Oleh : Suyadi
PERS memiliki kekuatan yang
sangat besar. Kekuatannya tidak melulu
dalam pembentukan opini, tetapi juga – bahkan sebagian besar – karena pengaruh
pemakaian bahasanya. Bahkan, dalam proses pembakuan bahasa, bahasa pers
memiliki karakteristik tersendiri dan bersaing dengan bahasa yang digunakan
atau diajarkan di sekolah yang sering tidak diikuti oleh pers.
Masalah
penggunaan bahasa pers mengemuka dalam sosialisasi Rancangan Undang-Undang
(RUU) Kebahasaan yang dilakukan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Medan di Hotel
Garuda Citra Medan,
14 Agustus lalu. Berbagai pihak yang hadir dalam sosialisasi itu, menyoalkan
penggunaan bahasa pers ini. Mengapakah?
***
Tak bisa
dipungkiri, pers memiliki pengaruh yang amat luas untuk menginformasikan
sesuatu maupun sejumlah persoalan. Pers, baik media cetak ataupun elektronik,
memiliki keunggulan komparatif untuk menyebarluaskan informasi, pendapat, dan
wacana publik ke tengah khalayak.
Persoalannya,
pers selalu menuai kritik yang berkaitan dengan bahasa. Sedikit saja pers
keliru menggunakan bahasa, masyarakat akan terus mengikuti kekeliruan itu.
Apalagi, jika wartawan mengutip tokoh atau pejabat Negara dan pejabat publik
lainnya.
Tentang mutu
penggunaan bahasa Indonesia oleh pers sudah banyak orang yang mengulasnya.
Tidak hanya dari kalangan di luar pers, tetapi juga dari lingkungan pers
sendiri. Sebut saja tulisan Rosihan Anwar, Muchtar Lubis (1983), Soewardi Idris
(1987), Kurniawan Junaedhie (1991), Djafar H Assegaf (2000), Krisna Harahap
(2000), Septiawan Santana Kurnia (2002), AM Dewabrata (2004), Parni Hadi,
Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Mohammad Sobari, dan sebagainya.
Begitu juga makalah-makalah atau kertas kerja
para tokoh pers yang ditampilkan pada setiap acara Kongres Bahasa Indonesia
yang dilaksanakan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Pers memang
memiliki kekuatan tersendiri dalam menyampaikan pesan-pesan moral kepada
masyarakat. Begitupun, bukan berarti pers tidak mendapatkan kritik pedas dari
pembacanya. Pasalnya, bahasa pers yang
kerap cenderung tidak sesuai dengan norma yang ditetapkan – terlebih dengan
yang diajarkan di sekolaj – menuai tuduhan bahwa pers sebagai perusak bahasa.
Hal ini,
menurut C Ruddyanto dari Pusat Bahasa pada Kongres Bahasa Indonesia VIII di
Jakarta (2003), sebenarnya bukan karena parahnya pelanggaran atau penyimpangan
yang dilakukan, tetapi terlebih karena dominannya bahasa pers itu dalam
aktivitas berbahasa masyarakat sehari-hari.Kalangan pers sebenarnya juga telah
menyadari kecenderungan tersebut.
Dari hasil
survei Ruddyanto terhadap penggunaan bahasa para guru, tokoh birokrat, dan
wartawan di Jakarta, menyebutkan, kalangan jurnalis atau wartawan ternyata
adalah kelompok yang paling banyak menerima bentuk-bentuk bahasa yang
ditawarkan Pusat Bahasa sebagai lembaga resmi Pemerintah di bidang kebahasaan.
Survei
tersebut menyimpulkan, birokrat lebih sulit melakukan inovasi bahasa. Bahasa
mereka cenderung konservatif. Guru lebih mudah menyesuaikan diri walau tidak
seleluasa jurnalis. Sangat mungkin bahasa guru cenderung normatif, tidak mudah
berubah jika sudah ada norma yang ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan pers
lebih mudah melakukan pembaruan. Ini, agaknya disebabkan oleh kecenderungan
banyaknya tantangan untuk menemukan ungkapan atau kosa kata baru baik untuk
menghindari kesan terpaku pada bentuk klise maupun memang untuk mengungkapkan
hal-hal yang berkembang. Bahasa jurnalis cenderung kreatif.
Kita
mengetahui misi media – terkhusus media cetak – adalah turut mencerdaskan
bangsa dengan peran memberikan informasi yang benar, objektif, dan akurat.
Sebagai media pendidikan publik, tidak pula terlepas sebagai media hiburan.
Di sisi lain,
dalam perannya turut menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparansi
publik, media massa
juga menyandang fungsi sebagai lembaga pengawasan sosial. Tugas dan fungsi ini
dilaksanakan secara simultan dan komparatif oleh masing-masing pegiat media,
makanya dituntut kemampuan simulasi hingga materi yang disampaikan bisa
dimengerti dan dipahami masyarakat, khususnya pembaca.
Bagaimana cara
menyampaikannya adalah tergantung pada kemampuan menggunakan bahasa, yaitu
bahasa Indonesia yang baik dan benar; ini yang nantinya disebut dengan laras
bahasa jurnalistik.
Sekarang
permasalahannya, apakah semua media telah menyadari hal tersebut? Jawabannya,
belum semua media memperhatikannya. Forum Bahasa Media Massa (FBMM) mencatat,
masyarakat dan media massa
sama-sama punya andil menciptakan dan memelihara keteledoran berbahasa.
Keduanya dianggap mempertautkan penyebab dan akibat persoalan berbahasa yang
tidak berujung-pangkal.
Praktisi media
massa, Masarimar Mangiang (Kompas, 14 Januari 2003) malah membeberkan, kesalahan berbahasa di
media massa
bukan hanya berkutat pada kesalahan teknis pemilihan kata, tetapi juga pada
kekacauan berlogika.
Hal itu
terjadi karena wartawan tidak berupaya menyempurnakan struktur kalimat dari
ucapan sang narasumber. Ironisnya, sumber berita wartawan tidak sedikit pejabat
tinggi negara ataupun pejabat publik lainnya yang memungkinkan ucapannya ditiru
oleh orang banyak.
Wartawan,
katanya, tidak jarang meloloskan kalimat yang dikutip dari birokrat, seperti : “Kita harus segera mengambil suatu
langkah-langkah antisipatif…” Kalimat ini rancu karena kata
“langkah-langkah” yang dimaksudkan sebagai ‘beberapa butir kebijakan’, diawali
kata “suatu” yang berarti tunggal.
Mangiang pun
merisaukan, lingkungan pemakai bahasa, narasumber, dan wartawan lebih sering
tidak acuh ketimbang peduli pada bahasa yang baik. Hal-hal seperti ini dinilai
sepele, karena hanya kesalahan penggunaan titik koma (padahal sifatnya serius).
Mereka, sebut
Mangiang, berada dalam masyarakat yang sulit sekali menyadari kesalahan dalam
tradisi, tidak terlatih berpikir jernih dan logis, serta mudah hanyut dalam
aneka pengaruh. Padahal, peran wartawan dengan media massanya bukan sekadar
sebagai distributor informasi. Ada
pesan yang tak kalah penting, yaitu fungsi mendidik.
Mengapa itu
terjadi? Pemerhati bahasa lainnya, Suroso (Kompas,
4 Januari 2003), juga mengakui, bahasa jurnalistik sebagai salah satu varian
ragam bahasa Indonesia,
belum banyak dikembangkan oleh surat kabar yang
ada di Indonesia.
Ada kecenderungan, pegiat
media hanya menggunakan kalimat dengan
struktur yang mementingkan unsur “siapa” orang yang menjadi berita. Tidak heran
kalau unsur lain, seperti “mengapa”, jarang disampaikan dalam berita yang ada
di koran nasional.
Surat kabar
yang ada, katanya, lebih mementingkan unsur “siapa” orang yang menjadi tokoh
berita, karena ada pengaruh budaya di Indonesia yang memang lebih mementingkan
siapa orang yang berbicara dibandingkan substansi suatu persoalan.
Akibatnya,
jarang sekali dijumpai berita yang diproduksi dari kerja investigasi yang lebih
banyak mengungkap unsur “mengapa”. Padahal, menurutnya, dengan mengembangkan
unsur “mengapa” dalam struktur kalimat, wartawan akan membuat sebuah berita
lebih informatif yang menguntungkan pembaca.
Suroso
mengakui, hal itu terjadi tidak terlepas karena selama ini memang belum ada
lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang kemampuan menulis sejak dini.
Bahkan, menurutnya, perguruan tinggi yang punya pendidikan jurnalistik pun
tidak membekali keterampilan bahasa jurnalistik dengan baik.
***
Sebenarnya,
pers tidak perlu dipersalahkan dalam penggunaan bahasa. Sebab, sudah sejak lama
keprihatinan dan kepedulian terhadap bahasa yang digunakan kalangan pers
dimunculkan dalam berbagai pertemuan kebahasaan, terutama dari kongres ke
kongres bahasa di Indonesia.
Hanya saja hingga kini belum ada formula jitu unuk menjalankan putusan-putusan
pertemuan atau kongres tersebut.
Setelah Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara wartawan
(pers) dengan Bahasa Indonesia diakui oleh Kongres Bahasa Indonesia I 1938
sampai Kongres Bahasa VIII 2003. Kongres Bahasa I di Solo bahkan mengutip saran
tokoh pers nasional, Adinegoro (almarhum), menjadi salah satu keputusan
kongres, yakni :
“Sudah waktunya kaum wartawan berdaya upaya
mencari jalan-jalan untuk memperbaiki bahasa di dalam persuratkabaran, karena
itu berharap supaya Perdi (Persatoean Djoernalis Indonesia) bermufakat tentang
hal itu dengan anggota-anggotanya dan komisi yang akan dibentuk oleh Kongres
yang baru bersama-sama pengurus pusat Perdi” (ejaan dan istilah telah disesuaikan
dengan yang kini berlaku).
Kongres Bahasa
II 1954 di Medan malah secara khusus menghasilkan satu Resolusi tentang Bahasa
Indonesia dalam Pers dan Radio. Resolusi pada bagian “Mengingat” antara lain
menyebutkan, alat dari pers dan radio adalah bahasa. Di bagian “Menimbang”
antara lain tertulis:
1.
Bahasa sebagai alat pers dan radio harus dibuat
seefektif-efektifnya atau dijadikan sebaik-baiknya.
2.
Kebaikan bahasa sebagai alat Pers dan Radio terliht
pada sifat mudah dan jelas.
3.
Sifat mudah dan jelas itu terjadi jika mengikuti
pertumbuhan bahasa dengan timbulnya kata-kata, lenggam-langgam, daya, dan ungkapan-ungkapan
baru di dalam masyarakat.
Resolusi iu
sendiri menyatakan pendapat :
1)
Bahasa Indonesia di dalam Pers dan Radio tak dapat
dianggap sebagai bahasa yang tak terpelihara dan rusak.
2)
Bahasa Indonesia di dalam Pers dan Radio adalah
bahasa masyarakat umum yang langsung
mengikuti pertumbuhan sebagai fungsi masyarakat.
3)
Pers dan radio hendaknya sedapat mungkin berusaha
memperhatikan tata bahasa yang resmi.
4)
Menganggap perlu supaya dilanjutkan adanya kerja sama
yang lebih erat antara Pers dan Radio dengan Balai-balai Bahasa.
Dua puluh
empat tahun kemudian, tepatnya pada Kongres Bahasa Indonesia III 1978 di
Jakarta, kongres juga secara tegas menyarankan masalah pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia di bidang komunikasi, sebagai berikut:
1)
Untuk mencegah erosi bahasa, perlu diadakan penelitian
mendalam tentang sebab-sebabnya.
2)
Kerja sama antara wartawan dan ahli bahasa dalam
penumbuhan bahasa Indonesia perlu digalakkan.
3)
Perlu diadakan penataran bahasa Indonesia untuk
wartawan surat
kabar, televisi, dan radio, baik pemerintah maupun swasta.
4)
Pejabat Negara, baik pada tingkat pusat maupun daerah,
dalam segala jenjang hendaknya berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang lebih
cermat, baik dalam komunikasi resmi maupun dalam pergaulan resmi.
5)
Perlu dipikirkan kemungkinan penempatan ahli-ahli
bahasa di kantor-kantor pemerintah dan swasta untuk memantapkan penggunaan
bahasa Indonesia dalam kegiatan masing-masing.
6)
Sebaiknya, surat kabar
dan majalah berbahasa Indonesia
menyediakan “Pojok Bahasa” yang
memuat petunjuk praktis penggunaan bahasa Indonesia.
7)
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang
bernama Pusat Bahasa, pen.) bersama
dengan Dewan Pers dan lembaga lainnya hendaknya segera menyusun pedoman lafal
baku bahasa Indonesia yang didasarkan atas penelitian, antara lain, untuk
penyiar radio dan televisi.
8)
Sebaiknya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
pers, dan televisi serta radio dapat melakukan kerja sama yang lebih efektif
dalam usaha keefisienan pengembangan bahasa Indonesia yang baik dan baku.
Kongres Bahasa
Indonesia IV 1983 di Jakarta menyarankan, semua petugas pemerintahan, khususnya
yang berhubungan langsung dengan masyarakat, seperti lurah, guru, juru
penerang, penyiar RRI/TVRI, dan staf redaksi media cetak, harus memiliki
kemampuan dan keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kongres Bahasa
Indonesia V 1988 di Jakarta mencatat, karena media massa merupakan komunikator
pembangunan yang memanfaatkan bahasa Indonesia, maka media massa seperti surat
kabar dan majalah, hendaknya memiliki tenaga khusus kebahasaan yang membina
bahasa siaran sehingga bahasa media massa dapat dijadikan contoh bagi
masyarakat.
Kongres Bahasa
Indonesia VI 1993 di Jakarta malah merekomendasikan tindak lanjut putusannya :
a.
Untuk meningkatkan sikap positif dan menggalakkan
penggunaan bahasa yang lebih cendikia, media cetak dianjurkan menyediakan rubrik bahasa sebagai sarana pembaca
untuk berdialog mengenai bahasa.
b.
Dalam memperkaya bahasa Indonesia, dunia pers telah
menunjukkan kepeloporannya dalam menerima unsur serapan. Bagi perkembangan
bahasa, hal itu sama sekali tidak merugikan, namun pengguna bahasa dalam pers
dianjurkan juga menggali kekayaan bahasa dari bahasa serumpun dan bahasa
daerah.
c.
Selain penguasaan bahasa, minat terhadap sastra
hendaknya menjadi bahan pertimbangan khusus dalam penerimaan calon wartawan.
d.
Setiap media massa
dianjurkan untuk mengangkat redaktur khusus bahasa agar pemantauan dan evaluasi
atas bahasa yang dipergunakan dapat dilakukan secara lebih efektif.
Kongres Bahasa
Indonesia VII 1998 di Jakarta yang bertepatan dengan suasana reformasi pasca-lengser-nya Pak Harto mengusulkan tindak
lanjut:
·
Pengembangan peristilahan dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi perlu diprioritaskan dan pengembangan kosa kata
perlu ditingkatkan, antara lain, dengan penyerapan kata dari bahasa lain
melalui kaidah penyerapan yang lebih mantap.
·
Penggunaan eufemisme
secara berlebihan dengan maksud menutup-nutupi kenyataan yang negatif harus
dihindarkan, sedangkan eufemisme yang
berkaitan dengan kesopansantunan berbahasa serta adat istiadat perlu
dilestarikan.
·
Bahasa Indonesia dalam iklan, selain harus
mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, juga harus
berpedoman pada norma-norma sosial budaya bangsa sehingga kata-kata yang
berkonotasi vulgar tidak digunakan.
Begitulah.
Betapa besarnya peranan media dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan
benar sesuai laras yang ada, menyebabkan bahasa media terus menjadi sorotan dan
tindak lanjut setiap Kongres Bahasa Indonesia.
Nyatanya,
tidak sedikit media masih mengabaikan keputusan-keputusan kongres tersebut.
Bahkan, pers terus dituduh sebagai perusak bahasa karena banyak mengabaikan
kaidah bahasa baku
dengan alasan memiliki laras bahasa jurnalistik tersendiri.
Ironisnya, UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai payung hukum pers, juga tidak
mencantumkan masalah bahasa. Padahal, masalah bahasa pers kerap diperbincangkan
secara serius pada setiap Kongres Bahasa Indonesia.
Bahkan, para
tokoh persnya juga ikut berurun-rembug mempresentasekan makalahnya. Oleh karena
itu, barangkali sudah waktunya UU Nomor 40/1999 itu direvisi dengan memasukkan
masalah bahasa agar menjadi pedoman mengikat bagi kalangan pers.
Untungnya, di
dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah mencantumkan hal tersebut.
UU ini secara eksplisit mengatur Bahasa Siaran, yakni dalam Bab IV bagian kedua
dalam tiga pasal, yakni pasal 37, 38, dan 39.
Pasal 37
berbunyi: “Bahasa pengantar utama dalam
penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.” Pasal 38: “1)
Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan
program dan siaran muatan lokal dan, apabila diperlukan, untuk mendukung mata
acara tertentu; 2) Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar
sesuai dengan keperluan suatu mata acara siaran.”
Lalu, Pasal 39
berbunyi: “1) Mata acara siaran berbahasa
sing dapat disiarkn dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran
televisi harus diberi teks bahasa Indonesia atau secara selektif disulisuarakan
ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu; 2) Sulih
suara bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh
persen) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan; 3)Bahasa isyarat
dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak tunarungu.”
***
Sudah jelas
sebenarnya bahwa media massa
juga harus andil dalam pemertahanan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sayangnya, keluhan terhadap mutu bahasa Indonesia yang digunakan media hingga
kini belum sirna.
Anggota Badan
Pertimbangan Bahasa yang juga tokoh pers Parni Hadi dalam Kongres Bahasa
Indonesia VIII (2003) mengatakan, apa yang dapat dianggap sebagai kekurangan
dan pelanggaran sebagaimana telah tercatat dari kongres ke kongres bahasa
semakin menjadi-jadi.
Apa dan siapa
yang salah? Apakah insan pers tidak serius dalam menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar? Perlukah mereka ‘dipolisikan’? Apakah sanksinya? Masalah
sanksi bagi pelanggar bahasa inilah yang masih terus digodok dalam pembuatan
RUU Kebahasaan.
Di dalam RUU
Kebahasaan, penggunaan bahasa Indonesia pada pers atau media massa diatur di dalam Pasal 18 Bab III, yang
terdiri atas empat ayat. Yakni, bahasa Indonesia harus digunakan sebagai bahasa
pengantar utama dalam media massa (ayat 1); bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar media massa
dalam segmen kedaerahan (ayat 2).
Lalu, bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar media massa dalam segmen internasional dan/atau untuk keperluan
tertentu (ayat 3) serta film, sinema
elektronik, dan produk multimedia lain yang disiarkan menggunakan bahasa asing
harus diberi teks bahasa Indonesia atau disulihsuarakan ke dalam bahasa
Indonesia (ayat 4).
Pengaturan sanksi
atas pelanggaran bahasa oleh pers ini ternyata tidak berlaku secara khusus,
melainkan juga berlaku pada para pengguna bahasa lainnya. Hal ini tercantum di
dalam Pasal 31. Sanksi pun hanya dikenai pada pelanggaran ayat (1) dan (4)
Pasal 18, yaitu berupa sanksi administratif.
Sebagaimana
tulisan saya terdahulu (Analisa, 25
Agustus 2007, halaman 29), sanksi
administratif tersebut berupa teguran lisan, teguran tertulis, denda
administratif, penundaan atau penghentian layanan publik, dan/atau pencabutan
izin.
Bentuk
sanksi ini, tampaknya tidak terlalu berbeda sebagaimana terdapat di dalam UU
Penyiaran. Di dalam UU Penyiaran masalah sanksi tercantum di dalam Bab V pasal
55 mengenai Sanksi Administratif bagi pelanggar
pasal 39 ayat (1), yakni teguran lisan, penghentian sementara mata acara yang
bermasalah setelah melalui tahap tertentu, pembatasan durasi dan waktu siaran,
denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak
diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, dan pencabutan izin
penyelenggaraan siaran.
Dengan demikian, pengaturan
kebahasaan sebagaimana terkandung di dalam draf RUU Kebahasaan, sebenarnya
bukan bermaksud membatasi kreativitas dan kebebasan kalangan pegiat media atau
pers. Justru, dengan RUU itu, pers ikut berperan dalam pemertahanan bahasa
Indonesia di tengah era globalisasi saat ini. Matur nuwun. *** (Penulis adalah tenaga teknis Balai Bahasa Medan dan tengah menyelesaikan
tesis pada PPs Antropologi Sosial Unimed)
sumber : Harian Analisa , 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar