SUNGAI Batanghari
menjadi saksi. Melalui perdebatan
panjang, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) I di Jambi menghasilkan sejumlah
rekomendasi. Di antaranya, terbentuklah wadah yang diberi nama Aliansi Sastra
Indonesia (ASI) serta penunjukan Provinsi Bangkabelitung dan Sumatera Selatan
sebagai tuan rumah TSI II 2009 dan TSI III 2010.
Bagaimanakah ketika sastrawan
Indonesia beraliansi? Wah! Dalam
forum dialog dan musyawarah saja, hampir sulit mencapai kata mufakat. Namun, alhamdulillah, ego sektoral bisa
tertepis. Dan, terbentuklah ASI serta keberlanjutan TSI tersebut.
Ide pembentukan wadah sastrawan ini sebenarnya sudah jauh hari dirancang
panitia TSI I Jambi. Seperti disampaikan ketua pelaksana TSI 1 Dr. Sudaryono, M.Pd.
alias Dimas Arika Mihardja, panitia temu sastra melihat keberagaman budaya
daerah sebagai salah satu sumber penciptaan.
"Ini, perlu diberikan ruang untuk dieksplorasi dalam penciptaan
sastra. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur di Indonesia memberikan
keberagaman dalam keindonesiaan," ujarnya pada pembukaan TSI, Senin malam
(7/7) di Hotel Grand, Jambi.
Di tengah globalisasi, panitia TSI juga yakin keberagaman warna lokal
menjadi penting. Keberagaman itu membuat identitas lokal terwadahi. Tampilnya
identitas lokal yang beragam merangsang tawaran-tawaran tematis dan capaian
estetis dalam sastra Indonesia mutakhir. Identitas keindonesiaan dapat dibangun
berdasarkan kekayaan tradisi lokal yang ada di Indonesia. Ini satu harapan dan
idealisme panitia temu sastrawan.
Agenda penting lain yang jadi fokus TSI I berkaitan dengan persoalan
ekologi sastra Indonesia yang dihuni sastrawan (penyair, cerpenis, novelis,
penulis skenario), kritisi, media, dan masyarakat pembaca. Panitia menilai, ada yang tidak sehat
dalam ekologi sastra saat ini. Masing-masing ranah sastra (kreator, kritisi,
media, dan masyarakat pembaca) berjalan sendiri-sendiri. Terpisah jurang yang
membatasi kebersamaan dan saling pengertian.
”Dalam konteks inilah, TSI mencoba membangun rumah tangga sastra Indonesia
yang menjunjung keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Dari sini, muncul harapan terciptanya
ekologi sastra Indonesia yang kondusif,” sebut Dimas.
TSI juga berangkat dari keprihatinan miskinnya perkembangan kritik sastra.
Kritik sastra seperti kerakap di atas batu--demikian penjelasan panitia dalam
panduan TSI: Hidup segan, mati tak mau! Jika dibiarkan, karya sastra yang
faktanya jauh dari masyarakat akan semakin jauh dari pembaca.
Di sinilah peran kritikus. Tanpa kritikus, sulit mendekatkan karya sastra
dengan pembaca maupun apresian. Namun, pasca-H.B. Jassin, perkembangan sastra
Indonesia bisa dibilang berjalan tanpa dampingan kritik sastra.
TSI juga menginginkan terbentuknya wadah yang bisa mengadvokasi sastrawan
ketika bermasalah dengan pihak lain, seperti pemerintah, media massa, atau
organisasi tertentu. Dengan wadah ini, sastrawan diharapkan memiliki bargaining
power dan bargaining position.
Nah, wadah yang digagas panitia
TSI ini terbentuk pada 9 Juli lalu dengan nama Aliansi Sastra Indonesia
(ASI). Lembaga ini tidak langsung diterima. Bisa dibilang, sebagian besar
peserta TSI menolak pembentukan wadah.
Ketidakjelasan peran dan fungsi
menjadi alasan terkuat yang membuat sejumlah sastrawan tidak setuju dengan
wadah tersebut. Isbedy Stiawan, Acep Zamzam Noor (penyair dari Jawa Barat),
Sosiawan Leak (Solo), dan Suyadi
San (Medan) termasuk
peserta yang tidak sepaham dengan pembentukan ASI.
Penulis sendiri sangat setuju
dengan gagasan Acep Zamzam Noor, yang mengembalikan wadah bersastra ini kepada
komunitas-komunitas yang ada di daerah. Namun, berdasarkan musyawarah, pada 9
Juli lalu, wadah itu terbentuk juga dengan nama Aliansi Sastra Indonesia.
Mengapa memakai nama aliansi? Bukankah sastra tidak bisa dialiansikan karena
bukan orang?
Tim perumus--antara lain terdiri
atas Triyanto Triwikromo, Acep Zamzam Noor, Tan Lioe Ie, Kartini Nurdin,
Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Firdaus --memilih kata 'sastra"
bukan 'sastrawan' berangkat dari konsep ekologi sastra. Dalam konsepsi tim
perumus, dalam sastra itu ada produk, ada kreator, ada kritikus, dan ada elemen
lain yang ikut berperan dalam sastra.
Mengapa Harus Ada ASI
Samakah profesi
sastrawan dengan wartawan/jurnalis, dokter, pengacara, arsitek, guru, dsb yang
sejenis dengan itu? Untuk pertanyaan-pertanyaan di atas tidak perlu dicari apa
jawabnya dulu, namun cukup direnungkan saja dalam-dalam.
“Pekerjaan” sastrawan, jelas berbeda sifat dan semangatnya dengan pekerjaan
profesional yang dilakukan dokter, insinyur, advokat, guru atau pengusaha,
misalnya. Begitu juga dalam upaya membentuk organisasi, kepentingannya akan
sangat berbeda pula.
Tentu kita bersepakat, ketika sastrawan berniat membentuk sebuah organisasi
maka tujuan utamanya haruslah untuk kepentingan proses kreatif dan apresiasi,
bukan untuk maksud lain. Tujuan utamanya haruslah untuk meningkatkan
kreativitas dalam berkarya dan bagaimana menghasilkan karya-karya yang baik,
lalu memikirkan bagaimana karya-karya tersebut bisa memasyarakat.
Jika dua hal ini yang menjadi tujuan utama, maka rasanya kurang begitu
perlu organisasi formal yang berskala nasional dibentuk. Karena itu, saya
sependapat dengan Acep Zamzam Noor, bahwa para sastrawan rasanya sudah cukup
dengan menghidupkan komunitas-komunitas yang ada di daerah sebagai laboratorium
proses kreatif mereka sekaligus wadah untuk apresiasi masyarakat.
Ada beberapa jenis komunitas yang tumbuh di beberapa daerah. Pertama,
komunitas yang berbentuk sanggar. Komunitas jenis ini sifatnya melatih atau
membimbing para anggota dalam proses panjang menjadi sastrawan, mulai dari
hal-hal teknis menulis, membuka wawasan, meningkatkan apresiasi dengan membaca
dan diskusi serta pembinaan yang hubungannya dengan mental.
Komunitas jenis tersebut berfungsi sebagai laboratorium tempat para
sastrawan atau calon sastrawan bergesekan secara langsung dalam proses kreatif
mereka. Secara organisasi, komunitas jenis ini sedikit longgar dan terbuka,
hingga bisa menarik lebih banyak anggota, mulai dari yang ingin belajar,
simpatisan sampai mereka yang berkepentingan dengan sastra seperti siswa,
mahasiswa, santri, guru, dosen dan masyarakat umum peminat sastra. Di Medan,
pernah ada komunitas jenis ini, yakni Forum Kreasi Sastra (FKS). Sayangnya,
komunitas ini sudah tidak terdengar lagi.
Kedua, komunitas yang berbentuk lembaga swadaya. Komunitas jenis ini harus lebih
serius organisasinya karena akan menjalin hubungan dan kerjasama dengan
lembaga-lembaga lain untuk mengadakan berbagai kegiatan, baik pementasan
kesenian, diskusi, seminar, pertemuan sastrawan, festival, pameran, pelatihan
serta penelitian.
Komunitas jenis ini biasanya tidak melakukan pembinaan secara langsung
terhadap anggotanya seperti di sanggar, namun lebih banyak bergerak di bidang
wacana, pemikiran, apresiasi, dokumentasi atau penelitian sastra. Di Medan,
pernah ada kelompok Diskusi Padang Bulan. Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Medan kita harapkan bisa berpola seperti itu.
Ketiga, komunitas yang merupakan gabungan dari dua jenis tersebut, yakni yang
bergaya sanggar dan lembaga swadaya. Misalnya,
Teater ‘O’ Fakultas Sastra USU dan Teater LKK Unimed, yang pernah menerbitkan
antologi sastra atau Teater GENERASI ynag belakangan menggelar Bengkel
Penulisan Sastra secara rutin.
Apapun jenisnya, apapun titik berat gerakannya, komunitas yang merupakan
laboratorium atau wadah informal seperti inilah yang paling cocok bagi para
sastrawan atau calon sastrawan Indonesia yang cenderung amatir, ketimbang
organisasi formal dan struktural yang mungkin hanya akan mengurus atau menyentuh
hal-hal formal dan permukaan saja.
Begitupun, dengan terbentuknya ASI, kita harapkan menjadi media komunikasi
yang baik antarkomunitas di berbagai daerah sehingga terjalin sebuah ikatan
atau jaringan yang sifatnya ”batin”. ASI harus dijadikan wadah ikatan atau
jaringan yang bersifat batin atau spiritual. Ini jauh lebih efektif dalam
membangun komunikasi, silaturahmi, kebersamaan, solidaritas dan toleransi antarsastrawan
dan juga calon sastrawan di manapun berada, selain untuk kepentingan
meningkatkan proses kreatif itu sendiri.
TSI 1 di Jambi ini diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Jambi. Kegiatan dengan tema Keberagaman, Kedinamisan, dan Keharmonisan
Ekologi Sastra Indonesia ini diselenggarakan mulai 7 sampai 11 Juli oleh
panitia inti, yang terdiri dari komunitas sastrawan, seniman, budayawan, dan
akademisi.
Selain
forum dialog dan musyawarah, TSI ini dimeriahkan rangkaian panggung apresiasi,
pameran sastra, bazar buku sastra, penerbitan antologi puisi Tanah Pilih dan antologi cerpen Senarai Batanghari, serta wisata budaya
ke candi Muaro Jambi sembari menyusuri sungai Batanghari melalui perahu ketek.
Begitulah. Horas! ***
Penulis, adalah pegiat sastra dan staf
teknis Balai Bahasa Medan
sumber : Harian Waspada