kita akan rindu, tapi kapan-kapan
ada yang yang tak pernah
selesai, memang
dari sebuah perjalanan
begitu juga semua yang
kukerjakan
di dalam
(Dina Oktaviani, 2006 : 73)
Karena keindahannya, perempuan sering ditampilkan dalam karya sastra. Sudah
seperti menjadi komoditas iklan dalam karya sastra. Karena keindahannya pula,
untuk karya sastra yang bobot kehadirannya sama, antara laki-laki dan
perempuan, biasanya perempuanlah yang dipilih.
Selain karena keindahan, perempuan sering menjadi
inspirasi, dalam melahirkan produk apapun. Alhasil, atribut atau sikap yang
mencirikan keperempuanan, sebagai potensi kodrati perempuan, kini justru kian
menjadi aset dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan.
Berbagai kalangan berpendapat, ketika kegiatan
industri mulai merambahi kehidupan masyarakat, rumah tangga mulai dipandang tidak
berkaitan sama sekali dengan kegiatan ekonomi. Sebab, dalam masyarakat
industri, laki-laki dipandang sebagai satu-satunya aktor dalam proses produksi.
Ketika industrialisasi masih berada dalam
tahap-tahap awal perkembangannya, masih terbatas pada pertambangan dan pabrik,
hanya tenaga laki-laki yang dibutuhkan sebagai tenaga kerja. Sifat pekerjaan
industri pada saat itu membutuhkan tenaga fisik yang kuat, dan secara kultural
hal itu hanya dimiliki oleh laki-laki.
Kaum perempuan karena dipandang lebih lemah
fisiknya daripada laki-laki, ditempatkan untuk melakukan pekerjaan di sekitar
rumah tangga. Kegiatan yang dilakukan dalam rumah tangga ini cenderung dianggap
sebagai kegiatan non-ekonomi, karena yang utama tugas perempuan adalah sebagai
ibu rumah tangga.
Tugas-tugas rumah tangga, seperti mengasuh anak,
memasak, membersihkan rumah, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
reproduksi atau konsumsi, dipandang sebagai kegiatan yang non-ekonomi.
Kaum feminisme tentu saja berusaha meluruskan
persepsi dan pandangan tersebut. Mereka berusaha menunjukkan bahwa kaum
perempuan justru memberikan konstribusi yang signifikan dalam kegiatan ekonomi
meskipun menyandang status ibu rumah tangga.
Berbagai studi tentang konstribusi perempuan dalam
kehidupan rumah tangga telah pula dilakukan di berbagai tempat. Hasil studi itu
memperlihatkan bagaimana ibu-ibu rumah tangga tersebut memberikan konstribusi
yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangganya.
Setidaknya, ada lima citra yang dengan itu nilai
perempuan dapat dilihat dalam karya sastra, yaitu sebagai citra pigura, pilar,
peraduan, pinggan, dan pergaulan.
Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai
makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri biologis
tertentu, seperti buah dada, pinggul, dan seterusnya, maupun ciri kewanitaan
yang dibentuk budaya seperti rambut panjang, betis ramping mulus, dan
sebagainya.
Citra tersebut pada generasi sastra 2000-an
berhasil dikupas oleh Ayu Utami dkk. Rata-rata penulisnya memang kaum
perempuan. Mereka beranggapan, sudah sejak lama citra perempuan dalam karya
sastra didominasi kaum lelaki. Padahal, cuma akaum perempuanlah yang tahu dan
memahami kondisi biologis perempuan.
Maka, aroma sastra
wangi dalam perjalanan kesusastraan kita sangat terasa pada penghujung abad
21, seperti terlihat pada Saman, Larung, Jangan Bilang Saya Monyet, Jangan
Bermain-main dengan Kelamiku, dan sebagainya. Penampilan citra pigura ini sangat berbeda pada
era NH. Dini, La Rose, Mira W (era 1970-an s.d. 1980-an).
Sedangkan pada citra pilar, perempuan digambarkan
sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah
bahwa lelaki dan perempuan itu sederajat, tapi kodratnya berbeda. Karena
itulah, wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya berbeda pula.
Gerakan kaum feminisme untuk membuktikan bahwa
kegiatan ekonomi sangat berkaitan dengan peran perempuan, termasuk yang
memosisikan dirinya sebagai ibu rumah tangga, hingga saat ini cukup kuat.
Hal ini tentunya merupakan bagian yang penting
bagi upaya gerakan feminisme untuk menuntut keadilan dan kesamaan hak dalam
kehidupan masyarakat. Juga, tidak memungkinkan untuk memperkirakan sumbangan
pekerjaan perempuan terhadap nafkah keluarga dan meramalkan jumlah anggota
keluarganya.
Sebagaimana dimahfumi, ada berbagai latar belakang
perempuan memasuki pasar kerja. Pertama,
untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, terutama bagi perempuan
yang belum bersuami tetapi juga menopang keberlangsungan ekonomi keluarga.
Kedua, perempuan tidak lagi bersuami tetapi
harus memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarganya. Ketiga, masih bersuami namun ikut membantu suami dalam memenuhi
kebutuhan hidup keluarga dan rumah tangganya.
Karena itu, pendapatan perempuan akan berpengaruh
menyamaratakan terhadap ketimpangan kelas dengan menyamakan perbedaan yang
terdapat dalam pendapatan total rumah tangga.
Argumen ini bisa saja dapat ditukar dengan cara
lain, misalnya penghasilan perempuan adalah terpenting artinya dalam rumah
tangga yang para penerima gajinya terdiri dari pekerja kurang terampil dan
bekerja pada pekerjaan yang berupah cukup.
Citra perempuan yang bekerja ini sering
terlihat dalam karya sastra. Misalnya, tentang perempuan yang bekerja di tempat
hiburan malam, pembantu rumah tangga, perempuan karier, pramugari, sekretaris cantik,
buruh industri, dan sebagainya.
Citra peraduan menganggap perempuan adalah obyek
pemuasan laki-laki, khususnya pemuasan seksual. Sehingga, seluruh kecantikan
perempuan, baik kecantikan alamiah maupun buatan (melalui kosmetik), disediakan
untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan konsumtif.
Citra peraduan ini sering dibidik pengarang yang
menonjolkan erotisme perempuan. Karya-karya sastra
wangi yang pernah booming pada
awal tahun 2000-an secara vulgar mengeksploitasi keperempuanan dan keperawanan sebagai
modal dasar untuk menjatuhkan kaum lelaki. Drama Lysistrata Aristophanes juga menceritakan apa yang terjadi ketika
kaum perempuan melakukan mogok seks terhadap kaum lelaki.
Untuk citra pinggan, digambarkan bahwa betapapun
tingginya perempuan dalam memperoleh gelar pendidikan dan sebesar apapun
penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Berkat teknologi pula, kegiatan
di dapur ini tidak lagi berat dan membosankan. Ada kompos gas, mesin cuci,
bahan masakan instan, dan sebagainya.
Citra pinggan ini misalnya tentang perempuan saleha yang pintar menyenangkan suami
dan anak-anak, tentang ibu yang bijaksana terhadap anak-anak, dan sebagainya, seperti terlihat pada novel Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman
El-Shirazy), Di Bawah Lindungan Ka’bah (Hamka),
Salah Asuhan (Abdul Muis) atau sajak Surat dari Ibu (Asrul Sani).
Terakhir dalam citra pergaulan, perempuan
digambarkan sebagai makhluk yang selalu khawatir tidak tampil memikat dan
menawan. Untuk dapat diterima, perempuan perlu melakukan perawatan tubuh secara
khusus. Bentuk atau lekuk tubuh, aksentuasi bagian-bagian tertentu dengan
menggunakan kosmetik dan aksesoris yang selaras sehingga seorang perempuan bisa
anggun dan menawan, mengundang pesona, dan unggah-ungguh fisik perlu dijaga
sedemikian rupa agar menarik dan tidak membawa implikasi rendah diri di arena
pergaulan luas.
Citra pergaulan itu kerap dipotret pengarang
sebagai obyek bermulanya konflik. Konflik terjadi ketika perempuan secara
psikologis menjadi pencemburu karena merasa tidak tampil memikat dan menawan
terhadap suaminya, atau suami yang selingkuh terhadap perempuan yang dapat
menjaga citra pergaulannya, dan sebagainya.
Nah, ilustrasi tersebut menunjukkan, nilai atau
mitos perempuan telah dimanfaatkan bersamaan menngkatnya profesionalisme di
kalangan sastrawan. Perempuan dianggap lebih efektif merebut khalayak sasaran.
Tidak peduli hal itu bisa dikategorikan sebagai proses dehumanisasi perempuan –
meminjam istilah Kasiyan (2008) – yang pada akhirnya akan benar-benar
merendahkan martabat perempuan.
Memang demikiankah yang terjadi pada diri
perempuan?
Nilai perempuan dalam karya sastra barangkali akan
selalu sejalan dengan nilai dalam masyarakat. Semakin masyarakat hipokrit dan
patriarkis, semakin kuat pula perempuan menjadi simbol represi, dan pada
gilirannya perempuan akan semakin diburu oleh industri budaya. ***
sumber : Rubrik Rebana, Harian Analisa, Minggu 13 Juli 2008, Halaman 7
sumber : Rubrik Rebana, Harian Analisa, Minggu 13 Juli 2008, Halaman 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar