https://youtu.be/tIUCAdOyPYw
Bersatulah Debu-debu
Sesempit apakah dunia? Seluas apakah buana? Sedalam apakah samudera? Setinggi apakah langit? Sesempit, seluas, sedalam, setinggi apapun itu, Kau tidak ada yang bisa menandingi. Sebab, kita adalah debu. Bersatulah debu-debu. Mari kita gantang langit. Kita buhul jadi batu. Kita pintal jadi garam. Kita pilin jadi leontin. Maka, menjadilah kau dan aku, di blog ini, di antara dentuman debu-debu, di bawah kerdip matahari dan bunga-bunga.
Translate
Rabu, 16 Maret 2022
Kamis, 12 Februari 2015
Ketika Sastrawan Indonesia Beraliansi
SUNGAI Batanghari
menjadi saksi. Melalui perdebatan
panjang, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) I di Jambi menghasilkan sejumlah
rekomendasi. Di antaranya, terbentuklah wadah yang diberi nama Aliansi Sastra
Indonesia (ASI) serta penunjukan Provinsi Bangkabelitung dan Sumatera Selatan
sebagai tuan rumah TSI II 2009 dan TSI III 2010.
Bagaimanakah ketika sastrawan
Indonesia beraliansi? Wah! Dalam
forum dialog dan musyawarah saja, hampir sulit mencapai kata mufakat. Namun, alhamdulillah, ego sektoral bisa
tertepis. Dan, terbentuklah ASI serta keberlanjutan TSI tersebut.
Ide pembentukan wadah sastrawan ini sebenarnya sudah jauh hari dirancang
panitia TSI I Jambi. Seperti disampaikan ketua pelaksana TSI 1 Dr. Sudaryono, M.Pd.
alias Dimas Arika Mihardja, panitia temu sastra melihat keberagaman budaya
daerah sebagai salah satu sumber penciptaan.
"Ini, perlu diberikan ruang untuk dieksplorasi dalam penciptaan
sastra. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur di Indonesia memberikan
keberagaman dalam keindonesiaan," ujarnya pada pembukaan TSI, Senin malam
(7/7) di Hotel Grand, Jambi.
Di tengah globalisasi, panitia TSI juga yakin keberagaman warna lokal
menjadi penting. Keberagaman itu membuat identitas lokal terwadahi. Tampilnya
identitas lokal yang beragam merangsang tawaran-tawaran tematis dan capaian
estetis dalam sastra Indonesia mutakhir. Identitas keindonesiaan dapat dibangun
berdasarkan kekayaan tradisi lokal yang ada di Indonesia. Ini satu harapan dan
idealisme panitia temu sastrawan.
Agenda penting lain yang jadi fokus TSI I berkaitan dengan persoalan
ekologi sastra Indonesia yang dihuni sastrawan (penyair, cerpenis, novelis,
penulis skenario), kritisi, media, dan masyarakat pembaca. Panitia menilai, ada yang tidak sehat
dalam ekologi sastra saat ini. Masing-masing ranah sastra (kreator, kritisi,
media, dan masyarakat pembaca) berjalan sendiri-sendiri. Terpisah jurang yang
membatasi kebersamaan dan saling pengertian.
”Dalam konteks inilah, TSI mencoba membangun rumah tangga sastra Indonesia
yang menjunjung keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Dari sini, muncul harapan terciptanya
ekologi sastra Indonesia yang kondusif,” sebut Dimas.
TSI juga berangkat dari keprihatinan miskinnya perkembangan kritik sastra.
Kritik sastra seperti kerakap di atas batu--demikian penjelasan panitia dalam
panduan TSI: Hidup segan, mati tak mau! Jika dibiarkan, karya sastra yang
faktanya jauh dari masyarakat akan semakin jauh dari pembaca.
Di sinilah peran kritikus. Tanpa kritikus, sulit mendekatkan karya sastra
dengan pembaca maupun apresian. Namun, pasca-H.B. Jassin, perkembangan sastra
Indonesia bisa dibilang berjalan tanpa dampingan kritik sastra.
TSI juga menginginkan terbentuknya wadah yang bisa mengadvokasi sastrawan
ketika bermasalah dengan pihak lain, seperti pemerintah, media massa, atau
organisasi tertentu. Dengan wadah ini, sastrawan diharapkan memiliki bargaining
power dan bargaining position.
Nah, wadah yang digagas panitia
TSI ini terbentuk pada 9 Juli lalu dengan nama Aliansi Sastra Indonesia
(ASI). Lembaga ini tidak langsung diterima. Bisa dibilang, sebagian besar
peserta TSI menolak pembentukan wadah.
Ketidakjelasan peran dan fungsi
menjadi alasan terkuat yang membuat sejumlah sastrawan tidak setuju dengan
wadah tersebut. Isbedy Stiawan, Acep Zamzam Noor (penyair dari Jawa Barat),
Sosiawan Leak (Solo), dan Suyadi
San (Medan) termasuk
peserta yang tidak sepaham dengan pembentukan ASI.
Penulis sendiri sangat setuju
dengan gagasan Acep Zamzam Noor, yang mengembalikan wadah bersastra ini kepada
komunitas-komunitas yang ada di daerah. Namun, berdasarkan musyawarah, pada 9
Juli lalu, wadah itu terbentuk juga dengan nama Aliansi Sastra Indonesia.
Mengapa memakai nama aliansi? Bukankah sastra tidak bisa dialiansikan karena
bukan orang?
Tim perumus--antara lain terdiri
atas Triyanto Triwikromo, Acep Zamzam Noor, Tan Lioe Ie, Kartini Nurdin,
Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Firdaus --memilih kata 'sastra"
bukan 'sastrawan' berangkat dari konsep ekologi sastra. Dalam konsepsi tim
perumus, dalam sastra itu ada produk, ada kreator, ada kritikus, dan ada elemen
lain yang ikut berperan dalam sastra.
Mengapa Harus Ada ASI
Samakah profesi
sastrawan dengan wartawan/jurnalis, dokter, pengacara, arsitek, guru, dsb yang
sejenis dengan itu? Untuk pertanyaan-pertanyaan di atas tidak perlu dicari apa
jawabnya dulu, namun cukup direnungkan saja dalam-dalam.
“Pekerjaan” sastrawan, jelas berbeda sifat dan semangatnya dengan pekerjaan
profesional yang dilakukan dokter, insinyur, advokat, guru atau pengusaha,
misalnya. Begitu juga dalam upaya membentuk organisasi, kepentingannya akan
sangat berbeda pula.
Tentu kita bersepakat, ketika sastrawan berniat membentuk sebuah organisasi
maka tujuan utamanya haruslah untuk kepentingan proses kreatif dan apresiasi,
bukan untuk maksud lain. Tujuan utamanya haruslah untuk meningkatkan
kreativitas dalam berkarya dan bagaimana menghasilkan karya-karya yang baik,
lalu memikirkan bagaimana karya-karya tersebut bisa memasyarakat.
Jika dua hal ini yang menjadi tujuan utama, maka rasanya kurang begitu
perlu organisasi formal yang berskala nasional dibentuk. Karena itu, saya
sependapat dengan Acep Zamzam Noor, bahwa para sastrawan rasanya sudah cukup
dengan menghidupkan komunitas-komunitas yang ada di daerah sebagai laboratorium
proses kreatif mereka sekaligus wadah untuk apresiasi masyarakat.
Ada beberapa jenis komunitas yang tumbuh di beberapa daerah. Pertama,
komunitas yang berbentuk sanggar. Komunitas jenis ini sifatnya melatih atau
membimbing para anggota dalam proses panjang menjadi sastrawan, mulai dari
hal-hal teknis menulis, membuka wawasan, meningkatkan apresiasi dengan membaca
dan diskusi serta pembinaan yang hubungannya dengan mental.
Komunitas jenis tersebut berfungsi sebagai laboratorium tempat para
sastrawan atau calon sastrawan bergesekan secara langsung dalam proses kreatif
mereka. Secara organisasi, komunitas jenis ini sedikit longgar dan terbuka,
hingga bisa menarik lebih banyak anggota, mulai dari yang ingin belajar,
simpatisan sampai mereka yang berkepentingan dengan sastra seperti siswa,
mahasiswa, santri, guru, dosen dan masyarakat umum peminat sastra. Di Medan,
pernah ada komunitas jenis ini, yakni Forum Kreasi Sastra (FKS). Sayangnya,
komunitas ini sudah tidak terdengar lagi.
Kedua, komunitas yang berbentuk lembaga swadaya. Komunitas jenis ini harus lebih
serius organisasinya karena akan menjalin hubungan dan kerjasama dengan
lembaga-lembaga lain untuk mengadakan berbagai kegiatan, baik pementasan
kesenian, diskusi, seminar, pertemuan sastrawan, festival, pameran, pelatihan
serta penelitian.
Komunitas jenis ini biasanya tidak melakukan pembinaan secara langsung
terhadap anggotanya seperti di sanggar, namun lebih banyak bergerak di bidang
wacana, pemikiran, apresiasi, dokumentasi atau penelitian sastra. Di Medan,
pernah ada kelompok Diskusi Padang Bulan. Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Medan kita harapkan bisa berpola seperti itu.
Ketiga, komunitas yang merupakan gabungan dari dua jenis tersebut, yakni yang
bergaya sanggar dan lembaga swadaya. Misalnya,
Teater ‘O’ Fakultas Sastra USU dan Teater LKK Unimed, yang pernah menerbitkan
antologi sastra atau Teater GENERASI ynag belakangan menggelar Bengkel
Penulisan Sastra secara rutin.
Apapun jenisnya, apapun titik berat gerakannya, komunitas yang merupakan
laboratorium atau wadah informal seperti inilah yang paling cocok bagi para
sastrawan atau calon sastrawan Indonesia yang cenderung amatir, ketimbang
organisasi formal dan struktural yang mungkin hanya akan mengurus atau menyentuh
hal-hal formal dan permukaan saja.
Begitupun, dengan terbentuknya ASI, kita harapkan menjadi media komunikasi
yang baik antarkomunitas di berbagai daerah sehingga terjalin sebuah ikatan
atau jaringan yang sifatnya ”batin”. ASI harus dijadikan wadah ikatan atau
jaringan yang bersifat batin atau spiritual. Ini jauh lebih efektif dalam
membangun komunikasi, silaturahmi, kebersamaan, solidaritas dan toleransi antarsastrawan
dan juga calon sastrawan di manapun berada, selain untuk kepentingan
meningkatkan proses kreatif itu sendiri.
TSI 1 di Jambi ini diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Jambi. Kegiatan dengan tema Keberagaman, Kedinamisan, dan Keharmonisan
Ekologi Sastra Indonesia ini diselenggarakan mulai 7 sampai 11 Juli oleh
panitia inti, yang terdiri dari komunitas sastrawan, seniman, budayawan, dan
akademisi.
Selain
forum dialog dan musyawarah, TSI ini dimeriahkan rangkaian panggung apresiasi,
pameran sastra, bazar buku sastra, penerbitan antologi puisi Tanah Pilih dan antologi cerpen Senarai Batanghari, serta wisata budaya
ke candi Muaro Jambi sembari menyusuri sungai Batanghari melalui perahu ketek.
Begitulah. Horas! ***
Penulis, adalah pegiat sastra dan staf
teknis Balai Bahasa Medan
sumber : Harian Waspada
Sudah Kugembok Suaramu
“SUDAH kugembok suaramu”.
Begitulah ungkapan batin penyair kita, NA Hadian, dalam kumpulan sajak
terbarunya Laut Mutiara. Ungkapan
yang sangat sederhana. Jujur dan tidak mengada-ada. Barangkali ucapan itu
sangat tepat tatkala bangsa kita memasuki 60 tahun kemerdekaan.
Sudah kugembok suaramu. Ya, betapa miriskah nasib
bangsa ini menghadapi segala fenomena kehidupan? Keprihatinan demi
keprihatinan, itulah yang kita hadapi memasuki usia 60 tahun kemerdekaan bumi
Nusantara ini.
Enam puluh tahun,
harusnya kita makin matang menghadapi berbagai persoalan. Tidak gagap atau
kagok mencari jalan keluar setiap permasalahan. Apalagi sudah ratusan tahun
diuji penindasan. Rasanya, begitu naif jika kita terus merasa kalut dan sulit
lepas dari lubang jarum keniscayaan.
Enam puluh tahun,
ya, enam puluh tahun. Enam puluh tahun itu kita dicekoki janji. Jargon dan
mutiara kata untuk bangkit dari penindasan. Enam puluh tahun itu kita dibuai
mimpi berkepanjangan. Revolusi dan pembangunan. Reformasi dan perubahan.
Semuanya sangat menjanjikan. Manis di bibir, sangat indah di perkataan.
Namun, begitu
ironi. Kita harus antre mendapatkan BBM. Padahal, mendapatkannya pakai duit.
Duitnya sulit didapat. Didapat dengan susah payah. Banting tulang. Peras
keringat, pikiran, dan tenaga.
Penguasa dengan
enteng meminta kita agar berhemat. Berhemat. Kencangkan ikat pinggang. Puasa
Senin-Kamis.Wah! Bukankah sejak dahulu kita berhemat? Mengencangkan ikat
pinggang? Ditambah lagi yang setiap saat puasa, tidak hanya Senin-Kamis.
Saking hematnya,
saking menyempitnya pinggang, kita sampai cakar-cakaran. Berebut pekerjaan.
Kehilangan pekerjaan. Sikut kanan, sikut kiri. Sikat kanan, sikat kiri. Jilat
kanan, jilat kiri. Ujung-ujungnya, korupsi. Monopoli, oligopoli, manipulasi.
Dan sebagainya. Yang penting happy.
Tak peduli kanan dan kiri. Masing-masing cari selamat. Selamatkan diri
masing-masing alias SDM.
Wah! Untuk itu,
penyair NA Hadian bilang :
Sudah kugembok suaramu
jangan ucapkan lagi kata itu
kita saling berbohong
aku bohong kau pun bohong
(Sudah
Kugembok Suaramu, bait 1)
Bohong! Itulah
yang sebenarnya. Aku bohong kau pun
bohong. Apakah kita saling
berbohong? Entahlah. Yang jelas, pada saat kita kehilangan tongkat, pada saat
kita kesulitan sandang dan pangan, pada saat kita antre BBM, penguasa hanya
mampu bilang kesulitan membayar minyak di luar negeri, apalagi utang piutang.
Padahal sudah 60 tahun penguasa berkuasa. Diberi kesempatan mengolah hasil bumi,
rempah-rempah; untuk keselamatan rakyat, untuk kesejahteraan rakyat.
Lihat saja, saat
kita sudah sering berhemat, segala macam merek dan jenis kendaraan setiap hari
mengalir deras ke bumi Pertiwi. Setiap saat berseliweran
di depan mata kita. Booming. Dari
mana datangnya? Dari luar negeri, tentu. Koq bisa? Siapa yang beli? Yang punya
duit, tentu. Lho koq! Ya bisa, karena memang tidak ada ketentuannya. Tidak ada
aturannya. Nah!
Mau apa lagi kita sekarang
bikin janji ke janji
janjimu bermata pisau
bicaramu tembaga berparuh ular
(Sudah
Kugembok Suaramu, bait 2)
Hal sama terjadi
dalam skop lokal. Terutama yang terjadi di kota besar, Medan misalnya. Simaklah
sajak berikut :
“Adakah
yang lebih sakral, anakku,
pada
potret-potret lama
kecuali
tempat yang kita kenal
saat-saat
yang tak pernah
baka?”
(Goenawan Mohammad, Horison, Juli 1990)
Petikan sajak
Goenawan Mohammad itu tampaknya cukup bersentuhan dengan masalah cacopolis. Cacopolis ialah kota yang mengerikan dan kacau balau; diceritakan
dengan sangat rinci: udara yang panas berdebu, suara yang bising memekakkan
telinga, lalu lintas kendaraan yang macat, perumahan yang berlebihan
kepadatannya, listrik padam, jaringan jalan semrawut bagaikan bakmi, sampah
menggunung, selokan tersumbat, air minum tercemar, dan lain-lain.
Daftarnya sangat
panjang tanpa ada akhirnya. Dan, itu diceritakan Prof. Kevin Lynch dari hasil
penelitian terhadap anak muda-anak muda di Cambridge, Massachusetts, S mengenai
gambaran kota atau dunia ideal yang didambakan.
Lalu, sekelompok
tim perancang yang menamakan dirinya super
audio, bahkan nekad melukiskan secara visual fantasinya tentang cacopolis di masa depan, dalam bentuk
kota yang geometrik kaku, terkotak-kotak, tak ada peluang komunikasi sosial,
tumbuh tanpa batas, dan setiap kegiatan manusia diatur secara eksternal di luar
dirinya. Bangunan-bangunan kuno yang diakrabi penduduk, terkikis habis.
Sentuhan estetis dikerdillkan oleh perhitungan ekonomi dan bisnis. Manusianya kepaten obor, kehilangan lacak dan
orientasi, bagaikan orang hilang ingatan.
Cacopolis? Alahmak! Lalu, bagaimana?
Kota dan daerah
pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya, diistilahkan oleh I. Rapoport
dengan “cultural landscape”, dengan
beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena
itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok
masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan
simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota maupun daerah.
Yang paling rumit dan kompleks adalah perkotaan. Nah!
Kevin Lynch, dia
lagi, dalam tulisannya tentang “The City
as Environment” berceloteh bahwa penampilan dan wajah kota bagaikan mimpi
buruk: tunggal rupa, serba sama, tidak berwajah, lepas dari alam, dan sering
tidak terkendali, tidak manusiawi. Air dan udara kotor, jalan-jalan sangat
berbahaya dipadati kendaraan, papan reklame mengganggu pandangan, pengeras
suara memekakkan telinga.
Jurang
kaya-miskin menganga mencolok mata, komunitas yang guyub (batin) pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan (kepentingan) yang dilandasi
penalaran kalkulatif (Weber) dan kepekaan moral yang disepakati bersama makin
meluntur (Durkheim).
Dalam setiap kota
yang merupakan ‘melting pot’ selalu
terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan pada skala
kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi.
Kalau begitu,
masihkah kita percaya dengan penguasa untuk mengelola kota ini dengan baik,
sementara “//Rakyat kehilangan cintanya,
kepadamu/semua kita sudah berdosa/akhirnya aku lari tunggang-langgang///”.
(Sudah
Kegembok Suaramu, NA Hadian, bait 3).
Menghadapi negeri
yang berulang tahun bulan depan, memang seharusnya kita segera mengoreksi diri.
Jangan seperti penguasa kita yang berebut minta gaji besar di tengah
keterpurukan bangsa. Penyair Hadian, mengibaratkan hal itu laksana semut :
Seekor semut melenggang
di rumput hijau
mencari telur ulat
yang berserak
dalam lembar daun
(Sajak
Putih, bait 1).
Ya, seekor semut/mencari telur ulat/dalam lembar
daun. Lembar daun. Begitu halusnya Hadian menyindir perilaku politikus dan
pejabat kita pada umumnya. Padahal “//Dunai protes/kalian tidak adil/tanpa
berjuang terima gaji/mau bintang kehormatan//” (bait 2). Siapa yang paling
berjasa di negeri ini? “//Sedang matahari
dan bulan/paling berjasa/selalu terima angka nol/dari semua makhluk bumi///” (bait
3).
Hiruk pikuk kota.
Polusi kendaraan. Bersatu padu dalam jantung kepalsuan. Kalau begitu, ‘../mari kita tidur saja, wahai/wakil rakyat
tidur saja///” (Kita Sudah Kesasar, Hadian).
Barangkali inilah
yang harus kita katakan. Sebab, sudah
kegembok suaramu. *** (Suyadi San)
sumber : Harian Mimbar Umum
Menengok Kelihaian "Sang Perkutut" di TBSU
Catatan : Suyadi San
KARYA sastra merupakan kesaksian zaman.
Tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas. Bahkan ia (baca: karya sastra) bisa melampaui
batas dimensi. Na, apa jadinya jika teks sastra ditranformasi ke atas panggung?
Apa pula yang terjadi jika pemanggungan itu mengambil label seekor unggas,
yakni perkutut?
Jam
menunjukkan pukul 16.40 WIB. Panggung
gelap. Ketika layar terbuka, terlihat simbol bola bumi, satu di antara sembilan
gugusan planet, perlahan memancar kemerah-merahan di sudut kanan panggung. Tak
ada pergerakan manusia ataupun makhluk lainnya.
Tata
warna cahaya yang sangat artistik berpadu dengan tataan panggung yang tak
akalah artistik pula. Karya seni rupa tiga dimensi kentas mengisi setiap sudut
ruang. Barulah beberapa detik kemudian, suara seseorang terdengar meneriakkan
judul puisi “Perkututku Perkutut Urakan”.
Ya!
Judul itu, judul itu sangat tidak asing bagi saya. Memori saya pun berkelebat-kelebat. Betapa tidak? Belasan tahun lalu, pada
1990-an, judul puisi itu telah saya dengar. Belasan tahun lalu itu saya harus
membeli tiket untuk menyaksikan perkutut manggung
di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Medan. Belasan tahun itu.... Ah!
Tidak hanya mendengar dan melihat. Saya pun tak pernah mau ketinggalan
mengikuti episode demi episode nyanyian sang perkutut. Usai 1990-an itu, saya
ikut menengok penampilan episode sang perkutut dalam gelar baca puisi di Taman
Budaya Sumatera Selatan (TBSS) Palembang, Juni 2005. Setahun kemudian, saya
tengok lagi di gedung utama TBSU.
Alhamdulillah saya
berkesempatan menyaksikan (lagi) atraksi sang perkutut di atas panggung. Itu terjadi saat Unit Pelaksana Teknis
(UPT) TBSU menggelar Gelar Rangkai Puisi bertajuk ”Nyanyian Urakan” di gedung
utama TBSU, Jumat sore (13/12).
Sepertinya para petinggi di TBSU seperti saya:
ketagihan menyaksikan kelihaian sang perkutut. Tak peduli sudah pernah hinggap atau
beberapa kali dimainkan di tempat sama. Bahkan dalam kegiatan yang nyaris
serupa.
Ya, itu barangkali memang karena kehebatan sang
perkutut. Perkutut ini memang
sangat lincah. Lihai beradaptasi. Cekatan bertransformasi. Hinggap pada satu
dahan untuk terbang dan hinggap ke ruas dahan yang lain. Kecil tubuhnya tak sekecil pikirannya.
Perkututku liar
dia
tidak suka sangkar
takut
sayapnya mekar terhalang
sebab
tidak suka memaki
”lebih
baik bernyanyi
dari
jendela ke jendela”
Seperti bait puisi itulah
”si perkutut” yang saya lihat dari panggung ke panggung. Ia terbang liar. Tapi toh tetap kembali ke dahan itu juga. Meski liar, ia tetap lihai. Meski mengumpat,
tetap saja ia menyediakan penawar.
Perkututku liar
dia terbang dalam awan
tainya jatuh di atap-atap singgasana
setiap kali dia menuding
lukanya jadinya membara
darahnya dia jadikan penawar
Alamak! Seperti politisi pula ia.
Begitulah. Bagi orang
TBSU, tidak tahu orang yang di luar (TBSU), sang perkutut itu identik dengan
penyair anyar Sumatera Utara: YS. Rat. Pemilik nama Yusrianto inilah yang kerap
kali mengusung ikon perkutut dalam atraksi baca puisinya. Mungkin karena
dibesarkan dalam keluarga Jawa, pria berkaca mata ini terus kesengsem
pada perkutut.
Perkutut YS Rat bukan
sembarangan perkutut. Perkututnya ini tidak sebatas bisa dielus atau diminta manggung untuk bernyanyi. Lebih dari
itu, perkututnya bisa diajak berpikir dan membantunya untuk menyublimasi
pikirannya. Lha wong perkututnya
bukan hewan; tidak lain adalah puisi!
Selama hampir satu jam, YS
Rat bercengkerama dengan ”perkutut”-nya di gedung utama TBSU. Untuk
mereportoarkan ”perkutut” ini, YS Rat tidak sendirian. Dia dibantu deretan
penampil lainnya: dua orang penyair (Hasan Al Banna, M. Raudah Jambak) dan tiga
penari (Joni, Dewi, Roslina). Apakah ini bentuk kelelahan dia? Sebab, tahun-tahun sebelumnya dengan nafas
puisi sama ia tampil sendirian. Entahlah.
Namun, menurut YS Rat,
pergelarannya kali ini karena diberi tajuk Gelar
Rangkai Puisi. ”Jadilah saya harus melibatkan pemain lain,” tuturnya
beberapa hari menjelang pementasan kepada penulis.
Dari lima puisi, ia
membacakan empat judul, yakni Perkututku Perkutut Urakan”, ”Perkutut Urakanku
Kampanye di Langit-langit”, ”Dari Perkutut Urakan tentang Negeri Tanpa,” dan
”Kepada Jika, dari Perkutut Urakan”. Satu judul lagi, ”Surat Perkutut Urakan
buat Gadis-gadis Indonesia” dibacakan M. Raudah Jambak.
Sementara Hasan Al Banna
tampil selingan di antara penampilan YS Rat. Hasan membawakan dua puisinya
sendiri, yakni ”Mantra Negeri yang Pukang” dan ”Dari Mardan ke Taufan”.
Penampilan YS Rat kali ini sebenarnya tidak jauh
beda dari beberapa tahun lalu. Ikon perkutut dibalut simbol bola dunia ataupun
bulan, ruang nan gelap, dan suara dari belakang panggung serta gemar
membelakangi penonton. Sangat kongruen dari penampilan-penampilan sebelumnya.
Namun, pertunjnkan yang
dibuka Kepala Sub Dinas Lembaga Budaya Dinas Budaya dan Pariwisata Sumatera
Utara Drs Sudarno dan hanya disaksikan segelintir penonton ini, masih
menyusuhkan sesuatu yang baru. Yakni, munculnya gerakan tari dari beberapa
puisi yang dibacakan.
Saya menyebut gerakan tari dalam puisi ini sebagai
tarinisasi puisi, suatu penafsiran lain terhadap puisi. Saya
tidak mau terburu-buru menyebut ini bentu baru dalam apresiasi puisi. Kita
tahu, hanya ada empat cara untuk mengapresiasi puisi melalui seni pertunjukan,
yakni pembacaan (tunggal maupun berkelompok atau berantai), visualisasi,
dramatisasi, dan musikalisasi.
Yang jelas, pemvisualan dalam bentuk tari
merupakan sesuatu yang sangat dominan dalam pertunjukan YS Rat kali ini. Gerakan-gerakan tari yang sangat teaterikal
ini menjadi penyejuk dari kejenuhan tema yang diusung YS Rat.
Keunggulan lain adalah penampilan seni rupa tiga
dimensi yang diarsiteki Rudi Pama (penata artistik) dan Irma Karyono (penata
lampu). Duet Rudi—Irma ini
mampu menghidupi surealisme panggung. Patutlah, kedua orang ini serta Achi Aceh
sang penata musik yang paling cemas ketika listrik di komplek TBSU belum hidup
sampai pukul 16.10 WIB karena program pemadaman oleh PLN sejak pukul 10.00 WIB.
Lalu penampilan Hasan Al Banna? Ia tetap menjadi
pelengkap dan tidak masuk dalam suasana metafisis perkutut imajiner YS Rat. Hal
sama pernah dilakukan pada pergelaran tahun 2006 di tempat sama.
Warna kekanak-kanakan yang
ditampilkan Hasan senyatanya tidak mampu mengimbangi narasi besar yang diusung
YS Rat. Andai dia berdiri sendiri, terpisah dari skenario ”perkutut urakan” YS
Rat, mungkin pertunjukannya akan menjadi lain.
Secara keseluruhan,
pertunjukan ”Nyanyian Urakan” YS Rat yang tidak urakan ini mampu menyedot
perhatian penonton. Setidaknya,
ini menjadi penawar dari minimnya pertunjukan sastra di Medan. Akankah sang
perkutut tampil lagi? Akankah
ia tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas?
Jawabannya ada pada YS Rat! ***
Langganan:
Postingan (Atom)