu. Di antaranya, dilatarbelakangi penggunaan bahasa Indonesia
saat ini yang menampakkan gejala makin kurang memperhatikan kaidah bahasa.
Gejala ini makin meluas dan meliputi berbagai unsur masyarakat,
termasuk kalangan penyelenggara negara atau pejabat pemerintahan. Ini ditambah masyarakat
Indonesia
yang paternalistik, melihat perilaku pemimpin untuk dijadikan pegangan. Mereka
selalu meniru penggunaan bahasa para pemimpinnya, baik di kantor maupun melalui
media massa.
Penggunaan bahasa Indonesia
oleh pejabat yang terjadi sampai sekarang tidak atau belum merupakan teladan
yang baik. Sebaliknya, apa yang dapat dilihat dalam praktik, penuturan bahasa
Indonesia maupun penulisan bahasa Indonesia, kurang mampu memperhatikan
kaidah bahasa yang telah ditetapkan.
Lalu, adakah pelanggaran bahasa
dilakukan para pejabat kita? Pelanggaran berbahasa dalam pengertian ini berarti
tidak menggunakan kaidah bahasa yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada 1972, beserta
ketentuan-ketentuan lainnya dari Pusat Bahasa.
Sayangnya, keputusan menteri mengenai
pedoman umum ejaan yang disempurnakan (EYD) itu tidak mencantumkan pasal
tentang sanksi atas pelanggaran ketentuan EYD.
Sebuah keputusan menteri tidak dapat mencantumkan ketentuan
administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh para pejabat di
lingkungan departemen yang bersangkutan, berkaitan materi yang diatur, jadi
tidak bersifat umum. Ini menjadikan keputusan tersebut tidak menggigit.
Itulah yang mendasari perlunya Bahasa Indonesia di-UU-kan. Malah, lebih
penting lagi UU Kebahasaan ini merupakan amanah ‘ruh’ Proklamasi 17 Agustus 1945
dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
mengamanahkan “Hal-hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain-lain, akan diselenggarakan dengan cara saksama
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Frasa ‘pemindahan kekuasaan dan
lain-lain’ itu pun memang dilakukan secara cepat. Seluruh hal menyangkut
sistem kenegaraan yang paling mendasar itu pun diatur dalam butir-butir UUD 45
yang dideklarasikan satu hari setelah proklamasi, yakni 18 Agustus 1945.
Sesuai amanah Proklamasi Kemerdekaan pula, penyelenggara negara punya
tugas besar merencanakan, menyusun, dan melaksanakan tugas-tugas yang
memperkuat sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala peraturan dan
perundangan pun dibuat. Termasuk – tentunya – adalah mengenai kebahasaan.
Meski terbilang terlambat, – maklum, amanah Proklamasi Kemerdekaan RI
sudah berjalan 62 tahun – UU Kebahasaan memang perlu dilahirkan demi
pemertahanan keutuhan bangsa dan negara. UU Kebahasaan ini perlu secepatnya
dibentuk, mengingat amanah UUD 1945 yang telah diamandemen empat kali selama
reformasi.
Di dalam versi terakhir perubahan UUD 1945 itu, terdapat beberapa
ketentuan mengenai bahasa, yaitu Pasal 32 ayat (2) berbunyi “Negara menghormati
dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”; Pasal 36
berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”; Pasal 36c berbunyi “Ketentuan
lebih lanjut tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
diatur dalam undang-undang.
Karena itu, wajar bila Pasal 36c, khususnya mengenai bahasa, dianggap
sebagai amanat agar pasal 32 dan 36 dijabarkan dalam bentuk undang-undang
organik.
Ia menyebutkan, pada dasarnya ketentuan-ketentuan dan UU Bahasa
bertujuan untuk menegaskan bidang penggunaan bahasa yang harus menggambarkan
pemuliaan dan pengunggulan bahasa nasional dan pelbagai aspek bahasa lain yang
mendukungnya.
Untuk
mewujudkan UU Kebahasaan itu, juga bukan disusun dalam waktu sebentar. Ia telah
berlangsung cukup lama, bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan disampaikan Soekarno-Hatta. Setidaknya, sejak
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 didengungkan, bahasa Indonesia sudah menjadi
identitas bangsa Indonesia.
Nasib bahasa Indonesia pun terus dibahas. Sudah sejak lama keprihatinan
dan kepedulian terhadap bahasa dimunculkan dalam berbagai pertemuan kebahasaan,
terutama dari kongres ke kongres bahasa di Indonesia. Hanya saja hingga kini
belum ada formula jitu unuk menjalankan putusan-putusan pertemuan atau kongres
tersebut.
Pasca-Sumpah Pemuda, kongres demi kongres diadakan. Dimulai dari
Kongres Bahasa Indonesia I 1938 sampai Kongres Bahasa Indonesia VIII 2003. Hal
itu dimaksudkan agar bahasa Indonesia sebagai identitas kultur bangsa Indonesia
tidak lapuk oleh hujan tidak lekang oleh panas.
Nyatanya, kekurangan dan pelanggaran bahasa sebagaimana telah tercatat
dari kongres ke kongres bahasa semakin menjadi-jadi. Apa dan siapa yang salah?
Apakah insan kita memang tidak serius dalam menggunakan bahasa Indonesia yang
baik dan benar? Perlukah para pelanggar bahasa ‘dipolisikan’? Apakah sanksinya?
Berkaitan itulah, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional didukung
Badan Pertimbangan Bahasa menyusun draf RUU Kebahasaan. Ini juga merupakan
penugasan dari Kongres Bahasa Indonesia VIII 2003.
Di Medan, setidaknya draf RUU Kebahasaan itu sudah beberapa kali
disosialisasikan. Pertama oleh Kepala Pusat Bahasa Dr. Dendy Sugono, 16
September 2006 di Hotel Dhaksina Medan. Acara ini dirangkaikan penyerahan
Anugerah bahasa kepada Media Cetak Kota Medan dan pelantikan Forum Bahasa Media
Massa Medan.
Kedua, dilakukan Biro Hukum Departemen Pendidikan Nasional melalui
diseminasi di Balai Bahasa Medan,
Desember 2006. Terakhir, dilakukan Kepala Bidang Pengembangan Pusat Bahasa Dr.
Sugiyono di Hotel Garuda Citra Medan,
Selasa (14/8) barusan.
Masalah sanksi bagi pelanggar bahasa tampaknya menjadi persoalan
mengemuka dalam setiap sesi sosialisasi. Dalam hal ini, para perumus draf RUU
Kebahasaan tampaknya terlalu berhati-hati. Sampai-sampai, tidak mencantumkan
proses penyelidikan, penyidikan sampai peradilan bagi para pelanggar bahasa.
Di dalam pasal 31 Bab
VII draf RUU Kebahasaan, hanya mencantumkan sanksi administratif, yaitu, teguran lisan,
teguran tertulis, denda administratif; penundaan atau penghentian layanan
publik, dan/atau pencabutan izin.
Pelaksana eksekusi
sanksi hanya dilaksanakan atas lembaga pemerintah yang membidangi kebahasaan di
Indonesia
bersama pejabat terkait. Siapakah
yang dimaksud pejabat terkait itu?
Di dalam Penjelasan pasal 31 ayat (2) draf RUU Kebahasaan,
tidak satu pun menyinggung lembaga hukum, kepolisian ataupun kejaksaan.
Padahal, kedua lembaga ini yang berwenang melakukan penyidikan terhadap suatu
pelanggaran hukum, umum ataupun khusus, perdata maupun pidana.
Draf RUU Kebahasaan
hanya menjelaskan, sanksi berupa teguran lisan dan tertulis dilakukan lembaga
pemerintah yang membidangi kebahasaan dan kesusastraan di Indonesia.
Sanksi teguran tertulis disampaikan kepada pihak pelanggar oleh lembaga
pemerintah yang membidangi kebahasaan dan ditembuskan kepada lembaga yang
memberikan pelayanan kepada pihak pelanggar.
Sanksi berupa
penundaan pemberian layanan dilakukan oleh lembaga kepemerintahan yang
menyelanggarakan pelayanan publik sesuai kewenangannya. Sanksi berupa penundaan
pelayanan bagi pelanggar perseorangan dilakukan melalui lembaga pemberi
pelayanan kepada pelanggar sesuai kepenmtingannya, dengan mengikuti prosedur
serupa sebagaimana dilakukan kepada pelanggar berupa lembaga.
Lalu dijelaskan,
penundaan layanan bagi pelanggar yang berbentuk badan dilakukan pada jangka
waktu tertentu yang ditentukan oleh lembaga yang memberikan pelayanan kepada
pelanggar sesuai tingkat pelanggarannya. Penundaan pemberian layanan ini dapat
dicabut atau ditingkatkan menjadi pencabutan izin, jika pelanggar mengabaikannya
setelah diperingatkan secara tertulis sebanyak tiga kali.
Sedangkan pencabutan
izin dilakukan setelah diberi teguran tertulis sebanyak tiga kali dan tetap
tidak diindahkan.
Menilik
jenis-jenis sanksi itu, tampaknya RUU Kebahasaan ini diarahkan kepada para
pejabat publik atau lembaga publik. Ini memang dapat dimaklumi, mengingat
budaya paternalistik yang melekat pada masyarakat Indonesia. Meskipun sanksi yang ada
terbilang terlalu ringan, namun diharapkan dapat menimbulkan efek jera jike
pelanggar bahasa tersebut berkali-kali mendapat sanksi.
Penerapan
sanksi administratif, ketimbang sanksi perdata dan pidana, yang arahnya lebih
banyak ditujukan kepada pemberian insentif dan disinsentif, tampaknya sangat
berkaitan dengan pendidikan sikap dan moral masyarakat Indonesia.
Pemberian
insentif dan disinsentif dapat dikaitkan dengan persyaratan kenaikan pangkat
bagi pejabat yang bersangkutan, dalam arti bahwa penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar oleh pejabat atau lembaga diberikan penilaian positif untuk
kenaikan jenjang kepangkatannya, sedangkan penggunaan bahasa Indonesia yang
tidak baik dan benar diberikan penilaian negatif.
Karena itu,
wajar saja jika kita mendesak pemerintah – dalam hal ini eksekutif dan
legislatif – segera mengesahkan RUU Kebahasaan ini menjadi UU. Kalaupun ada
kekurangan, bisa diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri
terkait, agar UU itu dapat diimplementasikan di lapangan. *** (Penulis
adalah staf teknis Balai Bahasa Medan dan sedang menyelesaikan tesis pada PPs
Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan)
sumber : Harian Analisa, Sabtu 25 Agustus 2007 Halaman 28
terima kasih atas informasinya
BalasHapussungguh bermanfaat artikel ini..thanks for share
model mobil
Terima kasih kembali.
HapusJangan berhenti untuk terus berkarya, semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
BalasHapuskeep update!Harga Toyota Avanza 2014
Terima kasih.
Hapus