Tema = Rekonstruksi imajinasi
Setiap cerita (fiksi) yang baik tidak
hanya berisi perkembangan suatu peristiwa atau kejadian, tetapi juga
menyiratkan pokok pikiran yang akan dikemukakan pengarang kepada pembaca.
Itulah yang menjadi dasar, gagasan utama, atau tema cerita. Cerita yang tidak
mempunyai tema tentu tidak ada manfaatnya bagi khalayak pembaca.
Sebagai pokok persoalan, tema merupakan
sesuatu yang netral. Dalam tema, boleh dikatakan belum terlihat kecenderungan
pengarang untuk memihak. Oleh karena itu, masalah apa saja dapat dijadikan tema
dalam cerita atau karya susastra.
Tema dapat menyangkut idaman remaja,
kerukunan antarumat beragama, kesetiaan, ketakwaan, korupsi, pemanfaatan air,
atau bahkan kengerian yang ditimbulkan perang. Cerita dapat menjadi lebih
menarik apabila pokok pembicaraan itu baru, hangat, atau bercorak lain daripada
yang lain.
Nah, bayangkan suatu ketika terjadi aksi
unjuk rasa di gedung wakil rakyat, memprotes penyerobotan tanah. Pasalnya,
pihak pengembang (developer)
memaksakan kehendak membeli lahan penduduk dengan harga relatif murah.
Masyarakat bertahan, pihak pengembang tak kehabisan akal. Sejumlah pejabat
penting dan aparat menjadi perpanjangan tangan.
Karuan, masyarakat tak berkutik. Secara
mendadak mesin buldoser membahana dan memorakporandakan rumah penduduk. Jerit
tangis warga tak lagi terdengar, lenyap ditelan bising buldoser hingga
mengangkasa. Sebagai jalan terakhir, mereka menempuh jalur politik ke gedung
wakil rakyat. Mereka berharap mendapat pembelaan.
Sayangnya, di gedung dewan mereka tidak
menemukan sesiapa. Tidak seorang pun wakil rakyat muncul di hadapan mereka.
Hati warga menjadi masygul. Itukah jelmaan suara rakyat yang pada masa kampanye
bertekad memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas?
Apa yang Anda lakukan sebagai pencerita?
Watak = pelaku imajinatif
Pelaku yang ditemukan dalam cerita fiksi
adalah pelaku yang imajinatif, pelaku yang ada di dalam benak pengarang. Tidak
akan dijumpai, sekalipun dicari pada seantero dunia.tidak dapat ditangkap oleh
alat dria. Ia hanya dapat ditangkap oleh daya imajinasi seseorang. Raut muka,
bentuk tubuh, sepak terjang, dan karakter pelaku dapat dikenal melalui
penggambaran, baik yang dilakukan pengarang, pencerita maupun pelaku.
Berikut ada beberapa hal yang menjadi
petunjuk bagi pembaca untuk mengetahui sifat tokoh, yaitu:
1. melalui keterangan langsung dari tokoh
2. melalui apa yang dikerjakan
3. melalui ucapan-ucapannya
4. melalui penggambaran fisik tokoh;
5. melalui pikiran-pikirannya;
6. melalui keterangan langsung dari
pengarang.
Point of View
Point of view menjawab pertanyaan: siapakah yang
menceritakan kisah ini?; bagaimana kisah ini
diceritakan? Point of view adalah visi pengarang, sudut pandang yang diambil
pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Lazim disebut gaya
pengarang. Pemilihan point of view
sangat penting sebab akan menyangkut masalah seleksi terhadap kejadian-kejadian
cerita yang akan disajikan, menyangkut masalah ke mana pembaca akan dibawa,
menyangkut masalah kesadaran siapa yang dipaparkan.
Ada empat macam point of
view, yakni:
1) Omnicient point of view (sudut pandang
Yang Berkuasa). Di sini pengarang
serba tahu. Ia bisa menciptakan apa saja yang diperlukannya guna mencapai efek
yang diinginkannya. Ia bisa mengeluar-masukkan tokoh-tokoh cerita. Ia bisa
mengungkapkan perasaannya, kesadaran, dan jalan pikiran para pelaku. Sangat cocok
pada cerita sejarah, edukatif atau humor.
2) Objektive
point of view. Hampir
sama dengan omnicient, namun
pengarang tidak sampai memberi komentar. Pembaca hanya disuguhi ”siaran
pandangan mata”. Sama seperti
penonton pertunjukan teater. Ia sama sekali tidak masuk ke dalam pikiran
pelaku. Penulis modern banyak
melakukan teknik seperti ini.
3) Point of view orang pertama. Ini yang
banyak digunakan pengarang di Indonesia.
Ia menggunakan sudut pandang ”aku”. Karena itu, pengarang harus berhati-hati, apakah ”aku” sang tokoh sama
dengan ”aku” sang pengarang. Terkadang pengarang tidak bisa melepaskan dirinya
dengan si ”aku” dalam cerita.
4) Point of view peninjau. Si pengarang
menggunakan tokoh ”dia”. Hampir sama
dengan teknik orang pertama, namun menggunakan pihak ketiga, si dia.
Plot
Plot ialah jalan cerita yang melahirkan
konsep dan menggerakkan cerita dari awal hingga akhir. Plot pada karya sastra
bergantung besar kepada konflik. Konflik ini dapat dilihat dari gerakan aksi
para tokoh, penggunaan unsur dramatik, pembinaan dramatikalnya, dan bagaimana
konflik memuncak sampai kepada tahap klimaks.
Filosof Aristoteles adalah orang pertama
yang menggariskan arti plot dalam karya sastra pada kurun kedua sebelum Masehi.
Bukunya Poetics menjelaskan, "plot is the imitation of the
action". Plot ialah suatu peniruan terhadap aksi manusia yang selaras
dengan jalan hidup manusia. Pendeknya, plot adalah perkembangan cerita yang
digerakkan oleh aksi dan peristiwa serta ia terjalin dari awal hingga akhir;
melahirkan satu kesatuan cerita.
Aristoteles menentukan tiga tahap plot,
yakni :
n
Protasis : Bagian pengenalan atau eksposisi.
n
Apitasis : Bagian krisis dan klimaks
n Katastasis
: Bagian peleraian, penyelesaian, dan penutup.
Dalam perkembangannya, tahap pengembangan
plot dijadikan dari tiga kepada lima bagian, yakni :
n Eksposisi.
n Krisis
dan meruncingnya peristiwa.
n Pemuncak
dan klimaks.
n Anti-klimaks
atau penurunan dan jawaban.
n Penyelesaian.
Bagaimanapun, struktur plot itu hanya digunakan di
dalam karya sastra bercorak dan aliran realisme. Karya sastra mutakhir atau
absurd dan abstrak sudah tidak memakai plot seperti itu. Lebih menggunakan plot
situasi dan plot yang disifatkan anti-plot. Yang dimaksudkan dengan anti-plot
bukan berarti ia tidak mempunyai plot, ia tetap mempunyai plot, jika tidak
bagaimana hendak mengembangkan ceritanya. Anti-plot juga berarti karya sastra
yang mempunyai plot tetapi tidak menggunakan plot konvensional. Plot
konvensional ialah yang menggunakan lima
atau tiga tahap tadi.
Bahasa
Satu kriteria yang umum dan dominan dipakai dalam
menilai keindahan atau estetik sebuah karya sastra banyak bergantung kepada
penggunaan bahasanya. Dari pemakaian bahasalah, karya tersebut diekspresikan
dan dikomunikasikan dengan audien.
Hal-hal penting yang menjadi bidang pembicaraan
bahasa ialah melihat pemilihan dan penggunaan kosa kata, menganalisis struktur
kalimat, meninjau aspek makna, menguraikan unsur-unsur dramatikal bahasa, gaya
individualisme, dan sifat-sifat ekspresi pengkaryaan yang mengomunikasikan
karya itu dengan peminatnya. Dari sini
barulah beranjak ke arah pencapaian nilai kesusastraannya sebagai hasil kreatif
dan hubungannya dengan zaman.
Dalam aspek pemilihan dan penggunaan kosa kata
atau diksi (leksikal), yang ingin dilihat adalah sejauh mana perkataan itu
memiliki keistimewwan tersendiri atau berjaya untuk menimbulkan imaji dan ide
yang hendak digambarkan. Apakah ia sesuai dengan persoalan dan pemikiran karya? Di sini bisa dilihat penggunaan beberapa
segi, seperti berapa banyak kosa kata daerah, intelektualitas atau tidak, dan
sebagainya, apakah ia wajar digunakan! Pemilihan kosa kata juga ada kaitannya
dengan bentuk dan aliran sastra.
Dengan menggunakan kriteria kosa kata dan unsur
bahasa akan dapat memperlihatkan suasana dan sifat pengarang. Kosa kata yang
pendek dan ringkas sesuai dengan suasana ketegangan dan sejalan dengan
pengarang realisme. Penganalisisan struktur kalimat dapat dilihat dari jenis
panjang pendeknya kalimat tersebut. Kapankah seorang penulis harus menggunakan
kalimat yang panjang dan kenapa pula dalam saat tertentu menggunakan kalimat
yang pendek? Dalam suasana kejutan atau
konflik, misalnya, memerlukan kalimat-kalimat yang pendek, sementara dalam
menggambarkan suasana penuh romantik atau berfalsafah, cocok menggunakan
kalimat yang panjang. Ada masanya pula kalimat-kalimat itu diulang-ulang atau
dipilah-pilah untuk menghasilkan keindahan.
Dari segi makna atau semantik, bertujuan untuk
mengkaji keseluruhan penggunaan dimensi bahasa, apakah karya itu memiliki
pengertian yang mudah atau berat, dalam atau dangkal, terbuka atau tertutup,
lurus atau bersimbol, dan sebagainya. Kajian ini untuk mengemukakan persoalan
dan pemikiran yang hendak disampaikan oleh pengarangnya. Banyak kita temui
karya-karya, misalnya sastra absurd, agak sukar untuk dipahami, maka
penganalisisan dari sudut semantik ini diharapkan dapat menolong.
Selanjutnya, terdapat banyak sekali unsur ketaksaan
dalam karya sastra, misalnya perbandingan, kiasan, eufemisme, epigram, dan
lain-lain. Unsur-unsur ini dipergunakan dalam usaha sang penulis hendak
memperindah dan memperkuat ungkapan-ungkapan dialognya serta memberikan makna
yang tajam dan kokoh. Seorang sastrawan, yang sangat mengetahui dan peka dengan
peranan bahasanya, akan mengaplikasikannya dengan penuh kesadaran serta
berusaha menciptakan ungkapan-ungkapan yang padu dan berkesan.
Pendekatan stilistika ini juga memersoalkan
masalah gaya keseluruhan penggunaan bahasa yang dominan bagi seseorang penulis,
dan dapat membuat tanggapan serta kesimpulan, yang akhirnya dapat
memperlihatkan kepribadian sang penulis. Kekuatan bahasa ini selalu muncul dari
hasil kekuatan kepengarangannya dan berhasil membentuk gaya individualnya
sendiri. Rendra dan N. Riantiarno, misalnya, memiliki gaya pribadinya sendiri.
Begitu juga Putu Wijaya dan Arifin C. Noer unggul dalam genre cerita rekaan.
Adalah menjadi tugas kita untuk mengkaji dan
menganalisis gaya pribadi seseorang penulis. Dari situ, diharapkan dapat melihat
tinggi-rendahnya mutu karya yang dihasilkan. Shakespeare, misalnya, dapat
disimpulkan unggul dalam bidang sastra dan satu penyebab ia mempunyai daya
ekspresi yang kuat dalam bidang gaya pribadi ini, berhasil mengeksploitasi
seluruh dimensi bahasa. Bahasa yang baik dalam sebuah karya dapat berkomunikasi
dengan sebaiknya terhadap audien, karena sebuah karya sastra yang baik harus
dapat berhubungan erat dengan pembacanya. Pendekatan ini juga bertanggung jawab
melihat pencapaian ekspresi penulisnya.
Selain itu, bahasa juga ada kaitannya dengan
pembentukan dan penganut aliran seseorang penulis. Rabrindanath Tagore suka
menggunakan aliran romantisisme, Slawomir Mrozek dengan realisme, pendekatan
stilistik dapat membantu memperjalan hal ini. Kritikan pendekatan stilistik
ini, meskipun bertitik-tolak dengan kajian penggunaan bahasa, namun ia mampu
membahas bidang-bidang yang luas seperti hubungan pengkaryaan dan
kepengarangan. Tak ayal, ia merupakan pendekatan yang berwibawa dan sesuai
untuk semua drama.
Estetik
Medium yang digunakan oleh pengarang adalah
bahasa. Pengamatan terhadap bahasa ini pasti akan mengungkapkan hal-hal yang
membantu kita menafsirkan makna suatu karya atau bagian-bagiannya, untuk
selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian inilah yang disebut
pengkajian stilistik. Dalam
pengkajian stilistik, tampak relevansi linguistik atau ilmu bahasa terhadap
studi sastra.
Dengan stilistika, dapat dijelaskan interaksi yang
rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan
para kritikus sastra. (Panuti Sudjiman, hal. vii).
Sebelum memiliki stilistika, bahasa dan sastra memang telah memiliki gaya (style).
Gaya adalah sesuatu yang “menyimpang” dari pemakaian biasa. Penyimpangan tersebut bertujuan untuk
keindahan. Keindahan ini banyak muncul
dalam karya sastra, karena sastra memang
sarat dengan unsur estetik.
Segala unsur estetik ini menimbulkan manipulasi
bahasa, plastik bahasa, dan kado bahasa sehingga mampu membungkus rapi gagasan
penulis. Dalam bahasa Jawa, manipulasi demikian dinamakan lelewaning basa (gaya bahasa). (Suwardi Endraswara, hal. 71).
Stilistika (sylistics)
adalah (1) ilmu yang menyelidii bahasa yang digunakan dalam karya sastra;
ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusasteraan; (2) penerapan linguistik
pada penelitian gaya bahasa. (Kridalaksana,
1982 : 157 via Tirto Suwondo, 2003 :
151).
Dalam membicarakan stilistika, orang selalu
menekankan kepada hubungan pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan pemakaian
bahasa biasa (C.F. Voegelin, 1960; N.E. Enkvist, 1964: 23-26; 1973: 11-26).
Kadang-kadang mungkin ada anggapan bahwa pemakaian bahasa pada karya sastra
yang mengandung unsur style, sesuatu
yang tidak netral, mungkin ke arah menyalahi “tata bahasa”.
Pandangan ini jelas melihat adanya dua pemakaian
bahasa pada karya sastra, yang “berbeda” dan
tak “berbeda”. Yang tidak berbeda, yang netral, sebenarnya lebih banyak.
Tapi, yang berbeda, yang lebih sedikit, ternyata memberikan warna kepadanya. Ia
menjadi dominan. (Umar Junus, hal.
27).
Pendekatan stilistika bertolak dari asumsi bahwa bahasa mempunyai
tugas dan peranan yang penting dalam
kehadiran karya sastra. Bahasa tidak dapat dilepaskan dari sastra. Tidak ada
bahasa tidak ada sastra. Keindahan sebuah karya sastra sebahagian besar
disebabkan kemampuan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasa sehingga
menimbulkan kekuatan dan keindahan. (M.
Atar Semi, hal. 81).
Penelitian karya sastra saat ini umumnya masih terbatas pada struktur
narasinya, perlulah diadakan penelitian gaya bahasanya. Lebih-lebih lagi pada
waktu sekarang di Indonesia belum ada penelitian dan penulisan stilistika yang
khusus di bidang kesusastraan, bahkan belum ada juga buku stilistika umum yang
dapat menjadi pegangan dalam mempelajari gaya bahasa dan untuk penelitiannya.
Sudah sejak awal tahun 1950-an Slametmuljana
(1956:5) mengemukakan bahwa belum ada penelitian (penulisan buku) stilistika di
Indonesia. (Rachmat Djoko Pradopo, hal. 263-264). Stilistika adalah ilmu yang
mempelajari gaya bahasa. Stilistika adalah ilmu bagian linguistik yang
memusatkan diri pada variasi-variasi penggunaan bahasa, seringkali, tetapi
tidak secara eksklusif, memberikan perhatian khusus kepada penggunaan bahasa
yang paling sadar dan kompleks dalam kesusastraan.
Stilistika berarti studi tentang gaya bahasa,
menyugestikan sebuah ilmu, paling sedikit merupakan sebuah studi yang metodis.
(G.W. Turner, hal. 7-8). Pendekatan
stilistik juga berbicara tentang stail keseluruhan penggunaan bahasa yang
dominan bagi seorang dramatis, dan dapat membuat tanggapan serta kesimpulan,
yang akhirnya dapat melihat kepribadian si penulis.
Kekuatan bahasa selalunya muncul hasil dari
kekuatan kepengarangannya, di mana ia berhasil membentuk stail individualnya
sendiri. (Mana Sikana, hal. 78). Menggunakan
bahasa tulis sebagai sarana teks drama, pengarang berarti tidak berhadapan
langsung dengan pembaca, sehingga ada celah kelemahan komunikasi dibandingkan
dengan bahasa lisan.
Akan tetapi, karena situasi bahasa utama di dalam
drama adalah dialog, maka meskipun menggunakan bahasa tulis, kesan kelisanan
dalam bahasa langsung tetap menonjol dan dominan dibandingkan pada fiksi. Upaya
untuk memahami penggarapan bahasa di dalam drama – sebagaimana di dalam karya
sastra lainnya – biasanya lebih populer dengan istilah kajian stilistika. (Hasanuddin WS, hal. 99-100).
Latar
Latar atau setting ialah aspek yang menunjukkan
plot, perwatakan dan dialog yang berfungsi membina sebuah kisah serta dapat
menerangkan kapan dan di mana peristiwa-peristiwa itu terjadi. Dengan
menjelaskan aspek tempat dan waktu tersebut,pembaca akan dapat membantu
memahami karya yang dibacanya.
Kita juga sudah mengkaji bagaimana peranan setiap
komponen sastra seperti plot, perwatakan, dan bahasa untuk menciptakan sebuah
karya. Antara satu dengan lainnya saling berhubungan dan integral sekali bagi
melahirkan sebuah teks sastra, apalagi karya sastra yang baik harus ada
kesatuan: mencari bentuk yang ekspresif dan mampu membangun elemen-elemen estetik.
Di samping ketiga komponen tersebut, latar juga
mempunyai hubungan dan fungsi autentik dalam struktur cerita. Plot yang
digerakkan oleh perwatakan dan perwatakan pula dimanifestasikan oleh dialog,
bertujuan untuk menyampaikan cerita atau menyuguhkan pemikiran. Tetapi tanpa
konsep tempat dan waktu, cerita dan pemikiran seorang pengarang hanya seperti
berlangsung di awang-awang alias melangit (tidak membumi atau tidak dipahami
pembaca).
Sesungguhnya, baik aksi dan reaksi perwatakan atau
perkembangan plotnya memerlukan satu tempat dan waktu serta kemudian dapat
menerangkan atau menggambarkan secara tidak langsung peristiwa yang sedang
berlangsung. Sebuah latar, misalnya, dapat menyuguhkan suatu gagasan penceritaan yang: berfungsi
untuk menciptakan suasana dan mencerminkan kondisi watak serta membantu
pencapaian ide cerita di samping menimbulkan motivasi bagi plotnya.
Dalam sebuah
novel atau cerpen, latar berupa tulisan naratif yang mendeskripsikan "the environment of its event and
visible background”. Latar itu disesuaikan dengan perkembangan keperluan
plot di samping menjelaskan prinsip dan motif utamanya : waktu dan tempatnya.
Sementara itu latar yang baik tidak saja menjelaskan kedua motif di atas, juga
berhasrat menimbulkan suasana dengan menggambarkan latar belakang peristiwa dan
perwatakan dengan serta gambaran umum kehidupan yang hendak diungkapkan.
Dalam penelitian yang lebih mendalam, latar
belakang dan budaya juga pernah dibincangkan. Misalnya dalam cerita sejarah,
masyarakat manakah yang menjadi latar cerita itu. Kita mengambil contoh cerita
pertarungan "Ken Arok" (Saini
KM), masyarakat yang menjadi latarnya ialah kerajaan Singasari dan Kediri di
Jawa, yang mengamalkan sistem pemerintahan feodal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar