Oleh : Suyadi San
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat
yang maju adalah masyarakat yang menghargai seni budaya. Berbekal keyakinan
ini, maraknya pertumbuhan teater sekolah dalam beberapa tahun terakhir di
Sumatera Utara, merupakan fenomena yang sangat menggembirakan.
Sekadar
menyebutkan beberapa contoh (mohon maaf, jika ada yang tidak tercantum), ada
Teater Temuga (SMA 3 Medan), Teater Enceng Godok (SMA 4 Medan), Temunsa (SMA 1
Medan), Teater Bianglala (SMA 1 Binjai), LKCST (MAN 2 Model Medan), Teater
Fajar (MAN 1 Medan), dan lain sebagainya.
Perkembangan
teater sekolah makin marak ketika Asosiasi Teater Sekolah (Asters) menggelar
Parade Teater Sekolah Sumatera Utara di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) pada 2001-2004. Lomba Teater Pelajar Amuk
Teater Sumatera Utara yang tiap tahun diadakan oleh Teater LKK Universitas
Negeri Medan serta Festival Teater Pelajar di TBSU juga mendongkrak kreativitas
dan produktivitas teater sekolah di Sumatera Utara.
Sejumlah pelajar
lainnya memilih kelompok teater di luar sekolah, seperti yang tergabung di
Teater Patria pada era 1980 dan 1990-an serta Teater GENERASI Medan.
Sebagai
institusi kolektif, yang di dalamnya terdapat individu-individu, serta
dipengaruhi ruang, waktu, pemikiran dan perkembangan zaman, sanggar-sanggar
tersebut menjalani sifatnya yang alamiah, yaitu proses. Sehingga, ada sanggar
yang setelah sekali pementasan lalu kemudian mati suri, ada yang berkembang
secara elegan, serta ada pula yang maju secara pesat.
Di sisi lain,
pertumbuhan tersebut berdampak terhadap kuantitas dan kualitas penonton.
Ternyata bukan hanya anak sekolah yang mengunjungi pertunjukan teater, keluarganya pun
turut serta. Selain itu, terdapat pula anggota sanggar yang setelah menamatkan
studi, melanjutkan sekolahnya pada perguruan tinggi-perguruan tinggi seni di
Padangpanjang maupun di pulau Jawa.
Perkembangan positif
sebagaimana digambarkan di atas, semoga tidak membuat pelaku-pelaku teater larut dalam utopia.
Sebab, pembinaan teater
tidak pernah mengenal kata “selesai”. Pencapaian yang ada sekarang, jelas
merupakan akumulasi banyak faktor.
Sebut saja peran
pemerintah, peran kepala sekolah dan guru, peran keluarga, masyarakat, media
massa dan lain sebagainya, serta yang tak boleh dilupakan adalah peran dari
insan-insan pelaku teater
itu sendiri, yang ditunjukkan lewat performa, perilaku dan unjuk karya.
Dengan pemahaman
seperti ini, komunikasi dan silaturahmi kepada semua pihak, terutama
antarpelaku seni teater,
mutlak terus dilakukan.
Muara dari upaya
tersebut adalah percepatan serasi antara pertumbuhan komunitas-komunitas teater dan kemampuan
khalayak luas selaku kumpulan individu masyarakat penonton dalam mencerap, baik
keberadaan organisasi maupun hasil karya. pementasan.
Keseimbangan antara
dua aspek tersebut adalah tumbuh berkembangnya kesadaran dalam masyarakat
tentang arti penting teater
dalam dinamika sosial, yang bukan hanya sebagai sarana penghibur semata,
melainkan sekaligus sebagai media pendidikan.
Di sisi lain, teater juga tumbuh dengan
kepekaan membaca kondisi sosial masyarakat membaca tanda-tanda zaman, untuk
kemudian diendapkan dalam permenungan jujur dan mendalam yang selanjutnya
diwujudkan dalam pementasan karya teater.
Dengan demikian,
tidak hanya keterwakilan dan rasa memiliki yang ada dalam benak dan hati
masyarakat penonton ketika menikmati pertunjukan, tetapi juga bahwa teater dalam arti
keberadaan dan perbuatan, berperan vital dalam proses sosial. Reposisi terhadap
kedudukan dan fungsi teater
dalam masyarakat, sesegera mungkin harus dilakukan secara bijak.
Betapa tidak, stigma
buruk yang melekat pada teater,
ternyata masih terlacak pada benak orang banyak. Ambil contoh ungkapan: “Ah,
itukan cuma sandiwara!” Lantas, ketika seseorang yang sukses dikerjai rekannya
akan mengatakan: “Busyet, akting Ente bagus!”
Ketika tidak terima
dengan keputusan pengadilan, pihak-pihak yang merasa dirugikan berteriak
lantang: “Jangan jadikan sidang pengadilan yang terhormat ini sebagai panggung
sandiwara!”
Ketika terjadi kasus
nyata penculikan, orang akan mengatakan peristiwa tersebut sebagai : “Drama
Penculikan”. Bahkan, terhadap fenomena aneh tapi nyata yang terjadi di
Indonesia, yaitu tetap pedenya figur-figur pemimpin masa lalu membuat rumah
politik alias partai politik, padahal yang bersangkutan nyata-nyata pernah
tersangkut hukum, orang yang mengaku dirinya tidak gemar politik praktis pun
bisa dengan enteng mengatakan : “Ah, itukan cuma sandiwara politik...”
Stigma buruk tersebut
tampaknya harus dibuang jauh-jauh. Caranya, tidak lain dengan mengusung teater
ke bangku sekolah. Wah, teater bisa sekolah? Tentu saja. Seni
teater ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum.
Ada berupa paket
pembelajaran yang bisa dilakukan. Di antaranya melalui kegiatan
ekstrakurikuler ataupun pengembangan diri.
Ada pula langsung
menjadi mata pelajaran sendiri, yakni Seni Budaya (Seni Teater). Bahkan, ada
pula yang kedua-duanya, mata pelajaran dan ekstrakurikuler, seperti di SMK
Negeri 1 Percut Sei Tuan Deliserdang, SMA Harapan 1 dan 2 Medan.
Keberadaan studi
teater di sekolah ini bisa saja dijadikan embrio untuk pembentukan sanggar teater sekolah. Selain hal
itu bertujuan untuk mengembangkan dunia teater di daerah setempat, studi teater ini dapat sebagai tempat
menyalurkan bakat dan minat siswa-siswa di sekolah.
Teater sekolah, selain
sebagai media penyaluran minat bakat siswa, serta sebagai kawah Chandradimuka
pembentukan kepribadian (Character Buildings), proses latihan teater yang kompleks, nyata-nyata selaras dengan Taksonomi Blooms.
Simak saja contoh-contoh
dalam latihan-latihan dasar yang berkenaan
dengan pengembangan kemampuan Kognitif,
mulai dari reading, menghafal naskah,
dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan bedah naskah dan analisis
pemeranan.
Berkenaan dengan
kemampuan Afektif, mulai dari prev, olah rasa, kontemplasi, observasi dan lain
sebagainya sampai kepada kemampuan menghayati tokoh cerita dalam naskah.
Demikian pula halnya
kemampuan Psikomotorik, mulai dari
pemanasan, olah
tubuh, olah vokal,
mimik, pose, gesture, pantomim, moving,
grouping dan lain sebagainya sampai
kepada blocking pementasan.
Sementara itu, dari
sisi produksi, kemampuan menejerial, kerjasama tim, beserta lika-liku
penyelenggaraan pementasan, adalah laboratorium lengkap bagi pengembangan
nilai-nilai moral, mental, spiritual dan intelektual siswa.
Penulis melihat
sendiri kebergairahan teater di kalangan pelajar ini ketika menjadi juri lomba
teater tingkat pelajar di Universitas Negeri Medan serta sejumlah pertunjukan
teater sekolah tersebut. Di antaranya yang paling menonjol adalah kelompok
LKCST MAN 2 Model Medan, Teater SMA Gajah Mada, dan Teater SMA 3 Medan.
Tiga kelompok
tersebut, terutama LKCST, terbukti berulang kali meraih gelar juara pertama
lomba teater baik di Universitas Negeri Medan maupun TBSU. Ini menunjukkan
bahwa sebenarnya mereka (baca : pelajar) sesungguhnya tetap eksis di dunia
teater. Mereka adalah generasi masa depan teater di daerah ini.
Bukankah perkembangan
teater di Indonesia dimulai dari kaum terpelajar di kota? Ya, mereka berteater
sebelum pemerintah memberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ataupun
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum boleh berubah, namun
semangat mereka aberteater patut diberi acungan jempol.
Begitulah. ***
Penulis, pimpinan Teater GENERASI
dan guru Seni Budaya (Teater) SMK 1 Percut Sei Tuan, Deliserdang, serta staf
teknis Balai Bahasa Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar