Oleh : Suyadi
MAJELIS Ulama Indonesia
(MUI) setahun lalu, tepatnya Januari 2005, mengeluarkan fatwa bahwa haram
hukumnya bagi perempuan yang bekerja di luar negeri. Fatwa MUI ini serta-merta
mengejutkan semua pihak. Betapa tidak? Selain fatwa itu baru dikeluarkan pada
tahun 2005 – sedangkan pengiriman tenaga kerja perempuan – trend disebutkan sebagai tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri
sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang, bukankah masalah
perempuan yang bekerja ini juga sudah lama diperdebatkan?
Jumlah TKW yang bekerja di luar negeri sejak masa Orde
Baru melampaui tenaga kerja pria. Prijono Tjiptoherijanto (1997 : 170)
mencatat, pada tahun 1983 jumlah TKW sebesar 11.995 orang atau 43,3% dari
keseluruhan tenaga kerja Indonesia (TKI), sementara jumlah tenaga kerja pria
adalah 15.676 orang atau 56,7%. Namun pada tahun 1992, jumlah TKW jauh
melampaui jumlah tenaga kerja pria, yaitu 107.142 orang untuk wanita dibandingkan
dengan 51.608 orang untuk pria.
Pelonjakan TKW itu sejalan pula dengan perkembangan
ketenagakerjaan di dalam negeri. Partisipasi angkatan kerja perempuan mengalami peningkatan yang cukup berarti dari
32,6% pada tahun 1980 menjadi 39,6% pada tahun 1985 dan selanjutnya menjadi
39,6% pada tahun 1990. Sementara itu, angkatan kerja pria pada periode sama
meningkat dari 68,8% menjadi, 68,9% dan selanjutnya meningkat lagi menjadi
70,6% (ibid, hal. 123). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa angkatan kerja perempuan
meningkat jauh lebih tinggi daripada
angkatan kerja pria dan kondisi ini diperkirakan akan tetap pada masa
mendatang.
Dalam konteks ini, apakah latar belakang perempuan harus
bekerja dan meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga? Sejauh mana pula
peranan wanita dalam ekonomi rumah tangga? Bagaimana kalangan antropolog
berdebat mengenai masalah ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini,
penulis akan mengupasnya melalui kajian Antropologi Ekonomi. Safri Sairin dkk
(2002 : 4) mengatakan, Antropologi Ekonomi adalah salah satu bidang kajian
dalam antropologi sosial-budaya yang memusatkan stsudi pada gejala ekonomi
dalam kehidupan masyarakat manusia.
Distribusi
Lapangan Kerja
SEJAK krisis ekonomi melanda negeri ini,
sendi-sendi kesejahteraan masyarakat kita makin merapuh. Hal ini berdampak
krisis lapangan kerja. Dunia kerja makin sempit, sementara masyarakat yang
membutuhkan kerja terus meningkat.
Sebagai gambaran, hingga tahun 2003, jumlah penduduk
Indonesia sudah mencapai lebih dari 215 juta jiwa, sementara jumlah angkatan
kerja sekitar 100 juta dan tingkat pengangguran terbuka mencapai 9,53 juta.
Tahun 2005 ini jumlah penganggur diperkirakan mencapai 10,29 juta jiwa. (Kompas, Sabtu, 19 Februari 2005).
Dalam studi kependudukan, pertumbuhan ekonomi dan
revolusi demografi memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi pasar kerja
masa kini dan mendatang. Revolusi demografi, seperti pertumbuhana penduduk,
struktur umur dan jenis kelamin, mempengarhuhi jumlah dan pertumbuhan angkatan
kerja. Karenanya, kualitas penduduk – khususnya angkatan kerja – akan
mempengaruhi jenis pekerjaan yang ada dalam pasar kerja.
Sedangkan
perkembangan ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi atau perubahan struktur
ekonomi dari pertanian menjadi industri, akan mempengaruhi permintaan dan
penawaran pasar kerja. Sempitnya lahan pertanian dan perkebunan yang tersisa
terdesak oleh pembangunan kawasan-kawasan perluasan industri, sedikit banyak
telah mengubah orientasi pencari kerja di wilayah-wilayah rural dengan menjadi
buruh pabrik upahan, atau mencari kesempatan di wilayah perkotaan.
Namun, menurut
jajak pendapat Harian Kompas (Sabtu,
19 Februari 2005), saat ini minat orang untuk bekerja di sektor agraris tidak
sebesar minat untuk bekerja di sektor formal dan informal di perkotaan. Bahkan,
minat untuk berusaha sendiri atau berwiraswasta menjadi bagian terbesar yang
menyedot perhatian paling banyak (33,1%). Selebihnya, bidang-bidang pekerjaan
yang bersifat administratif, seperti menjadi pegawai negeri (15,9%), bidang
keuangan (7,2%), serta bidang-bidang jasa lainnya (26,2%), juga jauh lebih
menarik daripada menggeluti usaha pertanian. Tidak sampai 2 persen responden
yang mengaku bahwa bidang pertanian adalah bidang yang paling mereka minati
saat ini.
Begitupun, terbatasnya lapangan kerja di sektor-sektor
formal membuat sektor informal menjadi pilihan yang rasional untuk digeluti.
Kondisi ini mengimplementasikan dua hal penting, yaitu : pertama, kecepatan transformasi atau perubahan sektor ekonomi tidak
sejalan dengan tranformasi tenaga kerja di mana tranformasi ekonomi relatif
tinggi; dan kedua, sektor informal
masih dibutuhkan pada masa mendatang dalam rangka menampung angkatan kerja di
Indonesia yang tidak terserap oleh sektor formal.
Di antara pekerja yang bekerja di sektor formal maupun
informal itu adalah kaum perempuan. Bahkan, jumlah angkatan kerja kaum
perempuan terus meningkat setiap tahun. Kebutuhan pada peningkatan kondisi
ekonomi rumah tangga tampaknya merupakan alasan utama penyebab banyak perempuan yang masuk ke pasar kerja dan meninggalkan
peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Pada tahun 1971 kaum perempuan yang
berstatus ibu rumah tangga tercatat sekitar 24,5% dan persentase ini kemudian
menurun menjadi 18,5% pada tahun 1990.
Karena keterpaksaan bekerja itu, kaum perempuan kita
tidak pilih-memilih untuk memasuki dunia kerja. Hal ini dapat terlihat dari
meningkatnya jumlah TKW ke luar negeri. Antara tahun 1983-1992 migran perempuan
rata-rata meningkat sebesar 12,1% per tahun sementara migran pria hanya meningkat
dengan rata-rata 6,3% per tahun (1997 : 170). Namun, terlihat bahwa negara
tujuan dari TKW ini terkonsentrasi di negara-negera tertentu, yaitu Malaysia,
Singapura, dan Saudi Arabia. Sedangkan tenaga kerja pria distribusinya lebih
menyebar. Kondisi ini erat kaitannya dengan kualitas TKW tersebut, di mana pada
umumnya mereka terdiri dari tenaga kerja yang tidak terdidik. Tingginya
kualifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah di negara-negara maju, seperti
Jepang dan Amerika Serikat, menyebabkan TKW Indonesia sukar untuk memasuki
negara-negara maju tersebut.
Berlian Siagian (1996) via Prijono Tjiptiherijanto (ibid,
hal. 171) mengemukakan, berdasarkan data yang ada terlihat bahwa TKI yang
berangkat ke Malaysia didominasi oleh kaum pria dan mereka bekerja di sektor
perkebunan serta konstruksi, terutama untuk mengisi jenis pekerjaan tingkat
bawah. Sebaliknya, TKI yang berangkat ke Saudi Arabia didominasi oleh kaum
perempuan dengan rasio jenis kelamin mencapai 8:1. Mereka ini pada umumnya
bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga ada kesan negatif di Saudi
Arabia bahwa Indonesia adalah gudang pembantu rumah tangga.
Feminisme
: Antara Ekonomi dan Rumah Tangga
FEMINISME dalam studi
Antropologi Ekonmi mulai mendapatkan tempatnya mengiringi terjadinya berbagai perubahan
dalam kehidupan masyarakat dunia (2002 : 192). Perubahan yang berlangsung telah
membawa pula pada terjadinya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat dunia, antara lain ditandai oleh semakin kuatnya tuntutan pada
kehidupan yang lebih demokratis dan perlakuan yang adil terhadap hak-hak asasi
manusia.
Para ahli ekonomi aliran neo-klasik modern mempunyai
pandangan bahwa kegiatan ekonomi pasar tidak ada hubungannya sama sekali dengan
kegiatan rumah tangga. Meskipun kebutuhan konsumsi rumah tangga secara domestik
menyatu dalam kegiatan ekonomi pasar, kegiatan rumah tangga dan keluarga tetap
dipandang bukan sebagai ekonomi.
Kalaupun perempuan terlibat langsung dalam produksi dalam rumah tangga,
itu tidak dipandang sebagai pekerjaan yang bersifata ekonomi.
Syafri Sairin dkk (ibid, hal. 195) menyebutkan, ketika
kegiatan industri mulai merambah dalam kehidupan masyarakat, rumah tangga mulai
dipandang tidak berkaitana sama sekali dengan kegiatan ekonomi. Dalam
masyarakat industri, laki-laki dipandang sebagai satu-satunya aktor dalam
proses produksi. Ketika industrialisasi masih berada dalam tahap-tahap aawal
perkembangannya, masih terbatas pada pertambangan dan pabrik, hanya atenaga
laki-laki yang dibutuhkan sebagai tenaga kerja. Sifat pekerjaan industri pada
saat itu membutuhkan tenaga fisik yang kuat, dan secara kultural hal itu hanya
dimiliki oleh laki-laki.
Kaum perempuan
karena dipandang lebih lemah fisiknya daripada laki-laki, ditempatkan untuk
melakukan pekerjaan di sekitar rumah tangga. Kegiatan yang dilakukan dalam
rumah tangga cenderung dianggap sebagai kegiatan non-ekonomi, karena yang utama
tugas perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga. Tugas-tugas rumah tangga,
seperti mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah, melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan reproduksi atau konsumsi dipandang sebagai kegiatan yang
non-ekonomi.
Kaum feminisme
tentu saja berusaha untuk meluruskan persepsi dan pandangan yang demikian itu
dan berusaha menunjukkan bahwa kaum perempuan memberikan konstribusi yang
signifikan dalam kegiatan ekonomi meskipun mereka menyandang status ibu rumah
tangga. Berbagai studi tentang konstribusi perempuan dalam kehidupan rumah
tangga telah dilakukan di berbagai tempat. Hasil studi itu memperlihatkan
bagaimana ibu-ibu rumah tanga tersebut memberikan konstribusi yang sangat
penting dalam kehidupan rumah tangganya.
Elizabeth
Garnsey via Giddens dan Held (1982 :
471) berpendapat, tidak adillah menuliskan aktivitas dan sikap perempuan hanya
seakan-akan mencerminkan apa yang dikerjakan laki-laki di dalam keluarga.
Menurutnya, di dalam pasar tenaga kerja, perempuan cenderung tersisihkan ke
sektor skunder. Sebabnya tidak diragukan lagi, termasuk prasangka langsung
laki-laki terhadap pekerja perempuan serta sederetan faktor lain yang membatasi
partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Keterlibtan perempuan dalam
pekerjaan rumah tangga yang tidak berupah, seperti mengurus rumah tangga dan
memelihara anak, adalah bagian analisa skunder dari Garnsey.
Antony Giddens
dan David Held (ibid, hal. 479) melakukan analisisnya dengan menggunakan teori
stratifikasi. Pendekatan dominan dalam studi stratifikasi ini adalah memandang
sistem pekerjaan sebagai rangka-kerja yang di dalamnya terdapat infividu dan
kelompok-kelompok serta mengikuti perkembangannya menurut hirarki keterampilan
dan ganjaran yang dicerminkannya. Menurut Giddens dan Held, struktur pekerjaan,
yang membentuk “tulang punggung” sistem ganjaran, termasuk posisi yang diisi
oleh perempuan, tetapi ganjaran sosial dan ekonomi yang tersedia untuk
kebanyakan perempuan berbeda dari yang diperoleh kebanyakan laki-laki dari
posisi pekerjaan mereka.
Giddens dan Held
juga menyebutkan, urgensi teknologi tidak dapat dinyatakan sebagai faktor
otonom, yang tidak berkaitan dengan masalah kesempatan kerja. Tingkat upaha dan
kesempatan kerja dipengaruhi oleh lemahnya posisi tawar-menawar kebenyakan
pekera perempuan, berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga mereka yang tidak
dibayar. Hasil pembagian kerja antara laki-laki
dan perempuan dalam pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan anak inilah yang
menentukan struktur upah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Karena kaitan
antara biaya tenagaa kerja dan insentif untuk
memperkenalkan penemuan teknologi, maka penawaran tenaga kerja perempuan
dengan tingkat upah yang relatif rendah merupakan satu faktor yang mempengaruhi
keputusan dalam investasi.
Dalam studi
stratifikasi itu, Giddens dan Held membuat tesis, persediaan tenaga kerja
perempuan mempengaruhi cara-cara mengubah proses kerja dan dengan demikian
menentukan perubahan dalam struktur pekerjaan. Pembagian kerja antara laki-laki
dan perempuan di dalam rumah tangga dan pasar tenaga kerja adalah satu faktor
yang memberikan sumbangan terhadap ketimpangan kondisi dan kesempatan yang
menentukan, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Bukan semata-mata karena
perbedaan jenis kelamin mereka, tetapi karena sebagai anggota dari masyarakat
berkelas.
Peranan
Perempuan dalam Ekonomi Rumah Tangga
GERAKAN kaum feminisme untuk
membuktikan bahwa kegiatan ekonomi sangat berkaitan dengan peran perempuan,
termasuk yang memposisikan dirinya sebagai ibu rumah tangga, hingga saat ini
cukup kuat. Hal ini tentunya merupakan bagian yang penting bagi upaya gerakan
feminisme untuk menuntut keadilan dan kesamaan hak dalam kehidupan masyarakat.
Juga, tidak memungkinkan untuk memperkirakan sumbangan pekerjaan perempuan
terhadap nafkah keluarfa dan meramalkan jumlah anggota keluarganya.
Penelitian khusus
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi perempuan untuk bekerja dan
dapat menyediakan pangkal tolak untuk menganalisa pengaruhnya.Brown (1976) via
Giddens dan Held (ibid, hal. 486) menggambarkan beberapa faktor yang
mempengaruhi perempuan menjadi majikan dalam studi sosiologi industri.
Sebagaimana
dipahami, ada berbagai latar belakang perempuan memasuki pasar kerja. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri dan keluarga, terutama bagi perempuan yang belum bersuami tetapi juga
menopang keberlangsungan ekonomi keluarga. Kedua,
perempuan tidak lagi bersuami tetapi harus memenuhi kebutuhan anak-anak dan
keluarganya. Ketiga, masih bersuami
namun ikut membantu suami dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan rumah
tangganya.
Karena itu,
pendapatan perempuan akan berpengaruh menyamaratakan terhadap ketimpangan kelas
dengan menyamakan perbedaan yang terdapat dalam pendapatan totl rumah tangga.
Argumen ini bisa saja dapat ditukar dengan cara lain, misalnya penghasilan
perempuan adalah terpenting artinya dalam rumah tangga yang para penerima
gajinya terdiri dari pekerja kurang terampil dan bekerja pada pekerjaan yang
berupah cukup.
Berdasarkan
pandangan inilah, Braverman via Giddens dan Held (ibid, hal. 493) mengkritik
orang yang memandang bahwa kesempatan kerja perempuan bersifat sementara,
insidental dan kebetulan saja, padahal sebenarnya harus ditempatkan pada pusat
perhatian semua studi tentang pekerjaan perempuan sekarang ini.
Namun orang tidak
perlu berasumsi bahwa kecenderungan kesempatan kerja perempuan lebih terfokus
daripada laki-laki. Yang penting adalah menyadari bahwa partisipasi permpuan di
pasar tenaga kerja mempengaruhi kondisi laki-laki dan perempuan. Dalam
pengertian lain, perubahan pekerjaan dan distribusi industrial pekerja
laki-laki dan perempuan adalah saling melengkapi dan saling tergantung.
Braverman juga menyatakan, perempuan merupakan sumber utama “tenaga kerja
cadangan” yang diperlukan untuk berfungsinya ekonomi.
Sebagai tenaga
cadangan pula, menurutnya, pekerja perempuan sagat dibutuhkan untuk
menghasilkan barang dan jasa komersial alternatif yang sebelumnya diproduksi
dalam rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga yang baru menyediakan pasar bagi
bentuk-bentuk produk baru. Sementara
itu, proporsi rumah tangga yang tergantung pada penghasilan perempuan dalam memenuhi
kebutuhan hidup semakin meningkat, terutama karena berhadapan dengan
menyusutnya kesempatan kerja tradisional laki-laki dalam industri.
Begitulah.
Peranan perempuan terhadap ekonomi rumah tangganya cukup signifikan, sehingga
sebenarnya bukanlah kelompok masyarakat yang tidak berkaitan samai sekali
dengan kegiatan ekonomi. Studi tentang buruh perempuan dalam pekerjaan panen di
daerah pertanian di Yogyakarta, misalnya, menunjukkan para perempuan juga
mempunyai peranan penting dalam kehidupan rumah tangganya (Sairin, 1976 dan
2002 : 198).
Selain itu,
berbagai studi lanjutan tentang konstribusi perempuan bagi ekonomi rumah tangga
yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada pada
awal 1990-an (ibid) telah memberikan gambaran yang lebih jelas tentang
sumbangan perempuan dalam ekonomi rumah tangganya. Hal ini dapay dilihat pada
penelitian yang dilakukan oleh Ken Suratiyah dan Sunarry Syamsi Hariadi (1990)
tentang kegiatan perempuan dalam aktivitas pertanian dan sumbangan hasil kerja
itu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Penelitian tersebut menggambarkan
bahwa pada saat sibuk dengan pekerjaan pertanian, terutama pada masa tanam dan
panen, para ibu rumah tangga terpaksa mengurangi jam kerja untuk melakukan
pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh anak.
Pekerjaan rumah tanggaa tersebut terpaksa diambil alih oleh anak-anaknya yang
lebih tua ataupun suaminya.
Simpulan
PERANAN perempuan dengan
kegiatan ekonomi sangat erat kaitannya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumah
tangganya dan tidak dapat dibantah. Bukankah pemasaran produk rumah tangga yang
dijajakan di pasar swalayan berkaitan erat dengan keputusan ibu-ibu rumah
tangga? Keputusan tentang barang apa yang dibeli dan dikonsumsi untuk keperluan
rumah tangga sebagian besar juga ditentukan oleh para perempuan.
Karena itu,
posisi yang tidak menguntungkan dari kebanyakan perempuan di pasar tenaga kerja
tidak dapat dikaitkan seluruhnya dengan pengaruh adat atau akibat diskriminasi,
sekalipun kedua faktor ini penting. Da;am syudi Antropolo Ekonomi, faktor
penting untuk analisa peranan pekerjaan perempuan dalam ekonomi rumah tangga
adalah hambatan-hambatan yang diletakkan kesempatan kerja perempuan dan
kekuatan tawar-menawar mereka di dalam pasar tenaga kerja diperlemah sebagai
akibat pembagian kerja di dalam rumah tangga.
Untuk itu, perlu
diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh pekerjaan yang
dilakukan perempuan dalama rumah tangga terhadap posisi mereka dalam pasar
tenagaa kerja. Dalam tulisan kecil ini, hanya amenunjukkan relevansi sejumlah
teori dan analisa tentang struktur pasar tenaga pasar kerja dan relevansi
pembahasan tentang signidikansi ekonomi perempuan selaku pekerja dalam rumah
tangga. *** (Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan bergiat di
kesenian)
DAFTAR
BACAAN
Adimihardja,
Kusnaka, Drs., M.A., 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial dalam
Pembangunan. Bandung : Tarsiro
Fischer,
Dr. H. TH, 1957 Pengantar Anthropologi Kebudajaan Indonesia. Jakarta :
Pembangunan
Giddens,
Anthony dan Held, David, 1987. Pendekatan Klasik dan Kontemporer Mengenai
Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik. Jakarta : Rajawali
Habib,
Achmad, Dr., M.A., 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan : Pasang
Surut Hubungan Cina-Jawa. Yogyakarta : LKiS
Harian
Kompas, Edisi Sabtu 19 Februari 2005
Heilbroner,
Robert. , 1984. Runtuhnya Peradaban Kapitalisme. Bandung : Bumi Aksara
Koentjarangirat,
1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : UI Press
Lloyd,
Christopher (Ed), 1986. Teori
Sosial dan Praktik Politik. Jakarta : Rajawali
Manning,
Chris dan Effendi, Tadjuddin Noer, 1985. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor
Informal di Kota. Jakarta : Gramedia
Masinambow,
E.K.M. (Ed), 2000. Hukum dan Kemajemukan Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Mathulada,
H.A. Kesukubangsaan
dan Negara Kebangsaan di Indonesia : Prospek Budaya Politik Abad ke-21.
Jurnal Antropologi Indonesia No. 85 Tahun 1999
Nader,
Laura and Todd, Harry F, Jr., 1978 The Disputing Process-Law in Ten Sicieties.
New York : Columbia University Press
Nasikun,
Dr., 1995 Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Pelly,
Usman, Dr., M.A. dkk., 1997 Konflik dan Persesuaian : Bunga Rampai
Perubahan Sosial dan Antropologi Pendidikan. Jakarta : Proyek Pola
Pengembangan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Kantor Menteri Negara KLH Republik
Indonesia
Pritchard,
E.E.Evans, 1986. Antropologi Sosial. Jakarta : Bumi Aksara
Sairin,
Sjafri dkk., 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Soekanto,
Soerjono, Prof. Dr., S.H., M.A., 1993 Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur
Masyarakat. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Spindler,
Louise S., 1977 Cul ture Change and Modernization. California : Holt, Rinehart
and Winston
Tjiptoherijanto,
Prijono, 1997. Migrasi, Urbanisasi dan Pasar
Kerja di Indonesia. Jakarta : UI Press
Woods,
Clyde M. , 1975. Culture Change. Iowa : Wm. C. Brown Company Publisher
sumber : Harian Analisa, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar