(Kasus
Liberalisasi dan Multikulturalisme di Indonesia)
Oleh : Suyadi
SUATU ketika penyair Taufiq
Ismail melontarkan kegelisahannya mengenai munculnya faham ‘kekiri-kirian’ yang
kini menggejala di ibu kota.
Selama mengantar beliau ke rumah sastrawan Bokor Hutasuhut hingga ke Bandar
Udara (Bandara) Polonia akhir Oktober 2005 lalu, Pak Taufiq Ismail tak bisa
menyembunyikan kegelisahannya.
Itu, juga
dituangkannya kepada sahabat lamanya, Bapak Bokor Hutasuhut. Ia memberitahukan
bahwa ada sebagian teman mereka dari sesama mantan anggota lembaga Manifes
Kebudayaan yang kini seolah-olah berbalik arah memutar sejarah dan malah
cenderung ‘kekiri-kirian’.
Tidak puas di
situ, di sepanjang jalan – kebetulan cuma kami berdua di dalam mobil selain
ketua panitia pelatihan sastra Guru-guru SD dari LPMP Sumut yang menyetir mobil
dan seorang pegawai LPMP – Pak Taufiq mengorek informasi dari penulis mengenai fenomena
gerakan ‘kekiri-kirian’ di daerah ini.
Menurut penyair
Angkatan 66 itu, konsep liberalisasi agama dan multikulturalisme yang seperti
sengaja dibelok-belokkan merupakan satu gejala baru gerakan ‘kekiri-kirian’
tersebut.
Kegelisahan Pak
Taufiq Ismail itu ternyata juga dirasakan sejumlah tokoh dan cendikiawan Muslim
di Indonesia, termasuk Medan.
Terbukti, belum lama ini mereka berkumpul dan membahas konsep liberalisasi agama
dan multikulturalisme yang salah-kaprah di kampus IAIN Medan.
Agama
dan Modernisasi
Dunia modern terdapat di
setiap Negara. Namun dalam banyak bagian di dunia ini, negara dan bangsa yang
hidup berdampingan sering mengalami kekhawatiran satu sama lain. Banyak negara,
seperti Jepang, mengklaim terdiri dari satu suku bangsa guna memiliki satu
identitas nasional yang menggabungkan semuanya.
Namun klaim ini
biasanya terjadi karena adanya perbedaan identitas kepentingan secara
nasional sebagaimana dipikirkan orang-orang keturunan Jepang dan Korea, atau
bagian besar dari kelompok minoritas Kristen maupun Muslim di negara itu.
Di negara-negara lainnya, seperti Sri Langka, Turki
maupun Bosnia,
sebagian besar kelompok minoritas berjuang menciptakan pemisahan diri mereka
dari negara-bangsa. Banyak negara pula, seperti Indonesia dan Amerika Serikat,
menekankan adanya keharmonisan di antara perbedaan agama dan kelompok etnik.
Kenyataan,
rata-rata kelompok di negara tersebut saling berebut menguasai identitas nasional. Identitas agama beserta
perbedaannya sering berada di dalam berbagai perdebatan dan bahkan
dipertentangkan.
Dalam berbagai
peristiwa, banyak negara di dunia yang menggabungkan beberapa kekuatan komunitas
agama besar dan pluralisme keberagamaan
ini bertambah meningkat. Kelompok Muslim menjadi meningkat di antara banyaknya
kelompok minoritas meski mereka tidak pernah memainkan peran publik.
Di Amerika
Serikat, misalnya, mereka menyiapkan diri lebih banyak berkuasa daripada
orang-orang Episcopalian. Bahkan,
komunitas Muslim ini diharapkan dapat menyusul orang-orang Yahudi yang terlebih
dahulu ‘menguasai’ negeri Paman Sam itu.
Di Perancis, kaum
Muslim membentuk kekuatan besar kedua kelompok agama setelah Katholik.
Sedangkan Kristen Protestan dengan cepat meningkat menguasai Jepang dan Brazil, seperti
di negara-negara lainnya.
Keberagaman keagamaan menunjukkan ketajamannya
dan acap kali memecahkan sejumlah pertanyaan mengenai kehidupan publik suatu
bangsa. Berkaitan itu, berbagai persoalan patut dipertanyakan untuk menguji
kekuatan keberagaman keagamaan (pluralistas agama) itu di dalam Negara-negara
modern hari ini.
Beberapa
pertanyaan yang perlu dilontarkan, di antaranya, apakah kontribusi yang
dihasilkan pluralitas keagamaan itu dalam kebijakan publik dan kehidupan
sosial? Dapatkah mempersatukan identitas bangsa yang berdampingan di depan umum
terjadi dalam agama yang berbeda?
Jika bisa,
dapatkah negara menghindari keberpihakan kepada satu agama daripada yang agama
lainnya? Dari manakah menyeleksi satu di antara banyak elemen, yang
memperhatikan moralitas dan keabsahan suatu keadaan yang umum terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut memfokuskan pada masalah kebijakan publik; sedangkan pertanyaan yang lain berupa masalah
studi empirik. Misalnya, apakah langkah-langkah, jika banyak, kelompok-kelompok
minoritas agama berbuat menyesuaikan diri dari model-model agama maupun budaya
bangsa?
Bagaimanakah
tingkat perjuangan kaum minoritas dapat memperoleh pengakuan seperti kebenaran
beragama dan berbudaya? Apakah perubahan yang terjadi di dalam doktrin agama,
atau secara praktis, dalam batas-batas pengakuan bersama anggota-anggota
kelompok mereka dan lainnya?
Agama
dalam Perspektif Antropologi
Di antara para ahli yang
berpendapat mengenai asal mula agama sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat
(1966) adalah ahli sejarah C. de Brosses (1769), ahli filsafat August Comte
(1850), ahli filologi F. Max Muller (1880), dan lainnya.
Kemudian barulah
muncul teori-teori dari para ahli antropologi, seperti E.B. Tylor (1880), R.R.
Marett (1909), J.G. Frazer (1890), Emile Durkheim (1912), W. Schmidt (1921),
dan sebagainya. Dari teori-teori itu orang berpendapat, bahwa perkembangan
agama menurut ilmu antropologi, dimulai dari animisme, dinamisme, politerisme,
dan baru kemudian monoteisme.
Dilihat dari
sumber terjadinya agama, agama dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu Agama Samawi atau Agama Langit dan Agama Wad’i atau
Agama Bumi. Agama Wahyu adalah agama
yang datang dan bersumber dari Wahyu. Pengalaman yang diterima berdasarkan
Wahyu karena tidak dapat terjadi melalui usaha akal pikiran penelaahan manusia,
akan tetapi merupakan pengetahuan terhadap kebenaran yang diilhami.
Termasuk dalam Agama Samawi adalah Yahudi, Kristen, dan
Islam, dengan ciri-cirinya : a) konsep Ketuhanannya Monoteisme; b) disampaikan
oleh Rasul Allah sebagai Utusan Tuhan; c) mempunyai Kitab Suci yang dibawa Rasul
Allah berdasarkan Wahyu Allah; d) tidak berubah dengan perubahan masyarakat
penganutnya, bahkan sebaliknya; e) kebenaran ajaran dasarnya tahan uji terhadap
kritik menurut akal manusia; f) sistem merasa dan berpikirnya tidak sama dengan
sistem merasa dan berpikir masyarakat penganutnya.
Sedangkan Agama
Wad’i ialah agama duniawi yang tidak bersumber dari Wahyu Illahi, melainkan
hasil ciptaan akal pikiran dan perilaku manusia, disebut juga Agama Budaya. Lahir berdasarkan filsafat
masyarakat, baik yang berasal dari para pemimpin masyarakat atau dari penganjur
agama yang bersangkutan.
Termasuk dalam golongan
ini, antara lain agama Hindu, Budha, Tao, Kong Hu Chu, dan berbagai aliran
paham keagamaan serta kepercayaan-kepercayaan masyarakat suku-suku sederhana
atau masyarakat yang sudah maju tidak berpegang pada kitab suci dan tidak
berdasarkan ajaran Rasul-rasul maupun Nabi-nabi.
Baik Agama Wahyu
(samawi) maupun Agama budaya (wadi’i) yang dianut masyarakat sederhana atau
masyarakat yang sudah maju, memiliki budaya
agama, yaitu hasil-hasil pikiran dan perilaku budaya yang menyangkut
keagamaan.
Budaya agama
tersebut tentunya sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Ada yang muncul dalam
benak manusia berdasarkan kehendak yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi. Ada pula yang muncul
dalam benak manusia berdasarkan emosi keagamaan pribadi manusia sendiri.
Dalam kaitan ini,
biasanya para ahli antropologi melakukam pemdekatan terhadap konsepsi-konsepsi
keagamaan: 1) konsepsi tentang dewa-dewa, sifat-sifat, dan tanda-tanda
(perwujudan bentuk) dari para dewa; 2) konsepsi tentang makhluk halus, seperti
roh-roh, roh leluhur, hantu-hantu, dan tentang Dewa Tertinggi Yangmaha
Pencipta; dan 3) konsepsi tentang kejadian bumi atau alam semesta, tentang
hidup dan mati serta tentang akhirat (surga, neraka, moksha, nirwana, dan
lain-lain).
Konsepsi-konsepsi tersebut bertautan satu sama lain, yang
kesemuanya berdasarkan keyakinan dan kepercayaan terhadap hal-hal ghaib,
ditakuti dan disayangi, yang disebut Tuhan, Dewa-dewa, Roh-roh atau Makhluk
halus di sekitar alam ini, baik bersifat jahat maupun bersifat baik.
Pada masyarakat yang budayanya masih sederhana, apa yang
timbul dari emodi keagamaan dan kepercayaannya, kemudian diajarkan dan
diwariskan secara tradisional kepada
anak cucu, sahabat, kenalan, dalam bentuk ungkapan, nyanyian, dongeng-dongeng
suci atau mitologi, dan sebagainya, secara lisan.
Sedangkan pada
budaya masyarakat yang sudah maju, sudah mengenal aksara, maka
kepercayaan-kepercayaan itu ada yang dilukiskan dalam bentuk yang masih
sederhana, di atas daun-daunan, pada kulit-kulit kayu atau bambu, dan kemudian
kertas sehingga dibukukan, menjadi buku-buku kesusastraan suci dan disucikan
atau dikeramatkan.
Kedudukan
Agama di Indonesia
Indonesia adalah suatu
negara bangsa (nation-state) yang
terdiri dari ratusan suku bangsa. Beragam corak budaya membentangi negara
kepulauan ini, di antara garis khatulistiwa, dari Sabang hingga Merauke.
Terdiri atas sekitar 13.608 pulau, besar dan kecil, dihimpit dua samudera
(samudera Hindia dan Pasifik), serta berada di ujung Benua Asia.
Pulau-pulau yang menghuni negara ini menandakan adanya
beragam kebudayaan. Baik bahasa, adat istiadat, maupun sistem kebudayaan
lainnya. Itu, membuktikan Indonesia
sesungguhnya merupakan negara besar dan modern, karena mampu mempersatukan
kehidupan suku bangsa-suku bangsa yang hidup sejak abad-abad sebelumnya.
Meskipun terdiri atas berbagai suku bangsa dan adat
istiadat, namun negara tersebut dipersatukan oleh konsepsi religiositas sebagai
fundamen aturan adat yang mengikat. Sebelum para penyebar Agama Samawi datang
ke Indonesia,
suku-suku di Indonesia telah melakukan berbagai kegiatan ritual keagamaannya.
Antropolog dari
Belanda TH Fitcher dalam bukunya, Antropologi
Kebudajaan Indonesia (1957 : 141-151) mengakui, desa-desa di Indonesia pada
mulanya merupakan suatu persekutuan religius dan kepala desa dianggap semacam
pawang. Raja-raja sering pula disebut sebagai keturunan dewa-dewa dan perhiasan
kerajaan mempunyai potensi yang magis.
Oleh karenanya, manusia Indonesia sudah sejak zaman
purba, sebelum adanya agama-agama besar yang datang seperti Hindu-Budha,
Kristen, dan Islam, telah mengenal kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan yang
ghaib, di luar kemampuan dan kekuatan manusia.
Nenek moyang
bangsa Indonesia
di zaman purba sudah mengenal alam roh. Ada
yang sudah tinggi tingkat budaya agamanya, percaya pada adanya Dewa tertinggi,
dan ada juga yang masih rendah dan sederhana tingkat budaya agamanya.
Sebagaimana
dikatakan Seno Harbangan Siagian via Hadikusumah (1993 : 40), ada di antaranya
yang memiliki nama-nama khusus, seperti ‘Kaharingan’
(Agama Suku Daya Ngaju), ‘Aluk To
Dolo’ (Agama Suku Toraja Sa’dan), ‘Parbegu’
(Agama Suku Batak Toba), dan lain-lain.
Agama-agama asli yang mentradisional di Indonesia dapat
lebih dikenal dan nyata sekali sebagaimana terlihat dalam mitologi penciptaan.
Di seluruh bagian Timur kepulauan Indonesia (pulau-pulau Nusa Tenggara mulai
dari Flores, pulau-pulau Baratdaya dan Tenggara, kelompok Kei, Tanimbar dan
Aru, Maluku dan Sulawesi), ditemukan mite perkawinan purba antara langit
(matahari) dan bumi, sumber kelahiran seluruh penciptaan.
Menurut mitologi
ini, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan secara langsung atau tidak langsung
adalah keturunan dari bapak-langit dan ibu-bumi. Karenanya, penduduk setempat acap kali
melakukan suatu upacara ritual untuk mengenang perkawinan bumi dan langit
tersebut.
Sedangkan di
belahan Barat kepulauan Indonesia
terdapat suatu mitologi penciptaan berlainan jenis. Di sini, senantiasa ada
dewa pencipta yang sebenarnya, membentuk manusia dari karang dan memberinya
nyawa. Tokoh-tokoh itu sebagian memakai nama yang bercorak Hindu dan Islam
(umpamanya : Bataraguru, Bathala dan Alatala, namun bukan berarti hal itu
baru diimpor serempak dari Hinduisme dan Islam)
Sepanjang abad, religi penduduk Indonesia
mengalami perubahan-perubahan besar. Hingga tahun penerbitan buku itu (1957),
Fitcher mencatat, lebih dari 55.000.000 penduduk Republik Indonesia menamakan
dirinya orang Islam, sementara dari statistik-statistik Zending dan Missionaris
memperlihatkan jumlah penduduk Kristen (berbanding 1 : 4 antara Katolik Romawi
dan Protestan) mendekati angka 2.500.000 jiwa.
Sedangkan yang
menganut agama asli, jumlahnya hanya sedikit. Tiap tahun kian susut. Jumlah
kaum Islam dan Kristen justru senantiasa cepat bertambah. Masa ‘keperbeguan’ di
Indonesia,
menurut Fitcher, telah berlalu, sehingga dengan tidak ragu-ragu lagi proses
pengislaman dan pengkristenan dalam waktu relatif singkat akan terus
berlangsung.
Kehadiran agama-agama modern itu (Hindu, Budha, Islam,
Kristen) sememangnya menambah daftar keharmonisan pluralisme keagamaan di
Indonesia. Sebagai sebuah negara besar, Indonesia mampu memelihara
masing-masing agama dan aliran kepercayaan guna menambah khasanah kebudayaan di
negara ini.
Tak ayal, kondisi
harmonis tersebut menjadi pemicu banyaknya sarjana dan peneliti asing yang
berminat meneliti masalah agama di Indonesia.
Bahkan, perhatian
dan minat orang Eropa terhadap agama-agama di Indonesia, khususnya Islam
Indonesia, bisa ditelusuri hingga abad ke-17, ketika para teolog dan pejabat
pemerintahan Belanda mulai menghadapi kesulitan memahami dan mengawasi
masyarakat Islam di Jawa, Sumatra, dan Indonesia bagian Timur.
Nama-nama sarjana
dan teolog awal pelopor tradisi orientalisme Inggris-Belanda itu, di antaranya,
Andrian Reland, Edward Gibbon, J.F.C. Gericke, Snouck Hurgronje, Rassers, dan
Piegaud serta Clifford Geertz dan Ben Anderson.
Karya Geertz, Religion
of Jawa, menggantikan karya Hurgronje The
Atjhehnese sebagai rujukan standar mengenai Islam Indonesia.
Geertz menegaskan, pernyataan Hurgronje “bangunan
Islam terutama masih didukung oleh pilar utama, ‘tidak ada tuhan selain Allah
dan Muhammad utusan Allah’, tetapi pilar ini sekarang dikelilingi serangkaian
karya yang tak cocok dengannya, yang menjadi profanasi terhadap
kesederhanaannya”, lebih pas diterapkan untuk Jawa.
Sedangkan Anderson sangat bersandar pada studi-studi
kolonial mengenai kerajawian Hindu-Jawa dan karakterisasi Geertz mengenai Indonesia
sebagai negara Hindia. Pemahaman Anderosn terhadap Islam mencerminkan kembali
pandangan Hurgronje dan Geertz.
Ia menyatakan,
gelar-gelar Islam disandang para penguasa, simbol-simbol keislaman dilekatkan
pada para pengiring mereka, dan atribut Islam ditempelkan pada baju kebesaran
mereka.
Tetapi, menurut Anderson, islamik
simbolik tampaknya tidak menyebabkan perubahan terhadap jalan hidup dan
pandangan mereka. Pelukisan Anderson terhadap kiai tradisional juga sebanding
dengan pelukisannya terhadap para penguasa tersebut, “bersifat intuitif,
personal dan mistis, yang banyak dipengaruhi agama pra-Islam”.
Etnolog teranyar yang melakukan penelitian terhadap
kehidupan keagamaan di Indonesia
adalah Mark Woodward. Dalam penelitian yang dilakukan di Jawa, Woodward
bertekad ingin menambah dan melengkapi penelitian lapangan yang pernah
dilakukan Geertz tahun 1950-an, yang menancapkan teori aliran dalam masyarakat
Jawa; abangan, santri, priayi.
Berbekal ilmu
filsafat dan ritual Hindu-Budha, Woodward meneropong unsur-unsur Hindu dari
ideologi dan modalitas ritual acara garabeg
maulud, upacara ritual keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad
SAW di Yogyakarta. Usahanya ternyata sia-sia. Ia juga tidak menemukan
prototipe-prototipe Hindu-Budha dalam mistisisme tradisional Jawa.
Dalam bukunya, Toward
a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Though (1996),
Woodward mengemukakan genealogi dari wacana yang berwatak “anti-Islam”.
Jejaknya, menurut Woodward, bisa ditelusuri hingga ke masa Sir Thomas Stamford
Raffles, seorang pejabat kolonial dan orientalis Inggris, yang memerintah Jawa
1811-1816.
Dalam buku klasik
dan berpengaruhnya, The History of Java,
Raffles memahami Islam (“Mahometanism”) sebagai agama kekerasan dan
kefanatikan. Kendati sebenarnya ia mempunyai perhatian khusus terhadap
“institusi-institusi kuno”, yakni kesenian dan kesusastraan Jawa pra-Islam,
namun ia banyak memberikan penilaian yang bernadakan “pejoratif” terhadap
Islam.
Raffles tidak
dapat menyembunyikan perasaannya yang menyayangkan mengapa orang Jawa dan
Melayu memeluk Islam. Berlawanan dengan itu, ia memberikan deskripsi panjang
lebar mengenai teks-teks dan candi-candi kuno Hindu-Budha dan mengagungkan
Hindu-Bali sebagai “sisa-sisa masa lampau yang memukau”.
Pemahaman Raffles mengenai Islam dan kedudukannya dalam
kebudayaan Jawa dan Indonesia
lainnya, menurut Woodward yang mengutip Karel Steenbrink, berakar mendalam dari
polemik teologis Kristen melawan Islam dan telah berkembang di Eropa selama
berabad-abad. Polemik-polemik itu
sendiri sudah digunakan oleh para sarjana Belanda senyampang membentuk “indologi” dan kebijakan Belanda selama
periode kolonial.
Begitulah. Kehidupan keagamaan di Indonesia sesungguhnya
saling berdampingan satu sama lain. Semuanya terpelihara berkat adanya jaminan
dari negara melalui Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai fundamen mendasar
kewarganegaraan Indonesia.
Karenanya, semua agama dan aliran kepercayaan di Indonesia tetap tumbuh subur
bersamaan dengan semangat religiositas dan realitas sosial keagamaan para
pemeluknya.
UUD 45 itu
ternyata sangat ampuh menepis dugaan bahwa Indonesia adalah negara Islam atau
negara agama. Dalam penafsiran pasal 29 UUD 45 itu, negara menjamin penduduk
untuk menjalankan ritual keagamaan masing-masing.
Dalam konteks kewarganegaraan, kedudukan agama di Indonesia
memang sangat unik. Hal ini bisa dilihat
dari doktrin Pancasila yang juga mengatur kehidupan keagamaan. Pancasila dan
UUD 45 menjadi sumber kewarganegaraan Indonesia dan sebagai identitas
nasional setiap warga negara Indonesia.
Pancasila dan UUD
45 itulah yang mengatur kehidupan keagamaan di Indonesia, bukan sebaliknya –
sebagaimana dipercayai nenek moyang bahwa religi rakyat dan religi kerakyatan
itu merupakan sesuatu yang harus dipatuhi sesuai dengan keadaan, ciri khas, dan
adat istiadat masyarakat setempat.
Pluralisme dan Sekularisme
Pluralisme keagamaan yang
dijamin Pancasila dan UUD 45 merupakan pergeseran realitas objektif agama nenek
moyang yang semula dianut penduduk di Indonesia.
Konsekuensinya,
secara implisit pluralisme tersebut bisa mengarah pada kondisi sekularisme negara
terhadap kehidupan keagamaan. Apalagi,
jika kehidupan keagamaan ini menghadapi tiga kategori masyarakat Indonesia
berdasarkan pandangan sosiologi, yakni masyarakat tradisional, masyarakat
modern, dan masyarakat pascamodern.
Dalam konteks sosiologi, terdapat beberapa cara pandang
terhadap peristiwa sosial-keagamaan. Pertama,
pandangan politis yang melihat bahwa dinamika sosial yang terjadi digerakkan
oleh persatuan kelompok sosial untuk memperebutkan kekuasaan.
Serangkaian
peraturan, hukum, pertempuran, sanksi sosial, ternyata dimaksudkan untuk
memperebutkan hegemoni politik atas yang lain. Agama menjadi bagian dari
perebutan ini. Lihat saja, dalam peristiwa Pemilihan Umum 1999 dan 2004, banyak
partai politik yang mengusung sentimen agama dan etnis untuk berebut kekuasaan.
Kedua, sudut pandang geografis. Mazhab ini ingin
menjelaskan bahwa karakter dan perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh
kondisi fisiknya. Karenanya, ajaran agama akan sangat dipengaruhi oleh
lingkungannya : apakah ia lahir dan berkembang di daerah padang pasir, pertanian, pegunungan, daerah
kutub, atau perkotaan? Apakah ia tumbuh di daerah damai atau perang, wilayah
subur ataukah miskin?
Semua itu
dianggap menentukan perilaku sosial masyarakat dan alam pikiran yang muncul.
Lihat saja peristiwa bencana alam gempa dan badai tsunami yang melanda Nanggroe
Aceh Darussalam dan Nias 26 Desember 2004, tidak sedikit organisasi Zending dan
Missionaris yang mencoba menanamkan ajaran agamanya dalam situasi sulit itu
meskipun komunitas yang dihadapi berasal dari agama lain, yakni Islam.
Ketiga, cara
pandang Marxian yang melihat fenomena
agama dari pola aktivitas ekonomi. Apakah ekonomi sebuah masyarakat tergolong
pada mode pertanian, perdagangan, industri, kapitalisme ataukah sosialisme, kondisi
ini sangat memengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang serta institusi
sosial yang ada.
Lihat saja
bagaimana Amerika Serikat beserta negara-negara sekutunya yang coba menanamkan
“saham” di balik dampak bencana alam gempa dan tsunami. Lihat pula Amerika
Serikat dan sekutu melalui dana moneter internasional (IMF) terus memberikan
cek utang kepada Indonesia
guna menanamkan ajaran capital Marxis-nya
terhadap Indonesia
yang dominan berasal dari komunitas Islam.
Keempat,
analisis Freudian yang berusaha
menjelaskan bahwa prilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh endapan bawah
sadar akibat gejolak nafsu libido yang ditekan. Nafsu libido ini memiliki
kekuatan dahsyat dan laten untuk mendapatkan penyaluran.
Jika endapan
bawah sadar terkendali dan memperoleh penyaluran yang tepat, maka masyarakat
bisa sangat kreatif dalam membuat loncatan peradaban. Akan tetapi, jika yang
terjadi sebaliknya, sebuah masyarakat sewaktu-waktu bisa saja berbuat nekad,
naluri-naluri hewaninya muncul dalam bentuk yang sadis, brutal, tidak segan
melakukan pemerkosaan, peperangan, incest,
dan semacamnya.
Fenomena ini bisa
terlihat dari dampak tayangan televisi, internet, dan bahan-bahan cetakan yang
menyajikan sadisme, pornografi, dan pornoaksi. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang
kelihatannya ramah dan religius ini, namun pada saat tertentu bisa demikian
nekad.
Kelima, cara
pandang historiko-filosofis yang
mengatakan bahwa sebuah peradaban mengikuti hukum alam bagaikan pertumbuhan
anak manusia. Ada
masa kelahiran, pertumbuhan, puncak perkembangan, dan ada masa surut atau
kematian. Hal ini dikembangkan aliran filsafat dan tradisi pemikiran Barat,
dengan tokohnya Friedrich Hegel (1770-1931), Oswald Spengler (1880-1936), dan Arnold
Toynbee.
Dalam kondisi
pragmatis hari ini, peradaban Islam yang cemerlang harus terus berhadapan
dengan globalisme yang membawa paham
Marxian dengan segala macam kemudahan. Islam yang sangat ampuh menghempang
perjuangan orientalis yang dibawakan Inggris dan Belanda masa kolonial, kini
berhadapan dengan diri sendiri melalui media-media asing dan dunia maya-digital.
Keenam, teori teologi-eksistensialisme. Yakni, sebuah
mazhab pemikiran yang menyatakan bahwa sejarah dan realitas sosial tak lebih
dari eksistensi para tokoh elitnya. Di lingkungan teolog, pengaruh teori ini
sangat kuat. Tak akan ada peradaban Yahudi jika tidak ada Musa. Tak akan ada
dunia Kristen kalau Yesus tidak terlahir dan tak ada peradaban Islam tanpa
Muhammad.
Ketujuh, pandangan Platonik-sufistik. Cara pandang yang lebih menekankan kebersihan
spiritual dengan jalan menjauhi dunia. Panggung sejarah tak lebih dari mata
rantai menuju dunia lain, mendekati Sang Pencipta alam semesta. Dunia adalah
penjara, bagaikan tubuh yang memenjarakan ruh.
Menurut pandangan
platonik-sufistik ini, tujuan akhir
manusia adalah mencari kebahagiaan bersanding dengan Tuhan. Hati-hatilah dengan
tipuan kegemerlapan dunia dengan segala bentuk dan manifestasinya, seperti
harta, kedudukan, dan kekuasaan.
Pertanyaannya kemudian, di mana peran agama dan bagaimana
artikulasinya dalam realitas sosial? Di
Indonesia yang menganut sistem pluralisme agama, artikulasi dan eksternalisasi
keberagamaan seseorang dan masyarakat tentu saja beragam.
Dimensi-dimensi
utama dari sikap keberagamaan itu, antara lain, pertama, kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Karena dimensi ini
begitu abstrak, maka yang terlihat secara sosial hanyalah sebatas keikutsertaan
seseorang dalam aktivitas ritual kelompok dan penggunaan simbol-simbol yang
menjadi konsensus mereka.
Lihat saja,
masyarakat Indonesia
ramai-ramai sembahyang di masjid atau kebaktian di gereja serta penggunaan
simbol salib dan sejenisnya, adalah fenomena yang gampang ditemukan di
mana-mana di Indonesia.
Kedua, perilaku
keberagamaan yang paling dasar selalu bersifat pribadi. Apakah kepercayaan
seseorang tentang Tuhan berpengaruh pada kehidupannya atau tidak, sulit
diketahui secara pasti oleh orang lain.
Dalam analisis
strukturalis-fungsional, dorongan seseorang mengikuti tradisi keagamaan lebih
disebabkan oleh desakan eksternal ketimbang pilihan bebas dan murni dari dalam.
Tindakan semacam itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan sosial agar diterima
oleh lingkungan, sebagai sebuah solidaritas kelompok.
Lihat saja,
sebagian masyarakat Indonesia
terpaksa mencantumkan agamanya Islam atau Kristen, meski ia menganut
kepercayaan Kejawen dan sejenisnya
ataupun Permalin (Batak), agama asli
nenek moyangnya.
Ketiga, agama
selalu hadir dalam wujud kultural. Wajah kultur agama yang paling mudah
terlihat, antara lain, dalam ekspresi seni arsitektur. Masyarakat dengan mudah
membuat asosiasi bangunan masjid dengan Islam, gereja dengan Kristen.
Dimensi dan
ekspresi kultural keagamaan ini memiliki cakupan yang sangat luas dan cenderung
berbaur dengan identitas dan kultur lokal. Di Indonesia, misalnya, bedug selalu
dikaitkan dengan umat Islam dan masjid. Padahal, di Jepang dan Cina, juga
terdapat bedug, namun tak ada hubungannya dengan masjid.
Masih banyak lagi
fenomena kultural yang diasosiasikan dengan simbol keagamaan tertentu, seperti lilin,
pohon cemara, menara, kopiah, sorban, jubah, salib, bulan-bintang, dan
sebagainya.
Tak ayal,
kelompok-kelompok Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara pernah
merasa tersinggung terhadap penerbitan karikatur satu surat kabar harian di
Medan karena menyajikan simbol-simbol Islam, seperti sorban, kopiah, pakaian
koko, yang dikaitkan dengan tulisan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan tidak
berpuasa pada bulan Ramadan.
Di dalam
karikatur itu juga dituliskan firman Yesus yang dikutip dari Alkitab dan puasa
40 hari. Tentu saja karikatur itu membuat emosi keagamaan di kalangan Islam
meninggi, sebab selain merendahkan martabat orang Islam, juga mempertentangkan
Islam dan Kristen.
Tidak
Mampu Menggusur Agama
Demikianlah. Kedudukan agama
di negara modern seperti Indonesia
masih terlihat kuat. Kekuatan ini masih kentara dengan adanya
realitas-keagamaan yang beragam di antara para penganutnya.
Meskipun ikatan
emosi keagamaan melemah, namun ternyata liberalisasi agama sebagai dampak dari modernisasi
dan globalisasi ternyata tidak mampu menggusur bentuk solidaritas keagamaan
sebagai sebuah kekuatan sosial.
Terbukti, dalil-dalil
modernisasi, hak-hak asasi manusia, dan demokrasi liberal yang diagung-agungkan
dan ‘disakralkan’ oleh Barat dengan Amerika
Serikat sebagai juru bicara utama, telah mengundang perlawanan serius
dari negara-negara Arab dan Asia pada umumnya.
Kalangan ilmuwan sosial pun mulai menggugat secara kritis
mitos-mitos demokrasi dan globalisasi karena situasi dunia ternyata semakin kacau.
Pernyataan bahwa
perang dingin telah usai dengan runtuhnya Rusia, ternyata disadari hanyalah
retorika palsu, karena agresivitas Amerika Serikat semakin menjadi-jadi dalam
berbagai cara dan bentuknya. Termasuk, terhadap Republik Indonesia, yang
masih didominasi kaum Islam.
Akibatnya,
sentimen agama dan etnis menguat kembali sebagai benteng kebudayaan dan
ideologi baru terhadap gusuran globalisasi yang terbukti menindas. Agama yang pernah diramalkan akan habis dan
menjadi urusan pribadi oleh desakan modernisasi dan sains modern, ternyata kini kembali tampil sebagai
kekuatan sosial yang menyatukan mereka yang merasa tertindas dan dizalimi.
Lihatlah, betapa
gusarnya pemerintahan Amerika Serikat menghadapi “Jemaah Islamiyah” di Asia
Tenggara maupun Al Qaedah di dunia internasional, hanya karena kaum Islam
militan itu menolak keangkaramurkaan Amerika Serikat terhadap Islam pada
umumnya.
Bukan hanya itu,
tiba-tiba saja di Indonesia
lahir pula laskar-laskar yang langsung membawa simbol-simbol keagamaan tertentu
untuk memerangi kebatilan dan kezaliman terhadap umatnya.
Heterogenitas itu tetap terpatri di sanubari bangsa Indonesia. Indonesia yang
dibesarkan dari religi rakyat dan kerakyatan, ternyata masih terus
mempertahankan identitas keagamaannya di tengah identitas nasional meski dalam
bingkai negara bangsa (nation state) Indonesia
sebagai sebuah negara modern di dunia.
Dengan demikian,
konsep liberalisasi agama dan multikulturalisme sempit yang dimaksudkan untuk
meruntuhkan keberadaan agama di Indonesia,
terbukti tidak ampuh. Ia justru menjadi pemersatu kekuataan agama yang sempat
terserak.
Lihatlah,
bagaimana umat Islam di seluruh dunia spontan secara serentak melalukan
perlawanan hebat terhadap Jyllands-Posten Denmark
gara-gara menerbitkan kartun Nabi Muhammad SAW. Begitu juga mengenai penolakan
majalah Playboy Indonesia serta pornografi
dan pornoaksi. ***
Penulis adalah
jurnalis,pegiat seni, dosen luar biasa Sastra Indonesia FBS Unimed dan staf
teknis Balai Bahasa Medan.
Pos-el : suyadisan@yahoo.com
DAFTAR
BACAAN
Abdullah, Taufik (ed)., 1996. Agama dan Perubahan Sosial.
Jakarta :
RajaGrasindo Persada
Bowen, John R., tanpa tahun. Religionn in Practice : An
Approach to the Anthropology of Religion. Allyn and Bacon Boston,
London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore
Budiman, Hikmat, 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius
Echols, John M. dan Shadily, Hassan, 1994. Kamus
Inggris Indonesia.
Jakarta :
Gramedia
Fischer, H. TH. , 1957. Pengantar Anthropologi Kebudajaan
Indonesia.
Jakarta :
Pembangunan
Geertz, Clifford, 1992. The Interpretation of Cultures :
Selected Essays, London, Hutchinson & CO Publisher, Ltd
Hadikusuma, H. Hilman, 1993. Antropologi Agama Bagian I.
Bandung : Citra
Aditya Bakti
Hidayat, Komaruddin, 2004. Menafsirkan Kehendak Tuhan.
Jakarta :
Teraju
Hikam, Mohammad AS, dkk. 2000. Fiqh Kewarganegaraan : Intervensi
Agama-Negara terhadap Masyarakat Sipil.
Jakarta
: PB PMII
Koentjaraningrat, 2002. Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Jakarta
: Djambatan
Lauer, Robert H. , 2001. Perspectives on Social Change.
Penerjemah Alimandan S.U. Perspektif
tentang Perubahan Sosial. Jakarta
: Rineka Cipta
Maran, Rafael Raga, 2001. Pengantar Sosiologi Politik.
Jakarta :
Rineka Cipta
Mathulada, H.A. Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di
Indonesia : Prospek Budaya Politik Abad ke-21. Jurnal Antropologi
Indonesia No. 85 Tahun 1999
Muthahhari, Murtadha, 1985. Society and History, The
Council for Ten-Day Dawn Celebration, Teheran
Nasikun, 1995. Sistem
Sosial Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Pals, Daniel L., 2001. Seven Theories of Religion.
Yogyakarta : Qalam
Smith, Huston, 2001. The Religion of Man,
Perrenial Library, Harper & Row, Publisher New York, Hargestown, San Fransisco, London
Soekanto, Soerjono, 1993. Struktur Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers
Woodward, Mark R, 1999. Islam in Java : Normative Piety
and Mysticism in The Sultane of Yogyakarta, alih bahasa Hairus Salim
HS, Islam Jawa : Kesalehan Normatif
versus Kebatinan. Yogyakarta : LKiS
sumber : Harian Analisa, 29 dan 30 Mei 2007 halaman 28.
makasih mas..
BalasHapussaya makin ngerti tentang negeri ini:)
Terima kasih kembali telah membaca tulisan ini.
Hapus