Catatan : Suyadi San
APA yang terjadi jika berhadapan dengan seorang pengadil yang lelah? Apa
dampaknya bagi para penuntut keadilan? Apa pula yang terjadi jika rekonstruksi
pengadilan itu dipertontonkan secara gegabah? Apakah dampaknya bagi sang
penonton?
Adalah Djaduk Djajakusumah
yang pada era 1960-an memotret buram ruang pengadilan. Melalui naskah ”Wek
Wek”, ia mempreteli sepak terjang para penegak hukum. Masalahnya, bagaimana
membuat keputusan seadil-adilnya bagi para pencari keadilan.
Untuk membongkar masalah
tersebut, D. Djajakusumah menghadirkan empat orang tokoh, yakni Semar, Gareng,
Petruk, dan Bagong. Tokoh-tokoh
ini tidak lain merupakan punakawan dari kisah dunia pewayangan ala Jawa.
Petruk merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan
bebek-bebek Bagong yang diangon. Untungnya, Gareng datang membantu. Pokrol
bambu ini menyelamatkan Petruk dari tuntutan Bagong di hadapan Semar.
Tekniknya, Gareng meminta Petruk supaya menggunakan bahasa bebek, yakni wek wek.
Hasilnya mujarab. Petruk terbebas dari tuntutan,
bahkan mendapatkan imbalan 10 juta rupiah akibat kelalaian Bagong yang tidak
bisa memperhatikan kesehatan pengangon bebek tersebut.
Ya, bagaimana mungkin
mengadili seseorang yang cuma bisa berkata ”wek wek”. Bahasa verbal manusia
berubah menjadi bahasa bebek. Itu, lantaran Petruk dinilai setia mengangon
bebek. Sampai tidur di
kandang bebek, takut bebek-bebek yang diangon hilang.
Ketika kemelut itu
terjadi, ketika merasa kehilangan dua ekor bebek, Petruk terus ditakuti
kesalahan. Saban hari memikirkan nasib bebek dan takut menerima hukuman Bagong.
Transformasi bahasa manusia menjadi bahasa hewan inilah yang berhasil
membebaskan dakwaan.
Tatkala bebas dari
tuntutan, Gareng meminta sebagian keuntungan dari Petruk. Di luar itu, Semar
yang menjadi lurah sejak awal sejarah, ikut meminta jatah juga.
Lakon tersebut dimainkan
oleh Teater Kartupat di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jumat
malam (5/12), disutradarai Sabarto. Pergelaran yang merupakan proyek Unit Pelaksana Teknis (UPT) TBSU ini,
merupakan yang kesekian kali saya saksikan.
Naskah utuh saya tonton ketika dimainkan Studio Oncor di
teater arena Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, tahun 1994, disutradarai Dewi
Yull. Saya tonton lagi ketika menjadi pengamat work shop Kartupat di Jalan Jemadi Medan, tahun 1995-an. Hal sama
juga saya saksikan ketika lakon ini dimainkan Teater O Fakultas Sastra USU.
D. Djajakusumah memang
ingin membongkar masalah hukum ini dengan guyonan.
Kehadiran empat tokoh punakawan merupakan ikon guyonan tersebut. Mereka ini merupakan tokoh rekaan yang cuma
dikenal pada pakem wayang ala Jawa. Pemunculannya biasanya seusai atau di sela goro goro cerita pewayangan. Tujuannya memang untuk menghibur
penonton. Apalagi, dalam kisah Mahabharata
maupun Ramayana, tokoh-tokoh tersebut
anonim.
Lalu,
bagaimana ketika lakon itu dimainkan Teater Kartupat sepeninggal almarhum
Raswin Hasibuan? Ya, tidak ada yang
berubah. Kental komedi dan improvisasi. Inilah ciri khas Kartupat. Sabarto mampu
mempertahankan identitas tersebut.
Bahkan,
Sabarto yang merangkap menjadi pemain (Semar), terlalu menonjolkan sisi
pertunjukan tinimbang esensi cerita.
Ia harus menghadirkan tokoh-tokoh lain yang tidak terlalu penting. Padahal,
tanpa usaha tersebut sebenarnya lakon Djajakusumah sudah sangat komunikatif dan
kuat.
Kreativitas
sutradara dalam suatu seni pertunjukan sah-sah saja terjadi. Namun, kita justru
mempertanyakan usaha di luar teks yang terlalu berlebihan. Memperkuat ide cerita pengarang atau malah
membunuh pengarang dengan makin memperingan kualitas cerita asli?
Dan, ufh! Hal sangat mengganggu adalah begitu beraninya sang sutradara
mengubah sosok Petruk yang sejatinya lelaki itu menjadi tokoh perempuan. Ini
tidak saja mencincang pakem leluhur
budaya Jawa, tetapi sekaligus penistaan!
Dalam tradisi Jawa, para tokoh punakawan ini
sering jadi panutan. Pesan-pesan penting yang disampaikan secara guyon sangat mengena ke ulu hati
penonton. Nah, jika jenis kelamin seorang tokoh saja dari punakawan itu seenaknya diubah, merupakan suatu pembiasan yang harusnya tidak terjadi.
Dalam banyak versi kisah punakawan ini, memang ada
yang mengisahkan tokoh tersebut menjadi perempuan. Tapi, itu dalam usaha
penyamaran sang punakawan menjadi banci atau waria. Bukan mengubah wujud.
Pemvisualan tokoh ini mengakibatkan kegamangan esensi cerita.
Lihat saja, dalam lakon ”Wek
Wek”, Petruk yang menggunakan bahasa bebek, wek
wek, terbebas lantaran dianggap berkontribusi memperbanyak jumlah ternak
bebek Bagong. Gareng mencari dalih,
tanpa Petruk, bebek Bagong tidak akan beranak-pinak. Sebab, bebek-bebek Bagong
semuanya betina. ”Ini jasa kejantanan si Petruk,” tukas Gareng menyelamatkan
Petruk.
Disebabkan pengubahan
jenis kelamin sang tokoh, dialog-dialog penting milik Djajakusumah banyak
terpenggal. Esensi cerita pun
menjadi kabur. Padahal, penonton ingin menyaksikan kehebatan Petruk menyelamatkan
bebek-bebek majikannya. Poin penting ini pula yang jadi satu di antara sejumlah
indikator pembebasan dakwaan terhadap Petruk.
Begitulah. Sebagai penyuka
seni pertunjukan, lakon ”Wek Wek”
Kartupat ini patut diacungi jempol. Namun, ditilik bahwa esensi seni
pertunjukan adalah untuk mengangkat budaya luhur bangsa, kita patut
mempertanyakan nawaita UPT TBSU
menggelar proyek pertunjukan teater itu. Siapakah yang patut bertanggung jawab!
***
sumber: Harian Waspada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar