Oleh : Suyadi
MENARIK sekali tulisan Himpun Panggabean yang termuat di harian ini
edisi Sabtu 22 September 2007. Tulisan bertajuk “Bahasa Indonesia Berkembang Tanpa Arah” itu, ia menyatakan tidak
puas atas perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini. Terutama, penggunaan bahasa
Indonesia oleh pejabat dan wartawan.
Tulisan itu sebenarnya sangat sejalan dengan niat
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional untuk segera membentuk
Undang-Undang Kebahasaan. Dalam dua tulisan saya terdahulu (Sabtu 25 Agustus
2007 dan 8 September 2007), saya juga mencermati hal serupa.
Berteori tentang asal usul dan masalah bahasa,
memang sangat spekulatif. Ia penuh dengan misteri. Ia seperti udara, dirasa
perlu jika terkena polusi. Kalau sudah begini, orang pun berdebat mengenai
kepentingannya. Tidak heran, semua orang pasti membutuhkannya.
Karena sifatnya yang penuh spekulatif dan misteri,
maka teori mengenai asal-usul bahasa telah berkembang sedemikian rupa, sejak
dari yang bersifat ilmiah, ideologis-rasialis, sampai bernada mitos dan
main-main (2004: 35). Secara garis besar, terdapat tiga teori mengenai hal ini,
yaitu teologis, naturalis, dan konvensionalis.
Pendukung aliran teologis mengatakan, manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan,
yang pada awalnya diajarkan pada Adam, nenek moyang seluruh manusia. Pendapat
ini biasanya dicarikan pembenarannya dari cerita Bibel atau Al-Quran mengenai
kehidupan Adam di surga dan dialognya dengan Tuhan.
Teori kedua, naturalis,
beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan bawaan alam,
sebagaimana kemampuan melihat, mendengar maupun berjalan. Contohnya, bangsa
Mesir yang merasa peradaban mereka paling tua di dunia berpandangan bahwa
bahasa Phrygian adalah bahasa tertua.
Legenda ini bersumber pada sebuah cerita mengenai
Psammatichus, Raja Mesir Kuno yang memerintah sekitar 600 SM melakukan
eksperimentasi terhadap dua bayi yang baru saja lahir. Dua bayi tersebut
dititipkan kepada seorang pengasuh, dengan syarat, harus dijaga baik-baik,
tetapi tidak boleh diajak bicara sepatah kata pun. Alasannya, raja ingin tahu
ucapan apa yang keluar pertama kali dari seorang bayi yang tidak mengenal
pengajaran bahasa.
Begitulah hingga suatu saat satu di antara dua
bayi itu mengucapkan kata “bekos”
yang ternyata dalam bahasa Phrygian berarti roti.
Sejak saat itu, Raja Psammatichus membuat maklumat bahwa bahasa alami yang
paling tua adalah bahasa Phrygian.
Teori serupa diperkenalkan Max Muller (1883-1900)
dan Johan Gotfried Von Herder (1722). Muller memopulerkan teori ding-dong. Ia berpandangan, pada awalnya
bahasa muncul secara alamiah, secara spontan ketika mendengar suara-suara alam.
Disebut teori ding-dong, karena
getaran suara yang ditangkap oleh indera telinga bagaikan pukulan pada bel,
sehingga melahirkan bunyi yang kemudian diteruskan oleh mulut.
Gottfried memperkuat teori naturalis dengan
menganalogkan dorongan berbahasa bagi manusia dengan janin atau embrio bayi
dalam kandungan ibu yang senantiasa mempunyai dorongan alami untuk keluar. Pada
umur tertentu, janin dalam perut ibu memiliki kehendak dan kekuatan untuk
keluar. Begitu pula halnya dengan dorongan berbahasa.
Teori ketiga, konvensionalis,
berpandangan bahwa bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia
merupakan hasil konvensi sosial yang disepakati dan kemudian dilestarikan
bersama-sama secara turun-temurun.
Karena bahasa adalah hasil konvensi, maka setiap
masyarakat atau bangsa memiliki bahasa tersendiri dan bahkan bisa menciptakan
bahasa yang baru. Ibarat pohon dalam taman, bahasa selalu berkembang, sekalipun
ada pula yang kering dan lama-lama mati.
Pembahasan mengenai kompleksitas dan misteri
bahasa ini juga diperkaya oleh kalangan ahli neurolinguistik, sebuah kajian
ilmiah yang meneliti asal-usul bahasa dari segi jaringan saraf otak. Menurut
kajian ini, otak manusia terbagi dua: otak belahan kiri dan otak belahan kanan.
Ungkapan verbal, analitis, repetitif, dan imitiatif adalah produk otak sebelah
kiri, sedangkan berpikir dan berbahasa puitis, imajinatif, komprehensif, dan
kontemplatif pekerjaan otak sebelah kanan.
Demikianlah berbagai teori mengenai asal-usul
bahasa dari berbagai pandangan. Kemisterian akan terjadi kalau kita mau
menengok asal-usul bahasa kita. Lihat saja, bagaimana bangsa Mesir yang merasa
bahwa Phrygian sebagai bahasa yang paling tua, maka orang India pun
berkeyakinan bahwa bahasa yang diajarkan Tuhan pertama kali adalah bahasa
Hindi.
Begitu juga orang Cina mengklaim bahwa bahasa
Cina merupakan bahasa tertua yang
diajarkan Tuhan. Sementara orang muslim Arab memercayai bahwa Tuhan akan
mengadili manusia di akhirat dengan bahasa Arab, karena wahyu Al-Quran yang
merupakan kalam Tuhan adalah berbahasa Arab. Bagaimana dengan Indonesia? Misteri!
Bahasa sebagai Alat
Komunikasi
Sejak masyarakat manusia ada di dunia, hasrat
bergaul merupakan naluri sosial yang dirasakan keperluannya. Hasrat ini
merupakan dorongan naluri yang ada pada setiap manusia. Naluri ini berwujud
pada naluri ingin selamat, naluri ingin adil, naluri ingin aman dan naluri
lainnya.
Begitulah. Ras Siregar menyatakan, untuk mencapai
nalurinya, manusia menggunakan medium bahasa. Dengan medium bahasa, dunia
manusia semakin luas, melewati batas fisik, agama, dan kebudayaan, bahkan juga
melewati batas ruang dan waktu. Dengan bahasa, benda-benda atau orang-orang di
sekelilingnya dirajut dengan pemberian nama dan label, sehingga dengan alat
label itu manusia menciptakan jaringan komunikasi serta membangun makna-makna.
Dengan demikian, bahasa merupakan medium ekspresi
dan eksternalisasi diri agar dirinya dipahami dan diterima orang lain. Lewat
bahasa pula, seseorang melakukan identifikasi dan internalisasi nilai-nilai
serta informasi yang dijumpainya. Dengan bahasa, alam sekelilingnya diberi
atribut dan klasifikasi sehingga atribusi dan klasifikasi mengantarkan lahirnya
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jarak ruang dan waktu bisa dipersempit dan bisa
juga diperlebar oleh wawasan ilmu pengetahuan yang dikomunikasikan oleh bahasa.
Jika sejarah berhasil mendekatkan masa lalu ke masa kini, maka prediksi tentang
masa depan pun bisa diproyeksikan sejak hari ini. Kalau saja tak ada institusi
bahasa, terlebih bahasa tulis, maka dunia manusia akan menjadi sempit, pendek,
karena khazanah hidup masa lalu akan lenyap bersama perjalanan waktu.
Peran bahasa pada konteks sosial paling mencolok
adalah dalam memelihara identitas dan kohesi masyarakat atau bangsa. Sebuah
bangsa mampu menyelenggarakan tertib sosial dan melakukan komunikasi secara
efektif ketika ditemukan teknologi mesin cetak, telepon dan satelit.
Dalam hal ini cendikiawan Muslim, Komaruddin
Hidayat (2004: 46) mengakui, fenomena bangsa dan bahasa Indonesia sangat
menarik diamati. Ia menyebutkan, sebuah penghargaan tak ternilai layak
diberikan kepada para pahlawan yang secara gigih memperjuangkan agar bahasa
Indonesia dijadikan bahasa nasional, yang dicanangkan jauh sebelum hari
kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Menurutnya, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya
melakukan komunikasi politik, agama, dan pembangunan kalau masyarakat Indonesia
yang secara etnis dan bahasa begitu beragamnya tidak memiliki bahasa kesatuan yang
dengannya komunikasi antarsesama suku di tanah air berlangsung.
Dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, ditambah lagi oleh proses penyebarannya yang relatif cepat, umur
Republik Indonesia yang relatif muda secara gemilang telah berhasil menciptakan
sebuah kesatuan dan wawasan nusantara. Kohesi nasional yang mampu merakit
pluralitas etnis dan bahasa lokal ke dalam kesatuan nusantara dengan pengikat
dan medium bahasa Indonesia, merupakan modal sosial yang harus dijaga.
Bahasa adalah Proses
Berpikir
Bahasa adalah lambang bunyi teratur, mengungkapkan
pikiran dan perasaan, bersumber dari dalam tubuh, keluar dari tenggorokan
sebagai alat ucap, lisan dan tulisan (1987: 32). Pada dasarnya manusia memiliki
akal dan perasaan. Memiliki gradasi pikiran dan emosi. Pikiran dan emosi yang
tercetus ini bercakap-cakap atau berbicara disebut dengan bahasa lisan. Pikiran
dan emosi yang keluar ini kemudian disalin, disebut bahasa tulis.
Begitulah, jarak antara bahasa dan pikiran menjadi
sangat dekat ketika seseorang merenung, berpikir dan berbicara tanpa kata dan
tanpa tulisan, karena di saat diam, yang aktif adalah bahasa pikiran.
Namun, jika hakikat bahasa adalah pikiran, dan
jika sebuah pikiran tidak dieksternalisasikan dalam kata-kata atau pembicaraan,
yaitu sebagai media berkomunikasi dengan orang lain, apa yang terjadi? Di sini
tampak jelas bahwa bahasa bukanlah sekadar bunyi suara yang memiliki makna berdasarkan
kesepakatan masyarakat, melainkan lebih dari itu, bahasa memiliki entitas
ontologis.
Karena berpikir maupun berbicara selalu
mengasumsikan adanya materi maupun objek yang dipikirkan dan muncul sebagai
produk pembicaraan, maka berbahasa teratur dan komunikatif hanya bisa dilakukan
oleh mereka yang secara konseptual menguasai materi pembicaraan.
Dengan demikian, mutu sebuah karya tulis,
misalnya, bahannya bukan diukur dari tebal-tipisnya halaman, melainkan dari
kualitas isinya. Termasuk di dalamnya, kaidah gramatikal, keindahan bahasa,
kejituan gagasan, ekonomisasi dan pemilihan kata, serta kadar kebenaran
informasi yang disajikan.
Dalam filsafat bahasa, dikenal tiga macam teori
makna, yaitu ideational, referential,
dan behavioral. Teori pertama berpandangan,
sebuah ungkapan kalimat tidak memiliki kebenaran pada dirinya karena kebenaran
dan makna yang esensial benda secara otonom dalam bentuk ide. Menurut Plato,
realitas sejati dan sempurna berada di alam ide, sementara objek dan realitas
yang tertangkap oleh indera hanyalah penampakan dan serpihan partikular dan
realitas yang ada di alam ide, yang tidak mungkin terjangkau secara utuh oleh
indera dan penalaran manusia.
Mirip teori ini adalah teori intensional. Teori ini berpandangan, kebenaran suatu kalimat
ataupun ungkapan tidak terletak pada struktur kalimatnya, melainkan pada
kehendak, maksud atau intensi dari sang pembicara.
Teori ini kemungkinan dimunculkan untuk
mengingatkan pendengar atau pembaca sebuah buku, majalah atau surat kabar agar
tidak serta-merta memercayai sepenuhnya sebuah narasi dan informasi, mengingat
daya tampung bahasa yang terbatas dan kadang kala kurang tepat untuk
menghadirkan kehendak yang ada dalam hati, pikiran, dan perasaan penutur.
Teori kedua, teori referensial atau teori gambar (picture
theory), berpendapat, kebenaran makna sebuah ungkapan dan pernyataan
terletak pada ketepatan relasi antara proposisi dan objek yang ditunjuk. Sangat
dominan dalam alam pikiran modern dan metodologi ilmu pengetahuan alam yang
bersifat positivistik. Sebuah pernyataan dan proposisi ilmiah dinyatakan valid
jika mampu bertahan, diklasifikasi dan diverifikasi dengan mengacu pada
realitas objektif yang berada di luar kita.
Teori ketiga, behavioral
(tingkah laku), menyebutkan, makna paling mendasar dari sebuah ungkapan
terletak pada pesan yang diinginkan pembicara untuk memengaruhi prilaku
pendengar atau pembicara. Teori ini sangat disadari oleh kalangan politisi dan
ideolog, sehingga muncullah bahasa-bahasa jargon dan propaganda. Juga digemari
kalangan bisnis modern yang sangat mengandalkan kekuatan bahasa iklan untuk
memengaruhi calon konsumen.
Menyadari misteri bahasa berupa kompleksitas
hubungan antara teks, pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan, maka disadari
ataukah tidak, setiap saat kita selalu berada dalam dunia penafsiran dalam
pengambilan keputusan.
Pada setiap peristiwa komunikasi, objek apapun
yang tertangkap telinga, mata dan pikiran selalu mengundang kita untuk
menafsirkan dan memberi respon. Bahkan, sebelum mengungkapkan perasaan atau
pikiran kepada orang lain, kita dituntut melakukan penafsiran terhadap diri
sendiri, yakni kata atau kalimat apakah yang tepat untuk mengomunikasikan
maksud yang masih ada dalam disket otak agar komunikan mudah memahami.
Tidak hanya penafsiran gramatikal-kognitif, kita
juga menafsirkan aspek psikologis kultural, karena sikap gaya dan suasana
pembicaraan akan memengaruhi bagaimana sebaiknya kita memberi respon. Berbicara
tatap muka dan melalui telepon, misalnya berpengaruh pada bagaimana cara kita bersikap.
Demikianlah. Dari uraian di atas, dapat diambil
makna bahwa dengan bahasa kita dapat menyampaikan isi pernyataan atau pikiran
kita kepada orang lain. Sebaliknya, orang lain dapat menyampaikan isi
pernyataan pada kita. Karena itu, jelas dan pasti bahwa bahasa itu dapat
dijadikan alat komunikasi.
Sejarah Bahasa Indonesia
Pemberlakuan Bahasa Indonesia di bumi nusantara
mengalami sejarah yang panjang. Tidak terlepas dari keberagaman suku dan
budaya. Masing-masing suku tentunya memiliki identitas tersendiri, di antaranya
bahasa. Bahasa inilah yang mempersatukan suku-suku tersebut. Ia berkembang
sesuai warisan budaya, alam perasaan dan alam pikiran masing-masing.
Sejarah mencatat, suku-suku yang ada di bumi
nusantara pernah disatukan oleh dua kerajaan besar: Sriwijaya dan Majapahit.
Kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Pulau Sumatera memiliki ciri khas
bahasa Melayu Kuno, orang Malaysia menyebutnya bahasa Jawi. Kerajaan Majapahit yang berkedudukan di Pulau Jawa dengan
ciri khas bahasa Jawa Kuno.
Tak heran, J. Crawfurd (1992: 4) berpendapat,
bahasa Jawa dan bahasa Melayu ini merupakan cikal bakal bahasa-bahasa di
Nusantara. Bahasa Jawa dan bahasa Melayulah yang induk dari bahasa serumpun
yang terdapat di bumi nusantara ini.
Crawfurd menambah analisisnya dengan bukti bahwa
bangsa Melayu dan bangsa Jawa telah memiliki taraf kebudayaan yang tinggi dalam
abad ke-19. Taraf ini hanya dicapai setelah mengalami perkembangan budaya
beberapa abad lamanya.
Dari kajian terhadap perbandingan bahasa yang ada
di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan kawasan Polinesia, ia berkesimpulan bahwa:
a) Orang Melayu tidak berasal dari mana-mana, tetapi merupakan induk yang
menyebar ke tempat lain; b) Bahasa Jawa ialah bahasa tertua dan bahasa induk
dari bahasa lain.
Lalu mengapa bahasa Melayu saja yang menjadi dasar
bahasa Indonesia? Mengapa bukan bahasa Jawa? Pakar bahasa kita, Prof. Dr.
Slametmuljana memaparkan empat faktor penyebab bahasa Melayu dijadikan bahasa
Indonesia, yaitu: Pertama, lingua franca. Sejak lama bahasa Melayu
menjadi bahasa perhubungan dan perdagangan di Indonesia.
Dengan bantuan para pedagang, bahasa Melayu
tersebar ke seluruh Indonesia, terutama di Pesisir, kota pelabuhan. Bahasa
Melayu juga menjadi penghubung antarindividu. Karena perkembangan bahasa Melayu
ini, penjajah menetapkan bahasa Melayu diajarkan di sekolah.
Begitu juga pada masa penjajahan Jepang, bahasa
Melayu diharuskan digunakan di Indonesia karena Jepang tidak menyukai bahasa
Inggris dan Belanda. Dengan demikian, bahasa Melayu mengalami kontak sosial di
seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai bahasa suku.
Kedua, bahasa
Melayu sederhana ditinjau dari sudut ilmu. Sistem bahasa Melayu sederhana,
baik fonologi, morfologi, maupun sintaksis, sehingga mudah dipelajari. Selain
itu, kesederhanaannya pun tidak menampilkan adanya tingkatan seperti bahasa
Jawa: ngoko dan kromo; tidak mengarah halus-kasar seperti dalam bahasa Sunda.
Ketiga, faktor
psikologis. Erat kaitannya dengan sikap politis.suku Jawa dan Sunda yang
mayoritas sudah dengan sukarela menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional. Rela dengan
kepentingan nasional. Ada keikhlasan mengembangkan semangat dan rasa
nasionalisme ketimbang kesukuan, karena sadar akan perlunya kesatuan dan
persatuan.
Keempat, bahasa
budaya. Kesanggupan bahasa Melayu itu sendiri untuk dipakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas. Bahasa Melayu mampu merumuskan pendapat secara
jelas dan tepat serta dapat mengekspresikan perasaan secara baik.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa
Indonesia
Kedudukan
bahasa ialah status
relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar
nilai sosial, dihubungkan dengan bahasa bersangkutan. Sedangkan fungsi bahasa adalah pesan bahasa yang
bersangkutan di dalam masyarakat pemakainya.
Salah satu kedudukan bahasa Indonesia adalah
sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional. Kedudukan ini dimiliki oleh
bahasa Indonesia sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan
dimungkinkan oleh kenyataan bahwa bahasa Melayu, yang melandasi bahasa
Indonesia, telah dipakai sebagai lingua
franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan Indonesia.
Bahkan, di dalam masyarakat Indonesia tidak
terjadi “persaingan bahasa”, misalnya, persaingan di antara bahasa daerah yang
satu dengan bahasa daerah yang lain untuk mencapai kedudukan sebagai bahasa
persatuan atau bahasa nasional.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang
identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai kelompok etnik yang berbeda
latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan
antarbudaya serta antardaerah.
Selain
kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan
sebagai bahasa negara, sesuai ketentuan yang tertera di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Bab XV Pasal 36: “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.”
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa
pengantar resmi di lembaga pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam perhubungan
pada tingkat nasional, (4) bahasa resmi untuk pengembangan kebudayaan nasional,
(5) sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern,
(6) bahasa media massa, (7) pendukung sastra Indonesia, dan (8) pemerkaya
bahasa dan sastra daerah.
Karena itulah, kehadiran Undang-Undang Kebahasaan
nantinya diharapkan dapat membuka misteri bahasa itu sendiri. Kegelapan pikiran
terhadap bahasa, dapat dikupas melalui UU ini apabila kita melihatnya secara
jernih dan tepat sasaran. Monggo! ***
(Penulis adalah Koordinator Siaran Bahasa dan
Sastra Balai Bahasa Medan di RRI Medan. Pos-el: suyadisan@yahoo.com)
sumber :
(1)
Harian Analisa, Rabu 21 November 2007 Halaman 28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar