Oleh : Suyadi San
“Engkau yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-tipis
yang besar terangkum dunia
Kecil terlindung alis…”//
SAJAK
di atas mengilustrasikan kesyahduan dan keteduhan batin sang penyair,
terutama dalam menghadapi masa-masa romantiknya. Engkau yang terasa
bertiduran dalam hati si aku adalah sesuatu yang indah, amat halus (akasa swarga berarti langit sorga, yaitu sesuatu yang luas; tipis-nipis berarti sangat halus, sangat kecil).
Sesuatu
yang indah dan gaib itu kalau besar dapat menguasai dunia, bila kecil
dapat bersembunyi di balik alis. Dalam hal ini, berarti bahwa yang gaib
itu selalu terasa ada, meliputi segalanya : meliputi dunia si aku, namun
tak
terlihat karena dapat bersembunyi di balik alis.
Begitulah.
Kesyahduan Amir Hamzah kerap tergambar dalam syair-syairnya. Sikap ini
sesuai sekali dengan semangat revolusioner para sastrawan yang ada pada
masa Pujangga Baru, sebuah masa yang diselimuti semangat nasionalisme
sejati dan pembentukan identitas kultur sebuah bangsa bernama Indonesia.
Romantisisme Amir Hamzah, baik kepada dirinya pribadi selaku makhluk
Tuhan maupun kepada orang-orang yang berada di sekitarnya, merupakan
satu potret kemajuan dan kemandirian sebuah zaman.
Sayangnya
kemerduan, keteduhan, dan kesyahduan larik-larik puisi yang dihasilkan
saat bersekolah di Pulau Jawa, tidak seiring dengan pengalaman terakhir
yang diterimanya di tanah kelahirannya sendiri, Tanjung Pura,
Langkat. Di pertengahan Maret 1946, ia tewas dibunuh. Pada usia 35
tahun, penyair keturunan bangsawan Melayu ini dipancung
sekelompok pemuda dalam “revolusi sosial” Langkat. Prof. A. Teeuw
menggambarkan kematiannya sebagai “lambang sedih tentang betapa tak bisa
dipertemukanya masa lampau Melayu dengan masa depan Indonesia” ( a sad symbol of the irreconcilability of the Malay past with the Indonesia future).
Orang-orang
tidak menyangka kematian sang Raja Pujangga Baru sangat tragis seperti
itu. Ia harus mati di tanah kelahirannya sendiri dan oleh rakyatnya
sendri dalam kapasitasnya sebagai Pangeran Langkat Hulu. Padahal, sejak
berguru ke Tanah Jawa, ia harus berhadapam dengan tentara dan
pemerintahan Belanda dalam organisasi pergerakan bernama Indonesia Muda
yang mencetuskan Soempah Pemuda. Saat berada di Solo dan Jakarta
itu pula, Amir Hamzah terpilih menjadi ketua delegasi dalam Kongres
Pemuda I yang digelar di Solo pada 29 Desember 1930-2 Januari
1931. Pemerintahan Belanda tentu saja merasa gerah dan gundah, hingga
akhirnya memperingatkan Kesultanan Langkat dengan keras. Kemanakan
Sultan Mahmud itu pun dipanggil pulang untuk dikawinkan dengan putri
Sultan Langkat, Kamaliah.
Amir
Hamzah lahir pada 28 Pebruari 1911 sebagai putra Pangeran Muhammad Adil
(Tengku Bendahara Paduka Raja Kesultanan Langkat) dan ibunya bernama
Tengku Mahjiwa. Sepulang dari Tanah Jawa dan berumah tangga, Amir Hamzah
mendapat wilayah kekuasaan di kawasan Binjai sebagai Pangeran Langkat
Hulu. Dalam kedudukan ini, Amir pada masa revolusi sosial tahun 1946 di
Sumatra Timur difitnah dan dianggap sebagai kaum feodal, pengkhianat dan
kaki tangan penjajah, sehingga ia harus menebus dengan nyawanya,
diculik dan dibunuh pada 19 Maret 1946 di Kwala Begumit, Langkat.
Tragedi yang dialami Amir Hamzah ini merupakan ironi dalam sejarah perjuangan bangsa. Kematiannya merupakan kecelakaan besar dan kekeliruan
para pelaku yang bertikai pada masa revolusi sosial itu :
“Hancur
badanku, lahir badanku, dari gelombang dua berimbang, akulah buih
dicampakkan tepuk, akulah titik rampatan mega, suara sunyi di rimba raya
- Akulah gema tiada berupa.”
Terbukti,
setelah dilakukan berbagai penelusuran mengenai riwayat hidup Amir
Hamzah secara lengkap hingga terjadinya peristiwa berdarah itu, Amir
Hamzah ternyata ditabalkan sebagai pejuang bangsa. Setelah hampir tiga
puluh tahun namanya sempat tercemar dan terombang-ambing di tengah
bangsanya, persis pada 10 Nopember 1975 saat peringatan Hari Pahlawan,
nama Amir Hamzah dipulihkan sekaligus diangkat menjadi Pahlawan
Nasional.
Apa komentar sahabat-sahabatnya sejak
kematiannya tentang dirinya? L.K. Bohang, teman semasa kuliah Amir di
Solo, melihat satu hal penting dalam diri Amir Hamzah, yakni “suara
kesangsian”
yang bersahut-sahutan. Ajip Rosidi dengan tepat menamakannya “hati yang
ragu”. Begitulah dunia yang dialami Amir Hamzah semasa hayatnya. Ia
seperti berada pada dua kekuatan yang berimbang. Sekali terbuang, sudah
itu menerawang: Akulah gema tiada berupa.
Bagi
Achdiat Kartamihardja, sastrawan dan sahabat kentalnya semasa di
Jakarta dan Solo, Amir Hamzah bukanlah sekadar “bujang Melayu” dan “Anak
Langkat musyafir lata”, walaupun Amir sendiri memanggil dirinya secara
berendah-rendah demikian. Menurutnya, bagi Amir Hamzah, sejarah kita
adalah suatu kontinuitas. Penyair pengagum Abdullah bin Abdul Kadir
Munsji ini, menurut Goenawan Mohamad, adalah satu di antara para pelopor
kesusastraan Indonesia modern yang menganggap kegiatannya sebagai
semacam renaissance dari yang lama:
“…..Timbullah dendam
dalam hati pemuda kepada zaman lampau, kala Hang Tuah meminang ke
Majapahit, sadarlah mereka akan tali
perkauman di zaman purba, dan kuntum yang tersembunyi dalam taman
hatinya pun pecahlah menjadi bunga, disinari oleh pustaka surya yang
bercahaya di langit persaudaraan.
Maka
lahirlah pustaka baru, di lembah pulau duduklah pengarang dan penyair
meraut kalam dan di atas rehal terbuka kembali Pustaka Purwa melatih
pemuda….” (Pujangga Baru, 1932)
Dalam komentar
pendeknya tentang Amir Hamzah, penyair Angkatan 45 Chairil Anwar
mengatakan: “….susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap
bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!”
Lalu, Jassin menulis tentang bahasa Amir Hamzah : “Lebih banyak dia
memakai bahasa Melayu lama dan perbandingan-perbandingan Melayu lama…
Bagaimanapun besar penghargaannya pada bahasa Indonesia, dia tetap
memakai bahasa Melayu”.
Meski
Amir Hamzah kadang-kadang
mengulang kembali klise-klise lama bahasa Melayu, seperti ditunjukkan
Teeuw, serta perbandingan Melayu lama seperti dikatakan H.B. Jassin itu,
namun perbendaharaan katanya tak terbatas hanya sampai di sana. Dalam
masalah pengucapan puisi ini, kita sebenarnya tak bisa semata-mata
melihat Amir Hamzah sebagai satu penjelmaan masa silam. Alam dunia
Melayu di masa Amir Hamzah dan teristimewa dalam dirinya telah retak:
pengaruh luar telah berkecamuk. Namun, tentunya tidak sepenuhnya.
Kenyataan
bahwa dalam karya-karyanya terdapat “pencampuran bentuk syair dan jiwa
pantun” seperti dibuktikan Jassin dengan baiknya : Amir Hamzah adalah
kesaksian masa transisi. Dalam dirinya, akar kesusastraan Melayu amat
kukuh. Dalam dirinya, akar itu kadang-kadang terasa sebagai pengekang
tapi kadang-kadang pula terasa sebagai penunjang. Bahasa puisiya
menunjukkan kesadarannya akan kemampuan dan juga keterbatasan bahasa
Melayu, dan dengan itulah Amir
Hamzah bergulat ke arah percintaan yang sesempurna-sesumparnanya.
Lebih
jelas dari tanda-tanda yang diperlihatkan oleh bahasa puisinya,
kehidupan rohaniah Amir Hamzah sememangnyalah menunjukkan zamannya
sebagai zaman pertemuan dari pelbagai pengaruh. Hal ini terlihat dalam
beberapa sajaknya. Penyair sufi itu, meminjam istilah Abdul Hadi WM
mengenai kepenyairan Amir Hamzah, kedapatan menerjemahkan satu bagian
dari Perjanjian Lama dan Bhagawad Gita (kitab suci Weda yang ke-5 agama Hindu).
Kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi,
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang intens tentang Tuhan, dan di balik
setiap pertanyaan kita pun terpesona, bahwa bagi Amir Hamzah Tuhan itu
sangat dekat. Tampaknya paradoksal, tetapi sangat wajar: sebab, bukankah
bagi yang bertanya tentang Dia, sesungguhnya Ia “dekat rapat”? Penyair ini pun terus “mengembara”: “Mengembaralah
aku,
Kekasihku, terus-menerus, senja cuaca di malam-kelam, di pagi sunyi,
akan meninjau silau seri-Mu, akan mendengar pendar suara-Mu, akan
mengintip kerdip mata-Mu”.
Karena ia terus-menerus mengembara, karena pertemuannya dengan Tuhan selalu dalam proses, “bertukar tangkap dengan lepas”,
Amir Hamzah tetap menjadi mesra, lewat karya-karyanya kepada kita. Ia
merupakan kesaksian zaman yang sedang mencari, zaman yang orang-orangnya
gelisah menghadapi goncangan ketidakpastian saat ini.***
sumber : Harian Waspada, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar