PROSA FIKSI sebagai genre sastra
“Tentu saja, sastra itu sebuah kata, bukan
sebuah benda” (Robert
Scholes dalam Luxemburg dkk, 1992: 1). Mengutip pandangan Robert Scholes di
atas, dapat dikatakan bahwa sastra merupakan ruang yang mengedepankan kata-kata
(semacam lahan berekspresi) dibandingkan pada kebendaan yang mungkin setiap
saat bisa lapuk dan binasa. Kata-kata diyakini akan lebih awet sebab ia
berputar pada imajinasi antara hati dan otak manusia. Sehingga, jarang untuk
binasa.
Sapardi (1979: 1) memaparkan bahwa sastra
itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu
sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan
kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan
mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang,
antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang
sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang
lain atau dengan masyarakat.
Lebih khusus, Burhan Nurgiyantoro (1995)
menyebutkan, pada dunia kesastraan dikenal adanya prosa sebagai salah satu
genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian
kesastraan disebut juga dengan fiksi, teks naratif, atau wacana naratif (dalam
pendekatan struktural dan semiotik). Istilah fiksi adalah cerita rekaan atau
cerita khayalan. Menurut Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 1995: 2)
dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajiner, namun biasanya
masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan
antarmanusia. Pengarang
mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap
kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan
tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap
pengalaman kehidupan manusia.”
Dalam kata lain, fiksi atau cerita rekaan
ialah cerita dalam prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan,
tafsiran, dan penilaiannya tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi, atau
pengolahan tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung dalam hayalannya.
Atar Semi (1988 : 31) mengatakan, fiksi
dapat berupa suatu penceritaan tentang tafsiran atau imajinasi pengarang
tentang peristiwa yang pernah terjadi atau hanya aterjadi dalam hayalannya
saja. Fiksi juga harus berbicara tentang pengalaman manusia. Kalaupun pernah
muncul cerita-cerita fabel, namun binatang yang digambarkan harus berwujud
simbolis dari pengalaman hidup manusia.
Sampai sekarang, belum ada semacam
kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. Taum (1997)
mengungkapkan bahwa pendefinisian sastra tak mungkin dirumuskan secara luas,
namun tergantung pada lingkungan kebudayaan tertentu tempat sastra itu
dijalankan. Sastra hanya sebuah istilah yang dipergunakan untuk menyebut
sejumlah karya dengan alasan tertentu dalam lingkup kebudayaan tertentu pula.
Definisi ontologis yang bermaksud
merumuskan hakikat sastra terbukti tidak dapat diterapkan. Misalnya definisi
seperti: “sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau
“sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal
lain” (Taum, 1997: 13). Ketiadaan pengertian yang baku terhadap sastra tidak
membuat sastra kehilangan bentuk atau menjadi hantu sebagai satu disiplin ilmu.
Saya berpikir bahwa hal ini adalah esensi positif terhadap penilaian sastra
karena ia terus-menerus menampilkan wajah baru. Tidak stagnan tetapi dinamis,
tidak terikat dengan pengertian baku menjadi sastra lebih bebas berekspresi
dalam pencapaian hakikat maupun fungsinya.
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (2005
: 383) tertera, hakikat adalah kebenaran atau kenyataan yang sebenarnya. Dari
berbagai pendapat yang dipaparkan sebelumnya maka dapat ditarik sebuah garis
tentang hakikat sastra yaitu pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara
imajiner atau secara fiksi. Dalam hal ini, sastra memang representasi dari
cerminan masyarakat. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Georg Lukacs
(Taum, 1997: 50) bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada
kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan
lebih dinamik.
Kebenaran dalam dunia fiksi adalah
kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini
“keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan
(Nurgiyantoro, 1995: 5). Walaupun dunia fiksi lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan,
namun ia tak bisa lepas dari kejadian-kejadian langsung maupun tidak langsung
yang dialami oleh pengarang. Memang pengarang diberi ruang seluas-luasnya dalam
memanipulasi fakta, membuat apologi-apologi baru seperti E.S. Ito dalam novel
“Rahasia Meede” (2007) yang mengungkapkan kemungkinan adanya harta karun VOC di
lepas pantai Jakarta tepatnya di Pulau Onrust, tetapi E.S. Ito menyusunnya dari
kenyataan sejarah yang terjadi di Hindia Belanda. Banyaknya pengungkapan data
sejarah baru membuat orang berpikir jangan-jangan memang ada harta karun yang
ditinggalkan oleh VOC. Hal ini
mengesampingkan pendapat Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 2) yang mengatakan
bahwa fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran
sejarah. Karya fiksi, dengan demikian, menyaran pada suatu karya yang
menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, hayalan, sesuatu yang tidak ada dan
terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya pada dunia
nyata.
Bila berbicara tentang pengalaman manusia,
maka fiksi tidak boleh terlalu asing dengan kehidupan sebagaimana yang kita
kenal atau kita alami. Sebuah karya fiksi seperti novel dan cerpen, tidak sama
betul dan tidak mungkin sama betul dengan kehidupan. Apa yang diceritakan dalam
fiksi, mungkin tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi. Kalau sebuah
karya fiksi sudah sama dengan kehidupan tanpa olahan pengarang, mungkin saja
karya tersebut tidak dibaca orang, karena kering, tanpa bumbu.
Sebaliknya, jika sebuah karya fiksi
terlalu asing dari kehidupan, ia akan menjadi abstrak dan sukar dikenal maupun
dinikmati. Bila seorang sastrawan menulis tentang peristiwa kehidupan manusia, seorang wartawan juga
menuliskan hal yang sama, namun hasilnya akan sangat berbeda, dan kesan bagi
pembacanya pun berbeda. Seorang failasuf
juga pada umumnya menceritakan tentang manusia serta tindak-tanduknya, namun
hasilnya akan berupa penyampaian yang abstrak dan teoretis. Sedangkan melalui
fiksi hal itu diceritakan secara konkret, melalui gerak-laku tokoh. Oleh sebab
itu, Atar Semi menyebutkan, fiksi itu terletak di antara jurnalistik dan
filsafat, dan sekaligus sintetis dari keduanya.
Lihatlah contoh ini :
Aku dan kamu sudah saling kenal dari
dulu,kamu mengenal aq dengan baik begitu juga dengan aku. Aku sangat sering
membutuhkan pertolonganmu jadi aku sudah menganggap dirimu sebagai sahabat
terbaik ku. Apakah kamu juga menganggap aku teman baikmu? Atau kamu hanya
menganggap aku ini sekadar teman biasa saja? Apakah dengan masalah yang pernah
kita lakukan waktu dulu kamu masih belum bisa memaafkan aku? Padahal itu kan
hanya salah paham saja. Waktu itu aku juga sudah minta maaf berulang kali, tapi
mengapa kamu hanya diam, dan tidak memberi jawaban apa-apa sama aku? Sekarang
aku minta kepadamu tolong jawab pertanyaanku ,kamu masih mau kan memaafkan aku
kembali? Dan menganggap aku teman baikmu? Karena selama ini yang aku rasakan
sangat kehilangan dirimu tanpa ada kabar apa-apa darimu. aku harap kamu masih
bisa menjadi teman baikmu seperti dulu.
Apakah kutipan kisah di atas fiksi ataukah
fakta? Karya sastra atau jurnalistik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar