Translate

Rabu, 23 Januari 2013

KEDUDUKAN AGAMA DALAM NEGARA MODERN



(Kasus Liberalisasi dan Multikulturalisme di Indonesia)

Oleh : Suyadi


SUATU ketika penyair Taufiq Ismail melontarkan kegelisahannya mengenai munculnya faham ‘kekiri-kirian’ yang kini menggejala di ibu kota. Selama mengantar beliau ke rumah sastrawan Bokor Hutasuhut hingga ke Bandar Udara (Bandara) Polonia akhir Oktober 2005 lalu, Pak Taufiq Ismail tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
Itu, juga dituangkannya kepada sahabat lamanya, Bapak Bokor Hutasuhut. Ia memberitahukan bahwa ada sebagian teman mereka dari sesama mantan anggota lembaga Manifes Kebudayaan yang kini seolah-olah berbalik arah memutar sejarah dan malah cenderung ‘kekiri-kirian’.
Tidak puas di situ, di sepanjang jalan – kebetulan cuma kami berdua di dalam mobil selain ketua panitia pelatihan sastra Guru-guru SD dari LPMP Sumut yang menyetir mobil dan seorang pegawai LPMP – Pak Taufiq mengorek informasi dari penulis mengenai fenomena gerakan ‘kekiri-kirian’ di daerah ini.
Menurut penyair Angkatan 66 itu, konsep liberalisasi agama dan multikulturalisme yang seperti sengaja dibelok-belokkan merupakan satu gejala baru gerakan ‘kekiri-kirian’ tersebut.
Kegelisahan Pak Taufiq Ismail itu ternyata juga dirasakan sejumlah tokoh dan cendikiawan Muslim di Indonesia, termasuk Medan. Terbukti, belum lama ini mereka berkumpul dan membahas konsep liberalisasi agama dan multikulturalisme yang salah-kaprah di kampus IAIN Medan.
Agama dan Modernisasi
Dunia modern terdapat di setiap Negara. Namun dalam banyak bagian di dunia ini, negara dan bangsa yang hidup berdampingan sering mengalami kekhawatiran satu sama lain. Banyak negara, seperti Jepang, mengklaim terdiri dari satu suku bangsa guna memiliki satu identitas nasional yang menggabungkan semuanya.
Namun klaim ini biasanya terjadi karena   adanya perbedaan identitas kepentingan secara nasional sebagaimana dipikirkan orang-orang keturunan Jepang dan Korea, atau bagian besar dari kelompok minoritas Kristen maupun Muslim di negara itu.
            Di negara-negara lainnya, seperti Sri Langka, Turki maupun Bosnia, sebagian besar kelompok minoritas berjuang menciptakan pemisahan diri mereka dari negara-bangsa. Banyak negara pula, seperti Indonesia dan Amerika Serikat, menekankan adanya keharmonisan di antara perbedaan agama dan kelompok etnik.
Kenyataan, rata-rata kelompok di negara tersebut saling berebut menguasai  identitas nasional. Identitas agama beserta perbedaannya sering berada di dalam berbagai perdebatan dan bahkan dipertentangkan.
Dalam berbagai peristiwa, banyak negara di dunia yang menggabungkan beberapa kekuatan komunitas agama besar dan pluralisme keberagamaan ini bertambah meningkat. Kelompok Muslim menjadi meningkat di antara banyaknya kelompok minoritas meski mereka tidak pernah memainkan peran publik.
Di Amerika Serikat, misalnya, mereka menyiapkan diri lebih banyak berkuasa daripada orang-orang Episcopalian. Bahkan, komunitas Muslim ini diharapkan dapat menyusul orang-orang Yahudi yang terlebih dahulu ‘menguasai’ negeri Paman Sam itu.
Di Perancis, kaum Muslim membentuk kekuatan besar kedua kelompok agama setelah Katholik. Sedangkan Kristen Protestan dengan cepat meningkat menguasai Jepang dan Brazil, seperti di negara-negara lainnya.
Keberagaman keagamaan menunjukkan ketajamannya dan acap kali memecahkan sejumlah pertanyaan mengenai kehidupan publik suatu bangsa. Berkaitan itu, berbagai persoalan patut dipertanyakan untuk menguji kekuatan keberagaman keagamaan (pluralistas agama) itu di dalam Negara-negara modern hari ini.
Beberapa pertanyaan yang perlu dilontarkan, di antaranya, apakah kontribusi yang dihasilkan pluralitas keagamaan itu dalam kebijakan publik dan kehidupan sosial? Dapatkah mempersatukan identitas bangsa yang berdampingan di depan umum terjadi dalam agama yang berbeda?
Jika bisa, dapatkah negara menghindari keberpihakan kepada satu agama daripada yang agama lainnya? Dari manakah menyeleksi satu di antara banyak elemen, yang memperhatikan moralitas dan keabsahan suatu keadaan yang umum terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memfokuskan pada masalah kebijakan publik;  sedangkan pertanyaan yang lain berupa masalah studi empirik. Misalnya, apakah langkah-langkah, jika banyak, kelompok-kelompok minoritas agama berbuat menyesuaikan diri dari model-model agama maupun budaya bangsa?
Bagaimanakah tingkat perjuangan kaum minoritas dapat memperoleh pengakuan seperti kebenaran beragama dan berbudaya? Apakah perubahan yang terjadi di dalam doktrin agama, atau secara praktis, dalam batas-batas pengakuan bersama anggota-anggota kelompok mereka dan lainnya?
Agama dalam Perspektif Antropologi
Di antara para ahli yang berpendapat mengenai asal mula agama sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat (1966) adalah ahli sejarah C. de Brosses (1769), ahli filsafat August Comte (1850), ahli filologi F. Max Muller (1880), dan lainnya.
Kemudian barulah muncul teori-teori dari para ahli antropologi, seperti E.B. Tylor (1880), R.R. Marett (1909), J.G. Frazer (1890), Emile Durkheim (1912), W. Schmidt (1921), dan sebagainya. Dari teori-teori itu orang berpendapat, bahwa perkembangan agama menurut ilmu antropologi, dimulai dari animisme, dinamisme, politerisme, dan baru kemudian monoteisme.
Dilihat dari sumber terjadinya agama, agama dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu Agama Samawi atau Agama Langit dan Agama Wad’i atau Agama Bumi. Agama Wahyu adalah agama yang datang dan bersumber dari Wahyu. Pengalaman yang diterima berdasarkan Wahyu karena tidak dapat terjadi melalui usaha akal pikiran penelaahan manusia, akan tetapi merupakan pengetahuan terhadap kebenaran yang diilhami.
Termasuk dalam Agama Samawi adalah Yahudi, Kristen, dan Islam, dengan ciri-cirinya : a) konsep Ketuhanannya Monoteisme; b) disampaikan oleh Rasul Allah sebagai Utusan Tuhan; c) mempunyai Kitab Suci yang dibawa Rasul Allah berdasarkan Wahyu Allah; d) tidak berubah dengan perubahan masyarakat penganutnya, bahkan sebaliknya; e) kebenaran ajaran dasarnya tahan uji terhadap kritik menurut akal manusia; f) sistem merasa dan berpikirnya tidak sama dengan sistem merasa dan berpikir masyarakat penganutnya.
Sedangkan Agama Wad’i ialah agama duniawi yang tidak bersumber dari Wahyu Illahi, melainkan hasil ciptaan akal pikiran dan perilaku manusia, disebut juga Agama Budaya. Lahir berdasarkan filsafat masyarakat, baik yang berasal dari para pemimpin masyarakat atau dari penganjur agama yang bersangkutan.
Termasuk dalam golongan ini, antara lain agama Hindu, Budha, Tao, Kong Hu Chu, dan berbagai aliran paham keagamaan serta kepercayaan-kepercayaan masyarakat suku-suku sederhana atau masyarakat yang sudah maju tidak berpegang pada kitab suci dan tidak berdasarkan ajaran Rasul-rasul maupun Nabi-nabi.
Baik Agama Wahyu (samawi) maupun Agama budaya (wadi’i) yang dianut masyarakat sederhana atau masyarakat yang sudah maju, memiliki budaya agama, yaitu hasil-hasil pikiran dan perilaku budaya yang menyangkut keagamaan.
Budaya agama tersebut tentunya sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Ada yang muncul dalam benak manusia berdasarkan kehendak yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi. Ada pula yang muncul dalam benak manusia berdasarkan emosi keagamaan pribadi manusia sendiri.
Dalam kaitan ini, biasanya para ahli antropologi melakukam pemdekatan terhadap konsepsi-konsepsi keagamaan: 1) konsepsi tentang dewa-dewa, sifat-sifat, dan tanda-tanda (perwujudan bentuk) dari para dewa; 2) konsepsi tentang makhluk halus, seperti roh-roh, roh leluhur, hantu-hantu, dan tentang Dewa Tertinggi Yangmaha Pencipta; dan 3) konsepsi tentang kejadian bumi atau alam semesta, tentang hidup dan mati serta tentang akhirat (surga, neraka, moksha, nirwana, dan lain-lain).
            Konsepsi-konsepsi tersebut bertautan satu sama lain, yang kesemuanya berdasarkan keyakinan dan kepercayaan terhadap hal-hal ghaib, ditakuti dan disayangi, yang disebut Tuhan, Dewa-dewa, Roh-roh atau Makhluk halus di sekitar alam ini, baik bersifat jahat maupun bersifat baik.
            Pada masyarakat yang budayanya masih sederhana, apa yang timbul dari emodi keagamaan dan kepercayaannya, kemudian diajarkan dan diwariskan secara  tradisional kepada anak cucu, sahabat, kenalan, dalam bentuk ungkapan, nyanyian, dongeng-dongeng suci atau mitologi, dan sebagainya, secara lisan.
Sedangkan pada budaya masyarakat yang sudah maju, sudah mengenal aksara, maka kepercayaan-kepercayaan itu ada yang dilukiskan dalam bentuk yang masih sederhana, di atas daun-daunan, pada kulit-kulit kayu atau bambu, dan kemudian kertas sehingga dibukukan, menjadi buku-buku kesusastraan suci dan disucikan atau dikeramatkan.
Kedudukan Agama di Indonesia
Indonesia adalah suatu negara bangsa (nation-state) yang terdiri dari ratusan suku bangsa. Beragam corak budaya membentangi negara kepulauan ini, di antara garis khatulistiwa, dari Sabang hingga Merauke. Terdiri atas sekitar 13.608 pulau, besar dan kecil, dihimpit dua samudera (samudera Hindia dan Pasifik), serta berada di ujung Benua Asia.
            Pulau-pulau yang menghuni negara ini menandakan adanya beragam kebudayaan. Baik bahasa, adat istiadat, maupun sistem kebudayaan lainnya. Itu, membuktikan Indonesia sesungguhnya merupakan negara besar dan modern, karena mampu mempersatukan kehidupan suku bangsa-suku bangsa yang hidup sejak abad-abad sebelumnya.
            Meskipun terdiri atas berbagai suku bangsa dan adat istiadat, namun negara tersebut dipersatukan oleh konsepsi religiositas sebagai fundamen aturan adat yang mengikat. Sebelum para penyebar Agama Samawi datang ke Indonesia, suku-suku di Indonesia telah melakukan berbagai kegiatan ritual keagamaannya.
Antropolog dari Belanda TH Fitcher dalam bukunya, Antropologi Kebudajaan Indonesia (1957 : 141-151) mengakui, desa-desa di Indonesia pada mulanya merupakan suatu persekutuan religius dan kepala desa dianggap semacam pawang. Raja-raja sering pula disebut sebagai keturunan dewa-dewa dan perhiasan kerajaan mempunyai potensi yang magis.
            Oleh karenanya, manusia Indonesia sudah sejak zaman purba, sebelum adanya agama-agama besar yang datang seperti Hindu-Budha, Kristen, dan Islam, telah mengenal kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan yang ghaib, di luar kemampuan dan kekuatan manusia.
Nenek moyang bangsa Indonesia di zaman purba sudah mengenal alam roh. Ada yang sudah tinggi tingkat budaya agamanya, percaya pada adanya Dewa tertinggi, dan ada juga yang masih rendah dan sederhana tingkat budaya agamanya.
Sebagaimana dikatakan Seno Harbangan Siagian via Hadikusumah (1993 : 40), ada di antaranya yang memiliki nama-nama khusus, seperti ‘Kaharingan’ (Agama Suku Daya Ngaju), ‘Aluk To Dolo’ (Agama Suku Toraja Sa’dan), ‘Parbegu’ (Agama Suku Batak Toba), dan lain-lain.
            Agama-agama asli yang mentradisional di Indonesia dapat lebih dikenal dan nyata sekali sebagaimana terlihat dalam mitologi penciptaan. Di seluruh bagian Timur kepulauan Indonesia (pulau-pulau Nusa Tenggara mulai dari Flores, pulau-pulau Baratdaya dan Tenggara, kelompok Kei, Tanimbar dan Aru, Maluku dan Sulawesi), ditemukan mite perkawinan purba antara langit (matahari) dan bumi, sumber kelahiran seluruh penciptaan. 
Menurut mitologi ini, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan secara langsung atau tidak langsung adalah keturunan dari bapak-langit dan ibu-bumi.   Karenanya, penduduk setempat acap kali melakukan suatu upacara ritual untuk mengenang perkawinan bumi dan langit tersebut.
Sedangkan di belahan Barat kepulauan Indonesia terdapat suatu mitologi penciptaan berlainan jenis. Di sini, senantiasa ada dewa pencipta yang sebenarnya, membentuk manusia dari karang dan memberinya nyawa. Tokoh-tokoh itu sebagian memakai nama yang bercorak Hindu dan Islam (umpamanya : Bataraguru, Bathala dan Alatala, namun bukan berarti hal itu baru diimpor serempak dari Hinduisme dan Islam)
            Sepanjang abad, religi penduduk Indonesia mengalami perubahan-perubahan besar. Hingga tahun penerbitan buku itu (1957), Fitcher mencatat, lebih dari 55.000.000 penduduk Republik Indonesia menamakan dirinya orang Islam, sementara dari statistik-statistik Zending dan Missionaris memperlihatkan jumlah penduduk Kristen (berbanding 1 : 4 antara Katolik Romawi dan Protestan) mendekati angka 2.500.000 jiwa.
Sedangkan yang menganut agama asli, jumlahnya hanya sedikit. Tiap tahun kian susut. Jumlah kaum Islam dan Kristen justru senantiasa cepat bertambah. Masa ‘keperbeguan’ di Indonesia, menurut Fitcher, telah berlalu, sehingga dengan tidak ragu-ragu lagi proses pengislaman dan pengkristenan dalam waktu relatif singkat akan terus berlangsung.
            Kehadiran agama-agama modern itu (Hindu, Budha, Islam, Kristen) sememangnya menambah daftar keharmonisan pluralisme keagamaan di Indonesia. Sebagai sebuah negara besar, Indonesia mampu memelihara masing-masing agama dan aliran kepercayaan guna menambah khasanah kebudayaan di negara ini.
Tak ayal, kondisi harmonis tersebut menjadi pemicu banyaknya sarjana dan peneliti asing yang berminat meneliti masalah agama di Indonesia.
Bahkan, perhatian dan minat orang Eropa terhadap agama-agama di Indonesia, khususnya Islam Indonesia, bisa ditelusuri hingga abad ke-17, ketika para teolog dan pejabat pemerintahan Belanda mulai menghadapi kesulitan memahami dan mengawasi masyarakat Islam di Jawa, Sumatra, dan Indonesia bagian Timur.
Nama-nama sarjana dan teolog awal pelopor tradisi orientalisme Inggris-Belanda itu, di antaranya, Andrian Reland, Edward Gibbon, J.F.C. Gericke, Snouck Hurgronje, Rassers, dan Piegaud serta Clifford Geertz dan Ben Anderson.
            Karya Geertz, Religion of Jawa, menggantikan karya Hurgronje The Atjhehnese sebagai rujukan standar mengenai Islam Indonesia. Geertz menegaskan, pernyataan Hurgronje “bangunan Islam terutama masih didukung oleh pilar utama, ‘tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah’, tetapi pilar ini sekarang dikelilingi serangkaian karya yang tak cocok dengannya, yang menjadi profanasi terhadap kesederhanaannya”, lebih pas diterapkan untuk Jawa.
            Sedangkan Anderson sangat bersandar pada studi-studi kolonial mengenai kerajawian Hindu-Jawa dan karakterisasi Geertz mengenai Indonesia sebagai negara Hindia. Pemahaman Anderosn terhadap Islam mencerminkan kembali pandangan Hurgronje dan Geertz.
Ia menyatakan, gelar-gelar Islam disandang para penguasa, simbol-simbol keislaman dilekatkan pada para pengiring mereka, dan atribut Islam ditempelkan pada baju kebesaran mereka.
Tetapi, menurut Anderson, islamik simbolik tampaknya tidak menyebabkan perubahan terhadap jalan hidup dan pandangan mereka. Pelukisan Anderson terhadap kiai tradisional juga sebanding dengan pelukisannya terhadap para penguasa tersebut, “bersifat intuitif, personal dan mistis, yang banyak dipengaruhi agama pra-Islam”.          
            Etnolog teranyar yang melakukan penelitian terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia adalah Mark Woodward. Dalam penelitian yang dilakukan di Jawa, Woodward bertekad ingin menambah dan melengkapi penelitian lapangan yang pernah dilakukan Geertz tahun 1950-an, yang menancapkan teori aliran dalam masyarakat Jawa; abangan, santri, priayi.
Berbekal ilmu filsafat dan ritual Hindu-Budha, Woodward meneropong unsur-unsur Hindu dari ideologi dan modalitas ritual acara garabeg maulud, upacara ritual keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW di Yogyakarta. Usahanya ternyata sia-sia. Ia juga tidak menemukan prototipe-prototipe Hindu-Budha dalam mistisisme tradisional Jawa.
            Dalam bukunya, Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Though (1996), Woodward mengemukakan genealogi dari wacana yang berwatak “anti-Islam”. Jejaknya, menurut Woodward, bisa ditelusuri hingga ke masa Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pejabat kolonial dan orientalis Inggris, yang memerintah Jawa 1811-1816.
Dalam buku klasik dan berpengaruhnya, The History of Java, Raffles memahami Islam (“Mahometanism”) sebagai agama kekerasan dan kefanatikan. Kendati sebenarnya ia mempunyai perhatian khusus terhadap “institusi-institusi kuno”, yakni kesenian dan kesusastraan Jawa pra-Islam, namun ia banyak memberikan penilaian yang bernadakan “pejoratif” terhadap Islam.
Raffles tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang menyayangkan mengapa orang Jawa dan Melayu memeluk Islam. Berlawanan dengan itu, ia memberikan deskripsi panjang lebar mengenai teks-teks dan candi-candi kuno Hindu-Budha dan mengagungkan Hindu-Bali sebagai “sisa-sisa masa lampau yang memukau”.
            Pemahaman Raffles mengenai Islam dan kedudukannya dalam kebudayaan Jawa dan Indonesia lainnya, menurut Woodward yang mengutip Karel Steenbrink, berakar mendalam dari polemik teologis Kristen melawan Islam dan telah berkembang di Eropa selama berabad-abad.  Polemik-polemik itu sendiri sudah digunakan oleh para sarjana Belanda senyampang membentuk “indologi” dan kebijakan Belanda selama periode kolonial.
            Begitulah. Kehidupan keagamaan di Indonesia sesungguhnya saling berdampingan satu sama lain. Semuanya terpelihara berkat adanya jaminan dari negara melalui Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai fundamen mendasar kewarganegaraan Indonesia. Karenanya, semua agama dan aliran kepercayaan di Indonesia tetap tumbuh subur bersamaan dengan semangat religiositas dan realitas sosial keagamaan para pemeluknya.
UUD 45 itu ternyata sangat ampuh menepis dugaan bahwa Indonesia adalah negara Islam atau negara agama. Dalam penafsiran pasal 29 UUD 45 itu, negara menjamin penduduk untuk menjalankan ritual keagamaan masing-masing.  
            Dalam konteks kewarganegaraan, kedudukan agama di Indonesia memang sangat unik.  Hal ini bisa dilihat dari doktrin Pancasila yang juga mengatur kehidupan keagamaan. Pancasila dan UUD 45 menjadi sumber kewarganegaraan Indonesia dan sebagai identitas nasional setiap warga negara Indonesia.
Pancasila dan UUD 45 itulah yang mengatur kehidupan keagamaan di Indonesia, bukan sebaliknya – sebagaimana dipercayai nenek moyang bahwa religi rakyat dan religi kerakyatan itu merupakan sesuatu yang harus dipatuhi sesuai dengan keadaan, ciri khas, dan adat istiadat masyarakat setempat.
Pluralisme dan Sekularisme
Pluralisme keagamaan yang dijamin Pancasila dan UUD 45 merupakan pergeseran realitas objektif agama nenek moyang yang semula dianut penduduk di Indonesia. 
Konsekuensinya, secara implisit pluralisme tersebut bisa mengarah pada kondisi sekularisme negara terhadap kehidupan keagamaan.  Apalagi, jika kehidupan keagamaan ini menghadapi tiga kategori masyarakat Indonesia berdasarkan pandangan sosiologi, yakni masyarakat tradisional, masyarakat modern, dan masyarakat pascamodern.
            Dalam konteks sosiologi, terdapat beberapa cara pandang terhadap peristiwa sosial-keagamaan. Pertama, pandangan politis yang melihat bahwa dinamika sosial yang terjadi digerakkan oleh persatuan kelompok sosial untuk memperebutkan kekuasaan.
Serangkaian peraturan, hukum, pertempuran, sanksi sosial, ternyata dimaksudkan untuk memperebutkan hegemoni politik atas yang lain. Agama menjadi bagian dari perebutan ini. Lihat saja, dalam peristiwa Pemilihan Umum 1999 dan 2004, banyak partai politik yang mengusung sentimen agama dan etnis untuk berebut kekuasaan.
Kedua, sudut pandang geografis. Mazhab ini ingin menjelaskan bahwa karakter dan perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh kondisi fisiknya. Karenanya, ajaran agama akan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya : apakah ia lahir dan berkembang di daerah padang pasir, pertanian, pegunungan, daerah kutub, atau perkotaan? Apakah ia tumbuh di daerah damai atau perang, wilayah subur ataukah miskin?
Semua itu dianggap menentukan perilaku sosial masyarakat dan alam pikiran yang muncul. Lihat saja peristiwa bencana alam gempa dan badai tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias 26 Desember 2004, tidak sedikit organisasi Zending dan Missionaris yang mencoba menanamkan ajaran agamanya dalam situasi sulit itu meskipun komunitas yang dihadapi berasal dari agama lain, yakni Islam.
            Ketiga, cara pandang Marxian yang melihat fenomena agama dari pola aktivitas ekonomi. Apakah ekonomi sebuah masyarakat tergolong pada mode pertanian, perdagangan, industri, kapitalisme ataukah sosialisme, kondisi ini sangat memengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang serta institusi sosial yang ada.
Lihat saja bagaimana Amerika Serikat beserta negara-negara sekutunya yang coba menanamkan “saham” di balik dampak bencana alam gempa dan tsunami. Lihat pula Amerika Serikat dan sekutu melalui dana moneter internasional (IMF) terus memberikan cek utang kepada Indonesia guna menanamkan ajaran capital Marxis-nya terhadap Indonesia yang dominan berasal dari komunitas Islam.
            Keempat, analisis Freudian yang berusaha menjelaskan bahwa prilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh endapan bawah sadar akibat gejolak nafsu libido yang ditekan. Nafsu libido ini memiliki kekuatan dahsyat dan laten untuk mendapatkan penyaluran.
Jika endapan bawah sadar terkendali dan memperoleh penyaluran yang tepat, maka masyarakat bisa sangat kreatif dalam membuat loncatan peradaban. Akan tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, sebuah masyarakat sewaktu-waktu bisa saja berbuat nekad, naluri-naluri hewaninya muncul dalam bentuk yang sadis, brutal, tidak segan melakukan pemerkosaan, peperangan, incest, dan semacamnya.
Fenomena ini bisa terlihat dari dampak tayangan televisi, internet, dan bahan-bahan cetakan yang menyajikan sadisme, pornografi, dan pornoaksi. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang kelihatannya ramah dan religius ini, namun pada saat tertentu bisa demikian nekad. 
            Kelima, cara pandang historiko-filosofis yang mengatakan bahwa sebuah peradaban mengikuti hukum alam bagaikan pertumbuhan anak manusia. Ada masa kelahiran, pertumbuhan, puncak perkembangan, dan ada masa surut atau kematian. Hal ini dikembangkan aliran filsafat dan tradisi pemikiran Barat, dengan tokohnya Friedrich Hegel (1770-1931), Oswald Spengler (1880-1936), dan Arnold Toynbee.
Dalam kondisi pragmatis hari ini, peradaban Islam yang cemerlang harus terus berhadapan dengan globalisme yang membawa paham Marxian dengan segala macam kemudahan. Islam yang sangat ampuh menghempang perjuangan orientalis yang dibawakan Inggris dan Belanda masa kolonial, kini berhadapan dengan diri sendiri melalui media-media asing dan dunia maya-digital.
            Keenam, teori teologi-eksistensialisme. Yakni, sebuah mazhab pemikiran yang menyatakan bahwa sejarah dan realitas sosial tak lebih dari eksistensi para tokoh elitnya. Di lingkungan teolog, pengaruh teori ini sangat kuat. Tak akan ada peradaban Yahudi jika tidak ada Musa. Tak akan ada dunia Kristen kalau Yesus tidak terlahir dan tak ada peradaban Islam tanpa Muhammad.
Ketujuh, pandangan Platonik-sufistik. Cara pandang yang lebih menekankan kebersihan spiritual dengan jalan menjauhi dunia. Panggung sejarah tak lebih dari mata rantai menuju dunia lain, mendekati Sang Pencipta alam semesta. Dunia adalah penjara, bagaikan tubuh yang memenjarakan ruh.
Menurut pandangan platonik-sufistik ini, tujuan akhir manusia adalah mencari kebahagiaan bersanding dengan Tuhan. Hati-hatilah dengan tipuan kegemerlapan dunia dengan segala bentuk dan manifestasinya, seperti harta, kedudukan, dan kekuasaan.
            Pertanyaannya kemudian, di mana peran agama dan bagaimana artikulasinya dalam realitas sosial?  Di Indonesia yang menganut sistem pluralisme agama, artikulasi dan eksternalisasi keberagamaan seseorang dan masyarakat tentu saja beragam.
Dimensi-dimensi utama dari sikap keberagamaan itu, antara lain, pertama, kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Karena dimensi ini begitu abstrak, maka yang terlihat secara sosial hanyalah sebatas keikutsertaan seseorang dalam aktivitas ritual kelompok dan penggunaan simbol-simbol yang menjadi konsensus mereka.
Lihat saja, masyarakat Indonesia ramai-ramai sembahyang di masjid atau kebaktian di gereja serta penggunaan simbol salib dan sejenisnya, adalah fenomena yang gampang ditemukan di mana-mana di Indonesia.
            Kedua, perilaku keberagamaan yang paling dasar selalu bersifat pribadi. Apakah kepercayaan seseorang tentang Tuhan berpengaruh pada kehidupannya atau tidak, sulit diketahui secara pasti oleh orang lain.
Dalam analisis strukturalis-fungsional, dorongan seseorang mengikuti tradisi keagamaan lebih disebabkan oleh desakan eksternal ketimbang pilihan bebas dan murni dari dalam. Tindakan semacam itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan sosial agar diterima oleh lingkungan, sebagai sebuah solidaritas kelompok.
Lihat saja, sebagian masyarakat Indonesia terpaksa mencantumkan agamanya Islam atau Kristen, meski ia menganut kepercayaan Kejawen dan sejenisnya ataupun Permalin (Batak), agama asli nenek moyangnya.           
            Ketiga, agama selalu hadir dalam wujud kultural. Wajah kultur agama yang paling mudah terlihat, antara lain, dalam ekspresi seni arsitektur. Masyarakat dengan mudah membuat asosiasi bangunan masjid dengan Islam, gereja dengan Kristen. 
Dimensi dan ekspresi kultural keagamaan ini memiliki cakupan yang sangat luas dan cenderung berbaur dengan identitas dan kultur lokal. Di Indonesia, misalnya, bedug selalu dikaitkan dengan umat Islam dan masjid. Padahal, di Jepang dan Cina, juga terdapat bedug, namun tak ada hubungannya dengan masjid.
Masih banyak lagi fenomena kultural yang diasosiasikan dengan simbol keagamaan tertentu, seperti lilin, pohon cemara, menara, kopiah, sorban, jubah, salib, bulan-bintang, dan sebagainya.
Tak ayal, kelompok-kelompok Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara pernah merasa tersinggung terhadap penerbitan karikatur satu surat kabar harian di Medan karena menyajikan simbol-simbol Islam, seperti sorban, kopiah, pakaian koko, yang dikaitkan dengan tulisan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan tidak berpuasa pada bulan Ramadan.
Di dalam karikatur itu juga dituliskan firman Yesus yang dikutip dari Alkitab dan puasa 40 hari. Tentu saja karikatur itu membuat emosi keagamaan di kalangan Islam meninggi, sebab selain merendahkan martabat orang Islam, juga mempertentangkan Islam dan Kristen.
Tidak Mampu Menggusur Agama
Demikianlah. Kedudukan agama di negara modern seperti Indonesia masih terlihat kuat. Kekuatan ini masih kentara dengan adanya realitas-keagamaan yang beragam di antara para penganutnya.
Meskipun ikatan emosi keagamaan melemah, namun ternyata liberalisasi agama sebagai dampak dari modernisasi dan globalisasi ternyata tidak mampu menggusur bentuk solidaritas keagamaan sebagai sebuah kekuatan sosial.
Terbukti, dalil-dalil modernisasi, hak-hak asasi manusia, dan demokrasi liberal yang diagung-agungkan dan ‘disakralkan’ oleh Barat dengan Amerika  Serikat sebagai juru bicara utama, telah mengundang perlawanan serius dari negara-negara Arab dan Asia pada umumnya.
            Kalangan ilmuwan sosial pun mulai menggugat secara kritis mitos-mitos demokrasi dan globalisasi karena situasi dunia ternyata semakin kacau.
Pernyataan bahwa perang dingin telah usai dengan runtuhnya Rusia, ternyata disadari hanyalah retorika palsu, karena agresivitas Amerika Serikat semakin menjadi-jadi dalam berbagai cara dan bentuknya. Termasuk, terhadap Republik Indonesia, yang masih didominasi kaum Islam.
Akibatnya, sentimen agama dan etnis menguat kembali sebagai benteng kebudayaan dan ideologi baru terhadap gusuran globalisasi yang terbukti menindas.  Agama yang pernah diramalkan akan habis dan menjadi urusan pribadi oleh desakan modernisasi dan sains  modern, ternyata kini kembali tampil sebagai kekuatan sosial yang menyatukan mereka yang merasa tertindas dan dizalimi.
Lihatlah, betapa gusarnya pemerintahan Amerika Serikat menghadapi “Jemaah Islamiyah” di Asia Tenggara maupun Al Qaedah di dunia internasional, hanya karena kaum Islam militan itu menolak keangkaramurkaan Amerika Serikat terhadap Islam pada umumnya.
Bukan hanya itu, tiba-tiba saja di Indonesia lahir pula laskar-laskar yang langsung membawa simbol-simbol keagamaan tertentu untuk memerangi kebatilan dan kezaliman terhadap umatnya.
            Heterogenitas itu tetap terpatri di sanubari bangsa Indonesia. Indonesia yang dibesarkan dari religi rakyat dan kerakyatan, ternyata masih terus mempertahankan identitas keagamaannya di tengah identitas nasional meski dalam bingkai negara bangsa (nation state) Indonesia sebagai sebuah negara modern di dunia.
Dengan demikian, konsep liberalisasi agama dan multikulturalisme sempit yang dimaksudkan untuk meruntuhkan keberadaan agama di Indonesia, terbukti tidak ampuh. Ia justru menjadi pemersatu kekuataan agama yang sempat terserak.
Lihatlah, bagaimana umat Islam di seluruh dunia spontan secara serentak melalukan perlawanan hebat terhadap  Jyllands-Posten Denmark gara-gara menerbitkan kartun Nabi Muhammad SAW. Begitu juga mengenai penolakan majalah Playboy Indonesia serta pornografi dan pornoaksi. ***

Penulis adalah jurnalis,pegiat seni, dosen luar biasa Sastra Indonesia FBS Unimed dan staf teknis Balai Bahasa Medan. Pos-el : suyadisan@yahoo.com

DAFTAR BACAAN
Abdullah, Taufik (ed)., 1996. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta : RajaGrasindo Persada
Bowen, John R., tanpa tahun. Religionn in Practice : An Approach to the Anthropology of Religion. Allyn and Bacon Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore
Budiman, Hikmat, 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius
Echols, John M. dan Shadily, Hassan, 1994. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : Gramedia
Fischer, H. TH. , 1957. Pengantar Anthropologi Kebudajaan Indonesia. Jakarta : Pembangunan
Geertz, Clifford, 1992. The Interpretation of Cultures : Selected Essays, London, Hutchinson & CO Publisher, Ltd
Hadikusuma, H. Hilman, 1993. Antropologi Agama Bagian I. Bandung : Citra Aditya Bakti
Hidayat, Komaruddin, 2004. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta : Teraju
Hikam, Mohammad AS, dkk. 2000. Fiqh Kewarganegaraan : Intervensi Agama-Negara terhadap Masyarakat Sipil.  Jakarta : PB PMII
Koentjaraningrat, 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan
Lauer, Robert H. , 2001. Perspectives on Social Change. Penerjemah Alimandan S.U. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta : Rineka Cipta
Maran, Rafael Raga, 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta
Mathulada, H.A. Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia : Prospek Budaya Politik Abad ke-21. Jurnal Antropologi Indonesia No. 85 Tahun 1999
Muthahhari, Murtadha, 1985. Society and History, The Council for Ten-Day Dawn Celebration, Teheran
Nasikun,  1995.  Sistem  Sosial Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Pals, Daniel L., 2001. Seven Theories of Religion. Yogyakarta : Qalam
Smith, Huston, 2001. The Religion of Man, Perrenial Library, Harper & Row, Publisher New York, Hargestown, San Fransisco, London
Soekanto, Soerjono, 1993. Struktur Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers
Woodward, Mark R, 1999. Islam in Java : Normative Piety and Mysticism in The Sultane of Yogyakarta, alih bahasa Hairus Salim HS, Islam Jawa : Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Yogyakarta : LKiS

sumber : Harian Analisa, 29 dan 30 Mei 2007 halaman 28.

Senin, 21 Januari 2013

BELAJAR DARI ‘RAYA SAYANGE’ DAN ‘INDONESIA RAYA’



Oleh : Suyadi


TIBA-tiba saja kita tersentak ketika lagu “Rasa Sayange” menjadi nyanyian latar promosi pariwisata negara tetangga. Hal sama terjadi ketika Blok Ambalat di Kalimantan diklaim milik negeri lain. Ini menambah daftar panjang yang – apabila dibiarkan – akan berimplikasi pada kedaulatan bangsa Indonesia.
Nasionalisme kita pun bergolak. Akankah  lagu “Indonesia Raya” dan pulau-pulau lainnya milik bangsa kita berpindah ke negara lain?
Sejumlah kasus yang menggoyahkan sendi-sendi kedaulatan kita sebagai bangsa berdaulat sedang diuji. Daftarnya kalau diurut bisa sangat panjang: ada wasit karate digimbal polisi, Tenaga Kerja Indonesia disiksa dan diperkosa majikan, istri pejabat kedutaan RI dilecehkan sukarelawan setempat, dan sebagainya.
Begitulah. Rasanya kewibawaan bangsa ini telah meluntur. Semangat heroisme dan nasionalisme yang disuarakan pendiri bangsa ini nyaris bergeming. Padahal, itu terjadi di tengah bangsa yang mulai melek hak asasi manusia dan demokratisasi.
Lalu, benarkah semangat nasionalisme kita – terutama para pemimpin dan penyelenggara negara – mulai pudar? Benarkah mereka seolah-olah ingkar terhadap ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945?
Betapa tidak, ketika rakyat mencemaskan sembako, minyak tanah, listrik, air minum, bencana alam, degradasi moral dan mental anak-anak, serta kagok aneka budaya global, para pemimpin kita justru tetap sibuk memikirkan kursi dan jabatan. Sementara negara ’dizalimi’ bangsa lain.
*
PEMBICARAAN mengenai nasionalisme dan multikulturalisme bersifat posteriori karena beberapa konsep harus dibicarakan lebih dahulu sebelum membahas isyu tersebut.  Dalam hal ini, tentu banyak diwarnai pemikiran antropologi.
Kebangsaan atau nasionalisme adalah topik baru dalam antropologi. Kajian tentang nasionalisme – ideologi negara-bangsa modern—sejak lama adalah topik pembicaraan ilmu politik, sosiologi makro dan sejarah.
Bangsa (nation) dan ideologi kebangsaan adalah fenomena modern berskala besar. Meskipun kajian mengenai nasionalisme memunculkan masalah-masalah metodologi yang baru berkaitan dengan skala dan kesukaran mengisolasi satuan-satuan penelitian, masalah-masalah ini justru mengait dengan topik-topik lain.
Perubahan sosial telah terjadi di wilayah sentral kajian antropologi, yang mengintegrasikan jutaan orang ke dalam pasar dan negara. Perhatian antropologi terhadap nasionalisme justru menempuh jalur yang berbeda dari ilmu politik yang sejak awal menempatkan negara sebagai pusat kajian.
Antropologi, sejalan dengan tradisi teorinya yang menempatkan evolusi sebagai premis dasar, memosisikan negara sebagai bagian dari pembicaraan mengenai evolusi masyarakat dari sederhana ke kompleks (modern). Dalam hal ini, negara menjadi bagian dari pembicaraan tentang proses masyarakat mengota (urbanizing) sebagai akibat proses evolusi dari masyarakat sederhana (baca: masyarakat primitif).
Dengan kata lain, negara adalah suatu institusi yang merupakan konsekuensi dari evolusi masyarakat tersebut, suatu pengorganisasian yang tumpang-tindih dengan institusi kekerabatan pada masyarakat sederhana pada masa lampau. (Cohen 1985).
Secara metodologi, seperti halnya kita yang hidup pada masa kini, dan disini,  informan penelitian antropologi adalah warga negara. Selanjutnya, masyarakat primitif mungkin tak terisolasi seperti pada masa lampau, sehingga kini tak lagi “lebih asli” atau “lebih murni” daripada masyarakat kita kini.
Para antropolog sejak lama berupaya mengangkat kasus-kasus pada tingkatan mikro, sebagaimana tercermin dari masyarakat sederhana (primitif) yang berskala kecil, populasi kecil, hidup di suatu lingkungan yang relatif terisolasi, dan memiliki kebudayaan yang relatif homogen, ke tingkatan abstraksi yang bersifat makro, sehingga mampu menjelaskan gejala yang sama di berbagai tempat di dunia.
Meski demikian, upaya ini tidak mudah diwujudkan terlebih ketika antropolog masa kini semakin cenderung menyukai keanekaragaman dalam paradigma berpikir konstruktivisme yang kini berkembang, seolah paradigma relativisme kebudayaan yang berakar pada tradisi antropologi masa lampau memperoleh tempat baru pada masa kini.
Dalam terminologi klasik antropologi sosial, konsep “bangsa” (nation)  digunakan secara kurang akurat untuk menggambarkan kategori-kategori besar orang atau masyarakat dengan kebudayaan yang kurang lebih seragam. I.M. Lewis (1985: 287), misalnya, mengatakan bahwa :”Istilah bangsa (nation), mengikuti arus pemikiran dominan dalam antropologi, adalah satuan kebudayaan.”
Selanjutnya Lewis memperjelas bahwa tidak perlu membedakan antara “suku bangsa” (tribes), “kelompok etnik” (ethnic groups), dan “bangsa” (nation) karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya.
Dalam terminologi masa kini, ketika argumentasi homogenitas semakin sukar dipertahankan, maka pembedaan bangsa dan kategori etnik menjadi semakin penting karena keterkaitannya dengan negara modern. Lagi pula, suatu negara yang isinya adalah suatu kategori etnik semakin langka adanya.
Dengan kata lain, suatu perspektif antropologi menjadi esensil bagi pemahaman secara menyeluruh mengenai  nasionalisme. Suatu fokus yang bersifat analitis dan empiris mengenai nasionalisme dalam penelitian modernisasi dan perubahan sosial, menjadi penting dan sangat relevan dengan lapangan kajian yang lebih luas dari antropologi politik dan kajian mengenai identitas sosial.
*
BERKAITAN masalah nasionalisme pasca-”Rasa Sayange” dan ”Indonesia Raya”, barangkali penting merujuk pandangan Ernest Gellner (1983) tentang nasionalisme: “Nasionalisme adalah prinsip politik, yang berarti bahwa satuan nasion harus sejalan dengan satuan politik. Nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai gerakan, paling tepat didefinisikan dalam konteks prinsip ini.
Sentimen nasionalis adalah rasa marah yang timbul akibat pelanggaran prinsip ini, atau rasa puas karena prinsip ini dijalankan dengan baik. Gerakan nasionalis diaktualisasikan oleh sentimen semacam ini” (hal. 1). Pandangan Gellner tentang nasionalisme ini lebih pas untuk konteks negara-bangsa (nation state) seperti Indonesia.
Hal ini tercermin dari konsep “satuan nasion” yang terkandung dalam kutipan di atas. Tampaknya Gellner masih memandang “satuan nasion” sama dengan kelompok etnik – atau setidak-tidaknya suatu kelompok etnik yang diklaim keberadaannya oleh para nasionalis.
Dengan kata lain, nasionalisme, menurut pandangan Gellner, merujuk kepada keterkaitan antara etnisitas dan negara. Nasionalisme, menurut pandangan ini, adalah ideologi etnik yang dipelihara sedemikian sehingga kelompok etnik ini mendominasi suatu negara.
Negara-bangsa dengan sendirinya adalah negara yang didominasi oleh suatu kelompok etnik, yang penanda identitasnya –seperti bahasa atau agama—kerapkali  terkandung dalam simbolisme resmi dan institusi perundang-undangannya.
Tokoh lain yang dikenal dengan gagasan teoretisnya tentang nasionalisme, khususnya Indonesia, adalah Benedict Anderson, yang mendefinisikan nasion sebagai “an imagined political community” – dan dibayangkan baik terbatas secara inheren maupun berdaulat.
Kata “imagined” di sini lebih berarti “orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai anggota suatu nasion, meski mereka “tak pernah mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar tentang warga negara yang lain, namun dalam pikiran mereka hidup suatu citra (image) mengenai kesatuan komunion bersama” (hal. 6).
Jadi, berbeda dari pendapat Gellner yang lebih memusatkan perhatian pada aspek politik dari nasionalisme, Anderson lebih suka memahami kekuatan dan persistensi identitas dan sentimen nasional. Fakta bahwa banyak orang yang rela mati membela bangsa menunjukkan adanya kekuatan yang luar biasa itu.
Meski Gellner dan Anderson memusatkan perhatian pada tema yang berbeda, prinsip politik dan sentimen identitas, keduanya sesungguhnya saling mendukung.  Keduanya menekankan bahwa bangsa adalah konstruksi ideologi demi menemukan keterkaitan antara kelompok kebudayaan (sebagaimana didefinisikan warga masyarakat yang bersangkutan) dan negara.
Anderson sendiri berupaya memberikan penjelasan terhadap apa yang disebut “anomali nasionalisme”. Menurut pandangan Marxis dan teori-teori sosial liberal tentang modernisasi, nasionalisme seharusnya tidak lagi relevan di dunia individualis pasca-Pencerahan, karena nasionalisme itu berbau kesetiaan primodial dan solidaritas berbasis asal-usul dan kebudayaan yang sama.
Maka, kalau kita kini menyaksikan “goyahnya” nasionalisme di Indonesia, hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh masuk dan berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia, dan menjadi bagian dari cara ilmu-ilmu sosial memikirkan negara-bangsa dan nasionalisme kita sendiri.
Kajian antropologi mengenai batas-batas etnik dan proses identitas mungkin dapat membantu memecahkan problematika Anderson. Penelitian tentang pembentukan identitas etnik dan dipertahankannya identitas etnik cenderung menjadi paling penting dalam situasi-situasi tak menentu, perubahan, persaingan memperoleh sumberdaya, dan ancaman terhadap batas-batas tersebut. ]
Tak mengherankan, gerakan-gerakan politik yang berdasarkan identitas kebudayaan kuat dalam masyarakat yang tengah mengalami modernisasi, meskipun hal ini tidaklah berarti  bahwa gerakan-gerakan tersebut menjadi gerakan-gerakan nasionalis.
*
DARI analisis tentang perspektif antropologi mengenai nasionalisme dan negara di atas, dapatlah dikemukakan bahwa negara-bangsa Indonesia kini menghadapi tantangan-tantangan besar, yang apabila tak berhasil menghadapi dan menaklukkan tantangan tersebut, dapat diprediksi bahwa negara kesatuan Republik Indonesia ini akan berakhir.
Akan tetapi kalau kita memiliki kesepakatan dan komitemen bahwa negara kesatuan ini adalah final, maka kita perlu memperhatikan secara seksama tantangan-tantangan yang kita hadapi, dan tugas-tugas yang harus kita laksanakan untuk menghadapinya.
Banyak orang berpendapat, multikulturalisme merupakan alternatif yang paling tepat untuk membangun kembali integrasi bangsa tersebut, meski belum ditemukan model multikulturalisme seperti apa yang paling tepat untuk Indonesia.
Pendapat tersebut tidak salah, karena pendekatan proses dalam multikulturalisme lebih relevan untuk menjawab isyu kebangsaan dan integrasi nasional yang kini dituntut mampu menjawab tantangan perubahan.
Menghadapi tantangan nasionalisme kita dari tekanan  bangsa alain, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, fakta keanekaragaman sukubangsa, ras, agama, dan golongan sosial- ekonomi, semakin diperumit oleh faktor geografi Indonesia yang kepulauan, penduduk yang tinggal terpisah-pisah satu sama lain,  mendorong potensi disintegrasi meningkat.
Kedua, prenis antropologi bahwa nasionalisme dan negara seyogyanya dibicarakan mulai dari akarnya, yakni mulai dari konsep-konsep “sukubangsa”, “kelompok dan etnisitas”, jelas menunjukkan bahwa apabila semangat nasionalisme luntur karena berbagai sebab, maka yang tertinggal adalah semangat kesukubangsaan yang menguat. Dengan kata lain, meningkatnya semangat primordial (antara lain kesuku-bangsaan) di tanah air akhir-akhir adalah indikasi melunturnya nasionalisme.
Ketiga, hak-hak minoritas senantiasa melekat pada fakta pengaturan keanekaragaman yang ada. Apabila pengaturan nasional berorientasi pada kebijakan kebudayaan seragam dan sentralistis, maka fakta pluralisme, diferensiasi, dan hierarki masyarakat dan kebudayaan akan meningkat.
Dalam kondisi ini hak-hak minoritas akan terabaikan karena tertutup oleh kebijakan negara yang terkonsentrasi pada kekuasaan sentralistis. Namun, apabila pengaturan tersebut adalah demokratis dan/atau multikuluralistis maka hak-hak minoritas akan semakin dihargai.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa upaya membangun bangsa yang multikultural itu berhadapan dengan tantangan berat, yaitu fakta keanekaragaman yang luas dalam konteks geografi, populasi, sukubangsa, agama, dan lainnya. Oleh karena itu, membangun negara-bangsa yang multikultural sepertinya harus dibarengi oleh politik pengaturan dan sentimen kebangsaan yang kuat.
Keempat, perekat integrasi nasional yang selama ini terjadi seperti politik penyeragaman nasional dan konsentrasi kekuasaan yang besar sesungguhnya adalah hal lumrah dalam politik pemeliharaan negara bangsa. Namun, mekanisme pengaturan nasional ini terganggu ketika seleksi global “tidak lagi menghendaki” bentuk negara-bangsa sebagai bentuk pengaturan nasional pada abad yang baru ini.
Kondisi negeri kita yang serba lemah di berbagai sektor mempermudah kita menjadi rentan untuk “tidak lagi dikehendaki” dalam proses seleksi global. Untuk itu, sudah seharuslah para pemimpin negeri ini memberikan suri-teladan nasionalisme kepada rakyatnya. Tidak cuma berebut kursi dan jabatan. *** (Penulis saat ini sedang mengakhiri studi Magister Sains Antropologi Sosial pada program pascasarjana Unimed)











PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed), 1996. Agama dan Perubahan Sosial. .Jakarta : RajaGrafindo Persada
Adimihardja, Kusnaka, 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial dalam Pembangunan. Bandung : Tarsito
Al-Barry, M. Dahlan Yacub, 2001. Kamus Sosiologi Antropologi. Surabaya : Indah
Anderson, B. (1991 [1983]) Imagined Communities. Reflections on the Origins and Spread of Nationalism. 2ndedition. London: Verso.
Barth, Frederik, 1998. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta : UI Pers
Bowen, John R, t.t. Religions in Practice : An Approach to the Anthropology of Religion. Washington University in St. Louis
Cohen, A. (1974) Two-dimensional Man. London: Tavistock.
Coppel, Charles A., 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Diamond, Larry dan Plattner, Marc F., 1998. Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi. Bandung : ITB
Eriksen, Thomas Hylland, t.t. Ethnicity and Nationalism : Anthropological Perspektives. Pluto Press
Faruk dkk, 2000. Perlawanan Diskriminasi Rasial-Etnik. Magelang: IndonesiaTera
Furnivall, J.S. (1938) The Netherlands Indies: A Study in Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press.
Geertz, C. & D. Apter, eds. (1969) The Old Societies and New States. Chicago: Aldine Publications.
Gellner, E. (1983) Nations and Nationalism. Oxford : Blackwell.
Geerts, Clifford, 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta : Kanisius
Giddens, Anthony dan Held, Davids, 1987. Kelompok, Kekuasaan, dan Etnik. Jakarta : Rajawali
Saifuddin, A.F. (2005) Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritik Mengenai Paradigma. Jakarta : Prenada-Media.
Smith, A.D. (1986) The Ethnic Origin of Nation. Oxford: Blackwell.
Turner, V. (1969) The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine Publications.


sumber : Harian Analisa